"Hari sudah berganti lagi sampai tidak terasa mereka belum juga berhasil dengan cara mereka."
****
Angelina jadi pendiam saat ini. Riska—istri Gorge selalu menenanu Angelina begitupun dengan Bu Minah. Angelina merasa kalau hidupnya sudah tidak berguna lagi. Suami dan anak-anaknya sampai sekarang belum juga pulang entah mereka ke mana.
"Angel, kamu jangan diem aja. Anak kamu lagi rewel, Angel badannya panas." Angelina lantas melihat ke anaknya. Memegang jidat anaknya. Benar saja, badannya panas.
"Anakku pasti kangen juga sama Ayah dan Kakaknya, Ris," ucap Angelina lagi dia merasa kalau memang anaknya pun sama merasakan apa yang dia rasakan.
"Mereka pasti balik kok, Ngel. Percaya aja sama takdir kalau mereka baik-baik aja."
"Tapi, ini udah seminggu, Ris. Kenapa mereka enggak balik juga. Apa terjadi sesuatu sama mereka. Aku mau cari mereka," ucap Angelina lagi. Riska menghela napasnya, pelan.
"Kalaupun kamu mau cari, ke mana? Kalau pas kamu nyari dan suami kamu pulang gimana? Malah saling mencar, Angel jadi tungguin aja di sini. Sambil berdoa mereka kembali dengan baik-baik." Angelina terdiam apa yang dikatakan Riska benar kalau dia pergi suaminya kembali malah mereka tidak saling bertemu.
"Iya, Ris."
"Ini anak kamu kita kompress aja dulu. Badannya panas. Aku ambilin air hangat dan lap dulu."
"Makasih, Ris," ucap Angelina. Riska pun mengangguk. Dia bangkit untuk mengambilkannya sedangkan Angelina menenangkan anaknya yang rewel.
.......
Wajah mereka sudah tidak karuan berantakan, raut wajah lelah sangat terukir di wajah mereka. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apapun. Mereka hanya bisa terus berjalan sambil mencoba alat tersebut.
"Pi, yang kemarin udah gagal. Apa kita pulang aja, kita benerin lagi alat itu?" tanya Steven.
Beberapa baru yang lalu alat tersebut sudah digunakan tapi mereka semua malah hampir mati. Harry sudah mengecek semuanya tapi alat untuk menyerang monster itu gagal. Seakan ada bunyi lain setiap kali dia menyalakan alatnya sehingga monster itu malah menyerang mereka.
"Stev, kamu inget kan suara peluit itu?"
"Iya, Pi," jawab Steven.
"Suara alat ini Papi bunyikan berlawanan dengan suara peluit itu. Peluit itu suaranya tidak besar tapi mampu berbunyi nyaring. Papi rasa alat ini tidak berfungsi karena ada peluit di sekitar kita." Penjelasan Harry cukup membuat mereka semua terdiam.
Jadi begini, Alat yang dibuat Harry adalah semacam radio yang suaranya lebih keras dibandingkan peluit yang dia buat. Tapi, hanya peluit itulah yang bisa langsung mengenai saraf pendengaran monster itu. Sedangkan radio ini tidak, karena apa? Saat Harry merangkainya sistem yang penting malah tidak ada. Makanya alat itu tidak terlalu bisa menghancurkan monster itu kalau ada peluit disekitar mereka. Tapi, siapa yang punya peluit itu selain Harry.
"Kan enggak ada yang punya peluit itu selain kita. Itupun udah diambil sama Octa 'kan." Harry mengangguk. Lalu, dengan kecerdasannya berarti dia sadar ada orang yang mengikuti mereka.
"Apa mungkin ada orang lain yang ngikutin kita, Pi?"
"Bisa jadi. Kamu inget waktu itu kan kamu bilang ada yang ngerasain ngikutin. Apa mungkin emang ada orang lain yang ngikutin kita." Joe dan yang lainnya menengok ke kanan-kiri. Tidak ada orang. Tapi, kemudian dia memicingkan matanya kala ada semak-semak yang Bergerak.
Joe langsung bangkit, dia langsung lari ke arah semak-semak itu. Harry dan yang lainnya terkejut kala melihat Joe tiba-tiba lari.
"Joe mau ke mana?" tanya Harry kepada Lili.
"Enggak tahu, Tuan."
"Jaga adek-adek kamu dulu. Saya ingin lihat ke sana." Lili mengangguk dia beralih untuk lebih dekat bersama Steven dan Estel.
"Ada apa lagi ya?" tanyq Estel.
"Aku juga enggak tahu, Stel." Mereka bertiga hanya melihat mereka berdua dengan serius.
Joe melihat ke semak-semak itu tidak ada apapun di sana. Sepertinya memang ada yang tidak beres.
"Kenapa, Joe?"
"Firasat, Om kayaknya bener ada yang ngikutin kita." Joe melihat ke kanan-kiri tapi tidak ada siapapun tapi saat mereka hendak berbalik Joe melihat ada ikat rambut yang terjatuh.
"Ini ikat rambut, Om? Kayaknya baru jatoh deh." Harry melihat ikat rambut tersebut. Lalu, menoleh ke sana kemari tidak ada siapapun orang itu pasti sudah kabur.
"Kayaknya sih gitu. Tapi, orangnya udah enggak ada. Sekarang kita harus waspada." Harry hendak berjalan lagi ke arah anak mereka. Tapi, Joe menemukan alat lagi.
"Om ini?" tanya Joe memberikan alatnya.
"Peluit ini. Peluit ini yang hilang. Itu artinya Octa ada disekitaran sini. Ayo kita ke anak-anak." Harry langsung berlari ke anak-anaknya. Dia mengira terjadi sesuatu dengan anaknya untung saja mereka tetap baik-baik saja.
"Stev. Kamu bener. Kayaknya Octa ada disekitar kita."
"Octa?"
"Ya. Dia ada disekitar kita. Firasat kamu waktu kamu bilang ada yang ngikutin kita itu enggak salah, Stev mereka ada di sini. Peluit ini sama ikat rambut ini kita temuin di sana." Harry menunjuk ke arah tadi dia menemukan Ikat rambut ini dan Peluit ini.
"Berarti selama ini dia ngikutin kita, tapi kita enggak tahu?"
"Ya bener."
"Tapi, untuk apa dia ngikutin kita. Dan kenapa juga dia sengaja buang peluit ini."
"Menurut Papi ini enggak sengaja dibuang ini jatoh. Terus dia panik waktu Joe ke sana. Makanya langsung lari," ucap Harry. Begitulah menurut Harry.
"HAHAHAHA...." Seseorang tertawa di belakang mereka sontak membuat mereka langsung menengok ke arah sana.
"Siapa kamu?!" tanya Harry langsung bangkit diikuti mereka semua.
"Udah lupa sama aku?"
"Octa???" Steven hafal sekali itu suara Octa. Steven menyembul di belakang Harry dan juga Joe. Di tengahnya ada Lili yang merangkul dirinya dan juga Estel.
"Hahaha ... Inget juga kalian," ucap seseorang itu lantas membuka penutup kepalanya.
"Octa...." Harry tidak menyangka bahwa Octa malah menunjukkan dirinya di depan mereka.
"Kenapa? Kaget lihat saya di sini?"
"Ngapain kamu ngikutin kita ke sini." Octa tersenyum sinis.
"Kamu fikir saya tadi kabur dengan sengaja ninggalin iket rambut sama peluit abal-abal kalian. Haha ... kalian salah besar, Harry. Itu memang salah satu rencana saya buat kalian pergi dari sini."
"Maksud kamu apa?!" Harry mundur diikuti mereka. Sampai mereka lupa bahwa alat radio itu dan semuanya ada di dekat Octa. Mereka Semua tidak sadar. Mereka malah mundur tanpa membawa benda apapun.
"Ngapain mundur-mundur aku sendiri kalian bergerombol masa takut sama aku." Octa tersenyum sinis dengan pakaian serba hitam mampu membuat dirinya ditakuti.
"Enggak kita enggak takut."
"Alat ini bagus juga. Harry ... Harry ternyata kamu pinter juga buat alat buat ngancurin monster itu tapi kamu juga lupa ya kalau alat ini bisa aja menghancurkan kamu sendiri." Octa mengelus radio yang sudah berada di dekatnya.
Harry maju untuk mengambil alat penting itu. Tapi, tangan Octa malah memegang Radio itu. "Octa jangan sentuh alat itu."
Octa menyunggingkan senyumnya, "Kenapa? Takut ya kalau dua alat ini aku bunyiin sekaligus. Oalah seorang Harry bisa takut ya Hal yang kayak gitu."
"Octa saya enggak takut tapi kalau kamu bunyikan radio itu yang ada monster itu muncul." Octa menganggukan kepalanya. Dia pun menarik tangannya. Tapi, dia langsung mengambil peluit itu dan menjatuhkannya ke tanah. Dia langsung menginjak peluit itu hingga hancur.
"OCTA!!!" teriakan Harry untuk mengintrupsikan mereka gagal. Suara itu sudah berbunyi.
"Lari ... Kalian lari...." perintah Harry.
"Enggak aku enggak mau, Papi gimana?" tanya Estel lagi.
"JOE ... LILI BAWA ANAK-ANAK SAYA MENJAUH." perintah Harry dengan tegas. Mereka pun mengangguk. Joe menarik Steven sedangkan Lili menarik Estel.
"Enggak, mau aku mau sama Papi...."
"Papi ... Lepasin aku juga mau nolongin, Papi. Kalo kalian enggak mau nolongin Papi biar Steven aja yang nolong, Papi." Steven juga meronta sama halnya dengan Estel.
Harry berjaga mundur. Suara monster itu sudah nyaris muncul. Beberapa detik lagi pasti monster itu sudah muncul.
"Kamu gila, Octa. Apa yang buat kamu benci sama keluarga saya. Padahal kemarin-kemarin saya sudah percaya sama kamu."
"Kenapa kamu bilang? Aku sengaja bikin keluarga kamu sengsara. Karena anak kamu Steven udah bunuh Pamanku Werd. Kamu fikir aku enggak sengsara hidup sendiri. Jangan merasa keluarga kamu masih lengkap jadi seenaknya."
"Werd?" tanya ulang Harry. Tapi, monster itu langsung saja datang. Octa tidak bergeming, dia tetap diam di tempatnya berdiri. Padahal, tempatnya sangat dekat dengan radio itu.
Harry tidak mengeluarkan suara apapun. Monster itu mulai muncul. Dia mundur perlahan-lahan.
Di sisi lain Joe dan Lili menutup mulut Steven dan Estel rapat-rapat. Monster itu menengok ke kanan-kiri. Estel menggelengkan kepalanya begitupun dengan Steven. Genggaman tangan mereka sangat erat. Tangis sudah memuncak Estel ingin membantu Papinya. Dia takut kalau Papinya tidak selamat.
......