"Kau ingin minum apa?" tanya Davenill sedikit berdebar.
Pria itu bangkit dari tempat duduknya dan berpura-pura membereskan beberapa kertas yang berisi sketsa desain gaun musim gugur.
Mereka hanya tinggal berdua saja dalam ruangan tidak terlalu besar, yang di pakai Davenill sebagai kantornya, dan atmosfer kecangungan itu juga terasa sampai ke diri Charlotte.
Matanya menjelajah setiap inci ruangan yang banyak dipenuhi oleh beberapa manequin dengan bentuk tubuh wanita mau pun pria berwarna putih serta hitam, namun tiba-tiba saja ia tertegun dengan sebuah manequin berselimut gaun cantik berwarna hijau tosca.
Charlotte bangkit dari posisi duduknya dan mendekat ke arah manequin itu berada. Tangannya bahkan sudah menyentuh batu swarosvki berwarna biru dan terus mematung di sana.
"Kau suka? Aku sengaja membuatnya sama seperti gambar yang kau kirim padaku dulu," bisik Davenill yang sudah melingkarkan kedua tangannya di pinggang Charlotte.
Wanita itu tersentak, berusaha melepaskan diri dari Davenill. Sayangnya sang Desainer tak mau melepaskan Charlotte, dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Biar seperti ini sebentar, Charl. Aku baru sadar setelah melihat diamond blue yang kau kenakan ini dan ini sungguh tidak ku mengerti ketika nyatanya sketsa yang kau berikan padaku ternyata benar-benar ku perjuangkan sejak awal karir ku," lanjut Davenill, semakin membuat tubuh Charlotte menegang.
Dengan susah parah ia berusaha untuk membalikkan tubuhnya dan ketika itu berhasil dilakukan, kedua netra biru itu pun saling memandang satu sama lain.
Kedua pipi putih Charlotte bersemu merah, padahal Davenill sama sekali tak berkata apa pun. Ia yang penasaran pun memberanikan diri bertanya, karena tak sanggup menyembunyikan rasa pemasarannya.
"Nill, dari mana kau--"
"Dari bros dengan diamond blue ini, Charl. Ini bukan barang biasa. Dulu aku pernah mencari tahu tentang barang ini saat pertama kali mengerjakan gaun itu," potong Davenill menunjuk gaun hijau tosca dengan satunya, "Aku ingin menambahkan bros itu di bagian kabarnya yang kala itu ku buat dengan bentuk kerah lebar, tapi Laurent snow jewelry memberi infomasi jika mereka hanya membuatkan benda ini khusus untuk seorang gadis remaja atas permintaan Ayahnya. Mereka bilang, itu untuk hadiah ulang tahunnya. Dan karena aku penasaran siapa pemiliknya, tentu saja aku harus rela memberi mereka bayaran agar mau berbagi infomasi itu denganku," jelas Charlotte semakin memerah.
"La-lalu..." tanya wanita itu.
"Ya, lalu aku kaget karena si gadis remaja itu ternyata adalah orang yang mengirimkan aku banyak surat bersampul biru, memberiku banyak sketsa gaun hasil buatannya sendiri, dan menanyakannya lagi? Gadis itu ternyata adalah wanita yang hampir dua tahun ini ku inginkan menjadi masa depanku," lanjut Davenill tersenyum manis, menampilkan deretan gigi putihnya.
Charlotte terdiam beberapa saat menatap betapa tampannya wajah Davenill. Dan entah setan dari mana, sepersekian detik kemudian ia pun ikut menarik kedua sudut bibirnya.
"Jadi, bisakah aku membantu mu untuk bahagia?" tanya Davenill terpesona oleh senyuman manis Charlotte.
Wanita itu lantas berhenti tersenyum, dan memicingkan sebelah mata atas ucapan Davenill sembari sedikit menimbang-nimbang.
"Hem, apa seorang Davenill Gomez tak punya cara lain menyatakan cintanya selain dengan cara to the point seperti ini?" tanya Charlotte mencebikkan bibirnya.
Terang saja Davenill segera memecahkan seluruh isi ruangan dengan derai tawanya, yang juga diikuti oleh tawa renyah Charlotte.
Setelahnya Davenill memasang tampang serius dengan pancaran mata berbinar menahan hasrat, dan mulai melontarkan pertanyaan yang terlintas di isi kepalanya.
"Katakan, Honey. Apa yang kau inginkan agar cintaku dapat di terima?" Davenill mengelus surai hitam Charlotte sembari berkata demikian.
Wanita itu lantas menatap ke atas, terlihat sedang berpikir keras dengan jawaban dari pertanyaan Davenill. Tak lama kemudian ia membuka suara dan memberikan satu perkataan yang sungguh mengejutkan.
"Aku ingin kau menikahiku, bukan mengajakku menjalin hubungan tak jelas karena aku sudah tak lagi muda," jawabnya sembari tersenyum manis.
Davenill yang merasa jantungnya akan cabut keluar dari balik tulang rusuk, pun segera melonggarkan pelukan di tubuh Charlotte. Dan kembali mencerna perkataan yang baru saja keluar dari mulut sang pujaan hati.
"Charl, are you okay?" tanya Davenill tak percaya.
Tentu saja ia harus bertanya lagi pada Charlotte, karena merasa wanita itu sedang bergurau. Tetapi Charlotte mengelengkan kepalanya beberapa kali, lantas kembali menjelaskan semua perkataannya tadi.
"Kau sudah bisa menebak, jika aku si gendut berbintik besar itu, kan? Jadi anggap saja ini hadiah dari tebakanmu yang benar itu," jelas Charlotte, segera meletakkan telunjuknya di bibir Davenill, "Dengarkan aku dulu. Kau ini mau ku jelaskan tidak?"
Ya, Davenill memang tadi sudah membuka mulutnya. Apalagi jika bukan karena ia sedikit bingung dengan perkataan sang pujaan hati. Alhasil, ia menganguk dan pasrah menunggu penjelasan Charlotte dengan detak jantungnya yang semakin menggila.
"Aku juga mencintaimu, Nill. Tapi itu dulu ketika kita masih remaja dan kau adalah si Captain basket sekolah dan Pemimpin club sketsa yang sangat ditolak banyak gadis," terang Charlotte, sedikit mengecewakan Davenill.
Namun pria itu hanya diam, mengharap datangnya satu kata 'tetapi' lagi dari bibir manis Charlotte. Sayangnya mulutnya tak lagi sabar menunggu perkataan lanjutan dari Charlotte, hingga satu kata pun meluncur begitu saja dari pita suaranya.
"Lalu?"
"Ya, lalu aku ingin menggali lagi perasaanku itu padamu dengan cara menikah dan kau mengajariku bagaimana caranya bahagia. Bukankah tadi kau bilang begitu? Jadi lakukan saja apa yang aku mau, karena versi bahagia tertinggi dalam hidupku adalah menikah. Mau tahu Mark sudah--"
"Aku akan menikahimu secepatnya! Jangan sebut nama itu lagi jika kau makan bersedia aku nikahi!" potong Davenill mengeraskan rahangnya.
Charlotte pun meledakkan tawanya seketika dan kali ini, ia merasa sangat lucu mendapati kenyataan jika dicintai itu sangatlah nikmat dari pada mencintai tanpa balas.
"Aku akan membawamu ke Barcelona dan kau harus menaklukan hati seorang penjahat bernama George Gonzalez terlebih dahulu, Nill. Setelahnya kau baru boleh melakukan hal yang lebih dari ini," lanjut Charlotte menyambar bibir kenyal Davenill.
Jantung Desainer muda itu hari ini benar-benar seperti sebuah roller coaster di wahana bermain anak. Sebab sedari tadi pagi, pria itu benar-benar banyak mendapat kejutan bahagia dari wanita pujaan hatinya.
Ya, walau ia akui wajahnya harus terkena imbas dari mencari kebahagiaan itu, namun impian terbesarnya sedikit lagi akan menjadi kenyataan.
Davenill mengangkat Charlotte dan membawanya menuju ke arah meja kerja, sebelum semakin memperdalam ciuman mereka.
"Aku... Hah... Aku sangat mencintaimu, Charl. Terima Kasih kau mau memberiku kesempatan," lirih Davenill sedikit terengah-engah.
Charlotte tak berniat menjawab perkataan Davenill, karena yang ia inginkan saat ini hanyalah menegaskan hatinya saja. Oleh sebab itu bibir Davenill kembali menjadi sasarannya dan mereka pun kembali saling berpagut, bertukar saliva, menerobos kedalaman rongga dengan mata tertutup.
"Maafkan aku, Mark. Kau yang memulai semuanya. Aku hanya ingin hidup normal dan merasakan bahagia," batin Charlotte berpacu dengan debaran jantungnya yang mengila.
"Apa?! Kalian akan menikah? Kau bohong, Charl! Bagaimana bisa kalian menikah sementara kau sendiri saja tidak pernah menjalin hubungan dekat dengan Kakakku? Kau pikir aku ini mudah dibodohi? Katakan apa maksudmu, Dalmations girls!" teriak Amanda yang baru saja sampai di apartemen mewah milik Charlotte Gonzales di kota Madrid.
Ia tadi sengaja meninggalkan Kakak dan sahabatnya itu di butik, dengan maksud menjemput Brenda dan menukar mobilnya dahulu ke mansion. Jok mobil sport miliknya tak cukup menampung tiga kepala, dan saat tiba di butik ia tak lagi menemukan Charlotte atau pun Davenill di sana.
Dari orang kepercayaan Davenill di butik ia mengetahui jika pria itu mengantarkan Charlotte pulang ke apartemen dan tanpa banyak kata ia bersama Brenda pun menyusul sahabatnya.
Tetapi betapa terkejutnya Amanda dan Brenda, ketika masuk ke basement apartemen. Mereka menemukan mobil milik sang Desainer itu masih terparkir cantik di sana, sehingga rasa penasaran pun membawa keduanya bergegas menuju ke lantai dua puluh satu untuk mengetahui apa yang terjadi di antara Charlotte dan Davenill.
Akan tetapi ketika sampai, sang Desainer tak langsung mereka temukan di sana. Sebab memang saat itu ia masih berada di dalam toilet yang berada tak jauh dari ruang tamu.
Amanda dan Brenda langsung menyeret Charlotte ke kamar, lalu sibuk mencecar wanita cantik itu dengan serentetan pertanyaan bagaimana hubungannya dengan Davenill.
Awalnya Amanda berharap Charlotte bisa segera berbaikan dengan Davenill agar hubungan mereka bisa di mulai dari sekedar berteman baik, namun kabar mengejutkan tentang sebuah pernikahan lah yang keduanya dapatkan dari mulut Charlotte.
Tentu saja Brenda lebih dulu histeris bahagia memeluk Charlotte, namun itu tidak berlaku sama sekali bagi Amanda. Ia jelas merasakan kejanggalan besar dari penuturan Charlotte, dan kembali mencecar wanita itu layaknya polisi yang sedang mengintrogasi pencuri.
"Jangan memarahinya, Mandy. Apa yang dikatakan Charlotte itu memang benar," sahut suara lain dari balik pintu yang kini sudah terbuka lebar.
Itu adalah suara Davenill Gomez, dan tentu saja ketiganya terkejut dengan kehadiran sang Desainer.
"Ceritakan padaku! Egh, ralat! Maksudku tolong jelaskan pada kami berdua secara rinci dan jelas, tanpa ada sedikit pun yang disembunyikan!" tegas Amanda yang kini sudah bangkit dari pinggiran tempat tidur.
Ia menatap tajam sang Kakak, yang tersenyum manis menampilkan deretan gigi putihnya. Davenill lantas mendekat ke arah Amanda dan merangkul pundak sang model bikini itu sembari menatap satu per satu wajah ketiga wanita di depannya.
"Seperti yang Charlotte katakan tadi, Mandy. Aku dan dia akan menikah. Lalu hidup bahagia," tutur Davenill begitu singkat.
Tak pelak, Amanda segera meninju perut sang Kakak. Karena ia sama sekali tidak puas dengan jawaban singkat tadi.
"Sakit, Mandy. Kau ini kenapa, hem? Apa tadi Nick tidak mengajakmu berdansa?" gerutu Davenill membuat Amanda ingin meninju perutnya sekali lagi.
Davenill pun berlari ke arah Charlotte dan bersembunyi di balik punggung kecil wanita yang sedang duduk di atas tempat tidur.
"Nick memang tidak mengajaknya berdansa, Dave. Dia menarik tanganku terus dan ku rasa itu terjadi karena Nick ingin membuat Mandy terbakar cemburu," jelas Brenda semakin tertawa lebar.
"Tutup mulut omong kosong mu, Brenda! Aku sudah tidak menyukai Nicholas Don Bosco sialan itu mulai dari sekarang!" ketus Amanda berbalik dan mengangkat kursi meja rias.
Ia duduk di depan ketiga pasang mata yang masih menertawakannya, lalu kembali menuntut penjelasan pada Charlotte dan Davenill.
"Cepat ceritakan apa maksudmu, Charl. Dan kau Brenda? Diam atau aku akan menelpon Dr. Peter Anderson kesayanganmu itu dan mengatakan jika kau tadi bermesraan dengan Nick di pesta pernikahan Jessy," sinis Amanda.
Damn it!
Brenda pun diam seketika, dan membola kedua matanya saat mendengar nama sang kekasih di sebut. Sementara Davenill dan Charlotte semakin tergelak, menahan rasa lucu akibat tingkah kedua wanita di depan mereka.
Selanjutnya Davenill menautkan lima jemari kanan milik Charlotte dengan miliknya dan mulai menjelaskan apa yang dikatakan wanita disampingnya, saat mereka masih berada di butik.
"Charlotte adalah pengarum rahasia ku ketika kau, Brenda dan juga Jessy masih memakai seragam khas Santana Instituto de Educación Secundar, Mandy. Dia--"
"Dia gadis gendut dengan retina mata berwarna cokelat dan bintik hitam besar di sekitar wajah hingga lehernya, hingga kami bertiga selalu mencemoohnya setiap hari. Benar begitu maksudmu 'kan, Brother?" potong Amanda membuat Brenda lekas berbalik dan menatap Charlotte dengan telapak tangan menutup mulutnya.
"Ya, dia yang mengirimkan aku banyak sketsa dengan surat bersampul biru itu. Aku mengetahui itu dari bros yang dulu ingin ku miliki juga, namun benda kecil ini ternyata di buat khusus untuk satu orang saja. Aku sebenarnya sejak dua tahun lalu selalu meragukan perkataan pemilik Laurent Snow Jewelry yang terkenal itu, dan sekarang aku menyuruh Jack mencari tahu lagi kebenarannya.
"Lalu apa hubungannya dengan pernikahan? Aku akui kebenaran itu pun baru ku ketahui saat Charlotte menyibak rambutnya, Dave. Tapi bukan ini yang aku mau. Aku mau jawaban pasti kenapa kalian akan menikah!" tuntut Amanda lagi, "Apa karena Charlotte tertangkap sebagai si pengirim surat cinta bersampul biru, sehingga kau memaksanya untuk menikah? Hal bodoh macam apa ini? Menikah, Dave. Yang kalian katakan pada kami tadi adalah pernikahan, bukan hanya sekedar membuat komitmen untuk sebuah hubungan cinta biasa?" lanjut Amanda dengan kening putihnya yang berkerut.
Davenill menghembuskan nafas kasar, sebelum pada akhirnya menuruti kehendak sang Adik yang tidak akan pernah berhenti bertanya jika ia tak segera berkata jujur. Namun ketika mulutnya hendak terbuka, ternyata Charlotte sudah lebih menceritakannya.
"Aku hanya menerima tawaran Kakakmu yang menawarkan sebuah kebahagiaan untukku, Mandy. Dulu aku menyukainya saat remaja, lalu hilang dan terganti oleh pria lain. Dengan menikah aku harap bahagia itu ku dapatkan, dan tentu juga perasaan ku padanya bisa kembali seperti dulu," jawab Charlotte membuat Davenill semakin mengeratkan tautan jemari mereka.
"Aku bahkan akan membuat mu tak bisa melepaskan ku, Honey. Kau hanya perlu pasrah dan ikuti aturan main yang akan ku buat," bisik Davenill tepat di telinga kanan Charlotte.
Ia bahkan menjulurkan lidahnya ke dalam lubang telinga pujaan hatinya, hingga sebuah desahan nyaring lolos dari pita suara Charlotte.
"Sebaiknya kita keluar, Mandy. Nanti saja penjelasannya kau minta lagi jika mereka sudah selesai menuntaskan hasrat," kekeh Brenda, bergerak turun dari tempat tidur.
Amanda berdecak kesal dengan pemandangan panas di depan matanya, dan ia pun pasrah menuruti kemauan Brenda yang sudah menarik tangannya untuk keluar kamar.
"Kunci pintunya! Jangan sampai aku berniat menonton acara live yang kalian berdua lakukan nantinya, Dave!" teriak Amanda menutup pintu kamar.
Charlotte yang mendengar ocehan Amanda pun seolah kembali terlempar ke dunia nyata, setelah beberapa detik ia sedikit terbuai dengan sentuhan nakal Davenill di tubuhnya.
"Lepas, Nill! Ingat peraturan yang aku katakan padamu tadi. Kau tidak boleh menyentuhku lebih jauh sebelum kita resmi menikah!" ucap Charlotte mendorong tubuh Davenill ke belakang.
"Ya Tuhan, Charl. Tenaga mu tadi seperti pria saja. Lagi pula aku hanya mengajarkan kau mencintaiku lagi, Honey. Jadi cepatlah kemari dan biarkan aku menunjukkan caranya," ujar Davenill mendekat ke arah Charlotte.
Ide gila tiba-tiba saja muncul di otaknya, dan sekali lagi ia melakukan hal itu. Kakinya melangkah menuju ke pintu kamar dan 'ceklek', suara kunci yang di putar pun terdengar.
"Jangan menggoda ku, Nill! Aku tidak akan luluh jika kau mengajari ku cara itu sekarang," sahut Charlotte terus melangkah mundur ke belakang.
Namun Davenill tak membalas ocehan Charlotte dan terus saja mendekati wanita itu.
"Jangan mendekat, Nill! Rasakan ini! Ughhh..."
Sebuah bantal bahkan melayang ke arah Davenill saat Charlotte sudah berdiri tepat di depan kepala tempat tidur miliknya, namun lagi-lagi sang Desainer tak memedulikan reaksi panik Charlotte.
Ia sengaja berakting seperti seorang penjahat yang ingin memerkosa wanita, dengan sibuk membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakannya.
"Oh, kau ingin bermain-main denganku? Aku pastikan pernikahan yang kau harapkan itu tidak akan pernah terjadi bila kau maju satu langkah lagi!" tegas Charlotte dengan mata yang sibuk bergerak ke kiri dan ke kanan, seperti sedang sesuatu.
Sayangnya Davenill tak juga gentar melakukan apa yang ia pikirkan, dan kini tubuhnya sudah berada di atas tempat tidur.
Davenill bahkan tiba-tiba saja bertingkah seperti ular, dengan berjalan melata mendekati Charlotte. Sekali lagi wanita itu melemparkan bantal ke arah Davenill, tapi sama sekali tak membuahkan hasil apa-apa.
Davenill bahkan tiba-tiba saja berdiri dari tingkah melata seperti ular tadi, dan secepat kilat ia menarik Charlotte hingga kedunya pun terguling di tempat tidur.
"Arghhh..."
Satu teriakkan lolos dari bibir Charlotte dan matanya pun tertutup seketika. Davenill yang melihat wajah lucu sang pujaan hati pun melepaskan tawanya, dan kedua mata Charlotte pun kambali terbuka.
"Kau sungguh menggemaskan, Honey. Apa kau lupa jika kau bukan anak gadis lagi, hem?" ucap Davenill masih terkekeh geli.
"Stupid! Jangan bahas itu lagi atau aku--"
"Atau apa, Honey. Hukumlah aku sesuka hatimu, jika kau mau. Aku bersedia menjadi b***k seumur hidup, asal aku bisa terus berdekatan dengan mu seperti ini," bisik Davenill di telinga Charlotte.
Ia lalu mulai mencium dan sedikit mengigit telinga putih itu, sehingga tanpa bisa di cegah, kini Charlotte tiba-tiba saja tak lagi bisa melawan tindakan panas Davenill. Dari situ sang Desainer akhirnya paham jika kedua telinga Charlotte adalah senjata ampuh untuk membawanya melayang ke angkasa, dan beberapa cuplikan adegan kamasutra yang biasa ia tonton pun kini tengah bergelayut manja di isi kepala Davenill.
"Nilll... Achhh..."
"Yes, Honey. Sebut namaku lagi, Charlll... Umhhh..."
Charlotte sungguh tak bisa menahan diri saat lidah Davenill terus mengeksploitasi telinganya, dan kini yang terjadi adalah hasrat membara kian membakar di dalam dadanya.
Tangan Charlotte yang bebas bahkan sudah sibuk membentuk pola abstrak di d**a berbulu Davenill, hingga pria itu pun sibuk mencari resleting gaun Charlotte yang terletak di punggung belakang.
"Nilll... Pleaseee..."
Tanpa tahu malu, Charlotte bahkan merengek ketika Davenill semakin intens memainkan lidah di telinganya. Sehingga ia pun memberi kemudahan pada Davenill dengan memiringkan tubuh, agar resleting itu segera terbuka.
Kreeekkk...
Sayangnya Davenill yang tak sabaran akhirnya merobek gaun itu, namun Charlotte tak juga bergeming ketika bibir Davenill kini berbalik menciumi telinganya yang lain.
Tak sampai tiga menit akhirnya satu persatu benang di tubuh keduanya pun terlepas, dan kini permainan panas di telinga pun sudah berganti dengan lidah Davenill yang bergantian memainkan gundukan kenyal di d**a Charlotte.
"Oughhh... Nillll..."
Sejak tadi yang bisa Charlotte lakukan hanyalah mendesahkan nama Davenill, dan sejujurnya hal tersebut semakin membuat sang Desainer geram.
Ia ingin Charlotte mengeluarkan kata-kata tuntutan yang meminta dirinya untuk semakin dalam beraksi, sebab dengan demikian ia punya alasan kuat saat Charlotte menyalahkan aksi nekatnya ketika games berakhir.
Karena tak kunjung mendengar Charlotte merengek lagi, Davenill pun memainkan liddahnya ke bawah dan terus bergerak menjulur seperti seekor anjing.
Perut raga wanita itu kini menjadi sasaran Davenill, dan sekali lagi Charlotte mengeliat kasar akibat rasa geli yang timbul.
"Oh my God, Nilll...!" pekik pasrah Charlotte tak tertahankan, "Ini sangat geli, Nilll... Pleaseee... Jangan menggodaaa... Oughhh... Shittt...!" desah wanita itu lagi.
Ia merendam kembali ucapan yang hendak keluar dari pita suaranya, karena saat itu lidah Davenill sudah membelai daging kecil di k******s Charlotte.
"Davenilll...! Oh my God! Oughhh... What the f**k are you do-- Oughhh... Fuckkk..." teriak Charlotte sekali lagi.
Tumbuhnya terasa lunglai dan lemas tak berdaya saat itu juga. Sebab selama dua tahun ia berpisah dengan Mark Rodriguez, sentuhan liar semacam ini sudah tak pernah lagi ia rasakan.
Davenill tersenyum puas di antara lidahnya tak terus menari di kewanitaan Charlotte, sembari mencoba menetralkan degupan jantungnya yang menggila.
"Teruslah mendesah, Honeyyy... Aku sudah menanti hari ini sejak lamaaa..." batin Davenill terus memainkan lidahnya.
Tubuh Charlotte tak lama kemudian terasa seperti tersedot ke dalam putaran segitiga bermuda di lautan luas dan tak sampai sepuluh detik kemudian, desahan panjang Charlotte sudah terdengar lagi.
"Davenilll... Oughhh... Akuuu... Oughhh... Fuckkk..."
Ia memegang erat kepala Davenill dengan telapak tangan dan mengangkat punggungnya ke atas, memperhatikan pria yang berhasil mendatangkan pelepasan pertamanya.
Sementara Davenill, terus menyedot habis cairan cinta milik Charlotte yang terasa hangat itu hingga tak tersisa, sembari terus berteriak menenangkan hatinya.
"Ughhh... Yeach...! Ini nikmat, Honeyyy... Oh, Tuhannn... Aku ingin terus seperti iniii...!" batin Davenill terus bersorak.