Called Glioblastoma Multiforme

1205 Words
"L - Lintang ... lo nggak apa - apa?"       Lintang menatap Kian dengan pandangan yang sulit diartikan. Kedua mata itu terlihat merah. Lintang berusaha tersenyum pada adiknya. Berusaha membuat sang Adik tetap tenang, dan tidak panik. Meskipun pada kenyataannya, saat ini Lintang sendiri sedang dihantui ketakutan yang teramat sangat.       "Lintang, ayo ke ...."       Lintang tiba - tiba saja ambruk. Tubuhnya terjatuh menghantam dinginnya lantai dengan keras. Kian berhambur mendekatinya dengan segenap ketakutan, kebingungan serta kekhawatiran.        "Tang!" Kian mengguncangkan tubuh kurus Lintang. "Lintang!"       Lintang sama sekali tak merespons. Lelaki itu sepenuhnya tak sadarkan diri.        ~~~~~ TM: ROLL EG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Pak Joe dan Kian berdiri menunggu Dokter Hengki selesai memeriksa keadaan Lintang. Dokter Hengki sedang menyuntikkan cairan bening berwarna kemerahan pada lengan Lintang.       Kian sebenarnya enggan melihat pemandangan ini. Rasanya seperti membuka luka lama. Dulu tiap kali sakit Ibu kambuh, Ayah juga selalu memanggil dokter seperti ini. Kalau boleh memilih, Kian tak mau berurusan dengan hal apapun tentang dokter dan penyakit lagi.        Tapi Lintang tiba - tiba sakit. Kian tak mungkin hanya diam tanpa meminta pertolongan apa pun.       Seseorang baru saja masuk ke kamar Lintang dengan gelisah — Ichal. "Bagaimana keadaannya?"       Tepat setelah Ichal selesai bertanya, Dokter Hengki juga sudah selesai merawat Lintang.       "Dia kelelahan. Dan sepertinya akhir - akhir ini ia jarang minum obatnya," jelas Dokter Hengki.       Ichal mengumpat kasar tanpa merasa sungkan pada Pak Joe dan sang Dokter yang jelasb- jelas lebih tua. Tapi semua memahami, karena situasi dan kondisi. "Pasti karena tugas - tugas tiada akhir dari kampus."       "Bisa jadi," jawab Dokter Hengki. "Seperti biasa, nanti kalau dia sudah bangun, segera berikan teh manis hangat, suruh dia minum pil ini satu butir setelahnya." Dokter Hengki memberikan tabung kecil berwarna putih pada Ichal. "Dan lagi, minta dia supaya jangan terlalu banyak memikirkan tugas - tugas dari kampus, atau memikirkan hal lain yang akan mengganggu kondisinya seperti ini lagi."        "Apa nggak perlu ke rumah sakit?" Ichal masih terlihat sangat khawatir. Bukannya ia tak percaya dengan Dokter Hengki. Ia hanya ingin memastikan.      Untungnya lagi - lagi, dokter itu memaklumi. "Nggak perlu. Kondisinya sudah stabil sekarang."       "Syukur lah kalo gitu. Makasih, Dok!" ucap Ichal tulus.       Dokter itu hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian berpamitan untuk kembali ke rumah sakit.       Ichal telah mengambil alih semua percakapan dengan Dokter Hengki. Sampai Kian tak punya kesempatan untuk bertanya. Begitu banyak hal yang mengganggu pikiran Kian. Ia memiliki banyak sekali pertanyaan. Juga memiliki banyak sekali hipotesa tentang semua yang terjadi malam ini.        "Chal!" serunya       Ichal sepertinya sudah mengetahui apa yang akan Kian bicarakan. Ichal menatapp Pak Joe, meminta sebuah persetujuan. Setelah Pak Joe mengangguk, barulah Ichal berkenan membuka mulut. "Pernah denger glioblastoma?"        "Glioblastoma ...." Kian mencoba mengingat - ingat. Kian tidak asing dengan istilah itu. Dulu saat pertama kali mengetahui tentang penyakit Ibu, Kian dan Dion sering melakukan pencarian tentang macam - macam penyakit kanker, dan solusi bagaimana cara mengatasinya.       Kedua mata Kian membulat. "Jangan bilang ...!"        "Gue pengen bilang enggak. Tapi kenyataannya, saat ini Lintang memang mengidap penyakit itu."       Kian menggeleng, ia tidak bisa serta merta percaya. "T - tapi ...."       "Nggak ada yang pengen dia sakit kayak gitu. Gue, Pak Joe, lo dan pastinya Lintang sendiri. Tapi, apa yang bisa kita lakuin jika Tuhan udah berkehendak?"        Sesak rasanya napas Kian. Benar - benar terjadi lagi. Dulu Ibu, sekarang Lintang. Kian lagi-lagi harus berkutat dengan penyakit laknat bernama kanker.        Glioblastoma Multiforme (GMB) adalah salah satu tumor otak paling agresif, dan paling sering ditemui. Setahu Kian, tumor ini adalah salah satu jenis kanker dengan harapan hidup terburuk.       "S - sejak kapan?"       "Sekitar dua tahun yang lalu. Kita udah usahain banyak pengobatan. Dia pernah melakukan pembedahan, radioterapi, bahkan udah coba pengobatan alternatif. Kata dokter, Lintang bertahan selama dua tahun ini, udah merupakan sebuah keajaiban."       Kian menunduk dalam diam. Seperti deja vu, Kian pernah mengalami perasaan ini saat dokter memvonis hidup Ibu tak akan lama lagi.       "Yan!" pekik Ichal. Ia panik melihat hidung Kian yang tiba - tiba mengeluarkan darah.       Tak hanya Ichal, Pak Joe pun sama.        Kian buru - buru menutup hidung menggunakan tangan. Kian tak menghiraukan pertanyaan - pertanyaan peduli dari Pak Joe dan Ichal. Ia hanya bergegas pergi meninggalkan kamar ini.       Kian masuk ke kamarnya sendiri. Ia masuk ke kamar mandi kemudian. Ia membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya dengan kasar menggunakan air wastafel.      Banyak hal rasa berkecamuk dalam hati Kian. Kesal, marah, sedih.       Kesal dan marah karena mimisan ini kembali datang di saat yang tidak tepat. Ichal dan Pak Joe bahkan melihatnya. Mereka pasti bertanya - tanya kenapa ia begini. Kian marah pada dirinya sendiri yang selalu tidak terkontrol.       Sementara Kian sedih ... tentu saja karena tahu kondisi Lintang sebenarnya. Ternyata Lintang sakit separah itu. Ya Tuhan ... bagaimana Lintang bisa begitu pintar menutupi semuanya, bertingkah seolah - olah ia sehat sama seperti yang lain.       Kehidupan Lintang yang kelam dan berat sejak ia lahir. Bahkan ketika dewasa, ketika ia belum bertemu kebahagiaan yang ia damba, ia masih harus sakit parah. Bagaimana Lintang bisa bertahan hidup dan begitu tegar dengan segala kondisi yang ia hadapi.       Kian benar - benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa ada manusia sekuat Lintang?       Pikiran Kian tertuju tidak hanya pada Lintang sekarang. Tapi juga ... tentu saja pada Ayah.       Apa lelaki itu sudah tahu kondisi Lintang? Jika sudah tahu dan ia tetap tidak menemui Lintang, itu artinya Ayah memang benar - benar bukan manusia.       Kian akan memastikan tentang ini. Awas saja kalau Ayah nyatanya sudah tahu. Kian berjanji tidak akan memaafkan ayah mereka itu.       ~~~~~TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~ Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD