Bab 1 - Adegan Dewasa
Orang bilang, hidup Moza Karenina sangatlah sempurna. Di usianya yang ke-29 tahun, Moza bukan hanya cantik alami tanpa operasi, memiliki tubuh proporsional, kaya dan terkenal.
Hal yang paling utama adalah Moza bisa menggapai sesuatu yang hampir menjadi impian banyak wanita di negeri ini yaitu menjadi istri dari Joe Ernando, aktor papan atas yang tampan dan menjadi idola kaum hawa. Dari kalangan gadis hingga emak-emak, banyak yang tergila-gila pada Joe.
Moza dan Joe menikah dua tahun yang lalu. Sampai saat ini hubungan mereka langgeng. Sungguh, mereka nyaris tidak pernah diterpa gosip miring apa pun.
Namun, saat orang-orang berpikir hidup Moza sangatlah sempurna, tapi belakangan ini Moza sendiri malah merasa sebaliknya. Huh, sempurna apanya?
“Aku pasti kena sial," ucap Moza pada Sely, manajernya.
"Cuma mau mengingatkan nih Moz, hidup yang lagi kamu jalani sekarang adalah yang didamba-dambakan para wanita, menjadi istri dari Joe Ernando."
“Kamu pasti ngerti aku punya alasan kenapa bilang lagi kena sial. Ini terlepas dari aku adalah istri Joe.”
“Baiklah, aku tahu sekarang. Ini soal karier kamu, kan?” tanya Sely.
Moza mengembuskan napas frustrasi. “Kayaknya sekarang aku mulai paham, alasan beberapa artis nggak nikah-nikah padahal udah cukup umur," ucapnya kemudian.
Moza melanjutkan, "Memang benar karena belum ketemu jodohnya, tapi aku rasa ada alasan lain yang perlu dipertimbangkan yaitu masa depan karier. Seperti yang aku alami setelah menikah … karierku yang semula bersinar malah semakin meredup.”
"Itu kamu, padahal banyak artis lain yang kariernya tetap mulus, kok, walaupun udah nikah. Malah namanya semakin melejit, contohnya suami kamu yang semakin naik daun. Cuma memang harus aku akui ... yang terjadi sama kamu justru kemerosotan, Moz. Pada tahun pertama job masih lancar-lancar aja, tapi semenjak tahun kedua kamu nikah ... namamu semakin tenggelam. Job semakin sedikit. Tawaran main film pun boro-boro. Kamu sampai punya waktu buat tidur siang setiap hari, kan? Kalau dulu hampir nggak ada waktu."
Sely melanjutkan, "Ditambah lagi banyak aktris yang usianya masih muda-muda...."
"Tunggu, kamu secara nggak langsung bilang aku tua?!" kesal Moza. "Aku baru 29 tahun! Wajahku bahkan masih cocok dapat peran menjadi mahasiswi!"
"Itu artinya sebentar lagi tiga puluh," kata Sely. "Dan jangan lupa, penulis dan sutradara terkadang lebih suka yang usianya di bawah kamu."
"Harusnya kamu promosikan aku yang benar dong, Sel."
"Jangankan aku, agensi pun nggak bisa berbuat apa-apa. Faktanya masa jayamu udah lewat."
"Apa-apaan? Masa jayaku masih panjang. Kecuali kalau aku udah kepala empat, aku pasrah deh. Ini aku tiga puluh pun belum. Jadi, aku bakal mengembalikan masa jayaku lagi."
"Mau bikin sensasi? Pura-pura bertengkar sama Joe karena adanya orang ketiga terus prank mau cerai? Pasti rame."
"Sialan!"
Sely tertawa. "Iya, iya tahu. Sejak kapan Moza Karenina pakai jalur sensasi? No way! Seorang Moza itu udah berkarier di dunia entertainment sejak masih SMA. Citranya pun bagus. Mana mungkin merusak citra se-bagus itu hanya demi namanya naik lagi?"
"Nah itu tahu. Lagian nggak baik bercanda pakai cerai, cerai, cerai. Takutnya kejadian beneran."
"Kamu nggak menyesal nikah sama Joe sekalipun karier kamu nggak se-bagus pas masih lajang?" tanya Sely.
"Enggaklah! Mana mungkin aku menyesal?"
“Lagian ini yang bikin aku heran, sih. Kenapa karier Joe semakin bersinar sedangkan karier kamu malah meredup?”
“Aku juga bingung, tapi yang pasti aku sedikit pun nggak menyesal nikah.”
"Berarti kamu masih cinta sama suami kamu? Maksudku, cintanya masih sama, kan, dengan awal kalian menikah?"
"Hah? Pertanyaan macam apa itu? Aku selalu cinta sama Joe. Perasaanku pun nggak ada yang berubah."
“Bercanda,” kata Sely sambil terkekeh. “Intinya cinta, ya. Baiklah kalau cinta, satu pertanyaan lagi ... kapan terakhir kalian ena-ena?"
"Sel, bukankah itu pertanyaan lancang?"
Sely tertawa. "Sori. Aku cuma penasaran. Takutnya kamu harmonis di luarnya aja, ternyata aslinya pisah ranjang."
"Aku dan Joe beneran harmonis luar dalam, tenang aja. Untuk seratus tahun ke depan ... nggak bakalan ada berita keretakan rumah tangga kami apalagi perceraian."
"Baiklah, aku percaya seribu tahun pun kalian tetap cinta sejati dan harmonis," kata Sely.
Sely berbicara lagi, "Hmm, Moz ... jangan-jangan sekarang waktunya kalian punya anak? Makanya job kamu dibikin sedikit supaya ada kesempatan buat fokus promil. Biar Joe aja yang fokus mencari nafkah."
"Anak? Di tahun kedua pernikahanku sama Joe, jujur aja aku masih belum kepikiran."
"Pertanyaan terakhir, kalau tahu kariermu bakal begini ... apakah kamu tetap bakal nikah sama Joe, seandainya bisa mengulang waktu?"
"Ya iyalah. Kami saling mencintai."
“Oke cukup. Aku sudahi wawancara dadakannya,” kata Sely, yang membuat Moza mengernyit.
“Maksud kamu gimana? Wawancara?”
Aku sengaja wawancara kamu, tapi tenang itu nggak bakalan di-publish. Aku juga nggak merekam apa pun. Ini murni wawancara pribadi. Wawancara yang berhubungan sama kabar yang aku bawa. Kamu pasti heran, kan, aku ke apartemen kamu siang-siang begini?”
“Kabar? Kamu bawa kabar apa?” Moza masih bingung.
“Kabar baik sama kabar buruk.”
“Bisa nggak, sih, datang bawa kabar baik aja? Enggak usah sama kabar buruk segala!”
“Aku pun maunya gitu, Moz. Tapi gimana kalau aku memang harus mengatakan yang buruk juga?”
“Oke, kabar apa? Katakan sekarang.” Moza sudah tidak sabar ingin mendengar detailnya.
“Kabar baiknya … ada tawaran buat kamu. Akhirnya, setelah sekian lama.”
“Serius? Tawaran apa? Iklan? Soalnya kalau endorsement minggu lalu juga ada,” kata Moza. “Cuma awas ya, jangan pernah terima skincare abal-abal,” lanjutnya mengingatkan.
“Sttt, ini tawaran film.”
“Demi apa?” Moza terkejut karena memang sudah lama ia tidak mendengar tawaran semacam itu.
“Aku serius, Moza. Tawaran film romantis. Penulis Jofa. Gila, kan? Sekalinya ada tawaran langsung ngajakin karier kamu melesat naik.”
“Pe-penulis Jofa?” tanya Moza memastikan.
Ini seperti mimpi. Bukannya apa-apa, film dari penulis Jofa pasti populer dan berhasil menaikkan nama para pemainnya. Baik pemeran utama maupun pemeran pendukung pasti ikutan tenar. Ini sudah pasti tawaran yang mustahil Moza tolak!
“Pemeran utama, kan?”
“Ya iyalah. Mana mungkin Moza Karenina nggak jadi pemeran utama?”
“PH mana? Terus siapa pemeran cowok yang bakal jadi lawan main aku?”
“Inilah yang aku maksud kabar buruknya, Moz.”
“Hah? Gimana, gimana?”
“Pemeran utama cowoknya alias lawan main kamu adalah orang yang nggak terduga.”
“Memangnya siapa? Sebutin aja langsung, please.” Bisa-bisa Moza mati penasaran.
“Andra Dirgantara. Kakak ipar kamu.”
Astaga….
Selama beberapa saat Moza terdiam, mencoba mencerna semua ini. Ternyata sungguh kabar buruk. Kenapa harus Andra dari sekian banyak aktor di negeri ini?
“Memang apa salahnya kalau lawan mainku Mas Andra? Kami profesional,” ucap Moza yang bertentangan dengan isi hatinya. Sungguh, ia juga sebenarnya tidak mau beradu akting dengan Andra. Namun, betapa tidak masuk akal jika Moza menolak tawaran berharga ini. Bisakah ganti pemeran utama prianya saja?
“Kamu bertanya apa masalahnya? Moz, masalahnya adalah … kamu nggak apa-apa beradegan dewasa sama kakak ipar kamu itu?”
“Me-memangnya ada adegan dewasa?”
“Ya. Adegan ciuman bahkan adegan ranjang. Kamu siap?”
Belum sempat Moza menjawab, Sely sudah berbicara lagi, “Nah Moz, panjang umur nih.”
“Panjang umur apa?”
“Orangnya nelepon.”
“Mas Andra?”
“Ya, kakak ipar kamu nelepon. Sebentar aku angkat dulu….”
Selama beberapa saat Sely berbicara dengan Andra di ujung telepon sana. Seteleh selesai, Sely kembali menghampiri Moza.
“Gimana?” tanya Moza penasaran.
“Kakak ipar kamu barusan nanya, kamu ambil nggak perannya?” kata Sely. “Jadi kamu ambil, kan, Moz?”
Moza masih terdiam.
“Kalau kamu mau, Andra ngajak ketemu. Sore ini juga.”
Tunggu, tunggu! Harus beradegan dewasa? Dengan kakak ipar? Yang adalah mantanku dulu? Terus sore ini dia ngajakin aku ketemu?
Oh tidak! Ini gila!