Ketika sore tiba, Alesha mengayuh sepedanya menuju perkebunan lagi. Tidak ada tempat kesukaannya selain mengunjungi daerah kebun. Entah di waktu pagi atau sore hari. Selain memanjakan mata, di perkebunan juga sangat asri, sejuk, dan udaranya menenangkan.
Alesha menaruh sepedanya di bawah pohon besar, mengambil keranjang yang sudah dia persiapkan untuk membawa berbagai macam buah--niatnya ingin memetik beberapa jeruk, lengkeng, dan apel. Tadi pagi Alesha berhasil pulang membawa mawar dan buah strawberry, maka sore hari ini dia akan membawa buah-buahan berbeda. Tapi selain buah, Alesha juga ingin berkeliling sembari melihat para pekerja memetik teh.
"Halo, Bibi Maria. Aku datang lagi nih!" sapa Alesha begitu cerita pada Bibi Maria yang sedang berkeliling melihat perkembangan tumbuhnya buah lengkeng. Ternyata sangat subur dan lebat buahnya. "Wah banyak banget buah lengkengnya, kebetulan aku mau memetiknya untuk dibawa pulang."
Bibi Maria tersenyum hangat, dia mengusap puncak kepala Alesha. "Semangat sekali, Nak. Nggak bosan bermain di perkebunan terus sejak tadi pagi?" Alesha menggeleng tegas, senyumnya merekah sempurna. "Sini kita petik bersama buah lengkengnya. Kamu mau bawa pulang seberapa banyak, Nak?"
Mata Alesha mengerjap terang, dia senang melihat buah lengkeng yang begitu banyak sampai ada yang menjuntai hampir menjilat tanah. Paling besok sudah mulai panen lagi bersama buah strawberry yang masih belum selesai digarap hari ini. "Sedikit saja Bibi, jangan terlalu banyak, soalnya aku juga mau memetik buah jeruk sama apel." Alesha mengambil satu buah lengkengnya untuk dicicipi. Senyumnya semakin lebar dengan mata yang berbinar indah. "Enaknya, Bibi Maria. Segar, aku suka!" decaknya kagum dengan rasa yang diciptakan, manisnya pas.
Bibi Maria senang melihat antusias Alesha. Gadis yang begitu cerdas, kebanggaan keluarga Damiswary. "Tentu saja. Nak Alesha mau mencicipinya lagi? Biar Bibi cucikan dulu buahnya di sebelah sana."
Alesha menggeleng cepat. "Tidak, Bibi Maria. Ini sudah cukup kok, nanti aku lanjut makan di rumah saja. Aku mau cepat-cepat nih, mau ke kebun jeruk dulu. Apa Paman Chard ada di sana?"
"Tidak, Nak Alesha. Paman Chard sedang melihat sekitar kebun teh. Apa Nak Alesha juga akan ke sana setelah ini?"
"Iya, Bibi. Aku mau berlarian dan mengayuh sepeda di kebun teh. Sepertinya sangat seru, setelah itu baru aku kembali ke rumah Eyang sebelum gelap."
Bibi Maria mengusap gemas puncak kepala Alesha. "Tidak lelah, Nak? Kamu sangat aktif sedari kecil, senang berkeliling ke sana ke mari seperti tidak memiliki lelah." Mencubit pipi Alesha gemas, gadis itu sangat cantik sekali. Begitu terlihat perbedaan antara kulit Bibi Maria yang kecokelatan dengan kulit Alesha yang putih bersih seperti susuu. Alesha senang menggunakan dress dengan panjang di bawah lutut, kali ini sangat anggun dibalut dress putih polos. Semakin indah dengan bandana merah muda motif lolipop.
Alesha hanya terkikik geli. Jika kakinya masih bisa digunakan untuk berjalan, Alesha takkan tinggal diam di rumah saja. Dia senang dengan alam, apalagi berkeliling perkebunan yang indah seperti milik eyangnya ini. Alesha selalu betah berada di sini daripada di perkotaan, bising oleh pengguna jalan yang begitu memekakkan telinga. Untung saja Julian menyediakan taman kecil untuk Alesha berkreasi di kediamannya, banyak kolam ikan juga--untuk membunuh rasa bosan sehabis lelah seharian di sekolah. Anak itu memang senang melakukan banyak hal, dia cerdas sekali.
"Ya sudah kalau begitu Bibi Maria, aku mau ke kebun jeruk. Aku mau memetik sekitar empat sampai lima jeruk. Pengen aku jadikan jus dan masker wajah sebelum tidur nanti." Bersiap dengan keranjangnya yang sudah terisi buah lengkeng. "Sampai jumpa besok pagi Bibi Maria, sehat selalu ya. Jangan terlalu lelah bekerja, beristirahatlah dengan cukup." Melambaikan tangannya ceria kepada Bibi Maria.
"Kamu hati-hati, Nak. Nanti ketika pulang jangan laju-laju mengayuh sepedanya, nanti jatuh."
"Siap, Bibi Maria!" sahut Alesha yang sudah melangkah menuju kebun jeruk. Kaki jenjangnya melangkah riang sambil bersenandung merdu. Burung-burung berkicauan menambah alunan, semakin indah dengan langit yang masih begitu cerah di sore ini.
"Selamat sore Neng Alesha ...," sapa beberapa orang pekerja yang sedang mewadahi jeruk ke dalam keranjang. "Mau mengambil jeruk?" tanya seorang wanita kira-kira seusia dengan Bibi Maria.
"Selamat sore, Bibi-Bibi. Semangat kerjanya ya. Iya nih, aku lagi mau ngambil jeruk, boleh minta sedikit Bibi?" tanyanya sangat sopan. Selain cantik, sikap Alesha patut diacungi jempol. Dia adalah kebanggaan semua orang, begitu disayangi dan dicintai oleh orang sekitar.
Salah seorang wanita bernama Bibi Nadia, dia menyerahkan beberapa biji buah jeruk kepada Alesha. "Mau berapa Neng Alesha? Apa penuhi keranjang ini, Nak?"
"Hem ... cukup lima saja Bibi Nad, nanti setelah ini aku juga mau ke kebun apel. Takut kepenuhan nanti berat di bawa pulang, soalnya aku menaiki sepeda, takut jatuh juga."
Bibi Nadia mengangguk mengerti, mengisi lima buah jeruk ke dalam keranjang Alesha. "Oke, makasih ya Bibi Nad. Aku mau ke sebelah sana lagi, setelah dari kebun apel aku mau keliling perkebunan teh sekalian menemui Paman Chard."
"Hati-hati ya Neng Alesha."
Alesha mengacungkan jempolnya, melambaikan tangan riang. Semua pekerja perkebunan Eyang Dayatri begitu mengenal Alesha, sejak kecil gadis itu sudah dikenal sebagai ratu perkebunan. Dia senang berkeliling di sana, walau hanya sekedar melihat-lihat para pekerja saat panen.
"Paman Chard!" panggil Alesha sembari melambaikan tangannya. Dia menuntun sepedanya, keranjang buah tadi berada di bagian depan sepeda. "Aku pikir Paman ada di perkebunan teh, kata Bibi Maria tadi begitu."
Paman Chard mengusap puncak kepala Alesha gemas. "Sejak tadi Paman berada di sana, sekarang Paman ingin menghampiri Papa kamu untuk membicarakan tentang lahan yang baru. Kamu sendiri, ngapain ke perkebunan lagi? Ya Tuhan, tidak ada capeknya kamu ya, Nak. Selalu tidak bisa diam, ke sana ke mari dengan ceria begini. Awas nanti kelelahan, bisa deman."
Alesha tertawa. "Iya nih, Paman. Aku bosan di rumah, mending aku berkeliling kebun. Kalau Paman ingin menemui Papa, silakan. Papa sedang mengobrol di halaman belakang bersama Eyang, entah membicarakan soal apa, aku tidak mengerti Paman," katanya dengan sangat polos. Mata itu mengerjap beberapa kali, semakin indah dengan bulu matanya yang begitu lentik.
"Kamu mau ke mana, Nak?"
"Kebun apel, setelah itu berkeliling kebun teh sebentar."
"Jangan pulang terlalu gelap, nanti Eyang mencari kamu."
"Oke siap, Paman Chard. Aku akan kembali sebelum gelap." Setelah Paman Chard berlalu menuju kediaman utama Damiswary, Alesha melanjutkan perjalanan menuju kebun apel. Dia hanya sebentar di sana, setelah mengambil sekitar empat biji apel, langsung berlalu menuju kebun teh.
Kali ini Alesha tidak jalan kaki, dia mengayuh sepedanya sembari menyapa orang-orang. "Selamat sore, Bibi, Paman. Semangat kerjanya ya, aku numpang lewat." Mengangguk-anggukkan kepalanya ketika menyapa, senyuman itu tak berhenti merekah bahagia, menunjukkan lesung pipi yang begitu manis.
Asik berkeliling di antara tanaman hijau itu, Alesha tidak sengaja hampir menabrak seseorang, untung saja lebih cepat mengacak rem sepedanya. "Oh astaga, hampir saja jantungku copot," gumamnya sambil menghela napas dan mengusap dadaa. "Hei, Paman ... ngapain ada di sana? Hampir saja aku tabrak." tanyanya to the point.
Pria yang sedari tadi mengisi waktu sorenya dengan berkeliling nampak menaikkan sebelah alisnya. Ternyata mereka memang berjodoh, kebetulan sekali dipertemukan di sini.
Tidak langsung menjawab pertanyaan Alesha, Devano lebih memilih mengamati bingkai wajah indah dari gadis di hadapannya itu. Masih terlalu kecil untuk dia permainkan, sungguh malang. Tapi Devano bukan malaikat yang akan berbaik hati setelah menatap wajah teduh Alesha, balas dendamnya tetap akan berjalan mulus seperti rencana awal. Kembali teringat kejadian terakhir kali dia mengantar istrinya ke pemakaman, dia adalah orang paling terpuruk dan menderita.
"Hei, Paman! Kenapa tidak menjawab, kamu sedang melamun?" Alesha kini sudah berada di hadapan Devano, melambaikan tangannya di depan wajah pria itu ceria. Pembawaan gadis itu selalu positif, sama sekali tidak ada dalam benaknya sesuatu yang buruk mengenai Devano--meski pembawaan diri pria itu terkesan dingin dan kaku.
Devano tersadar, hampir terlonjak ketika melihat jarak mereka sudah begitu dekat. "Ya Tuhan, anak kecil ini!" gerutu Devano sedikit jengkel. Lalu kembali memasang tubuh berwibawa, berdehem beberapa saat. "Tolong sedikit jaga jarak dari saya. Sampai kaget saya liat kamu tiba-tiba muncul di depan mata saya!" ujarnya jujur, ringan sekali lidahnya berucap demikian.
Tidak marah, Alesha malah tertawa kecil sembari mengiyakan permintaan Devano. Dia mundur hingga beberapa langkahan. Kembali mengulas senyum, melambaikan tangannya riang. "Halo, Paman. Apa sudah berada dalam dunia nyata? Kenapa Paman tiba-tiba melamun?"
"Eh, Paman? Jangan panggil saya Paman, kamu pikir saya Paman kamu?"
Alesha berpikir sejenak, lalu mengangkat kedua bahu. "Tidak, aku tidak kenal Paman. Hanya saja usia yang aku lihat dari penampilan dan perawakan wajah, kamu pantas dipanggil Paman daripada Kakak bukan?" Sambil berpikir lagi, tidak berhenti menelisik setiap celah wajah Devano. Tampan sih, tapi garis wajah pria matangnya begitu terlihat.
Devano kembali mendesis. "Tidak begitu juga, saya belum terlalu tua. Tapi ya sudahlah, terserah kamu mau memanggil saya dengan sebutan apa, saya tidak peduli. Ngapain kamu di sini, berani-beraninya hampir menabrak saya."
Alesha geleng-geleng kepala mendengarkan kalimat Devano. "Paman terdengar begitu sadis. Paman bukan penjahat kan?" Mata gadis itu memicing tajam, penuh intimidasi. "Ini perkebunan Eyang, ngapain Paman ada di sini?"
Devano memperlihatkan setelan pakaiannya. Rapi meski tidak mengenakan jas mahal. Apa Devano terlihat seperti penyusup? Ya meski dia tidak bisa dibilang orang baik, setidaknya wajah Devano tak terlihat dengan sifat aslinya bak seorang ibliss. "Lihat saya baik-baik, apa terlihat sebagai seorang penjahat?" Menaikkan alis lagi, tatapannya tajam menghunus pada Alesha.
Gadis itu bergidik ngeri, mengibaskan tangan di depan wajahnya sendiri. "Husshh! Tatapan Paman tajam seperti belati, aneh tapi saya tertarik menatapnya lebih jauh." Menaikkan bahu, tidak terlalu ambil pusing. "Ya sudah kalau tidak ada apa-apa, aku ingin lanjut berkeliling. Maaf untuk kejadian beberapa saat lalu, aku sibuk memerhatikan kebun teh, tidak melihat Paman berdiri di sana. Jangan marah, aku kan tidak sengaja."
Devano mengangkat tangannya, menghentikan Alesha ingin berlalu darinya. "Tunggu sebentar. Berapa usiamu?"
Alesha mengernyit bingung. "Untuk apa Paman tanya usiaku? Yang pasti kita tidak seumuran, sebab itu aku panggil kamu Paman."
"Jawab saja, apa susahnya?" Devano merasa ucapan Alesha seperti mengejek dirinya yang sudah terlalu tua. Bisa-bisanya gadis kecil itu!
"Lah, kok maksa?!" Alesha mengerucutkan bibirnya. "Paman ini aneh. Sok misterius, aku bingung jadinya. Apa Paman asli orang sini? Aku tidak pernah melihat Paman sebelumnya, bahkan hampir seluruh penduduk di sini aku mengenal semuanya."
Devano memijat pelipis. Dia tanya apa, Alesha malah balik bertanya dengan mencecar dirinya seperti ini. "Saya hanya berlibur. Jawab, berapa usiamu?"
"Kira-kira menurut Paman usiaku berapa?" Alesha tersenyum manis, dia menaik turunkan alisnya mengajak Devano bercanda sebentar. "Paman jangan terlalu serius, aku hanya bercanda."
"Ya Tuhan, bocah ini!"
"Usiaku lima belas tahun." Setelah itu bersiap akan berlalu. "Aku ingin berkeliling lagi, sebentar lagi waktunya pulang. Salam kenal ya, Paman misterius."
Devano tidak mencegahnya, hanya memerhatikan gadis itu kembali melajukan sepeda menjauh dari posisi Devano berada. "Siapa namanya? Aliza? Oh tidak, kalau tidak salah namanya Alesha?" Devano menerka-nerka seingat dia. "Ah, saya tidak peduli!" ujarnya kembali menyadarkan diri jika memikirkan gadis itu bukan ranahnya. Usianya lima belas tahun, masih terlalu kecil.
Dari kejauhan, Devano menggunakan alat canggihnya untuk melihat daerah sekitar. Usaha perkebunan Damiswary bukan main, begitu luar sekali lahannya. Bahkan Devano yakin harga keluarga mereka takkan habis hingga tujuh turunan. Lihat kan, Alesha adalah penerus selanjutnya. Gadis itu terlihat begitu cerdas seperti pendahulunya.
"Kamu awasi gadis bergaun putih yang menaiki sepeda. Dia putri dari mangsa kita!"
"Baik, Tuan!" sahut seseorang dari seberang sana. Begitu tegas, mereka adalah seseorang yang bekerja untuk keamanan Devano. Dipanggil dari tempat khusus pelatihan para bodyguard profesional, bekerja dengan sangat cerdik dan mematikan.
Mungkin benar saja hari ini mereka bisa bersenang-senang. Tertawa ceria penuh kebahagiaan, tapi tidak dengan hari-hari berikutnya. Tangis kesedihan akan menjadi warna baru, menciptakan keadaan tragis yang begitu menakjubkan adalah misi nyata seorang Devano Axelleyc.
Air mata akan dibalas air mata, kematian akan dibalas kematian. Tidak ada yang boleh merasakan kekal bahagia di atas penderitaan orang lain, balas dendam adalah solusi akhir menuju kejayaan.
Jika Devano berhasil untuk hal satu ini, dia akan merasa menang. Dia tahu dan sangat sadar jika ini bukan pilihan terbaik, tapi memuaskan hati adalah tujuan utama. Devano tidak akan tenang, kematian dan kesengsaraan harus segera dia dapatkan dari keluarga Damiswary.
Itu janji, harus segera ditepati.
Sebelum Devano berada di titik sekarang, dia sudah bersumpah untuk itu. Kerja kerasnya berbuah manis, kedudukan sudah dia miliki sederajat dengan keluarga Damiswary. Tidak ada yang tidak mungkin bukan?
Devano Axelleyc kembali, dengan sosok yang mematikan.
****
Cerita ini akan update setiap hari yak! Untuk jam update, nanti aku kasih tau lagi. Pantengin terus sss aku yak. Yang belum berteman, silakan add aku--Noviyadep nyp. Segala informasi aku share di sana mengenai semua karya yang aku tulis.