"Pak, Lovi takut. Lovi tunggu di luar saja ya?" Entah mengapa perasaan Lovi begitu gelisah. Ia tak nyaman dengan suasana di tempat itu.
"Ini bukan seperti di desa, Vi. Di luar bahaya, kalau Kamu dirampok bagaimana? Apalagi ini sudah larut malam." Ucapan Hermanto membuat nyali Lovi menciut seketika.
"Ya sudah, jangan lama-lama ya, Pak."
"Iya, Kamu jangan ke mana-mana. Kamu tunggu di sini sebentar." Gadis itu terpaksa mengangguk. Hermanto lantas meninggalkan Lovi seorang diri menuju lantai atas.
Lovi mengedarkan pandangan, beberapa laki-laki pengunjung tempat itu yang duduk di meja bar memandang ke arahnya dengan tatapan menjijikkan. Ada juga yang mengedipkan mata padanya. Lovi bergidik ngeri dan ketakutan. Kedua jemarinya meremas tali tas tenteng berisi pakaian yang ia bawa. Perasaannya benar-benar tidak enak. Bertambah-tambah ketika Hermanto tak kunjung kembali.
Sementara itu di dalam ruang kerja pemilik klub malam.
"Bos, barang sudah saya bawa. Sekarang ada di bawah," ucap pria paruh baya itu seraya menghisap rokok di tangannya.
"Jimmy, Rully. Cek! Apa benar gadis itu yang di foto ini," perintah Tiger, sang pemilik bar.
"Baik Bos." Kedua bodyguard berbadan kekar segera turun ke bawah memastikan ucapan Hermanto benar adanya.
"Ini uang yang aku janjikan." Tiger menyerahkan tas yang penuh dengan tumpukan uang. Mata Hermanto berbinar melihat uang yang sebegitu banyaknya. Tangannya tak sabar ingin mengambil uang tersebut.
"Eits, tapi dia benar-benar masih tersegel dengan baik, kan?" tanya Tiger meragu. Tangan Tiger meraih tas berisi uang itu dan menahannya, sebelum Hermanto berhasil menjangkaunya.
"I-iya Tuan. Saya jamin anak itu masih murni."
"Awas saja jika kamu berani membohongi aku."
"Tidak Tuan, saya jamin Anda akan puas dengan barang yang saya bawa. Sesuai ucapan saya di telepon. Dia masih muda baru sembilan belas tahun. Masih sangat segar dan polos," ucap Hermanto berusaha meyakinkan Tiger.
"Bagus. Kita tunggu Jimmy dan Rully kembali. Setelah mereka memastikan Kamu tidak menipuku, Kamu bisa pergi membawa uang ini." Tiger mengangkat kakinya dan meletakkannya di atas meja. Sesekali ia menghisap rokok yang terselip di jemari tangan kirinya. Tak lama Jimmy dan Rully kembali dengan wajah yang bahagia.
"Barang bagus, Bos. Sesuai ekspetasi. Dipoles sedikit saja, dia akan jadi primadona di tempat ini," ucap Rully.
"Okay, deal. Nah, bawa uangmu ini. Pergi dari tempat ini secepatnya!" Tiger melemparkan tas berisi uang ke arah Hermanto.
"Ba-baik, Bos. Terima kasih." Hermanto memeluk tas berisi uang itu erat-erat, seolah benda itu adalah hidupnya. Tak menunggu lama ia turun dari ruang kerja Tiger. Tiger dan anak buahnya pun ikut turun. Bersiap untuk menangkap Lovi, sekiranya gadis itu menolak atau melarikan diri.
"Bapak, kenapa lama sekali? Apa ini, Pak?" tanya Lovi seraya menunjuk ke arah tas yang Hermanto bawa. Bagaimana tidak heran, Bapaknya masuk ke tempat itu dengan tangan kosong dan keluar dengan membawa tas asing yang berisi entah apa.
"Ka-kamu tidak perlu tahu," jawab Hermanto semakin mempererat tas yang ada di dadanya.
"Mari kita pergi dari sini, Pak. Lovi tidak nyaman berada di tempat ini. Urusan Bapak sudah selesai bukan?" tanya Lovi tak sabar. Lovi terpaksa menyentuh pergelangan tangan ayah tirinya. Namun dengan secepat kilat, Hermanto menepis tangan Lovi.
"Hai gadis!" sapa Tiger dengan seringaiannya yang menyeramkan. Perasaan Lovi semakin memburuk, gadis itu ingin cepat pergi dari tempat itu.
"Ayo, Pak! Antar Lovi ke tempat majikan Lovi bekerja," desak gadis berjilbab itu dengan ketakutan.
"Kamu ... di-di sini tempat kamu bekerja Vi. Mulai sekarang Tuan Tiger adalah majikanmu," ucap Hermanto.
"Ap-apa, Pak? Tidak! Lovi tidak mau bekerja di tempat seperti ini. Mari pulang saja ke desa. Lovi bisa cari pekerjaan yang lain," gadis itu menarik tangan ayah tirinya dan mengajak pria itu pergi.
Tiger memberi kode kepada Hermanto agar segera pergi, juga kepada anak buahnya agar segera menangkap Lovi. Hermanto segera berlari meninggalkan gadis malang itu seorang diri. Ada rasa tak tega, namun perasaan bersalahnya menghilang ketika ia mengingat isi tas yang ia pegang. Dengan uang itu ia dapat mengobati Ira. Masa bodoh dengan anak tirinya, yang terpenting adalah istrinya bisa selamat.
"Pak! Pak! Tolong Lovi, Pak!" teriak gadis itu dengan air mata bercucuran. Kedua lengannya dipegang kuat oleh Jimmy dan Rully. Sekuat apa pun ia meronta, Lovi kalah tenaga. Sakit hati Lovi ketika melihat Hermanto bahkan seolah tak mendengar jeritannya yang memilukan. Laki-laki kejam itu sudah menipunya, menjualnya tanpa belas kasih. Dan entah bagaimana nasibnya kini. Lovi takut jika membayangkan seperti di film-film. Ia yang dijual harus melayani nafsu pria buaya darat .
"Wow, benar-benar cantik. Mulus dan polos. Kita poles sedikit saja pasti hasilnya memuaskan. Aku jadi tidak sabar untuk merasakanmu," puji Tiger.
"Kalian siapkan Dia. Aku sendiri yang akan memilikinya terlebih dahulu," ucap Tiger dengan seringaiannya yang menyeramkan.
"Jangan, Tuan! Saya mohon. Ampuni saya, Tuan. Saya akan bekerja dan membayar uang yang Bapak saya ambil. Tapi jangan jual saya, Tuan." Lovi berlutut di hadapan Tiger memohon agar dilepaskan.
Bukannya tersentuh, Tiger dan anak buahnya tertawa terbahak-bahak. Tiger adalah seorang laki-laki pemilik bar dan juga bos dari wanita penghibur yang terkenal kejam. Tidak akan semudah itu luluh hanya karena ucapan seorang gadis kecil yang baru beranjak dewasa.
"Jangan mimpi, Sayang! Lagi pula, apa Kamu tahu berapa yang ayahmu ambil? Dua ratus juta. Kamu sanggup membayarnya?" Tiger kini berjongkok dan mengusap air mata Lovi dengan ibu jarinya. Mata Tiger tak henti menatap wajah ayu penuh air mata itu. Hingga ia meneguk salivanya beberapa kali. Tak sabar untuk menikmati tubuh gadis itu.
"Saya akan mencicilnya, Tuan. Saya janji, saya tidak akan lari. Saya mohon, Tuan. Saya mohon lepaskan saya." Lovi mengatupkan kedua tangannya masih teguh meminta pengampunan.
"Hahaha, sayang sekali. Tidak ada niatan sedikit pun untuk melepaskanmu. Kamu harus membayar uang yang dibawa ayahmu dengan tubuhmu yang berharga ini. Kamu harus bekerja di tempat ini seumur hidupmu." Tiger mengelus lengan Lovi penuh nafsu. Tak lama kemudian, Tiger berdiri dan membalikkan badan meninggalkan Lovi yang menangis tersedu-sedu.
"Tuan! Tuan, saya mohon ampuni saya." Lovi masih belum menyerah untuk memohon.
"Urus dia!" perintah Tiger.
Sepersekian detik otak Lovi berjalan kembali. Ia tak boleh menyerah begitu saja, setidaknya ia harus berusaha kabur dari tempat laknat itu. Lebih baik mati daripada harus menjual diri. Dengan bertopang di telapak tangannya yang menapak di lantai, gadis itu mengangkat pinggulnya dan berlari sekuat tenaga. Yang ada dalam pikiran Lovi, hanyalah melarikan diri dari tempat itu.
Jimmy dan Rully tidak menyangka jika Lovi akan kabur. Mereka juga tak mengira jika gadis kecil itu setangkas dan secepat itu. Masih sedikit terkejut, Jimmy dan Rully segera mengejar Lovi yang berniat kabur.
"Hei gadis sialan!" teriak Jimmy berlari mengejar Lovi. Lovi terus berlari entah ke mana menembus hujan. Yang ia tahu ia harus kabur dari tempat itu. Lovi tak ingin menjadi wanita penghibur. Lebih baik dirinya mati daripada harus menjadi santapan lelaki buaya darat.