Penghianat

2060 Words
"Saat kalian mengira kalau korban adalah tersangka. Padahal yang sebenernya tersangka itu adalah orang terdekatmu. Maka kamu baru menyadari saat kamu kehilangan semuanya." ****     "Harry terus gimana sama perlengkapan kita kalau semuanya hilang?" tanya Angelina.   "Papi masih punya simpenan 'kan pasti yang enggak mereka ambil?" tanya Estel lagi dengan polosnya. Harry menghembuskan napasnya kasar, dia tidak menyimpan apapun lagi sekarang. Apalagi Tono dengan liciknya mengambil semua alatnya.  "Tidak, Papi sudah tidak simpan apapun lagi. Sekarang semuanya sudah diambil sama, Tono."   "Ya terus sekarang gimana dong, Pi masa kita enggak bisa ngalahin monsternya."   "Gimana lagi udah kejadian." Steven dengan kesal langsung berdiri dan mendorong Lili.   "Ini semua salah kamu, Lili. Kalau aja, Papi aku enggak nyelamatin kamu, Kakek tua bangka itu enggak tahu alatnya, Papi jadi dia enggak ambil alatnya, Papi."   "Aku enggak tahu, Stev."   "Pokoknya ini semua salah kamu. Kamu ini cuma nyusahin aja ikut kita!" Tanpa sadar suara Steven membuat dengungan monster itu berbunyi.     Harry langsung menarik anaknya. Mengumpulkan mereka jadi satu, termasuk  Lili. Ketika suara itu sudah hilang perlahan-lahan dan tidak ada tanda-tanda hadirnya monster mereka memundurkan badannya.   "Steven, ini semua bukan salah, Lili. Kalau aja malam itu Papi enggak denger suara berisik mereka. Tono itu malah sudah hilang bawa alat itu."   "Tapi, intinya kan dia ngambil juga, Pi. Apa bedanya sama kemarin yang gagal tapi sekarang berhasil. Sama aja."   "Sama aja apanya? Papi enggak pernah ngajarin kamu buat nyalahin orang. Kamu harus pikir positifnya juga. Kalau bukan karena ada monster itu Papi enggak bisa coba alat itu."   "Bisa aja tinggal panggil monsternya," jawab Steven entengnya.   "Steven kamu enggak boleh gitu. Udah biarin aja mereka kayak gitu. Sekarang kita lanjut aja ya. Kita cari tempat di mana masih ada orang-orang yang berkumpul itu."   "Papi udah tahu tapi memang sangat jauh. Kita harus sabar dan semoga saja di sana benar masih bisa kita minta bantuan mereka."   "Kalau kita bisa sendiri kenapa sama orang lain si, Pi? Semua enggak ada yang bisa dipercaya contohnya Kakek Tono udah kita bantuin malah gitu. Udah mending kita balik ke rumah lama aja. Kita hidup tentram di sana lagi," ucap Estel.    "Tapi, kan rumah kita pasti udah dikepung sama monster itu, Stel jadi buat apa kita ke sana lagi. Cuma buang waktu aja. Nyerahin diri ke manusia kanibal Dan monster."   "Manusia Kanibal itu udah mati semua."   "Really? Yaudah kita balik aja ke sana lagi."   "Denger, Papi ya. Kalau kita balik ke sana lagi kita cuma akan ngerasa selalu ketakutan. Monster itu masih ada, entah jumlahnya akan semakin banyak nantinya kalau memang mereka beranak pinak. Kalau kita diam di sana aja tanpa ada perubahan buat apa. Kesadaran diri kita masing-masing saat ini untuk bisa berani," jelas Harry panjang lebar.   "Tapi, nanti pasti dari kita akan jadi korban aku enggak mau. Aku mau kita hidup tenang aja seperti 3tahun yang kita lalui, Pi."    "Stev. Langkah kita sedikit lagi jadi kita bisa kok jalanin ini."   "Sedikit lagi apa, Pi. Kita kehilangan Violine."   "Enggak usah bahas, Violine lagi, Steven. Adek kamu udah tenang di sana. Kita yang di sini yang harusnya usaha buat bisa kayak dulu lagi. Kamu mau sampe kamu gede punya keturunan monster itu terus ada. Gimana kamu bisa bertahan hidup? Dalam diam aja gitu? Papi lakuin ini untuk kalian. Papi enggak mau kalian ke depannya kayak gini terus sekalipun Papi harus berkoban demi anak-anak Papi bakal Papi lakuin Steven."   "Harry udah, kamu juga harus tenang. Ini bisa dibicarakan baik-baik," ucap Angelina mengelus pundak suaminya itu. Steven hanya diam. Dia hanya takut kalau Papinya itu kenapa-kenapa.   "Aku takut, Pi kalau akhirnya aku cuma sendiri tanpa kalian. Aku lebih baik hidup dalam ketakutan asalkan bisa bersama kalian terus. Makanya aku enggak mau lanjutin ini. Aku enggak papa enggak hidup kayak dulu lagi," ucap Steven sambil menundukkan kepalanya.    Harry berjalan Dan mengelus kepala anaknya, "Papi tahu. Tapi, Papi akan selalu ada buat kamu begitupun dengan Mami juga. Kamu inget juga 'kan kamu seorang kakak. Masih ada Estel Dan Eveline yang harus kamu jaga juga kita di sini saling menjaga satu sama lain. Jadi, kamu enggak perlu takut. Itu sebabnya Papi menerima siapapun yang mau ikut bersama kita. Untung membantu kita kalau terjadi sesuatu. Mungkin saat ini Lili tidak bisa membantu saat peralatan kita dicuri. Tapi, kita enggak tahu kalau ke depannya Lili akan bantuin kita. Jadi, kamu paham kan." Steven berusaha untuk menjelaskan kepada Steven semuanya. Dia hanya tidak mau kalau sampai kemungkinan terburuknya dia tidak bisa bersama lagi dengan anaknya. Masih ada orang lain yang bisa menjaga anaknya. Itu saja yang dia pikirkan.   "Maaf, Pi."   "Papi udah maafin kamu sekarang minta maaf ke Lili," ucap Harry ke Steven. Steven berjalan ke arah Lili menyodorkan tangannya ke Lili, "Saya minta maaf, Lili. Karena ucapan saya membuat kamu sakit hati."   "Enggak papa kok wajar kalau kamu marah dengan saya. Soalanya saya duluan yang enggak mau bantu kamu. Tapi, setelah ini saya janji apapun yang terjadi sama kalian aku bakal selalu ada. Aku udah enggak ada siapa-siapa lagi jadi aku bakal bantuin kalian selalu." Steven dan yang lainnya mendengar pun tersenyum. Ternyata Lili orang yang baik hanya saja kita menyikapinya yang tidak baik.    "Yaudah sekarang kita jalan lagi ya. Papi, untungnya masih nyimpen peta ini sama kalian."  Harry mengeluarkan Peta itu dari peti yang dibawa Angelina untuk menaruh bayinya kalau keadaan darurat atau monster itu datang. Peti itu sudah dibuat tidak rapat agar udara bisa masuk. Lagian tidak selalu hanya jika ada kondisi darurat saja.   "Kok aku baru tahu ada itu disitu?" tanya Angelina lagi.   "Memang sengaja. Entah kenapa sudah punya firasat saat kita berpencar kalau peta itu akan aman kalau kalian yang bawa. Dan untungnya benar masih ada. Papi juga baru ingat ini."   "Awas, Pi nanti Lili tahu diambil juga lagi kita udah enggak punya apa-apa lagi sekarang."   "Astaga. Aku enggak bakal ambil kok," ucap Lili menggelengkan kepalanya. Sedetik kemudian Steven tertawa.   "Enggak kok, Lili. Aku bercanda udah yuk kita berangkat sekarang. Lagian nanti keburu siang keburu panas," ucap Steven sambil tersenyum. Angelina Dan Harry hanya tertawa mendengarnya.   Mereka lanjut berjalan mengikuti peta itu. Semua peralatan sudah diambil oleh Tono. Jadi, mereka hanya tetap akan berjalan untuk menemukan sebuah pulau di mana waktu itu masih ada beberapa orang tinggal di sana. ....    Di sisi lain, Tono tidak tahu harus berjalan ke mana. Cucunya Jeromy pun sudah terlihat sangat pucat.    "Jer. Kamu masih kuat jalan 'kan?"   "Capek, Kek. Kita sampenya kapan?"   "Kakek enggak tahu kita harus ke mana."   "Terus gimana kek? Nanti kita cuma.mati di sini." Jeromy melepaskan tangannya dari sang Kakek dia memang tidak tahu harus bertahan sampai kapan.   "Jeromy kamu enggak papa 'kan?"    "Jeromy capek, Kek." Jeromy menutup matanya perlahan. Peluh keringat membasahi keningnya.   "Yaudah kita istirahat dulu di sini."   "Kenapa sih, Kek Kita harus ngambil peluit Dan pistol mereka. Pasti mereka sedang mencari alat ini. Padahal, mereka sudah baik mau bersama-sama."   "Jangan percaya dengan kata bersama-sama siapa tahu mereka cuma numbalin kita. Makanya sebelum kita jadi tumbal mending kita jalan sendiri aja sekarang."    "Mereka orang baik, Kek." Jeromy lihat kalau keluarga Harry sebenarnya tulus. Entah kenapa kakeknya malah berfikir kalau keluarga Harry bukan keluarga yang baik.   "Kamu hanya lihat sebagai sudut pandang anak kecil kamu enggak tahu apa-apa jadi kamu ikutin Kakek aja kalau kamu masih mau selamat. Kamu ngerti 'kan?" Mau tidak mau Jeromy pun diam dan mengalah. Jeromy hanya diam, dia lapar tapi tidak ada yang bisa dimakan.  Jadi, dia lebih baik memilih untuk tidur saja. Sedangkan karena Tono takut ada yang mencuri alatnya jadi dia tetap terjaga.     "Ohhh jadi kalian licik juga ya kabur duluan." Tono baru saja ingin memejamkan matanya tapi kedatangan seseorang di depannya membuat dia langsung duduk dengan tegap. Orang itu sedikit silau karena terhalang matahari. Tono langsung bangun saja.   "Octa. Kamu ngapain di sini?!" Tono tidak tahu kalau Octa ternyata bisa menemukannya. Tono melihat ke belakang kalau ada Octa itu artinya....   "Enggak usah lihat ke belakang. Tenang aja mereka enggak ada di sini kok." Octa yang paham melihat gerak-gerik Tono pun tersenyum licik. Jeromy langsung ikut bangun juga saat melihat ada kedatangan Octa.   "Ngapain kamu ke sini. Kamu ngikutin saya?!"   Octa tersenyum licik Dan meremehkan. "Kalau iya kenapa? Bisa-bisanya ya kamu ngambil alat itu sendiri Dan kabur gitu aja. Padahal saya udah bantuin kamu waktu itu."   "Buat apa ngajak kamu. Manusia sekarang hanya akan mempesulit saja. Percuma!"   "Sombong sekali ya kamu tua bangka." Octa langsung saja meninju perut Tono. Tono yang belum siap pun terkejut Dan langsung terbatuk-batuk.   "Baru gitu doang aja udah kao tapi sok-sok an kabur sendiri. Udah mana alat itu serahin ke saya." Octa menyodorkan tangannya. Tono hanya meludah di tangan Octa. Membuat Octa malah semakin muak.   "b******k ya lo! Gue minta ini baik-baik malah lo seenaknya aja ludahin tangan gue." Octa menarik kerah baju Tono.  Tono ingin langsung melepaskannya tapi tenaga Octa lebih kuat darinya.   "Kak Octa lepasin."   "Diem kamu anak kecil kalau enggak mau kenapa-kenapa."   "Jangan sakitin cucuku."   "Yaudah sekarang mana alatnya?! Jangan disembunyiin aja kamu fikir saya main-main!" Octa dengan kasar meminta alat itu. Tapi, dia masih tidak mau memberikannya.   "Dasar lo ya Kakek-kakek Batu. Sok-sok an mau nyimpen itu sendiri. Sekarang sini enggak!" Octa dengan kasar mencari alat itu dikantong-kantong. Bahkan mengambil tas Tono. Tono yang memang sudah tua pun memberikan kebijakan.   "Octa berenti. Dari pada kita bertengkar lebih baik kita bersama-sama."   "Apa barusan kamu bilang? Bersama-sama? Mau ngapain. Saya tahu kamu pake alat itu cuma buat simpenan kamu sendiri kan. Kamu enggak akan menghancurkan monster itu. Kamu cuma mau biar kamu Dan cucumu selamat iyakan?!"   "Enggak, Octa. Ini kita lagi cari tempat yang Harry bilang masih ada orang-orang yang bertahan hidup di sana. Mereka juga punya alat untuk membuat suara peluit ini jadi besar dan menghancurkan semua monster itu." Octa tetap tersenyum sinis Dan tidak percaya dengan ucapan bodoh Tono. Kakek tua bangka itu egois hanya ingin dirinya sendiri.   "Enggak. Siniin peluit sama pistol itu."   "Kak Octa lepasin jangan sakitin Kakekku."    "Diam kamu." Octa langsung mendorong Jeromy. Terdengar hantukan batu. Mereka langsung melihat ke arah Jeromy. Tono membulatkan Matanya kala melihat kepala Jeromy berdarah.   "Jeromy. Lepasin Octa!!!"   "Mana dulu peluit sama pistol itu. Kamu jangan coba-coba main-main sama saya."   "Octa kamu enggak ada perasaan sama sekali."   "Kek, sakit...." Jeromy memegangi kepalanya.    "Octa lepasin."   "Kasih dulu alat itu atau kamu mau biarin cucu kamu mati?!" Tono akhirnya menyerahkan peluit Dan pistol yang dia simpan di dalam kantong celananya. Dia terpaksa memberikan itu dari pada cucunya kenapa-kenapa.   "Ambil sana! Sudah puas kan kamu!" Octa tersenyum sinis. Melepaskan Tono. Tono pun langsung menghampiri cucunya.   "Jeromy. Kamu enggak papa kan? Tahan, Jer. Kita cari pertolongan."   "Sakit, Kek," ringis Jeromy. Jeromy melihat kakeknya sudah samar.   Octa langsungm mengambil pisaunya. Dari belakang dia berjalan ke arah Tono Dan Jeromy. Setelah tepat di belakang Tono dia langsung menusuk leher belakang Tono. Tono merasakan sakit luar biasa. Dia menengok ke arah Octa.   "Octa apa yang kamu lakukan. Aku sudah beri peluit dan pistol itu."    "Terus aku peduli gitu? Lalu aku membiarkan kaliannl hidup? Oh tentu saja tidak bisa begitu." Octa langsung menusuk mereka dengan membabi buta. Jeromy yang memang sudah melemah langsung tewas. Tono yang tadinya mencoba melawan pun akhirnya tewas.    Octa tersenyum puas melihat dua mayat yang mati di tangannya. Darah muncrat mengenai tangan dan baju Octa. Tidak ada rasa bersalah sekalipun yang ada hanya kepuasan. Setelah melihat mereka berdua mati dia pergi begitu saja membawa peluit Dan juga pistolnya. ......     "Jalannya kok harus melewati jurang, Pi?" tanya Estel saat melihat di depannya ada jurang.    "Hmm...." Harry menengok ke arah kanan-kiri memang tidak ada jalan lain selain mungkin mereka putar balik.    "Sini ... Ada terowongan," ucap Lili yang melihat ada terowongan ke arah sana.   "Mana?"    "Itu di sana." Mereka langsung mendekat ke arah Lili. Memang ada lorong tapi kelihatan sangat gelap. Kita tidak tahu ada apa di dalamnya.   "Tunggu kita enggak tahu itu lorong apa. Nanti takutnya di dalam sana ada hewan lain atau apapun yang membahayakan."   "Kalau gitu biar Lili lihat aja duluan." Lili mengalah untuk masuk lebih dulu. Dia ingin memastikan kalau lorong itu aman. Tapi, Harry menariknya....      "Kenapa, Tuan?"   "Biar saya saja yang Cek kamu tunggu sini." Harry hendak masuk tapi Angelina langsung meminta ikut.     "Harry biar aku ikut sama kamu."    "Enggak usah kaki kamu 'kan juga masih sakit mending di sini sama anak-anak."    "Enggak. Anak-anakan ada Steven dan Lili." Harry menghela napasnya dan mengangguk. Dia membolehkan istrinya untuk ikut bersamanya.   "Steven kamu jaga adik kamu ya di sini," ucap Angelina.   "Iya, Mi." Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam untuk mengecek keadaan lorong itu. ......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD