Part 3 - Masa Kecil Arthur

1002 Words
Arthur dan keluarganya kini tinggal di Kota Springfield. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi murid di SMP Springfield. Anak itu melajukan sepedanya menuju sekolah dengan perasaan khawatir karena hari pertama sekolah. Dia selalu ingat dengan pembicaraan Simon jika menjadi siswa baru dan bertemu dengan kakak kelas merupakan pengalaman yang selalu tak mengenakkan menurut anak itu. Dia mengayuh sepeda kesayangannya ke sekolah. Hal yang paling menyenangkan saat mengayuh sepeda di pagi hari adalah udara sejuknya. Anak itu menemukan seekor rubah yang tergeletak di tepi jalan. Hal itu membuatnya menepi untuk menolong rubah itu. "Hai, rubah kecil! Aku akan menolongmu," ucap Arthur. Awalnya, rubah itu memasang wajah garang dan siaga akan ancaman. Namun, saat Arthur menyentuhnya, rubah itu terdiam. Kaki kanan rubah itu patah karena tertabrak kendaraan yang melaju begitu saja mengira kalau hewan itu telah mati. Keajaiban terjadi kala Arthur menyentuhnya. Rubah itu bisa berjalan kembali. Hewan itu lantas menundukkan kepalanya ke arah anak laki-laki itu seolah hewan itu mengucapkan terima kasih. "Berhati-hatilah, dan hindari daerah para manusia!" seru Arthur seraya melambaikan tangan saat rubah itu berlari masuk ke dalam hutan. Arthur lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke sekolah. Dia tiba di sekolah dan memarkirkan sepedanya di parkir sepeda sekolah. Anak itu berkumpul di lapangan sekolah untuk bertemu dengan teman-teman baru seangkatan dan para senior yang merasa sok hebat dengan status kakak kelas yang mereka sandang. "Kamu si rambut aneh, lekas kemari!" seorang kakak senior laki-laki dengan rambut keriting berkulit gelap menunjuk ke arah Arthur, anak itu lantas mendekat. "Kenapa kau tak memakai tas berwarna hitam seperti yang diperintahkan?" tanyanya. Arthur hanya terdiam mengangkat kedua bahunya tak mau menjawab. "Berani sekali kau tak mau menjawab pertanyaan ku!" Kakak senior itu membentak Arthur. Seseorang senior perempuan yang mengunyah permen karet lalu mengeluarkan permen karetnya dan menempelkan benda itu ke bagian b****g Arthur. "Hei, apa yang kau–" Suara Arthur tertahan dengan tatapan tajam dan jari kakak senior yang menunjuk ke wajahnya. "Kalau kau sedari tadi ingin diam, maka diamlah atau aku akan memberimu hukuman yang lebih dari ini," ucap gadis itu seraya berbisik dan menjambak rambut Arthur. Jika tak ingat pesan nenek dan kakek, ingin rasanya ia melempar kakak seniornya itu ke udara atau menenggelamkannya di sungai penuh piranha. Sayangnya, mereka melarangnya mengeluarkan kekuatan sihir dan menggunakannya kepada manusia biasa. Saat jam istirahat terdengar, Arthur bergegas menuju toilet sekolah. "Huh, apa - apaan ini, masih ada saja sekolah yang mengadakan pengenalan pada anak baru dengan cara seperti ini, ini adalah penindasan," gerutu Arthur di cermin toilet sekolahnya. Ia membersihkan celana seragam warna hijau yang ia kenakan itu dari permen karet yang lengket. "Kau masih beruntung hanya seperti itu, lihat aku, mereka menggunting rambutku sembarangan," sahut anak laki-laki berambut ikal warna coklat dari dalam bilik toilet ketiga menghampiri Arthur di depan cermin. "Tega sekali mereka melakukan itu padamu," ucap Arthur melihat sekilas lalu membersihkan kembali permen karet yang menempel di celananya. "Yah, apa daya kita para junior. Jika kita berani membangkang saja pasti ditandai di sekolah ini," ucapnya "Apa para guru dan pemilik sekolah mendukung kegiatan ini?" tanya Arthur. "Tentu saja, kan kebanyakan para senior adalah donatur sekolah ini. Hampirsebagian besar dari para murid senior itu adalah anak orang terpandang di kota ini," ucapnya, tangannya masih sibuk merapikan rambut ikalnya yang terpangkas berantakan bahkan hampir botak di bagian samping. “Hai, namaku Dean," anak itu mengulurkan tangannya. "Hai, aku Arthur," ucap Arthur menjabat tangan anak itu tanpa memandang wajahnya. "Di bagian itu masih ada, mau aku bantu?" Dean menunjuk bekas permen karet di celana Arthur. Belum juga Arthur menjawab, Dean sudah maju membantu membersihkan. Bel sekolah berbunyi menandakan jam istirahat telah berakhir. "Kelas pembantaian akan segera di mulai, kuatkan kami Yaa Tuhan," ucap Dean. Arthur hanya tersenyum lalu mengikutinya, ia menguatkan batinnya agar mengikuti anjuran kakek dan nenek agar tak menggunakan kekuatan sihir semaunya. * Di aula para senior memulai menghakimi para juniornya. "Kau yang di belakang sana, lekas kemari!" seru seorang senior menunjuk ke arah Arthur. "Arthur, kau dipanggil tuh sama Kak Mia," ucap Dean, tetapi tak ada jawaban dari anak lelaki di sampingnya itu. "Arthur! Kau melamun, ya?" Dean sampai memukul bahu Arthur pelan untuk menyadarkannya dari lamunan. "A-apa, apa yang kau katakan barusan?" tanya Arthur. "Hei, anak baru kau tuli, ya?" sahut kakak senior laki-laki di samping Mia. "Aku?" Arthur menunjuk dirinya sendiri. "Iya, kau kemari!" seru Mia. Mia lantas menyentuh rambut perak milik Arthur yang terasa halus dia rasakan. Arthur sempat menepisnya. "Ini asli ya, bukan diwarnai?” “Iya, rambutku asli,” jawab Arthur. “Siapa namamu?" tanya Mia dengan senyuman manis terpampang di wajahnya. "Namaku Arthur.” "Di mana rumahmu?" tanya Mia lagi. "Apa aku harus menjawabnya?" tanya Arthur. "Tentu saja semua pertanyaan senior harus kau jawab," ujarnya. "Fifth street nomor lima," jawab Arthur dengan segera. "Wah, kita berada di jalan yang sama rupanya, rumahku nomor sepuluh," sahut Mia dengan mata berbinar. "Ehm ehm, Mia mau kau apakan anak ini?" tanya rekan Mia yang bernama Diana. "Tenanglah Diana, aku hanya memberinya pengarahan.” Mia lalu menoleh ke arah Arthur, “sebaiknya kau kembali ke tempatmu!" ucap Mia pada Arthur. Tanpa sepatah kata pun Arthur langsung kembali ke barisannya. Di sekitarnya banyak anak yang diberi hukuman push up, lari mengelilingi lapangan, joget sambil bernyanyi dengan berteriak, bahkan berguling di lantai lalu berjalan jongkok. "Ini sekolah apa pelatihan militer sih?" gumam Arthur mendengus kesal. BRUG! Anak laki-laki di hadapan Arthur yang diberi hukuman squatjam tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri. "Dasar payah, dasar lemah!" seru kakak senior bernama Bobby. Ia menyentuh tubuh anak yang tak sadarkan diri tadi dengan ujung sepatunya. "Andy, kau bawa dia ke ruang UKS !" seru Bobby. Bukannya memapah anak laki-laki yang pingsan tadi tapi Andy malah menarik kedua tangan dan menyeret anak itu. "Uhg! Dia berat juga rupanya. Dani bantu aku menariknya!" Seorang anak laki-laki yang bernama Dani membantu Andy menyeret anak laki-laki yang pingsan itu menuju ruang Unit Kesehatan Sekolah. Gemas sekali rasanya, ingin Arthur melempar para senior itu ke langit-langit lalu menjatuhkan mereka semua membentur lantai. Akan tetapi, ia hanya bisa mengepal tangannya dengan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD