Ellie
"Baiklah, Ayah. Beri tahu aku tentang sayembara ini," kata Ellie sambil berjalan memasuki kantor yang dipakai bersama dengan ayahnya. Ayahnya sedang duduk di balik mejanya, selembar kertas besar yang dicoreti gambar-gambar terbentang di depannya. Ellie tahu ayahnya lebih suka menuangkan pikiran dengan gambar, daripada tulisan, jadi Ellie berpikir ini pasti gambaran umum untuk sayembara itu.
Wajah Michael berbinar mendengar perkataan Ellie itu. "Benarkah?" tanyanya. "Kau benar-benar ingin mendengarnya?"
"Jangan buat aku meragukannya, Ayah," kata Ellie sambil memberikan tatapan tajam yang selalu dikatakan ayahnya mirip dengan tatapan ibunya, Lilly.
"Tidak, tidak, tentu saja tidak," katanya tergagap ketika Ellie mendekat dan berdiri di sampingnya sembari menunduk agar dia bisa melihat rencana yang sudah disusunnya itu. "Rencananya sangat sederhana. Nanti akan ada tiga perlombaan selama sepekan. Kita akan mengadakan makan malam yang menyenangkan, mungkin satu atau dua pesta dansa--"
"Ayah, aku sudah bilang tidak mau ada pesta dansa," ujar Ellie padanya.
"Bukan pesta dansa. Sekadar kumpul-kumpul. Tidak ada perayaan Dewi Bulan atau semacamnya. Hanya penampilan musik langsung, minum-minum, berdansa, hal semacam itu." Dia menatap Ellie, mata gelapnya melebar dengan riang. Ellie memiringkan kepalanya. "Supaya kau bisa lebih mengenal para pria itu," jelasnya.
"Apa bedanya jika aku lebih mengenal mereka?" tukas Ellie. "Jika aku ditetapkan akan menikahi pemenangnya, tidak ada gunanya bagiku mengetahui minat dan hobi pria itu, bukan?"
"Walaupun Ayah mengerti maksudmu, tidak ada salahnya jika kau sedikit lebih mengenal mereka semua. Terutama karena tujuan kedua kita adalah untuk membentuk persekutuan yang kuat dengan semua kawanan yang ikut berpartisipasi, bukan hanya pemenangnya."
Ellie tidak yakin berpikiran sama. Kebanyakan pria tak bisa menerima kekalahan. Dalam pengalamannya, dan sebagai mantan pelatih, dia sering menemui kejadian itu, kebanyakan pria tidak suka kalah. Dia terpikir ketiga teman mudanya, anak laki-laki yang sudah seperti saudara baginya, dan betapa mereka tak suka kalah dalam hal apa pun. Seth, Hans, dan Cane akan saling menjatuhkan kapan pun ada perdebatan mengenai siapa pemenang sebuah persaingan.
Namun, ayahnya ada benarnya. Jika dia bisa berteman dengan Alpha lainnya, mungkin itu akan memudahkan mereka yang tidak menang. Dia bisa saja menarik hati--bukan? "Baiklah, Ayah. Apa tiga perlombaan itu?" Dia sudah menebak-nebak berdasarkan sketsa ayahnya, namun untuk orang yang lebih suka menggambar daripada menulis, ayahnya tidak begitu pandai menggambar.
"Yang pertama perlombaan lempar kayu klasik," jelas Michael sambil menyeringai lebar. "Perlombaannya cukup sederhana. Masing-masing mereka akan diberi tiga kesempatan untuk mengambil kayu dan melemparkannya melintasi lahan terbuka. Orang yang melempar paling jauh, dialah pemenangnya."
Ellie harus meresapi penjelasan itu sejenak. Bayangan penebang hutan terlintas di pikirannya. "Baiklah," katanya perlahan. "Dan... apakah mereka dapat poin jika jatuh ke tempat lain, atau bagaimana cara penilaiannya?"
"Ayah belum begitu menetapkan aturannya, tapi ya, Ayah rasa begitu. Peringkat pertama akan mendapatkan sejumlah poin, katakanlah sepuluh, peringkat kedua delapan, dan seterusnya, sehingga siapa pun yang memiliki poin terbanyak di akhir sayembara akan berhak meminangmu."
Ellie menyadari detail semacam itu bisa diselesaikan nanti asalkan semua peserta tahu prosesnya akan seperti apa. "Baiklah. Sepertinya perlombaan kedua berpacu, benarkah?"
"Ya!" seru Michael. "Kita akan membuat rute di hutan, dan gampang saja, siapa pun yang lebih dahulu melewati garis finis mendapatkan poin terbanyak."
Seraya mengangguk, Ellie menunjuk ke gambar ketiga. "Lalu apa ini?"
"Perlombaan ketiga adalah pertarungan sederhana. Tapi Ayah rasa semua peserta harus saling melawan satu sama lain. Ayah harus mencari tahu bagaimana susunannya. "
"Dalam sosok manusia?" tanya Ellie.
"Tentu saja. Ayah rasa serigala tidak boleh dilibatkan dalam ketiga perlombaan ini. Pemenangnya adalah orang yang menunjukkan kemampuan rata-rata terbaik dalam ketiga aspek itu dengan sosok manusianya."
Ellie mengangguk. "Aku berharap Ayah bisa memasukkan komponen sepele atau semacam perlombaan keahlian," katanya, menyadari ayahnya memilih suaminya berdasarkan kekuatan besar, kecepatan, dan kemampuan bertarung. Semua hal itu penting sebagai seorang Alpha, tetapi di mata Ellie, ada komponen penting lainnya juga--seperti kecepatan berpikir, kecerdasan, dan kepeduliannya kepada kawanannya.
"Hei, kalau kau ingin menerima keputusan Dewi Bulan, kita bisa menjalankan cara kuno dan mengadakan pesta dansa," kata Michael sambil mengangkat tangan seolah dia menyerah.
"Tidak, tidak, ini tidak masalah." Ellie rela melakukan apa saja agar bisa menghindari skenario Pesta Dansa Dewi Bulan. "Baiklah, Ayah. Selenggarakanlah," katanya, berharap dia tidak terdengar terlalu kalah.
"Ya!" kata Michael sambil mengepalkan tinju. Dia melompat dan mencium kepala Ellie. "Gadis kecil Ayah akan menikah!"
"Jangan terlalu senang dahulu, Ayah. Prosesnya masih panjang sebelum tujuan itu tercapai." Dia menepuk bahu ayahnya dan kemudian berbalik untuk keluar mencari udara segar dan sahabatnya. Shelby harus mendengar kabar ini secepatnya. Jika ada yang bisa memastikan bahwa dia tidak gila mau melakukan ini, orang itu adalah sahabatnya.
Saat dia berjalan keluar pintu, ayahnya mulai menyenandungkan musik pengiring pengantin, dan Ellie tanpa sadar menggelengkan kepala lagi.
Shelby persis berada di tempat yang diduga Ellie, duduk di luar di dek belakang rumah yang dia huni bersama orang tuanya, menyeruput limun dan mengagumi pemandangan hutan. Shelby suka bersantai seperti ini di sore hari, terutama setelah hari yang sangat melelahkan di ruang olahraga. Ellie duduk di sampingnya, menatap pepohonan besar yang berdaun hijau cerah, dan menjelaskan seluruh skenario itu kepada sahabat mungilnya. Shelby mendengarkannya dengan sungguh-sungguh, hanya menyela untuk sesekali berseru, sampai Ellie selesai bercerita dan berkata, "Bagaimana menurutmu? Apa aku gila menyetujui rencana ini?"
"Tidak!" kata Shelby, kuncir rambut coklatnya berayun-ayun saat dia menggelengkan kepala. "Ini luar biasa! Aku turut berbahagia untukmu!" Dia mengulurkan tangan dan memegang tangan Ellie yang bertumpu pada lengan kursi Adirondack yang dia duduki. "Kau akhirnya akan menemukan Alpha-mu!"
"Kurasa begitu," kata Ellie, tidak yakin. "Aku hanya... aku tidak tahu. Bagaimana kalau dia pria b******k yang sombong? Kau tahu bagaimana sifat beberapa Alpha ini. "
"Bagaimana jika dia pria idaman berotot besar dan b****g yang luar biasa?" balas Shelby, membuat mereka berdua terkekeh-kekeh. "Aku hanya berharap dia membuatmu setengah bahagia seperti Carl terhadapkku."
Ellie berusaha untuk tidak membiarkan senyumnya memudar saat Shelby menyinggung tentang Carl kesayangannya. Meskipun dia ikut bahagia untuk Shelby dan Carl, Ellie berpikir dia tidak akan pernah menemukan "pasangan yang ditakdirkan" untuknya seperti Omega yang dikatakan Shelby yang telah membuatnya mabuk kepayang. "Siapa tahu, Ellie? Mungkin ini cara Dewi Bulan memastikan kau menemukan pasangan yang ditakdirkan untukmu!" seru Shelby setelah sepuluh menit membahas betapa menakjubkannya Carl.
"Entahlah," kata Ellie sambil mengangkat bahu. "Aku ikut senang untuk kalian. Sungguh. Tapi... kurasa aku tidak punya pasangan yang ditakdirkan, Shelby. Kurasa aku ditakdirkan untuk memimpin kawanan ini, dan itulah takdirku. Bukan cinta. Bukan... semua hal sentimental itu. "
Shelby mengerang dan menggelengkan kepalanya. "Kau salah, Ellie! Tunggu saja dan lihat nanti. Kau bisa memiliki segalanya. Kau bisa menjadi pemimpin kami dan memiliki kekasih hatimu. Aku yakin itu."
Ellie meraih tangan temannya dan meremasnya sambil tersenyum padanya, tetapi dia tidak betul-betul yakin. Bermimpi itu menyenangkan, tetapi menurut pengalaman Ellie, mimpi seperti itu tidak menjadi kenyataan. Dia selalu berlapang d**a menerima itu, mengutamakan kawanan dalam hidupnya. Tetapi karena kini dia melihat yang dimiliki Carl dan Shelby, dia mau tak mau bertanya-tanya—apakah ada sesuatu yang lebih?