Mampu Bercerita Masa Lalu

2500 Words
Ucapan pamit dari Pak Tetua Desa membuatku seketika kaku dan langsung penuh pertanyaan, karena seakan akan Pak Tetua tau sesuatu. Disaat itu juga, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu hal, bahwasanya Pak Tetua juga terkenal sebagai orang pintar di Desaku. Pak Tetua juga sering dimintai pertolongan akan hal-hal yang bersifat non medis dan hal-hal yang diluar nalar. Namun aku galau saat itu, akan apa yang harus aku lakukan, karena bagiku ini saat yang tepat aku cerita kepada orang yang tepat pula. Tapi aku juga masih ingat kalau mbak Sari melarangku menceritakan kondisinya kepada siapapun. Sembari menutup gerbang aku terus memikirkannya. Akhirnya aku tidak jadi menutup gerbang dan berlari menyusul pak tetua desa yang sedang berjalan pulang. "Pak, Pak, tunggu." panggilku sembari berlari kecil menyusulnya. Lalu pak tetua berhenti dan menengok balik sambil berkata, "Ada apa yani, apa yang mau disampaikan hingga tergesa seperti itu?" Sahutnya. "Iya Pak, tapi Yani harap Bapak Tetua jangan cerita kepada siapapun ya, ini tentang mbak Sari." ucapku sambil memohon. "Iya Yani, kamu bisa mempercayai saya, cerita saja silahkan." Sambungnya. "Sebelumnya saya ingin bertanya, maksud bapak bilang kepada saya tentang 'cerita saja sebelum semua terlambat' apa ya pak? Apa Pak Tetua tau sesuatu?" tanyaku. "Oke Yani, begini ya. Saya tidak bisa menceritakan disini dijalanan seperti ini, nanti malam selepas isya' kamu datang saja kerumah. Kamu silahkan cerita apa yang ingin kamu ceritakan, saya juga akan menyampaikan apa yang saya tau. Jika ngobrol dirumah akan lebih santun dan tenang ceritanya." jawabnya kepadaku sambil menawariku agar lebih nyaman bercerita dirumahnya. "Iya Pak, nanti setelah saya selesai merawat mbak sari. Saya akan bertamu ke rumah Bapak. Terima kasih ya Pak." jawabku sambil berlahan pamit untuk kembali kerumah. Sesampai didepan gerbang, aku mendengar suara aneh yang seperti memanggil-manggil namaku. "Yani.." suara seorang pria dengan lirih namun berat, nampak jelas terdengar. Lantas aku berhenti dan mencoba menengok kekanan-kiri untuk mencari tau darimana sumber suara itu berasal. Namun, seketika itu juga seluruh badan ini merasa merinding yang luar biasa dari belakang kepala hingga betis. Sembari menutup gerbang aku mencoba menahan rasa takutku kemudian berjalan masuk kerumah, berat terasa dan semakin berat pula saat aku mulai masuk kerumah. Aku langsung menuju kamar mbak Sari, dan mencoba menghiraukan apa yang barusan kualami. Sebelum masuk kekamar mbak sari, aku melewati dapur dan kamar mandi yang memang letaknya berada disamping kamar mbak Sari. Tepat dibawah tangga samping dapur, aku seperti mendengar suara kuku yang sedang digesekan ketembok. "sreeekk... sreeekk..." Suara itu semakin nyaring dan seakan mengikutiku berjalan. Dan ketika aku membuka pintu kamar mbak sari. "YANI...!!!!" Suara keras menghentak tepat di telingaku, aku pun secara refleks terjatuh dibawah pintu, menangis dan bergetar hebat sekujur tubuh dan tak berani membuka mata. "Yani.. Yani.." berlahan terdengar lagi suara memanggilku. Aku masih tersungkur dipintu kamar tak berani membuka mata dan kedua tanganku masih menutup telinga. "Yani.. Yani.." sayup sayup terdengar kembali, suara pelan dan terbata bata kembali memanggil namaku. Aku mulai tersadar. "Kamu kenapa to Yani? Kamu ada apa?" suara yang kurasa aku kenal. Berlahan aku mulai membuka mataku dan kulihat mbak sari yang memanggilku. Lantas dengan gugup dan berlahan aku mulai menghampirinya. Lantas mbak sari mengusap rambutku, sambil berkata. "Ada apa Yani, kok kamu membuka pintu kasar begitu, apa yang kamu lakukan hingga diganggu seperti itu?" Ucap mbak Sari. Seketika itu aku kaget mendengar ucapannya, dalam keadaan yang masih lemas aku berkata. "Mbak kok tau aku seperti sedang diganggu?" Ucapku heran. "Mbak tau semuanya yani, tadi kamu bertemu siapa dan mau apa, mbak tau itu." ucapnya sembari meletakan telunjuk didepan mulutnya, tanda dimana aku disuruh tutup mulut. Semakin membuatku terpatri dan heran. Sungguh diluar dugaan ku, bagaimana mbak Sari bisa tau. "Nanti malam Yani mau ke rumah Tetua Desa, ijinkan Yani menceritakan semuanya kepada tetua Desa mbak?" Ungkapku. "..(....).." Mbak Sari hanya diam sembari meletakkan kembali telunjuknya didepan mulutnya. "Keluarga Yani hanya mbak Sari seorang, sampai kapan mbak Sari akan bertahan di kondisi seperti ini? Yani sangat sayang sama mbak Sari. Yani siap menempuh resiko apapun demi mbak Sari, karena Yani ingin melihat mbak sari sembuh." Ucapku menerangkan apa yang kurasakan. "..(....).." mbak Sari hanya tersenyum kecil dengan tatapan sayu yang mengarah kepadaku. "Kamu masih ingat dimana kita dibesarkan? Kamu masih ingat dimana waktu kecil kita tinggal? Dan apakah kamu masih ingat bagaimana status sosial menjadi orang miskin? Apa yang pernah kita dapatkan ketika kita miskin dulu Yani? Kamu masih ingat?" dengan suara perlahan dan sambil berlinang air mata mbak sari mengingatkanku bagaimana kita hidup dulu. “Yani tidak akan pernah lupa itu semua mbak.” Sahutku yang saat itu ikut menangis juga. "Mbak gak mau kita seperti dulu lagi Yani. Mbak gak mau dihina kanan dan kiri karena kemiskinan kita. Sakit rasanya, dan rasa itu serta hinaan itu masih bisa mbak rasakan sakitnya sampai sekarang." dalam rintihannya mbak Sari coba menegaskan ku. "Aku hanya mau mbak sehat, mbak Sari mau ya, aku minta tolong kepada Tetua Desa untuk menyembuhkan mbak Sari? Setidaknya ijinkan Tetua Desa bisa melihat keadaan mbak Sari saat ini." ucapku sambil menangis dan menggenggam tangannya. “..(....)..” mbak Sari tak mengucapkan satu patah katapun, bahkan dia malah memalingkan mukanya dariku. "Panas dan Hujan, Basah dan Kering, Yani sudah jalani hidup dengan mbak Sari selama ini. Yani percaya kalau kita mampu melewatinya dan mengatasinya." tambahku untuk meyakinkan mbak Sari. “..(....)..” mbak Sari hanya diam tak merespon ku. "Saat ini hanya Tetua Desa yang menurut Yani bisa dipercaya dan bisa membantu mbak Sari." dengan berderai air mata aku terus meyakinkan mbak sari. “..(....)..” mbak sari masih memalingkan wajahnya dariku, aku benar benar merasa putus asa untuk meyakinkannya agar sehat lagi dan menjalani hidup normal kembali. “Yani yakin mbak, kita tetap bisa bahagia dan bercanda jika kita akan kembali miskin lagi. Namun bagaimana kita akan bisa tertawa bersama lagi jika mbak Sari terus bertahan dalam kesakitan seperti ini?” Ucapku dititik keputusasaan ku yang melihat mbak Sari sedari tadi hanya diam tak merespon ku. “..(....)..” mbak Sari masih terdiam, namun berlahan aku melihat mbak sari menganggukkan kepalanya. "Mbak mau sembuh dan menjalani hidup normal kembali?" Sahutku cepat. "..(....).." mbak Sari hanya diam dan menganggukkan kepalanya, dengan keadaan yang masih memalingkan muka dariku. Tanpa suara dan dalam kediaman mbak Sari. Seakan mbak Sari sedang memberi isyarat kepadaku menjawab iya. Aku tanpa berpamitan, mencium tangan dan kening mbak Sari dan langsung menuju kerumah Tetua Desa. Sesampainya disana, ternyata tetua desa sudah menungguku, dan langsung mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. "Sudah saya tunggu kamu Yani, mari silahkan duduk." Sambutnya. "Iya Pak, terima kasih." ucapku sembari berjalan masuk dalam rumah dan duduk. "Bagaimana kondisi mbakmu?" tanya Pak Tetua membuka obrolan. "Sebelumnya saya minta maaf Pak, baru berani berbicara sekarang." Sahutku. "Saya paham Yani, apa yang kamu lakukan itu, semua karena kamu menuruti perintah dari mbakmu." Jawab Pak Tetua. "Iya Pak, terima kasih atas pengertiannya." Jawabku. "Tepat ketika mbakmu sakit, kontrakan kalian juga sepi kan?" Tanya Pak Tetua. "Iya Pak benar, kok Bapak bisa tau?" Jawabku. "Apakah kamu tidak merasa ada yang aneh? Rumah yang kalian tinggali dari luar juga nampak semakin lama terlihat semakin gelap dan suram. Lalu saya melihat di bagian kamar mandi ada sosok yang besar dan hitam yang selalu berdiri di sana tapi hanya setengah badan, dan setengah badannya lagi seakan-akan terkubur di tanah" Terang Pak Tetua. "..(bagaimana pak tetua bisa tau sejauh itu, bahkan aku sendiripun tidak tahu?).." Batinku sembari terus mendengarkan omongan Pak Tetua. "Kamu cerita saja dari awal, sebenarnya mbakmu kenapa dan ada apa dengan rumah yang kalian tinggali?" Tanya Pak Tetua. "Baik Pak, saya akan ceritakan kehidupan kami sebelum pindah ke desa ini." ...... ..... ..... ..... ..... Kami berdua berasal dari lingkungan kumuh dan miskin di suatu pinggiran kota. Orang tua kami sudah tiada sejak usia saya 8 tahun dan usia mbak SAri 17 tahun. Kami hanya 2 saudara perempuan yang sudah dipaksa keadaan untuk hidup mandiri sejak kecil. Itu semua saya ungkapkan memang karena orang tua kami tidak meninggalkan warisan apapun. Bahkan rumah yang kami tinggali saat bersama mereka hanyalah rumah kos kecil dengan kamar mandi yang tiap pagi dan sore kami mengantri untuk memakainya. Disisi lain mbak Sari adalah seorang pribadi yang sangat melindungi ku, dia dianugerahi paras cantik dan warna kulit yang menawan, sedangkan aku pribadi berbanding terbalik dengannya. Semenjak orang tua kami meninggal, mbak Sari menjadi sosok Ibu sekaligus pengganti sosok Ayah yang selalu merawatku. Mbak Sari terus bekerja agar aku tidak sampai berhenti dari sekolah. Bahkan dimalam hari pun mbak Sari masih tetap mencari sambilan hingga sering dicap sebagai perempuan malam. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ditengah musibah yang kami alami, kami juga harus kehilangan tempat tinggal kami. Karena tempat yang kami tinggali bertepatan dengan masa kontrak habis. Hingga Mbak Sari mengemis kepada tetangga agar diberikan tumpangan tinggal di rumah mereka sampai mendapat gaji yang pertama untuk pindah dan mencari tempat baru. Walaupun itu hanya diteras, kami tidak masalah, bahkan kami sudah bersyukur saat itu. Setidak nya kami bisa berteduh dihalaman rumah mereka saat terjadi hujan di malam hari. Karena saat itu kebetulan sedang musim hujan. Tak berselang lama semenjak kami hidup numpang ditetangga, mbak Sari akhirnya diterima kerja di salah satu kota yang tak jauh dari tempat kami saat itu. Sebulan bekerja di sana, mbak SAri memutuskan untuk pindah dari rumah tetangga yang kami tinggali untuk menuju kontrakan baru didekat tempat kerjanya. Hari yang kulalui sangat sangat sederhana walaupun setiap malam harus berbagi kasur dengan mbak Sari. Makan pun kami selalu ada walaupun paling banyak kami makan hanya dua kali makan dalam satu hari. Namun Saya tetap bersyukur karena sosok mbak Sari bagaikan pelindung dan pengayom saat itu. Tanpa terasa 4 tahun sudah kami hidup mandiri sampai aku lulus Sekolah Dasar. Saya sadar bahwa otak saya ini bukan otak yang cerdas, saya hanyalah rata rata anak yang tidak memiliki nilai lebih. Maka dari itu saya berusaha membantu apapun yang mbak Sari butuhkan dan perlukan. Semua pekerjaan dari mencuci baju dan membersihkan rumah saya lakukan. Semata-mata hanya untuk mengurangi beban dari mbak Sari yang sudah lelah mencari nafkah. Bahkan saya sering menitipkan gorengan yang saya masak sendiri di kantin sekolah untuk mencari tambahan uang saku. Tepat saat saya lulus SMP, mbak Sari mengajak saya untuk pindah dari tempat kami saat ini. Karena mbak Sari akan menikah, dan akan ikut tinggal dengan suaminya setelah menikah nanti. Pada awalnya saya kaget, kenapa mbak Sari yang masih muda dan cantik mau menikah dengan seorang duda yang sudah berusia 40 an, mengingat saat itu usia mbak Sari masih di kisaran 20 an. Hingga setelah mbak Sari menjelaskan semuanya, saya menangis karena terharu. Mbak Sari menikah itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk masa depan saya. Mbak Sari mau menikah dengan suaminya karena suaminya menjamin pendidikan saya hingga kuliah nanti, dan menjamin tempat tinggal yang layak untuk saya tinggal bersama mereka. Saya ikut dengan mbak Sari yang tinggal bersama suaminya sampai saya lulus dari SMA. Dan saya masih seperti biasa membantu pekerjaan rumah mereka. Saya memutuskan untuk tidak meneruskan ke bangku kuliah, karena saat itu ada kejadian dimana pasar terbakar dan toko suami mbak Sari yang menjadi sumber penghidupan kami semua juga ikut terbakar. Kami bertiga hidup bersama dan memulai semuanya dari bawah lagi setelah kejadian kebakaran yang menimpa toko suami mbak Sari. Saat itu saya bersyukur, karena kejadian kebakaran itu tepat setelah saya lulus dari SMA. Hingga saya memutuskan untuk bekerja daripada harus kuliah, demi mendapat tambahan dan bisa membantu perekonomian mbak Sari dan suaminya. Saya diterima bekerja sebagai karyawan toko roti di dekat rumah suami mbak Sari. Saya masih tinggal bersama dengan mereka dan masih setia membantu apa saja yang saya bisa untuk mereka, mengingat pengorbanan mereka untuk saya sampai sekarang. Dua tahun setelah peristiwa itu perekonomian suami mbak Sari kembali tertata. Dan bukan hanya disitu saja, mbak Sari dan suaminya juga dianugerahi seorang anak perempuan. Hingga saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan memposisikan diri menjadi pengasuh anak mbak Sari agar mbak Sari dan suaminya bisa fokus menata perdagangan kembali. Hal ini saya lakukan tanpa paksaan apapun dan tanpa adanya permintaan dari mbak Sari, murni dari saya sendiri yang menginginkannya, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memberiku tempat tinggal dan makan selama ini. Dan setelahtiga tahun dari kelahiran putri mbak Sari, kebahagiaan mereka lengkap dengan adanya anak kedua yang lahir berkelamin laki laki. Di usia 10 tahun pernikahan mbak Sari dan suaminya. Tiba-tiba suaminya jatuh sakit, terserang stroke ringan, yang mengakibatkan suami dari mbak Sari tidak bisa berdagang kembali. Disinilah titik awal kehancuran keluarga mbak Sari. Dimana saat itu suaminya membutuhkan banyak sekali biaya untuk Rumah Sakit dan berobat. Apapun dijual mbak Sari demi kesembuhan suaminya, hingga harga diri mbak Sari pun ikut dijual demi menghidupi keluarganya. Saat itu, saya hanya bisa membantu mengurus rumah, mengurus anak-anak mbak Sari yang masih kecil dan merawat suami mbak Sari yang hanya bisa duduk di kursi roda. Seringkali saya hanya bisa menangis sendiri melihat jerih payah dan pengorbanan mbak Sari. Di usia muda harus bekerja dan menghidupi saya. Saat menemukan suami yang baik dan baru saja menikah, Toko suaminya terbakar. Kita memulai baru lagi dan dari bawah lagi. Dimana saat baru saja memulai hal yang baru dan ekonomi mulai beranjak naik, suaminya mbak Sari sakit keras. Berita mengenai pekerjaan mbak Sari tersebar dari mulut tetangga ke mulut tetangga yang lain. Hingga di suatu ketika, para warga menyatroni mbak Sari yang seakan-akan mbak Sari itu seorang pelaku kriminal. Suaminya pun yang sebagai orang yang dituakan, dipaksa mengusir istrinya sendiri dari rumah, sebagai percontohan warga semua. Saat itu sembari menangis suaminya meminta maaf dan mengusir mbak Sari karena tuntutan warga. Mbak Sari pun hanya bisa pasrah dan menuruti apa yang diinginkan warga. Malam itu juga mbak Sari mengajakku untuk mengemasi barang dan pergi saat itu juga. Namun suaminya meminta keringanan pada warga agar mbak Sari bisa pergi esok hari karena hari sudah malam. Lalu keesokannya kami mengemasi barang kami semuanya, dan kami angkat kaki pagi itu juga. Mbak Sari lantas memesan taksi dan menuju ke perhiasan toko emas. Dijual semua yang dia miliki untuk bekal dan untuk mengontrak rumah. Kita berdua kembali tinggal dikontrakan, dan setelah itu mbak Sari memutuskan untuk pindah kemari. Mbak Sari memutuskan menjadi warga di desa ini, dengan tujuan agar status sosial mbak Sari kembali dari nol dan status sebagai wanita malam hilang karena warga disini tiada yang mengetahuinya. ..... ..... ..... ..... ..... "Owh, jadi begitu kisahmu hingga sampai pindah disini." sambung Pak Tetua Desa usai mendengar ceritaku. "Iya Pak Tetua." Jawabku. "Saya ingin bertanya lagi Yani, namu kali ini mengenai hal yang lebih bersifat pribadi. Semoga kamu tidak tersinggung dan mau untuk menjawabnya." Tanya Pak Tetua. "Iya pak silahkan, saya akan menjawab setau saya" Sahutku. "Saya yakin kamu belum menceritakan kisah semuanya." Ucapnya. “Maksudnya bagaimana Pak.” Jawabku terkaget, akan ucapan Pak Tetua. “Point apa yang sebenarnya ingin kamu ceritakan mengenai kondisi mbakmu?” Ucap Pak Tetua. "Iya pak benar, point nya bukan disitu." Sahutku. "Sekarang Yani, saya minta tolong ceritakan kondisi mbakmu, dan sakit seperti apa yang dia alami" tanya Pak Tetua. “Baik Pak, saya akan menceritakan keadaan mbak Sari saat ini.” Ucapku. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD