Arwana meringis kesakitan. Dia memegangi pipi bagian kanannya sembari menyeringai iblis.
Kennedy pun berbalik badan dan langsung melangkah lebar mendekati Daffin. “Sikapmu seperti tak berpendidikan setelah menikah dengan Shakira!” bentaknya sambil menyeret Daffin dengan kasar sampai gerbang.
Lantas mendorong Daffin.
Shakira tak mampu menahan air mata yang sudah berembun di kelopak mata. Lalu dia pun mengejar Daffin yang kini berdiri bergeming di depan gerbang. Risma pun bergegas mendekati Daffin dengan raut wajah penuh kecewa dan sedih.
“Maafkan, Ayahmu … jika tahu akan seperti ini kejadiannya. Maka Ibu tak akan membiarkan ini terjadi,” lirih Risma sambil mengusap pipi Daffin dengan raut wajah sedih.
“Bu, saya bersumpah tak akan menginjakkan kaki ke sini, kecuali saya sudah sukses,” tandasnya menatap nyalang rumah mewah yang sudah banyak kenangan di sana.
Suara Shakira membuat lelaki jangkung itu menoleh dan kembali ke alam nyata. Lamunannya buyar seketika.
Shakira pun menyodorkan kopi kepada Daffin. Meskipun dia duduk di kursi roda, tetapi masih bisa membuat sekadar kopi saja dia masih mampu.
“Diminum dulu, Mas? Hari ini sudah gajian?” tanya Shakira yang sebenarnya dia ragu untuk menanyakan perihal itu, tetapi ini demi kesehatan Wina—ibu Shakira yang memiliki penyakit kanker serviks.
“Kapan kamu ke rumah sakit?” tanya balik Daffin sambil meneguk kopi, dua tegukan membiarkan manis dan pahit itu menyatu ke tenggorokannya seperti kehidupan.
“Sekarang, Mas. Ibu di sana tak ada yang jaga. Mas, yakin tak mau pulang ke rumah? Kakek sudah tak ada dan kata ibumu jasadnya ada di rumah,” urai Shakira seraya menatap nanar manik mata Daffin.
“Padahal saya sengaja tak mengangkat panggilan telepon dari ibu,” tukas Daffin.
“Mas, Kakek tak salah. Dia tak tahu apa-apa. Lebih baik lihatlah wajahnya untuk terakhir kali,” imbuh Shakira mengingatkan.
Kakek Daffin selama ini tinggal di Malaysia bersama Roni—paman Daffin. Mendengar berita kematian si kakek memang membuat Daffin terkejut. Akan tetapi, dia ingat sumpah yang sudah diucapkan karena sakit hati.
Lelaki itu merogoh tas pinggang yang dipakainya. Lalu memberikan amplop putih kepada Shakira, itu adalah upah satu bulan dia bekerja di toko sembako. Mereka berdua hidup sederhana, tetapi Daffin memiliki impian yang harus diwujudkan menjadi orang sukses. Malam pun bukan halangan untuk Daffin mencari nafkah sampai dini hari.
“Saya capek,” ucap Daffin sambil beranjak pergi. Usai dia memberikan uang kepada Shakira, sedangan wanita bermata sipit itu mengembuskan napas sembari geleng-geleng kepala. Daffin memang keras kepala yang memegang teguh prinsip.
Sikap Kennedy yang menganggap rendah Daffin dan membenci Shakira. Mereka berdua pernah diusir dari rumah kontrakan Kennedy, ketika masih pengantin baru.
Sudah terlalu banyak Daffin menelan pil pahit, makian, dan hinaan yang diberikan oleh Kennedy dan Arwana pasca Daffin menikah. Membuat gerbang pertahanan keegoisan berdiri kokoh di antara Kennedy dan Daffin.
Satu jam kemudian. Daffin sudah mandi dan bersiap untuk mengantarkan Shakira ke rumah sakit, sedangkan Shakira masih duduk di kursi roda sambil menonton televisi. Biasanya yang menemani Shakira adalah Wina karena mertuanya sedang sakit, maka Daffin membayar tetangga untuk menemani Shakira saat siang sampai sore.
“Ayo, berangkat,” ucap Daffin sembari tersenyum tipis. Lantas dia mendorong kursi roda Shakira.
Dia memesan mobil online menuju rumah sakit. Tak berselang lama. Mobil online yang dipesan oleh Daffin datang, maka dia membopong Shakira masuk ke dalam mobil, lalu memasukkan kursi roda juga ke bagian belakang mobil.
Lantas Daffin duduk di samping Shakira sembari tersenyum lebar dan mengusap puncak kepala Shakira.
“Ibumu pasti cepat sembuh,” lirihnya.
Pikiran Daffin kembali mengawang membuka pintu masa lalu.
Usai dari pesta ulang tahun Camelia. Daffin mengalami kecelakaan motor bersama Shakira. Motor mereka bertabrakan dengan sebuah mobil yang datang dari berbeda arah.
Ujian hidup Daffin sudah dimulai karena sang istri mengalami kelumpuhan sementara karena kecelakaan. Kedua kakinya tak bisa digerakkan dan di hari yang sama Daffin pun mengetahui kenyataan bahwa sang mertua pun mengalami sakit keras, ternyata mengidap penyakit kanker serviks.
Sampai saat ini, Wina sering bolak-balik masuk rumah sakit hampir lima bulan.
Namun, hal ini tak membuat Daffin menyerah dan putus asa. Dia menjadi tulang punggung keluarga yang sekaligus merawat Shakira yang duduk di kursi roda. Perjuangan Daffin menjadi orang sukses masih berkorbar di jiwa lelaki tersebut demi membuktikan kepada Kennedy.
Keesokan harinya. Daffin berdiri di hadapan batu nisan bernama Faisal Meyles berusia delapan puluh lima tahun. Tangan lelaki itu pun menabur bunga di atas gundukan tanah yang masih merah dan masih banyak kelopak bunga di atasnya serta sepuluh tangkai mawar merah.
Daffin duduk sembari menengadahkan kedua tangannya dan nampak bola matanya berkaca-kaca sambil melantunkan doa.
“Daffin?” sapa suara lembut seorang wanita yang ada di belakangnya.
Daffin pun menengok ke belakang dan nampak sang ibu berdiri bersama Camelia. Saking rindunya Risma langsung merengkuh erat tubuh Daffin.
“Kenapa kamu tak pulang?” tanyanya.
“Bu, masih ingat sumpah saya,” jawab Daffin sembari tersenyum tipis. Dia mengurai pelukan Risma.
“Maafkan Ayahmu. Dia memang keras. Tapi, sebenarnya dia baik,” pungkas Risma sembari memegang lengan Daffin.
“Kak Daffin, sudah punya apa sekarang? Sudah punya mobil sendiri? Atau masih pakai motor jelek,” hardik Camelia mengejek Daffin.
Mencerna ucapan Camelia seperti cambukan bagi Daffin. Dia memang saat ini belum menjadi apa-apa. Uangnya hanya cukup untuk pengobatan Shakira dan sang mertua. Daffin tersenyum simpul dan dia pun langsung undur diri pamit beranjak pergi meninggalkan Risma dan Camelia.
“Daffin, jangan dengarkan ucapan Camelia!” teriak Risma sambil mengejar Daffin.
Risma sengaja datang kembali ke TPU karena dia percaya bahwa Daffin akan datang. Namun sayangnya, Daffin tak mengindahkan panggilan Risma. Lelaki berhidung bangir itu terus melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang.
Satu minggu kemudian.
Daffin bekerja di toko sembako dari pagi sampai sore. Dia melayani pembeli sangat ramah dan pasca Daffin bekerja di sana. Banyak kaum hawa yang datang untuk berbelanja saking kagum melihat ketampanan Daffin yang membuat wanita terpesona, serta keramahan dan pekerja keras lelaki itu adalah poin plus hingga banyak yang menyukai Daffin.
Pemilik toko pun percaya sepenuhnya kepada Daffin.
Pukul dua belas siang. Daffin izin untuk pulang. Seperti biasa di saat jam istirahat, dia pulang untuk memberikan makan untuk Shakira. Lelaki itu sumringah menuju rumah.
Tiba di rumah. Shakira menyambut hangat di teras rumah dan mengecup punggung tangan Daffin.
“Mas, jangan pulang terus. Aku sudah makan. Mulai sekarang Mba Lisa mau masak untuk kita,” ucap Shakira.
“Mbak Lisa di mana?” tanya Daffin sembari celingak-celinguk mencari sosok Lisa.
“Dia pergi dulu menjemput anaknya pulang sekolah,” jawab Shakira mengulas senyum manis.
Daffin pun duduk sambil menaruh keresek yang berisi nasi Padang. Nampak raut wajahnya lelah dan buliran-buliran peluh membasahi sekujur tubuhnya. Matahari sangat terik menyengat kulit lelaki yang kini nampak sekali tak terlalu putih kulit Daffin.
Shakira pun mengusap keringat Daffin dengan tisu yang kerap dia bawa. “Mas, capek sekali. Makan dulu.”
“Shakira, jika Mbak Lisa masak juga. Kita harus bayar berapa? Kamu tahu sendiri ‘kan. Biaya kita perbulan berapa untuk pengobatanmu dan biaya pengobatan ibumu,” urai Daffin yang malu karena dia hanya bisa membayar tetangga itu lima puluh ribu rupiah. Daffin merasa malu.
Mencerna ucapan Daffin. Shakira menundukkan wajahnya bersama bulir-bulir bening berderai berlomba-lomba keluar dari pipinya.
“Maafkan aku, Mas. Hanya menyusahkan saja. Kenapa Mas tak menceraikan saja aku? Aku istri yang tak berguna. Hanya buang-buang uang,” imbuh Shakira sembari menyeka air matanya sendiri. Dengan sigap Daffin mengangkat dagu Shakira dan menatap teduh wajah sang istri.
“Kamu sudah menjadi istri saya. Tanggung jawab saya. Justru saya malu belum memberikanmu kebahagiaan. Benar kata ayah, jika saya orang yang tak berguna,” pungkas Daffin sambil merengkuh tubuh Shakira. Dia merasa bersalah karena sudah mengeluh tentang biaya pengobatan.
Lelaki itu merutuk dirinya sendiri. Namun, Shakira lekas mengecup bibir Daffin.
“Mas, jangan bicara seperti itu. Kita lewati ini semua ujian hidup bersama. Mas, mau sukses. Maka jangan menyerah. Bukankah Mas bisa membetulkan barang-barang elektronik jika ada yang rusak?” cetus Shakira seraya melempar senyum simpul dan mencengkram jari-jari Daffin dan telapak tangan lelaki itu yang kasar untuk mencari sesuap nasi.
Mencerna penuturan Shakira. Daffin seperti mendapatkan angin segar. Itu ide yang bagus untuk menambah pekerjaan baru. Apa pun pekerjaannya yang penting halal.
Pukul delapan malam. Cahaya bintang berkelap-kelip di langit. Daffin seperti biasa sebagai ojeg online. Dia mendapatkan tumpangan di alamat rumah yang sudah tak asing lagi. Sebenarnya Daffin malas menuju alamat itu. Akan tetapi, dia membutuhkan uang.
Saat menjemput di depan rumah besar nan mewah. Daffin terkejut ternyata calon penumpangnya adalah Desi—istri Arwana. Dia wanita manis yang sering berpakaian sexi.
“Sudah lama tak jumpa?” sindir Desi sambil mengibaskan rambutnya.
Daffin melempar senyum kepada Desi. Lantas dia memberikan helm kepada wanita itu. Namun, Desi menggeleng kasar.
“Aku tak mau pakai helm. Sebenarnya malas pakai motor karena ini kepepet ngejar waktu. Jadi terpaksa aku pakai helm,” cerocos Desi.
“Kamu harus pakai helm.” Daffin menjawab datar.
“Ihk, males. Kenapa harus bertemu dengan lelaki miskin kayak kamu?” ejek Desi sembari mengerucutkan bibirnya.
“Lebih baik kau batalkan saja. Jangan banyak ngomong,” tukas Daffin.
Desi terbelalak dan dia langsung menyodorkan uang kertas merah sepuluh lembar kepada Daffin.
“Kau tak butuh uang, jadi kamu menolak penumpang Sultan kayak aku,” protes Desi.
“Saya kira bertemu dengan Anda. Emosi saya tak akan terpancing. Anda sama saja dengan Arwana. Jika berbicara level tertinggi pedasnya. Kebanyakan makan cabe rawit,” timpal Daffin. Lantas dia merogoh ponselnya dari saku. Akan tetapi, lekas Desi mencengkal lengan Daffin.
“Maaf,” ucap Desi bersikap semanis mungkin.
“Aku butuh ojeg untuk ke acara ini. Ini penting darurat,” lanjut wanita itu.
Hening. Sepuluh detik. Lantas Daffin pun mempersilakan Desi untuk naik. Dengan terpaksa Desi memakai helm dengan wajah yang masam, dia duduk di belakang Daffin.
Tiba-tiba tangan Desi melingkar di pinggang Daffin seraya berbisik. “Kenapa kau memilih anak pembantu?”
Daffin hanya diam. Dia sengaja mempercepat laju motornya di atas rata-rata sampai Desi terpekik ketakutan. Namun, Daffin tak peduli. Dia terus menjalankan motor menembus keremangan malam.
Tiba di tempat tujuan. Desi pun langsung memukuli punggung Daffin.
“Kau mau kita mati?!” bentak Desi.
Daffin menyeringai iblis dan dia menengadahkan tangan. “Bayarannya mana?” jawabannya.
“Daffin!” bentak Arwana yang datang tergopoh-gopoh dengan tatapan menajam.
Lelaki berhidung bangir itu berdiri tegak sambil melempar senyum ke arah Arwana yang berpakaian jas hitam.
“Kenapa kamu bersama istriku?” tanya Arwana. Kini mereka berhadapan.
“Sayang, lupa. Kalau dia itu tukang ojek,” balas Desi sambil menggelayut manja di lengan Arwana.
Mencerna ucapan Desi. Arwana menghela napas lega dan dia pun langsung merogoh dompet. Lantas memberikan uang kepada Daffin dengan cara dilempar di depan muka Daffin.
Hal ini menjadi tontonan teman-teman Arwana dan Desi. Mereka menertawakan Daffin yang memakai jaket berwarna hijau.
Namun, Daffin hanya tersenyum getir. Dia tak menerima uang itu. Langsung naik motor dan meninggalkan tempat di mana dia kembali dihina di depan umum oleh adiknya sendiri. Dengan melaju cepat, Daffin menahan amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.
“Apakah pekerjaan ini hina? Sehingga ditertawakan oleh mereka. Saya tak akan menyerah,” gumam Daffin.
Lantas dia menghentikan motornya di tepi jalan di bawah pohon besar nan tinggi menjulang. Daffin mengambil rokok dan dia hanya ingin melepaskan penat sementara.
Lelaki itu masih duduk di atas motor sambil merokok sambil menunggu penumpang. Tebersit bayangan masa lalu kembali membungbung menghiasi alam pikiran.
Kala itu. Kennedy langsung menampar Daffin. Usai mendengar penuturan Daffin.
Plak!!
“Apa? Kamu tak mau menjadi CEO. Padahal kamu tinggal melanjutkan hotel yang ada di Malaysia?” sentak Kennedy yang marah dan geram karena permintaannya ditolak mentah-mentah oleh Daffin.
Harusnya Daffin menjadi orang sukses setelah selesai kuliah di Amerika. Namun, ternyata Daffin memilih menjadi penjual mie ayam saja membuka toko dan modalnya dari Risma. Ditawari sebagai CEO di hotel. Daffin tak mau.
Maka hal ini yang membuat Kennedy marah besar. Ditambah lagi Daffin pun menuturkan niat baiknya yang ingin menikah.
“Ayah, saya mau menikah dengan Shakira. Saya sudah berjanji akan menikahinya,” urai Daffin menatap sang ayah dengan sebuah harapan besar mendapatkan restu.
“Shakira! Dia itu anak pembantu kita. Memangnya tak ada wanita lain yang pantas untukmu. Jangan menikah dengannya!” Kennedy melarang Daffin sambil berkacak pinggang.
Daffin tersenyum simpul. “Maaf, saya harus menikah dengannya.”
“Dasar anak pembangkang. Tak mau diberi hati, mintanya empedu. Diberi jabatan posisi yang enak. Malah mau nikah, Daffin anak tak berguna!!”
Lantas Daffin beranjak pergi meninggalkan ruang kerja Kennedy. Celotehan suara Kennedy masih terdengar jelas oleh Daffin. Dia pun berpapasan dengan Risma.
“Ada apa ini?” tanya Risma menghalangi jalan Daffin.
“Bu, biarkan saya menentukan jalan saya sendiri dan pasangan hidup juga,” sahut Daffin sembari menampilkan barisan gigi putihnya.
Derit pintu terbuka. Daffin menoleh ke arah Kennedy yang berdiri di ambang pintu ruang kerja.
Nampak wajah Kennedy kesal dan sorot matanya tajam kepada Daffin.
“Kamu terlalu memanjakan Daffin. Kenapa memberikan modal untuknya? Lalu kamu harus tahu kalau Daffin mau menikah dengan Shakira anak si Wina,” ucap Kennedy sambil melipat kedua tangannya.
“Shakira anak yang baik. Dia pantas untuk Daffin,” balas Risma.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara bariton yang membuyarkan lamunan Daffin. Dia lekas kembali ke dunia nyata di mana saat ini sedang menunggu penumpang.
Nampak sosok lelaki paruh baya membawa tas berdiri di depan Daffin.
“Saya mau minta tolong,” lirihnya dengan wajah yang tegang. Netra lelaki paruh baya itu berkeliling sekitarnya dan tampak ada sebuah ketakutan menyelimuti.
“Iya ada apa, Pak?” tanya Daffin lembut sembari tersenyum tipis.