Keriuhan di lapangan bola itu semakin ramai tatkala seorang gadis tomboi berhasil mencetak beberapa gol. Beberapa lelaki memberi tepukan dan sorakan. Tak sedikit juga yang berteriak memberi semangat. Lovi adalah pemain bola idola pemuda di kampungnya.
Gadis berpenampilan seperti lelaki yang berusia sembilan belas tahun itu bernama Laufia Maulida. Teman-teman akrabnya lebih suka memanggil gadis itu dengan sebutan Lovi. Di balik sisi tomboinya, gadis itu cukup manis. Walaupun kulit putihnya menggelap karena sengatan matahari. Namun tak dapat menghilangkan pesona gadis itu. Dialah kembang desa di kampungnya. Lovi gadis putus sekolah yang disukai banyak orang.
Lovi sangat bersemangat dalam menggiring bola. Tak mau kalah semangat dengan pemain yang lain yang semuanya laki-laki. Peluh bercucuran di dahi gadis itu tak membuat semangatnya memudar. Pipinya memerah sempurna tersengat oleh matahari. Topi yang ia pakai tak mampu untuk menghalau panasnya sang surya. d**a gadis itu kembang kempis dengan napas yang tidak beraturan.
"Lovi, Lovi ... ayo giring bolanya ke kanan. Itu kosong tak ada yang menjaga," teriak Adrian sang kapten.
"Iya Dri. Diem deh! Mengganggu konsentrasi saja." Gadis itu mendapatkan celah untuk menendang bola sekuat tenaga dan gol! Bola masuk lagi ke dalam gawang. Kedudukan 5:1 untuk tim Adrian. Hingga pertandingan berakhir lawan dari kampung lain tak dapat berkutik. Kemenangan telak berada di tangan Adrian dan kawan-kawan.
"Hah! Hah ... aduh pinggangku," gerutu Lovi. Gadis itu menepi seraya memijat pinggangnya yang terasa nyeri.
"Lovi, ini aku bawakan minuman untuk kamu," ucap seorang lelaki berkaca mata yang menonton pertandingan sedari awal.
"Ambil punyaku saja, Vi. Aku bawakan jus jeruk untukmu." Pemuda lain tak mau kalah ingin mendapatkan perhatian Lovi. Lovi jadi pusing karena tingkah kedua orang itu.
"Hoi! Hoi minggir." Adrian datang di saat yang tepat, merangkul Lovi dan membawa gadis itu menyingkir. Lovi hanya menurut tanpa perlawanan. Ia sebenarnya risih dengan kedua pemuda yang mendekatinya.
"Hei Arnold! Kamu bisa memberikan jus jerukmu itu pada Tito. Dan sebaliknya, Tito Kamu juga bisa memberikan air mineral itu pada Arnold. Lovi nggak butuh minuman yang kalian bawa," ucap Adrian seraya membawa Laufia pergi menjauh.
"Apaan sih. Dasar Adrian si tukang ikut campur!" gerutu Arnold.
"Tahu tuh!" Tito membenarkan. Kedua pemuda itu kesal karena Adrian membawa pergi gadis pujaan hati mereka.
"Apa-apaan sih Dri! Bau asem tahu! Ogah aku dipeluk Kamu," ucap Lovi setelah menjauh dari Arnold dan Tito.
"Dih, aku kan sudah menyelamatkanmu dari dua cecunguk itu. Harusnya ucapkan terima kasih kek atau apa kek," ucap Adrian pura-pura kesal.
"Aku kan nggak minta bantuan kamu, Dri." Lovi menjulurkan lidahnya.
"Ya udah aku nggak akan bantuin lagi lain kali. Ngomong-ngomong Kamu mau sama mereka?" tanya Adrian seraya menahan tawa. Lovi menggeleng sebal.
"Em, terima kasih ya, Vi. Berkat Kamu, tim kita menang lagi," ucap Adrian sang anak kepala desa itu melemparkan senyum manis.
"Adrian!" panggil gadis manis berpakaian feminim yang baru datang membuat Lovi tak jadi menjawab ucapan Adrian. Gadis manis itu tak kalah cantik dari Lovi. Namun, make up yang ia gunakan sedikit berlebihan. Adrian dan Lovi menoleh ke sumber suara. Tak seberapa jauh terlihat Nindi berdiri di dekat mereka. Hanya berjarak beberapa meter saja.
"Dri!" Gadis itu menghambur dan memeluk lengan Adrian.
"Apa sih, Nin?" tanya Adrian tak suka. Ia menghempaskan tangan Nindi, risih dengan perlakuan Nindi padanya.
"Dri, Bapak tadi bilang, katanya Kamu harus cepat pulang. Kamu nggak boleh terlalu akrab dengan gadis miskin tak punya sopan santun ini." Nindi menatap Lovi dengan tatapan tak suka. Lovi yang telah terbiasa dengan sikap buruk Nindi mengabaikannya. Gadis itu diam dan enggan meladeni.
"Oh iya, aku juga harus cepat pulang. Kasihan ibuk menungguku seorang diri." Lovi membalikkan badan bermaksud ingin pulang. Gadis itu malas jika harus mendapatkan tatapan kebencian dari Nindi.
"Vi, mau aku antar pulang?" tawar Adrian menghentikan langkah Lovi. Baru akan menjawab, seketika tangan Nindi melingkar di lengan Adrian. Memberi tanda jika Lovi dilarang mendekat.
"Ah, tidak usah, Dri. Rumahku kan dekat." Lovi menepiskan senyumannya dengan terpaksa.
Adrian menatap punggung Lovi yang menjauh dengan perasaan yang sedih. Sedangkan Nindi tersenyum miring karena berhasil menyingkirkan gadis tomboi itu.
"Mau Kamu apa?" tanya Adrian dengan tatapan tajam.
"Apa maksudmu, Dri? Aku ke sini karena kamu calon tunanganku."
"Baru calon, Nin. Itu pun kalau aku setuju." Adrian menepis tangan Nindi yang melingkar di lengannya dengan kasar, meninggalkan gadis itu sendirian.
"Adrian! Adrian!" teriak gadis itu seraya menghentakkan kaki ke tanah. Kesal karena Adrian mengabaikannya.
"Apa sih lebihnya gadis jadi-jadian itu, Dri?" gumam Nindi kesal. Segera ia menyusul lelaki yang sangat ia cintai. Tak ada kata menyerah dalam kamus seorang Nindi. Baginya, Adrian hanya miliknya seorang. Wanita lain tak pantas untuk mendekat.
***
"Uhuk, uhuk!" Suara batuk keluar dari bibir wanita paruh baya yang terlihat sangat ringkih itu. Wajah wanita itu pucat, tubuhnya yang dulu sedikit berisi berubah kurus kering karena penyakitnya. Sudah setahun lebih wanita itu hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tak mempunyai tenaga untuk sekedar bangun dari ranjangnya.
"Ibuk." Lovi yang baru pulang dari lapangan bola segera menghampiri ibunya yang terbaring lemah. Gadis itu terlihat mengkhawatirkan ibunya. Tak menghiraukan rasa lelahnya. Bahkan peluh di tubuhnya masih bercucuran.
"Ibuk nggak papa?" tanya gadis itu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Nggak papa, Nak. Ibuk hanya batuk."
"Buk, pakai jaketnya, ya." Lovi beranjak dan mengambil jaket ibunya beserta sebuah syal berwarna merah. Ia segera memakaikan jaket dan syal itu di tubuh ibunya. Ira tersenyum melihat putrinya tak terasa tumbuh dewasa.
"Nak, Kamu kan anak gadis. Kurangilah kegiatan Kamu bersama anak-anak lelaki. Lihatlah kulitmu terlihat kusam. Tubuhmu juga bau masam," nasehat wanita tua itu seraya mengelus kepala putrinya.
"Ibuk tak perlu memikirkan Lovi. Mumpung Lovi masih muda. Lovi mau menikmati apa yang Lovi inginkan, Buk." Ira tersenyum mendengar ucapan putrinya.
"Menikmati masa muda Kamu. Dan membiarkan Ibukmu sakit-sakitan seperti ini. Iya?" tanya Hermanto memotong pembicaraan Lovi dan Ira.
"Tapi Pak. Lovi kan sudah bantu sebisanya. Bahkan Lovi sudah melepaskan pendidikan Lovi yang berharga demi Ibuk," bantah gadis itu.
"Halah, apa yang Kamu lalukan? Memangnya dengan membantu di toko koko Kenny bisa menghasilkan uang banyak? Harusnya Kamu mikir. Ibukmu itu perlu banyak uang. Kerja yang lain dong. Yang menghasilkan uang," ucap Hermanto seenak udelnya.
"Kerja apa lagi, Pak? Mencari nafkah adalah kewajiban Bapak. Bukan kewajiban Lovi. Akan tetapi apa yang Bapak lakukan? Bukannya cari uang malah suka mabuk dan judi," ucap Lovi melawan karena kesal selalu dipersalahkan.
"Kamu ...." Hermanto mengangkat tangannya, hendak memukul anak gadisnya. Lovi refleks mengangkat kedua lengannya, wajahnya bersembunyi ingin menahan pukulan dari Hermanto.
"Pak, sudah."
"Manjakan terus anak Kamu itu. Hah! Semua orang di rumah ini tak berguna. Punya istri sakit-sakitan. Punya anak nggak becus cari uang," omel Hermanto seraya meninggalkan istri dan anaknya. Ira hanya bisa mengelus dadanya karena tingkah suaminya.