Episode 6

1314 Words
Episode 6 #Kakak Ipar Laki-laki pilihan papa Pukul 10 malam, aku mengendap-endap menuju beranda demi melaksanakan rencana gila yang sejak tadi berputar-putar di kepala. Saat hendak membuka pintu yang tak sepenuhnya tertutup, sayup-sayup ku dengar suara kak Nora. Ternyata kak Nora dan kak Gema sudah lebih dulu duduk di beranda. Karena penasaran, ku curi dengar pembicaraan mereka. "Apa kau masih ingat? Awal-awal menikah kita sering menghabiskan waktu disini. Aku yang belum terbiasa dengan suasana baru di rumahmu, lebih sering mengajakmu pulang dan menginap." ujar kak Nora. "Kau benar. Saat itu kita menghabiskan hampir separuh waktu di beranda ini. Aku suka menatap bintang dan kau suka angin malam. Kita perpaduan yang sangat serasi." jawab kak Gema lembut. Astaga, ternyata mereka sangat romantis. Ku pikir, karena sikap kak Nora yang cukup keras dan pemarah, mereka tidak mungkin terlihat mesra seperti itu. Tiba-tiba ada semacam duri halus yang menusuk ke hati. Kecil sih, tapi rasa sakit yang diakibatkannya, mampu mengguncang seluruh emosi. "Akhir-akhir ini kenapa kau selalu menolak jika ku ajak menginap?" tanya kak Nora. Belum juga dijawab, hatiku semakin nyeri dan terluka. Kak Gema pasti menolak karena ada aku disini. Jika tidak, apa lagi alasannya? "Sudah ada Jihan, Nora. Gadis itu sudah bisa diandalkan untuk menjaga papa dan mama. Tidak enak jika kita menginap terus-terusan." "Itu karena aku suka masakan mama dan suasana di rumah ini, sayang. Jika pikiran dan hati kita tenang, mudah-mudahan aku bisa segera hamil." Merasa cemburu dengan obrolan kak Gema dan kak Nora, akhirnya ku tinggalkan beranda dengan perasaan marah. Untung mereka tidak menyadari kedatanganku. Jika tidak, aku pasti terjebak dalam obrolan cinta dua sejoli itu. "Ternyata kak Gema memang suka menatap bintang. Dia menghampiriku malam itu bukan karena aku ada disana. Astaga! Aku hampir mempermalukan diriku sendiri. Konyol sekali jika otak ini sempat berpikir kalau kak Gema sengaja melakukannya." Aku menggerutu sambil menarik selimut dan mematikan lampu. Sial! Rasanya sakit sekali. Sampai kapan rasa cinta ini harus ku pendam sendiri? Apakah salah jika suatu hari ku ungkapkan perasaanku pada kak Gema? *** Keesokan harinya, aku sudah lebih dulu meninggalkan rumah tanpa sempat bertemu kak Gema. Hal itu sengaja ku lakukan agar kak Gema tidak memaksa pergi bersama. Alasannya sederhana, aku tidak ingin rekan kerja lainnya tau kalau kak Gema itu adalah kakak ipar ku. Sesampainya di Samudra Advertising office, ku cari tau seseorang yang nantinya akan membimbingku dalam bekerja. Kalau tidak salah ingat, namanya Jimmy. Baru juga bertanya pada OB, orang yang dimaksud datang di saat yang tepat. Jika mendengar dari namanya, kalian pasti berpikir kalau Jimmy itu sosok laki-laki atletis dengan beberapa otot di lengannya. No no no, jika kalian berpikir seperti itu, kalian salah besar. Jimmy yang berdiri di hadapanku saat ini adalah sosok laki-laki kemayu dengan kemeja pink dan celana senada. Belum lagi kacamata bolong dan rambut yang sedikit gondrong, menambah kesan kalau Jimmy itu laki-laki tidak normal. "Hello, sejak tadi anda saya ajak bicara, kenapa cuma bengong?" bentak Jimmy. "Anu...itu..." aku gelagapan. Lupa dengan kata-kata yang sudah ku susun sepanjang jalan. "Anu apa? Kau itu Jihan kan? sepupu jauh pak Gema?" tanya Jimmy. Aku mengangguk. Jimmy memperhatikan dari kepala sampai kaki. Mulut laki-laki kemayu itu komat-kamit sambil memintaku mengikutinya. Astaga, apa yang bisa ku pelajari dari laki-laki jadi-jadian ini? "Pak Gema belum datang. Kau bisa menunggunya di sana." tunjuk Jimmy pada sebuah kursi santai di dekat jendela. Aku mengangguk patuh dan segera mengikuti perintah Jimmy. "Oh iya, namaku Jimmy, kau bisa panggil aku kakak. Eh tapi usiamu berapa ya?" tanya Jimmy sembari mendekat. "Aku 28 kak." jawabku singkat. "28? Astaga ku kira kau masih mu.. sudahlah anggap saja kita seumuran. Panggil aku Jimmy dan aku akan memanggilmu Jihan. Kurasa begitu lebih baik." ujar Jimmy ramah. "Aku sih tidak masalah." Jimmy berlalu pergi setelah perkenalan singkat dan sedikit obrolan ringan. Laki-laki itu baik meskipun terlihat cukup sangar. Kalian tau sendirilah bagaimana sangarnya laki-laki kemayu. Meski sangar, masih saja terlihat lucu. Menunggu kak Gema ternyata bukan perkara mudah. Sejak tadi kantor sudah ramai. Beberapa dari mereka mulai mengajak berkenalan. Tapi orang yang ku tunggu bahkan belum menampakkan batang hidungnya. "Kakak dimana?" tanyaku melalui pesan WA. Tak berapa lama pesanku di balas. "Sudah di lantai bawah." Aku menghela napas panjang dan mulai membenahi penampilan. Tak berapa lama, kak Gema muncul bersama Jimmy. "Maaf Jihan, tadi kakak bertemu teman lama." jelas kak Gema sambil mengajakku masuk ke ruang kerjanya. Aku mengekor di belakang. Jimmy sudah kembali ke meja kerjanya tanpa mengikuti kami. Ada semacam perasaan gugup saat duduk berhadapan tapi dalam lingkup pekerjaan. Rasany aneh berada di suasana tegang seperti ini. Seolah-olah aku sedang interview pekerjaan. "Jadi apa yang bisa saya kerjakan pak?" ujarku sopan. Mulai hari ini aku harus bisa membedakan panggilan di kantor dan panggilan di rumah. Jika tidak, bisa saja aku salah sebut dan mempermalukan diri sendiri. Kulirik kak Gema yang sedang menahan tawa mendengar pertanyaannya yang ku lontarkan. "Panggilan bapak terdengar sangat aneh di telingaku Jihan. Apa kau tidak bisa memanggilku kakak saja?" pinta kak Gema. Aku menggeleng seraya mengerucutkan bibir. "Ini kantor pak, kalau di rumah bapak adalah kakak saya. Tapi kalau disini, bapak adalah atasan saya. Mana ada bawahan memanggil atasannya dengan sebutan kakak. " Kali ini tawa kak Gema pecah. Sepertinya kalimat yang ku ucapkan benar-benar lucu di pendengarannya. "Apaan sih. Bagi kakak, disini ataupun di rumah, kau tetaplah adik kami yang cerewet." Kami? Maksudnya pasti adik kak Nora dan kak Gema. Mendengar kata 'kami' saja, sudah membuat telingaku panas. Apa tidak bisa kak Gema tidak menyinggung soal kak Nora kalau sedang bersamaku? "Kau sering sekali melamun. Apa lagi yang kau pikiran, Jihan? Oh iya, ku dengar Haris akan datang malam ini." Aku mengerutkan kening. "Haris mau datang? Kakak dapat kabar dari papa?" tanyaku penasaran. Kak Gema mengangguk. "Tadi papa cerita di meja makan. Kau tidak akan menghindar lagi kan?" Kali ini gantian aku yang menganggukkan kepala. Kak Gema tersenyum senang. "Mau tidak mau aku harus menjalaninya terlebih dulu. Siapa tau Haris laki-laki yang menyenangkan." "Baguslah. Sekarang kau temui Jimmy. Meski casingnya seperti itu, Jimmy orang yang ahli di bidang periklanan. Kau akan belajar banyak hal dari dia." Aku mengangguk sopan dan meninggalkan ruang kerja kak Gema. Sebelum mulai bekerja, Jimmy membawaku mengelilingi kantor untuk memperkenalkan diri. Hari pertama bekerja rasanya cukup menyenangkan. Kak Gema benar soal Jimmy. Dia laki-laki yang cekatan dan profesional. Aku harus belajar banyak dari laki-laki itu. *** "Jihan tamu kita sudah datang. Turun dulu sayang." Aku mendesah malas sambil merapikan rambutku yang berantakan. Jujur, untuk menyambut kedatangan Haris, aku sengaja tidak dandan. Untuk apa? Toh bagaimanapun aku tidak mau mengenal Haris lebih jauh. "Jihan, dia Haris yang sering papa ceritakan itu lho. Nak Haris, dia Jihan putri Om." Papa memperkenalkan kami dan memintaku duduk disebelah Haris. Ku ulurkan tangan dengan sopan sebagai salam perkenalan. Pun Haris melakukan hal yang sama. Setelah mengobrol singkat, papa dan mama meninggalkan kami berdua. Aku tersenyum kikuk saat Haris menatap sambil melipat tangan di d**a. Dia cukup tampan dengan balutan kemeja warna biru laut dan rambut yang di tata sedikit berantakan. Rahangnya yang tegas, menambah kesan maskulin pada laki-laki itu. "Kau sengaja tidak dandan agar terlihat buruk di mataku kan?" tanya Haris blak-blakan. Aku hampir saja menutup mulut Haris jika tidak melihat mama yang sedang menatap ke arah kami. Laki-laki ini sepertinya tipe yang suka mengatakan langsung ketimbang basa-basi. "Kau benar." jawabku singkat. "Waw sangat jarang ada wanita yang tidak ingin terlihat cantik. Padahal, dari foto yang om Danu berikan, kau terlihat sangat mempesona." Aku mendesah malas. Tapi karena mama melotot dari kejauhan, terpaksa ku pasang kembali senyum ramah yang sejak tadi ku perlihatkan. "Cantik itu ada saatnya." jawabku jujur. "Jadi saat bersamaku kau lebih suka terlihat natural? Ok itu lebih baik. Aku juga tidak terlalu suka pada wanita yang over make-up." Aku melongo. Apa Haris tidak sadar kalau aku melakukan itu untuk merusak perkenalkan kami? Laki-laki yang tak terduga. "Besok aku punya waktu luang, bagaimana kalau kita jalan? Sekalian saling mengenal dan tukar pendapat. Mana tau kita punya isi kepala yang sama." usul Haris. "Jam berapa?" tanyaku singkat. "Besok aku akan menghubungimu. " Aku mengangguk setuju. Haris cukup menyenangkan dan teman yang enak diajak bicara. Sepertinya, untuk berteman dekat, kami tidak akan kesulitan melakukan itu. To be continue... 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD