Sebenarnya Kian enggan keluar kamar pagi ini. Ia seakan lupa dengan tekad bahwa ia akan mulai mengurangi kerepotan Lintang mulai sekarang. Kian bahkan sudah rapi dengan seragam. Ia hanya tinggal turun. Namun, ia tetap duduk diam seperti patung.
Kian ... tidak siap untuk bertemu Lintang. Ia masih terngiang - ngiang dengan kata mimpi indah yang ia ucapkan sendiri semalam. Sama sekali bukan gayanya.
Pintu kamar Kian mendadak terbuka. Lintang muncul dari baliknya. Ia terlihat sudah jauh lebih baik dari pada kemarin. Seharusnya itu menjadi sebuah hal yang bagus dan membahagiakan. Tapi kenyataannya, kedatangan Lintang justru dianggap serupa dengan penampakan yang menakutkan bagi Kian.
'Tuhan ... kenapa pagi ini Lintang sendiri yang ke sini? Kenapa bukan Ichal saja seperti biasanya?'
"Ayo turun! Mau sampai kapan kamu duduk terus di depan cermin?" canda Lintang.
Tapi memang kenyataannya Kian sekarang sedang berkutat di depan meja rias. Kalau dilihat dari tempat Lintang berdiri, Kian memang terlihat seperti sedang khusyuk bercermin. Padahal sebenarnya ia sedang memperhatikan refleksi Lintang yang masih berdiri di ambang pintu. Kian segera mengucap 'bismillah' dalam hati, lalu memberanikan diri beranjak.
Kian dan Lintang berjalan beriringan menuruni tangga. Kian melirik Lintang. Ia terlihat biasa saja. Tak terlihat sedikit pun bahwa ia akan menggoda Kian tentang ucapan mimpi indah yang sensasional. Mungkin memang Kian saja yang terlalu melebih - lebihkan persoalan itu.
"Kian!" seru Lintang tiba - tiba.
Mendadak perasaan Kian kembali tak enak. Menyesal ia sudah berprasangka baik pada Lintang beberapa detik yang lalu. "K - kenapa?"
"Caramu mengucapkan mimpi indah, aku suka," lanjutnya. Lintang tersenyum tulus setelah mengucapkan pengakuan jujurnya. Tanpa niat sedikitpun untuk membuat adiknya malu.
Sayang, saat ini satu - satunya yang Kian tahu adalah ... Lintang sedang mencoba menggodanya dengan kata - kata mimpi indah yang kontroversi. Kian malu setengah mati.
Seperti biasa, sudah ada Ichal dan Pak Joe di meja makan. Kian menarik salah satu kursi dan memakan bubur sum - sum dengan lahap. Untuk taraf orang yang kelaparan seperti Kian, bubur sum - sum seperti ini sama sekali tidak cukup untuk membuatnya kenyang.
Sebagai informasi, semalam Kian tidak jadi membuat mie instan. Sudah terlalu malam, jadinya ia malas. Kian lebih memilih tidur. Makanya sekarang tingkat kelaparannya semakin membabi buta.
"Yan, karena hari ini aku nggak masuk, kamu berangkat sama Ichal, ya!" ucap Lintang.
Seketika Kian teringat akan tekad baiknya untuk tak lagi merepotkan Lintang. Meski tadi sempat tertunda, tapi daripada tidak sama sekali, lebih baik dimulai sekarang. "Iya nggak apa - apa, Tang. Untuk besok dan seterusnya, lo juga nggak usah nganter jemput gue ke sekolah lagi. Kampus lo dan sekolah gue, kan, berlawanan arah."
"Lhoh, terus kamu sekolah naik apa?" Lintang terheran - heran.
"Iya, lo sekolah naik apa? Kawasan ini nggak dilewati angkot ataupun bus lho!" Ichal menambahkan.
"Apa Mas Kian mau saya antar jemput?" tawar Pak Joe.
Kian menggeleng dengan cepat. "Ada motornya Dion yang nganggur di rumah. Jadi, lebih baik gue pakek. Nanti biar gue kontak orang rumah buat ngirim motornya ke sini."
"Beneran nggak apa - apa, Yan?" Lintang seperti meragukan keputusan adiknya.
"Ya elah, nggak apa - apa, Tang! Dulu gue juga naik motor ke sekolah. Kadang dia yang bonceng, kadang gue yang bonceng. Gue udah biasa bawa motor. Jadi, lo nggak perlu khawatir!"
"Ya udah deh kalo gitu. Yah ... itu artinya nanti sore adalah terakhir kalinya aku jemput kamu ke sekolah?" Lintang terlihat sedih.
"Eh, lo nggak perlu jemput gue ke sekolah lagi, Tang. Beneran! Ntar gue bisa naik bus buat pulang. Perempatan depan sana kan dilewatin sama bus kota. Gue tinggal jalan dikit buat ke sini."
"Tapi, Yan ...."
"Nggak ada tapi - tapian, Tang! Udah, lo istirahat aja di rumah!" tolak Kian final. Tekadnya untuk tak lagi merepotkan Lintang benar - benar sudah bulat.
Lintang dan Ichal saling berpandangan sekarang. Lalu dengan bersamaan mereka memandang Pak Joe, seakan - akan sedang bertanya, 'Ada apa dengan Kian?'
Sayang, Pak Joe hanya menjawab dengan mengangkat bahu tanda tak tahu.
~~~~~ TM: ROLL EG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Kelas mulai sepi. Para penghuninya sebagian besar berpindah tempat ke kantin demi mengisi ulang perut. Hanya tersisa beberapa orang saja di sini. Beberapa di antaranya, ada yang sibuk mencontek PR, ada yang sekedar ngobrol menceritakan alur salah satu sinetron yang sedang hits, ada juga yang hanya berpangku tangan -- melamun.
Termasuk di antara beberapa murid yang bertahan di kelas; Kian, Yongki dan juga Mina. Seperti biasa, Kian sedang main game. Sebenarnya perut Kian sedang berteriak minta diisi. Sialnya, tadi saat berangkat, ia lupa bilang pada Ichal untuk mampir ATM. Sementara uang tunai di dompetnya hanya tinggal selembar dua ribuan. Mau beli apa di kantin dengan uang segitu?
Lagipula uang itu nanti akan digunakannya untuk naik bus saat pulang. Jadi, Kian memutuskan untuk menahan lapar.
Yongki adalah salah satu dari siswa yang sedang melamun. Wajahnya selalu terlihat galau tanpa alasan yang jelas. Seakan - akan, ia adalah satu - satunya manusia yang memiliki masalah di dunia ini.
Sedangkan Mina sedang sibuk mengunyah isi bento yang disiapkan oleh Mama. Bento buatan Mama selalu spesial. Mina selalu suka. Telur gulung yang diisi daging sapi cacah dan sayur mayur dalam setiap lipatan gulungannya. Rasanya sungguh nikmat tiada tara. Apalagi jika dimakan dengan saos sambal dan nasi.
Tanpa Mina sadari, sedari tadi ada dua pasang mata yang sedang menatapnya. Sepasang mata menatap dengan sendu. Sepasang lagi menatap dengan kelaparan.
Lama kelamaan, Mina mulai merasa tidak nyaman. Mungkin seseorang yang sedang menatapnya sendu tak terlalu berpengaruh, karena ia -- Yongki -- memang selalu menatapnya dengan cara seperti itu. Jadi, ia sudah biasa.
Tapi kalau seseorang yang sedang menatapnya -- dengan pancaran kelaparan yang terlihat jelas--itu sangatlah mengganggu. Mina seakan kesulitan menelan makanannya sendiri.
"Yan, bisa nggak natapnya biasa aja?" semprot Mina pada Kian, sampai makanan yang ia kunyah muncrat ke mana - mana.
Hal itu cukup mencuri perhatian beberapa siswa lain. Tapi karena ternyata Mina si Cupu yang bicara, perhatian mereka tak bertahan lama.
"S - siapa juga yang natap lo?" Kian kaget sampai tergagap seperti itu.
"Jangan bohong! Lo daritadi lihatin gue dengan tatapan kelaparan! Lo pikir gue nggak tahu?"
Dalam sekejap, perhatian semua orang kembali berpusat pada Mina. Karena ternyata seseorang yang sedang ia ajak bicara adalah Kian.
"Min, asal lo tahu aja! Gue nggak natap lo, tapi ...." Kian melirik telur gulung pada kotak bento Mina.
Pandangan Mina mengikuti arah mata Kian. Mina agak malu sebenarnya. Jadi Kian menatap bento - nya, bukan dirinya?
"O - oh, jadi lo laper. Bilang dong dari tadi!" Mina berusaha mengalihkan rasa malunya sendiri. "Dan ... awas kalo sekali lagi lo panggil gue Min!"
"Gue nggak laper kok!" elak Kian. "Dan ... nama lo emang Mina. Jadi, nggak salah dong kalo gue panggil Min?"
"Halah, jangan bohong! Lo saat ini kelaperan sampek pengen ngeces rasanya lihat telur gulung bikinan Mama gue. Ngaku! Dan ... nama gue emang Mina. MINA. Bukan Min."
"TERSERAH!" Kian tak ingin berurusan dengan Mina lagi. Buang - buang tenaga saja. Sekolah masih panjang. Kian tak ingin semakin kelaparan.
Kian berusaha memfokuskan dirinya pada game. Huff, ayolah! Biasanya game akan mengalihkan perhatian seorang Kian dari apapun di dunia ini termasuk makanan. Maka kali ini juga harus begitu.
"Nih, lo ambil aja!" Mina tiba - tiba meletakkan kotak bento - nya di atas meja Kian.
Kian menelan ludah, matanya terbuka lebar menatap gulungan telur yang seakan melambai - lambai padanya, meminta untuk segera dimakan. Tapi Kian tetaplah Kian yang gengsinya begitu tinggi tiada tara. "D - dibilangin gue nggak laper!"
"Udah lah, nggak usah bohong! Gue ini ahli baca ekspresi wajah, lho! Kalo gue lihat ... kayaknya terakhir kali lo makan, adalah kemarin lusa, saat makan malam. Apa gue salah?"
Kian terheran - heran. Bagaimana Mina bisa tahu? Jangan - jangan ia memang bisa membaca kenyataan dari ekspresi wajah? Terakhir kali ia makan, memang saat makan malam dengan Lintang kemarin lusa. Sarapan bubur sum - sum tadi pagi, tidak masuk hitungan.
"Udah lah, nggak usah malu - malu. Nih, makan!" Mina mengangkat kotak bento - nya mendekati hidung Kian.
Wangi telur gulungnya sungguh ... Kian tak bisa berkata - kata. Lidahnya berdesir asin di dalam sana. Tanda bahwa dirinya benar - benar menginginkan telur gulung ini.
"Nggak apa - apa, Yan! Nggak perlu malu begitu!" Mina mengalihkan pandangannya pada semua anak di kelas yang sedang menatap aksinya pada Kian saat ini. Mina menarik napas, bersiap meneriaki mereka semua. "HEH, KIAN IDOLA KALIAN MAU MAKAN INI. DIA NGGAK BISA MAKAN KALO KALIAN LIHATIN TERUS!" koar Mina.
Anak - anak itu sebenarnya ingin sekali menempeleng si Cupu sekarang juga. Berani - beraninya meneriaki mereka seperti itu! Tapi karena ini demi keselamatan Kian mereka yang sedang kelaparan, maka mereka memutuskan untuk patuh pada titah Mina.
~~~~~ TM: Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~
Masya Allah Tabarakallah.
Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.
Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.
Mereka adalah:
1. LUA Lounge [ Komplit ]
2. Behind That Face [ Komplit ]
3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]
4. The Gone Twin [ Komplit ]
5. My Sick Partner [ Komplit ]
6. Tokyo Banana [ Komplit ]
7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]
8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]
9. Asmara Samara [ Komplit ]
10. Murmuring [ On - Going ]
11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]
12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]
13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]
14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]
Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.
Cukup 1 kali aja ya pencetnya.
Terima kasih. Selamat membaca.
-- T B C --