Rania kini tengah berdiri canggung di hadapan Candra dan Gavi. Baru kali ini ia merasa canggung dan tidak percaya diri berdiri di hadapan dua pria kesayangannya di rumah ini. Ayah dan Adiknya memandang dengan tatapan terpaku namun justru membuat Rania bingung. Apa ada yang salah pada dirinya saat ini? Rania butuh jawaban dari Candra dan Gavi.
“Papa sama Gavi jangan cuma diam dong, kasih aku masukan apakah ada yang salah atau ada yang kurang?” protes Rania.
Gavi dan Candra yang duduk bersebelahan saling melirik, kemudian dua jempol mereka masing-masing terangkat.
Rania memicingkan mati, “Maksudnya ini apa?” tanya Rania sambil menirukan apa yang Candra dan Gavi lakukan.
Gavi mendengus, “Artinya bagus, cocok. Kakak beneran nggak ngerti apa cuma pura-pura nggak ngerti”
“Gavi, ih. Siapa tahu nanti berubah jadi jempol terbalik. Tapi beneran cocok, Pa? Nggak aneh?” Rania mengarahkan pandangan pada tubuhnya yang tengah mengenakan dress panjang di bawah lutut berwarna navy.
Kemarin Sally memaksanya untuk pergi ke butik untuk membeli dress, yang akan dikenakan saat acara makan malam. Padahal Rania sudah menolak keras, berdalih ini hanya makan malam biasa kenapa harus repot-repot membeli baju baru sedangkan ia masih punya baju yang bagus dan jarang di gunakan. Tapi siapa yang tidak tahu Sally, dengan bujuk rayu akhirnya meruntuhkan pertahanan Rania.
Candra tersenyum tenang, “Kamu cantik, sayang. Mirip sekali sama Mama kamu waktu masih muda. Papa senang kamu mengenakan pakaian seperti ini.” Candra bisa menghitung dengan jari berapa kali putrinya mengenakan dress dalam setahun. Rania memang sedikit tomboy, mungkin dikarenakan besar di antara dua laki-laki yaitu ayah dan adiknya.
Mendengar pujian dari Ayahnya, Rania merasa malu tapi ia menutupinya dengan pura-pura merajuk, “Papa pasti bohong ya, biar Rania nggak ganti baju kan?” bibirnya seketika mengerucut.
Gavi berdecak sebal, “Ck. Pura-pura merajuk padahal dalam hati senang nggak ketulungan dibilang cantik kayak Mama.”
“Eh bocah, sewot terus dari tadi,” semprot Rania pada Gavi.
Candra menggeleng melihat kedua anaknya, “Sudah-sudah, kalian ini tidak lelah berantem terus?”
Rania dan Gavi saling melempar tatapan sinis. Begitulah kehidupan Candra tidak pernah terasa sepi jika kedua anaknya sudah berkumpul. Kedua anaknya selalu membuat hidupnya terasa lebih berarti, semangatnya ada pada Rania dan Gavi.
“Pasien kamu baik sekali sampai mengundang kamu makan malam di rumahnya. Bahkan di jemput oleh super, rasanya sedikit berlebihan. Tapi tidak apa, niat baik orang harus kita hargai,” ujar Candra.
Rania duduk di sofa seberang setelah lelah berdiri sejak tadi “ Rania juga kaget pa. Padahal aku udah nolak tapi tetap di paksa, kan lama-lama jadi nggak enak sama Mbak Sally.”
“Kak, orang itu udah tua ya?” tanya Gavi penasaran.
“...” Rania mengangguk.
“Mana yang lebih tua papa atau pasien Kakak?” cecar Gavi.
“Sepertinya pasien Kakak, mungkin tiga tahun di atas papa. Kenapa?” Rania mulai curiga dengan pertanyaan Gavi.
“Jangan bilang Kakak mau di jadikan istri ke duanya?” celetuk Gavi.
Mendengar celetukan Gavi membuat wajah Rania pucat. Apa yang disampaikan Gavi membuatnya merinding. Bagaimana bisa hal seperti ini bisa muncul dipikiran Gavi sedangkan dirinya sama sekali tidak pernah berpikir ke arah sana.
“Husss!. Kamu kalau bicara jangan ngawur, Gavi,” tegur Candra.
Tiba-tiba Rania bergidig membayangkan apa yang dikatakan adiknya menjadi kenyataan. Dirga memang bersikap baik pada Rania tapi sikap itu juga berlaku dengan suster lain di rumah sakit. Hanya saja intensitas Rania bertemu Dirga lebih banyak terlebih ia sering menemani pria itu ketika anaknya sedang tidak bisa berkunjung. Tapi mana bisa itu dijadikan dasar pembenaran dari ucapan Gavi.
“Gavi nggak ada maksud ngomong ngawur, Pa. Aku cuma mau Kak Rania hati-hati saja. Ingat ya Kak, Gavi nggak mau punya ipar yang udah tua, apalagi lebih tua dari Papa. Malu banget aku nanti.”
“Gavi ih, jangan nakuti-nakutin Kakak dong. Kamu terlalu berlebihan, gini nih suka nonton sinetron makanya pikirannya jadi ngaco.”
“Isshhh, siapa yang suka nonton sinetron sih. Makanya Kakak itu baca berita, kan banyak tuh yang nikah sama akik-akik demi duit dan aku nggak mau itu terjadi sama Kakak.”
“Enak aja, nggak ada tuh aku punya pikiran nikah demi uang. Udah ah, ngomong sama kamu kebanyakan nggak bener.”
“Yeee sewot banget sih.”
Candra menghela napas melihat perdebatan yang tiada akhir, “Rania sepertinya yang jemput kamu sudah datang. Gavi coba dilihat dulu ke depan biar Kakak kamu bisa segera berangkat.”
“Iya, Pa.”
Rania keluar dari kamarnya setelah mengambil tas kecil miliknya. Jangan bayangkan tampilan Rania seperti seorang gadis yang dinner dengan teman kencannya, tidak seperti itu. Drees yang dipilih Sally cukup simple dan nyaman, hanya Rania yang tidak terbiasa.
“Kenapa aku jadi degdegan ya, Pa?”
Candra tersenyum, “Kamu ini makan malam saja degdegan. Memangnya makan malam sama calon suami.”
“Ishh, Papa jangan mulai deh.”
“Kak, sudah ditunggu di depan rumah. Buruan gih.”
“Ah iya, Kakak berangkat sekarang. Pa, Rania pergi ya.”
“Hati-hati ya sayang. Semoga makan malamnya menyenangkan.”
“Iya, Papa.”
“Ingat, Kakak harus hati-hati. Kalau ada yang nggak beres segera hubungi aku.”
Rania memutar bola matanya, “Kekhawatiran kamu terlalu berlebihan, Gavi.”
Rania tengah duduk di kursi bagian belakang, karena saat ingin duduk di depan segera ditolak oleh supir keluarga Narawangsa. Rania adalah tamu dan tidak pantas duduk di sebelah supir. Padahal bagi Rania itu bukan masalah dan ia juga tidak keberatan. Tapi ia lebih memilih untuk mengalah karena tidak mau berdebat dengan orang yang hanya berusaha melakukan tugasnya dengan baik.
Diam-diam, Rania kembali memikirkan apa yang diucapkan oleh Gavi. “Dasar bocah nakal. Bisa-bisanya dia punya pikiran begitu,” batin Rania.
“Non Rania bisa kenal Bapak Dirga di mana?” tanya supir yang mengaku bernama Budi.
“Kebetulan saya suster yang merawat Bapak Dirga waktu sakit kemarin, Pak.”
“Wah Non Rania seorang perawat ya. Hebat sekali,” ucap Budi kagum.
“Semua profesi hebat kok, Pak Budi. Oh iya, panggil saya Rania saja jangan pakai embel-embel ‘Non’. Saya kan bukan majikan Pak Budi, jadi bicara santai saja sama saya.” Rania jujur, kurang nyaman dengan sebutan Non di depan namanya. Seumur-umur ia belum pernah di panggil seperti itu.
“Nggak apa-apa toh Non, kan nanti Non Rania juga jadi majikan saya.”
Demi apa, Rania mendadak pening dengan ucapan Pak Budi. Apa yang di katakan Gavi benar jika ia akan di jadikan istri ke dua oleh Dirga?
“Pak Budi bicara sembarangan, ih.”