Selebaran Theatre Musical

2008 Words
Kian disambut oleh para asisten. Sebagai Tuan Muda yang baik, Kian membalas hormat mereka dengan senyum. Kian tak mengatakan apapun, segera menuju ke kamarnya. Ia mengganti kaos oblongnya dengan seragam sekolah untuk hari ini.       Kian mengambil koper besar dari dalam almari. Memasukkan beberapa helai baju, seragam sekolah yang lain, game, dan beberapa keperluan penting lain ke dalam koper.       Tak lama kemudian, Kian kembali keluar dari kamar. Para asisten menawarkan untuk membawakan koper itu. Tapi Kian menolak. Ia justru membuat permintaan lain.        "Tolong bilangin ke Pak Supir aja buat nyiapin mobil! Aku mau dianter ke sekolah. Tapi nanti nggak usah dijemput."        Asisten itu mengangguk, dan segera melaksanakan permintaan Kian.        "Kian!"        Kian menoleh pada sumber suara. Ya Tuhan! Itu Ayah! Untung Ichal tadi menolak tawaran untuk mampir. Kalau tidak, Lintang bisa benar - benar bertemu dengan Ayah.       Lagi pula, ini hari Senin. Hari kerja biasa. Bukan tanggal merah. Tumben sekali Ayah belum berangkat ke kantor.        "Kenapa HP - mu nggak aktif, sih?" tanya Ayah. Ia terlihat senang melihat putra bungsunya lagi setelah dua minggu terpisah. "Gimana liburan di tempat kakakmu?"         "Menyenangkan. Lintang orang yang baik," jawabnya. Kian menunggu, ingin melihat bagaimana reaksi Ayah setelah ia mengatakan hal itu. Ayah terlihat salah tingkah, tentu saja. "Ayah kok belum berangkat ke kantor?" Akhirnya pertanyaan itu terucap.        "Ayah hari ini nggak ke kantor. Nanti ada meeting di luar kota."        Kian hanya ber - oh ria.        "Hey, Ayah tadi, kan, tanya. Kenapa HP - mu nggak pernah aktif selama dua minggu ini?"        'Jelas karena aku nggak mau ngobrol dengan anda, Ayahku,' jawab Kian dalam hati. Sementara lisannya menjawab, "Nggak apa - apa. Males aja."        "Lalu koper itu ...."       "Ayah, sebenarnya Kian ke sini bukan untuk pulang."        Sang Ayah mengernyit. "Maksudnya?"        "Kian sudah memutuskan untuk tinggal dengan Lintang."         "APA?" Tentu saja Pak Dewa terkejut dengan keputusan sepihak anak bungsunya ini.        "Kian mau tinggal dengan Lintang. Kian ... merasa nyaman di sana."        "Tapi ..." Ayah seperti kehabisan kata - kata. Ia terlihat kebingungan. Namun di sisi lain, ia merasa harus bisa membuat Kian menjelaskan alasan di balik keputusan itu. Dipegangnya kedua pundak anaknya itu. "Kian, jujur, ya, sama Ayah! Apa ini ada hubungannya dengan Ayah? Apa karena kamu masih marah sama Ayah?"        Selama dua minggu ini tak ada kabar dari Kian sama sekali. Ia takut Kian tidak cocok dengan Lintang dan tak bisa menahan emosinya. Tapi ini ... bagaimana bisa ia malah ingin tinggal dengan Lintang? Makanya Ayah menduga seperti itu. Pasti Kian masih marah padanya.        Kian terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. "K - kalau Kian bilang, sudah tidak marah dengan Ayah, itu artinya Kian bohong." Kian terdiam sejenak. Ia tidak ingin Ayahnya salah paham. Jadi, ia menyusun kata yang baik dan benar supaya mudah dimengerti. Karena sungguh hubungannya dengan sang Ayah masihlah sangat sensitif. Masa lalu yang buruk itu, terlalu membekas.        "Kian ingin tinggal di sana, selain karena Lintang sangat baik, juga karena Kian butuh waktu dan tempat untuk berpikir, Yah! Kalau Kian terus berada di sini, rasanya rasa marah Kian akan semakin bertambah pada Ayah."       Ayah belum mengatakan apa pun. Namun sepertinya ia bisa mengerti. Memang akar dari semua masalah ini adalah dirinya. "Baik lah. Jika itu alasannya, Ayah nggak bisa berbuat apa - apa untuk mencegah keputusan kamu."        "Kian sebenernya nggak pengen terus - terusan marah sama Ayah. Tapi Kian belum bisa menghentikan kemarahan itu. Kian cuma butuh waktu. Kian harap Ayah bisa mengerti."       "Ayah mengerti, Nak," jawab Ayah sembari tersenyum. Sebuah senyuman yang menyiratkan kesedihan.        "Terima kasih. Kian pamit, Yah!" Kian melenggang pergi. Tapi belum sampai lima langkah, ia berbalik. "Ayah, maaf ada satu hal lain yang ingin Kian sampaikan."        "Apa itu? Katakan lah!"        "Alangkah lebih baik bila Ayah segera datang menemui Lintang. Sepertinya Lintang benar - benar ingin bertemu Ayah." Sebuah kalimat telak dari Kian yang berhasil menusuk hati sang Ayah.       Menemui Lintang? Memang itu yang seharusnya ia lakukan sejak dulu. Memang sudah tanggung jawabnya. Tapi apakah ia siap?       ~~~~~ TM: Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Kian dikejutkan oleh gerombolan murid yang menyambut kedatangannya. Bukan menyambut secara khusus. Mereka melakukan sambutan itu kepada semua orang yang baru saja datang. Membagikan selebaran - selebaran yang sama — yang belum Kian ketahui isinya. Karena ia belum membacanya tentu saja.        Kian sebenarnya tak terlalu tertarik apapun isi dari selebaran itu. Ia hanya membaca judul yang ditulis dengan font berukuran besar. Theatre Musical 2013. Oh, jadi mereka anak teater, toh!       Tak usah lanjut membaca pun, Kian sudah hapal apa isinya. Sekolah ini — khususnya ekstrakurikuler teater — setiap tahunnya rutin mengadakan audisi untuk para pemeran yang akan tampil pada Theatre Musical tahunan. Pentas itu biasanya akan digunakan sebagai acara puncak dalam perpisahan anak kelas XII nanti.        "Kak Kian, ikutan ya!?" tanya salah satu dari mereka. Pertanyaan yang memiliki siratan harapan.       "Udah kelas dua belas. Nggak boleh ikutan." Kian melempar senyum samar dan berlalu pergi.       Kian langsung memasukkan kertas brosur itu ke dalam tas. Sebenarnya kalau mau, ia langsung bisa membuangnya. Toh ia sama sekali tak tertarik dengan acara seperti ini. Tapi ia masih cukup punya hati. Mereka para anak theatre pasti sudah menyiapkan brosur itu dengan segenap jiwa raga mereka. Kian hanya ingin menghargai. Mungkin bisa dibuang sepulang sekolah nanti. Setidaknya kan mereka tak melihat.       Di kelas, Kian mendapati teman - temannya yang amburadul di sana sini memenuhi kelas.       "Pangeran Es sudah datang!" seru Yongki sang Rival sejati. Kian memutuskan untuk tak peduli. Ia hanya melengos dan lanjut mencari bangku kosong yang bisa ditempatinya.       "Pangeran pasti bangun kesiangan, ya? Makanya jam 10 baru dateng. Sungguh murid teladan!" seru Yongki lagi.       Agaknya Kian sedikit terpengaruh. Ia melemparkan tas ke atas meja, menimbulkan suara yang keras. Cukup untuk menarik perhatian seluruh isi kelas. Para siswi segera berkasak - kusuk.       "Eh, kayaknya Pangeran Es dan Pangeran dari Negeri Jepang akan beraksi lagi."        "Iya. Gue dukung Yongki."        "Gue dukung Kian."       Kalau sudah begini para siswa memutuskan untuk pergi saja. Siswi - siswi itu selalu lebay dalam mengungkapkan isi hati mereka tentang Yongki dan Kian. Sebenarnya, sih, sah - sah saja. Tapi kuping mereka selalu panas rasanya. Tentu saja karena iri. Saat Yongki dan Kian itu sudah beraksi, para siswi seperti tak menganggap ada pria lain di sunia selain mereka berdua.       Tanpa menoleh pada Yongki sedikitpun, Kian terus memainkan game. Emosinya belum tersulut sempurna. Mungkin hatinya sudah sedikit kebal dengan ocehan anak kurang kerjaan itu.       "Sekolah ini adalah sekolah terbaik sekota. Banyak anak di luar sana yang berebut pengen masuk ke sini. Tapi ... setelah mereka tahu ada murid kayak lo di sini, mereka bakal nyeselin keinginan mereka. Lo bener - bener bikin malu. Mencoreng nama almamater."        Kian segera mengalihkan pandangannya. Matanya seperti memancarkan kilatan api saat menatap Yongki. "Dua minggu libur, sekangen itukah lo sama gue? Bisa nggak sekali - sekali diem? Jangan cari perhatian melulu!"       Dalam hati Yongki tertawa. Ia selalu senang tiap kali berhasil membuat Kian marah. "Gue cuman ngomong sesuai fakta. Apa bisa dibenarkan, seorang murid yang baru dateng jam sepuluh siang?"       Mata Yongki kini juga telah berkilat tajam memandangi Kian. Bukan tanpa alasan Yongki selalu mengoreksi Kian. Anak itu memang perlu dibenahi kelakuannya. Memang benar dia genius dalam semua mata pelajaran. Tapi bukan berarti ia bisa seenaknya.       Sebagai siswa, Kian sudah seharusnya mentaati peraturan sekolah. Dan kenyataannya, Kian hampir selalu melanggar tata tertib. Mulai dari warna sepatu yang tidak hitam, baju seragamnya tidak rapi, rambutnya juga disisir acak sehingga ia terlihat lebih mirip murid sekolah swasta. Serta masih banyak lagi hal lain yang Kian langgar. Dan Yongki tidak suka dengan seorang pelanggar aturan.       Bukannya Yongki sombong atau sok disiplin.        Dad mendidiknya untuk menjadi lelaki yang selalu disiplin dan tanggung jawab. Maka terbentuklah pribadi Yongki yang selalu menaati aturan. Bukannya Yongki dengan tulus ikhlas menerima didikan keras sang Ayah. Ia hanya tak berani melawan. Ia benci tiap kali Dad terus mengekangnya, dan ia tak bisa melawan.       Ia juga ingin sebebas Kian yang selalu santai menjalani hidup. Lagi - lagi hanya karena faktor iri. Iri yang mendasari segala sikap mengesalkan Yongki pada Kian selama ini. Alasan yang sebenarnya sampai saat ini tak pernah Yongki mengerti.       "Banyak murid lain yang juga baru dateng. Tapi lo cuman sensi sama gue."       "Oh, jadi lo ngikutin kebusukan mereka?"       Hanya perasaan Kian, atau Yongki memang terlihat berbeda hari ini. Ia terlihat ... sedih?       Kian menghela napas. "Chill, Man. Ini baru hari pertama masuk sekolah. Lagak lo kayak udah KBM normal aja! Jadi orang jangan terlalu kaku! Jatohnya jadi kampungan!"      "Lo ...."       Sebuah suara menginterusi. "DIEM!"       Kian dan Yongki menoleh. Itu adalah suara Mina. Satu - satunya murid yang dianggap freak di kelas ini. Ia adalah gadis yang aneh, baik dari segi kepribadian ataupun penampilan.      Rambutnya selalu dikepang dua dengan pita merah jambu di ujungnya. Kaca matanya besar sekali. Mirip kaca mata kuda. Roknya tidak dipakai sebatas pinggang, namun sebatas perut bagian atas.       Untuk kepribadiannya ... Mina dikenal sebagai satu - satunya siswi yang kebal dengan pesona Yongki dan Kian. Sesuatu yang dianggap aneh oleh siswi lain. Makanya Mina dikucilkan.      Mina selalu rajin belajar. Bahkan saat inipun, ia sedang belajar, padahal belum ada pelajaran. Makanya ia sangat marah karena Kian dan Yongki lagi - lagi berdebat. Ia merasa terganggu. Dan anehnya lagi, meski sudah sangat rajin belajar, nilai - nilai Mina tidak pernah bagus.       "Diem lo, Kutu Buku!" gertak Kian.       Mina mendengkus kelas. Sementara Yongki hanya diam.       Sebenarnya sejak tadi — sejak sebelum Kian datang — mood Yongki sudah sangat buruk. Semua itu tak lain dan tak bukan adalah karena selebaran Theatre Musical yang diberikan oleh para anak teater. Saat kegalauannya memuncak, Kian tiba - tiba datang. Membuatnya jadi bernafsu untuk marah - marah. Tapi, karena sepertinya Mina terganggu dengan debatnya besama Kian. Yongki memutuskan untuk mengakhiri semuanya.       Yongki kembali duduk di bangkunya, tangannya merogoh laci, mengambil selebaran Theatre Musical.       Tahun ini adalah kesempatan terakhir bagi Yongki untuk ikut berpartisipasi dalam Theatre Musical. Well, ia sudah kelas dua belas. Aturan mengatakan bahwa anak kelas dua belas harus sudah absen dari semua kegiatan.       Dad akan marah padanya. Sudah pasti.       Tapi jika tidak sekarang ... kapan lagi Yongki punya kesempatan?        ~~~~~ TM: Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD