Menoleh ke kanan, ke kiri, telentang, tengkurap, bahkan posisi sujud, tidak ada yang bisa membuatku memejamkan mata.
Untuk ke sekian kalinya, aku melirik layar ponsel untuk mengecek jam. Hampir pukul duabelas malam. Adit belum kembali.
Tidak biasanya dia pulang terlalu larut malam. Biasanya jam delapan atau sembilan, ia sudah ada di rumah. Namun, kali ini berbeda. Dia juga tidak memberikan kabar atau pesan. Ini yang membuatku gelisah seperti saat ini.
Aku menurunkan kedua kaki menyentuh lantai. Kalau tidak salah, ini yang kelima kalinya aku keluar kamar hanya untuk mengecek apa Adit sudah datang atau tidak. Cara yang sia-sia. Karena dari dalam kamar pun, aku bisa mendengar suara mobilnya di halaman atau suara pintu kamarnya yang tertutup.
Kembali ke tempat tidur, aku berbaring. Seluruh tubuh kututupi dengan selimut. Mataku terpejam dengan hati yang terus berbisik, memintaku memejamkan mata.
Tidak bisa!
Indra pendengaranku menangkap suara dari lantai satu. Mungkin Adit sudah pulang. Aku meraih jilbab instan, dan langsung keluar kamar untuk mengecek. Senyumku mengembang karena benar dia yang datang.
Wajahnya terlihat lelah, terbukti dengan beberapa garis kerutan di wajahnya. Bawah matanya pun mulai menggelap. Aku baru menyadari fakta itu.
"Assalamu'alaikum." Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya sejenak. "Kok baru pulang?" lanjutku sembari meraih tas kerjanya.
Adit tampak terkejut beberapa saat, lalu berjalan di sampingku menuju kamarnya. "Banyak kerjaan."
"Kamu mau apa? Makan?" Aku membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan memberinya ruang untuk masuk terlebih dahulu.
"Kopi saja." Ia duduk di kursi kerjanya. Tas yang aku bawa pun, ia letakkan di atas meja.
"Lanjut kerja?" Aku bertanya dengan nada bingung. Yang benar saja jika ia harus lanjut kerja malam ini.
"Hm."
"Nggak bisa besok?"
"Tidak bisa ditunda." Suaranya pun terdengar malas, pun tatapannya padaku. "Bisa tolong buatkan saya kopi?"
Aku mengangguk mengiyakan permintaannya. Beberapa menit berikutnya, aku kembali dengan secangkir kopi di tangan.
"Ini kopinya." Aku menyodorkan kopi di atas meja kerjanya. Ia bergumam pelan sambil terus fokus pada layar monitor di depannya.
"Mau aku temani? Siapa tau kamu butuh kopi lagi nanti," tawarku. Setelah mengatakan itu, aku menggigit bibir bawah karena malu. Ini tidak terlalu ... agresif, kan?
"Ya. Duduk di tempat tidur, jangan mengganggu! Boleh bicara, hanya saat saya menyuruh!"
Aku mendelik kesal mendengar ucapannya. Tidak masalah.
Aku tiba-tiba penasaran dengan album yang kulihat beberapa hari yang lalu. Dengan berjalan sepelan mungkin, aku menghampiri rak tempat Adit menyimpan albumnya.
Kenapa di rak yang paling tinggi?
Aku mendengkus pelan. Sambil berjinjit, aku mencoba meraih album tersebut.
Derita orang pendek. Ini sulit sekali.
Sedikit lagi! Aku berpegangan kuat pada rak untuk bisa menggapai album itu. Sangat sulit, tetapi karena dorongan rasa penasaran tentang keluarga Adit, aku berhasil memegang buku itu. Tinggal tarik dan ....
"Nissa!"
"Hah?" Peganganku terlepas karena terkejut panggilan mendadak dari Adit. Tubuhku terjatuh ke lantai diikuti album yang kutarik tadi. Kepalaku menjadi tempat pendaratan empuk benda yang ingin kutarik tadi. "Aww!"
"Kamu nggak papa?" Belum hilang keterkejutan karena suara Adit yang tiba-tiba, kini aku kembali kaget dengan kemunculannya tiba-tiba di depanku.
"Nggak ... papa," jawabku dengan nada malas.
Itu mata Adit, bisa lihat ke yang lain dulu? Aku malu banget nih. Dia malah menatapku dengan pandangan aneh. Jangan sampai Adit tertawa melihatku jatuh.
Sebuah usapan lembut di kepala membuatku mau tidak mau melihat Adit. Dia masih di posisi yang sama, menatap lurus ke dalam mataku. Ada yang aneh pada ekspresinya. Atau otaknya yang bermasalah tiba-tiba?
"Adit?" Aku memanggil dengan nada pelan. Entah karena gugup ketika sapuannya mulai turun ke pipi, suaraku malah terdengar seperti bisikan. Sentuhannya itu mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuh. Tangannya baru berhenti tepat di sudut bibir.
Perasaanku terasa tidak enak ketika wajahnya semakin mendekat. Pikiranku meminta aku menjauh sekarang, sementara hati kecil mengatakan sebaliknya; diam dan terima perlakuan Adit.
"Ceroboh!" Adit menyentil dahiku. Tidak keras, tapi cukup membuatku meringis kesakitan.
"Bukannya bantuin, malah diejek!"
Aku berdiri dari tempat lesehan tadi.
"Adit, boleh pinjam albumnya?" tanyaku penuh oenasaran. Benda itu sudah ada di tangan Adit.
"Tidak boleh, Nissa. Ini bagian penting dari kerjaan saya. Kamu bisa merusaknya!"
Adit berlalu meninggalkanku begitu saja.
Aku kembali sadar akan kenyataan. Benar kata Adit. Aku hanya akan bisa merusak pekerjaannya. Lagipula, aku tidak akan paham apapun mengenai pekerjaannya. Lulusan SMA ini begitu bodoh.
"Maaf," cicitku pelan. Ini adalah kesalahanku. Seharusnya aku duduk tenang di atas tempat tidur.
"Tidak apa-apa."
Aku berjalan sambil menunduk. Lalu duduk di atas tempat tidurnya.
"Nissa, sebaiknya kamu kembali ke kamar kamu. Ini sudah hampir jam dua belas," ucap Adit.
"Anu ... kamar aku ...." Apa aku harus mengatakannya? Tapi, aku tidak ingin merepotkannya memperbaiki AC tengah malam. "Oke."
Aku berdiri ingin kembali ke kamar. Namun, suara Adit menghentikan pergerakanku.
"Ada masalah, Nissa?"
Aku menggaruk tengkuk yang dibalut jilbab. "AC kamar ... bermasalah. Dingin banget di sana."
Kata orang tua di kampung, aku memang memiliki kelainan dari orang lain. Aku paling tidak tahan dengan cuaca dingin.
"Kamu tidur di kamar saya saja dulu," usulnya.
"Terus kamu?" Apa dia sudah menerimaku?
"Saya tidur di sofa. Sudah biasa." Aku memunggungiku, kembali berkutat dengan laptop dan tumpukan kertas.
Aku terdiam meresapi kalimatnya itu.
"Adit ...."
"Kenapa? Tidak suka? Atau mau tidur di kamar tamu?" Adit memutar tubuhnya. Wajah lelahnya menjadi objek penglihatan.
"Kamu beneran nggak menganggap aku sebagai istri kamu?" Aku bertanya dengan nada pelan.
Giliran Adit yang terdiam. Ia terlihat gugup dengan menggaruk pelipisnya.
"Ya sudah. Kamu duluan tidur. Nanti saya menyusul. Kerjaan masih banyak," jawabnya kemudian.
"Bukan begitu, Adit ...." Aku membalas dengan nada lelah. "Kamu jijik sama aku, atau kamu benci sama aku? Sampai-sampai, kamu nggak mau satu kamar sama aku."
Hening sesaat. Diisi oleh suara ketukan sepatu Adit di lantai. Dia menghampiriku yang masih bergeming di dekat tempat tidur.
"Nissa ...." Adit berdeham sekali. "Saya tidak pernah jijik atau benci sedikit pun sama kamu. Bukannya kamu yang belum menganggap saya sebagai suami kamu?"
"Aku anggap kamu sebagai suami kok," kilahku.
"Buktinya, kamu masih mengenakan jilbab di rumah. Kenapa? Karena kamu masih menganggap saya sebagai orang asing. Dan saya tidak akan memaksa kamu untuk ...."
"Ini." Aku menarik jilbab yang menutupi kepala begitu saja, memperlihatkan rambut yang dicepol atas. "Udah, kan?"
Adit menatapku dengan serius, nyaris tidak berkedip. Aku dilanda gugup seketika. Untuk menyembunyikannya, aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Nissa ...."
Aku mendongak, mendapati jarak antara kami semakin dekat. Kurang dari duapuluh lima senti. Deru napasnya menerpa wajah, terasa cepat. Pandangannya terhunus tajam padaku.
Sentuhan tangannya yang dingin membuatku merinding. Dengan lembut, ia mengusap pipiku, turun hingga ke leher. Aku masih bergeming, menyiapkan diri dengan apa yang akan ia lakukan.
"Kamu duluan tidur. Nanti saya menyusul." Setelah mengatakan itu, ia bergegas kembali ke meja kerja. Sikapnya ini Apa aku benar-benar sudah menjadi
istrinya?
***
Suara nyaring benda berjatuhan menyadarkanku dari alam mimpi. Sejenak, aku memerhatikan sekitar. Terasa asing. Aku memutar tubuh ke belakang.
Tersentak kala mendapati Adit berbaring di sampingku. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Sulit. Hingga aku harus mengetuk kepala beberapa kali hingga bayangan itu muncul. Bayangan saat ... aku membuka jilbab terang-terangan di depan Adit.
Aku mengambil posisi duduk. Malu-malu, aku melirik wajah Adit yang terlihat teduh dengan mata terpejam.
Tanganku begitu gatal ingin menyentuh bentuk sempurna wajahnya. Jari telunjuk mulai menyusuri alisnya yang tebal, menaungi mata tajam yang selalu membuatku ketakutan. Lalu, pipi tirus agak kecokelatan, rahang tegas, hidung mancung dan bibir tipis.
Aku menarik cepat tanganku saat sebuah suara benda pecah kembali terdengar, bersamaan dengan kelopak mata Adit yang terangkat. Beberapa saat pandangan kami bertemu. Ia mengerutkan dahi, melemparkan tatapan tajam padaku.
"N-Naura!" seruku untuk mengalihkan perhatiannya. Ditatap tajam seolah ingin membunuh, siapa yang tidak ketakutan?
Adit melemparkan selimut begitu saja. la berlalu meninggalkanku seorang diri.
Aku menormalkan detak jantung beberapa saat sambil menghela napas dalam-dalam sebelum menyusul Adit ke kamar Naura.
Keadaan Naura begitu berantakan saat aku menginjakkan kaki di kamarnya. Dia memeluk lututnya di atas tempat tidur seolah ketakutan. Saat Adit berusaha membujuknya, ia memberontak keras, meminta agar tidak disentuh.
Pandanganku tertuju pada sebuah kotak persegi tak jauh dari tempat tidur. Hanya ada sebuah kain berwarna hitam dan kertas di dalamnya.
Naura, tolong temui aku.
Aku membaca isi surat tersebut. Tidak ada nama pengirimnya, membuatku kebingungan.
"Siapa itu, Naura?" Adit mengguncang pelan bahu Naura.
Mungkin untuk menyadarkan Naura dari sikapnya ini.
"Dia ...," Naura terisak pelan. "Dia yang memperkosaku, Kak." Tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Adit, untuk meredam isak tangisnya.
Aku masih bingung. "Orang Indonesia?"
Lampu duduk di atas meja menjadi satu-satunya penerang di kamar Naura. Hampir semua barang tidak pada tempatnya. la benar-benar kacau, terbukti dari keadaan kamarnya sekarang. Aku duduk di sudut tempat tidur memperhatikannya dengan seksama yang masih tersedu sedu dalam pelukan kakaknya.
Naura begitu terbuka pada kakaknya. Padahal sejak tadi pagi, aku sudah memintanya bercerita. Tetap tidak mau. Barulah dalam pelukan Adit, ia menceritakan semuanya, tanpa terkecuali.
Orang yang mengambil kesucian Naura datang lagi mengusik kehidupannya. Dimulai saat kita liburan ke pantai. Pantas saja sikap Naura berubah seketika. Trauma yang hampir ia lupakan tiga bulan lalu, kembali mengusiknya.
Aku memperhatikan wajah Adit dan Naura secara bergantian. Keduanya menampilkan ekspresi yang saling berbanding terbalik. Naura menangis, sementara Adit terlihat begitu marah. Memangnya siapa yang akan diam saja jika adiknya dinodai?
Aku mulai membayangkan, diriku yang menjadi Naura. Aku rasa, aku tidak akan bisa sekuat dirinya. Ia terlihat ceria dengan beban besar yang ditanggungnya.
Adit beberapa kali menciumi puncak kepala Naura sambil membisikkan kata-kata bahwa ia akan selalu bersama adiknya. Kali ini, aku tidak cemburu lagi. Malu juga rasanya mengingat aku yang terus cemburu pada perlakuan Adit pada adiknya. Aku mengerti sekarang, Adit memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan adiknya ini. Karena kuatnya Naura sekarang, karena adanya Adit yang selalu ada di sampingnya.
"Sayang, dengarkan Kakak. Kakak di sini, bersamamu. Kamu tidak perlu takut pada siapapun lagi. Kakak akan menjagamu. Jangan menangis lagi, apalagi hanya untuk dia yang merenggut kehormatanmu. Cukup, Nau. Sudah cukup kamu terluka. Kamu harus bangkit, melawan masa lalu yang buruk itu. Kamu adik Kakak yang kuat," ujar Adit. Kedua tangannya berada di sisi pipi Naura, berhadapan langsung dengan wajah Naura. Jemarinya menghapus air mata adiknya dengan lembut.
Mengingat perlakuan Adit, aku jadi ingat Kak Fajar saat aku di-bully oleh teman-teman sekolah hanya karena tidak bisa menyebutkan huruf R. Dia juga memelukku, menenangkan diriku, lalu mengajariku mengucapkan huruf R. Kurasa, semua kakak laki-laki akan melakukan banyak hal untuk adik perempuannya. Karena mereka memiliki insting penjaga yang Allah berikan pada mereka.
"Nissa!"
"Ya," jawabku seketika saat Adit memanggilku.
"Kamu bisa menemani Naura di sini?" Wajahnya masih kaku, menampilkan amarah yang meluap. Aku mengangguk mengiyakan.
"Tidur, ya, Sayang. Besok Kakak bawa kamu ke temen Kakak. Oke?" Sebuah kecupan di rambut hitam Naura sebagai pengakhir pertemuan mereka malam ini. Naura mengangguk patuh. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
Aku merangkak mendekati Naura tepat setelah pintu tertutup.
"Ayo tidur, Nau!" ajakku. Ia membaringkan tubuhnya membelakangiku.
Aku melirik ke arah jam weker di atas nakas. Hampir jam dua dini hari. Rasa kantuk sudah menghilang, aku menyandarkan punggung di kepala ranjang. Untuk menjernihkan pikiran, aku memejamkan mata.
"Hiks ... hiks ...."
Seolah telah disetel otomatis, kedua mata ini terbuka lebar saat mendengar isakan dari samping. Bahu Naura bergetar. Tangannya ikut bergerak, menyentuh wajahnya.
"Nau, kamu belum tidur?" tanyaku dengan nada pelan.
"Nggak bisa tidur," jawab serak. Suaranya bahkan nyaris hilang sekarang, membuatku semakin iba.
"Kamu jangan terlalu sedih kayak gini, Nau. Ini bukan salah kamu." Aku menyentuh bahunya. Tubuh Naura berbalik ke arahku,
"Tetep aja, Kak. Tiap kali aku inget itu, aku ngerasa jadi wanita paling kotor di dunia," isaknya.
"Kemari, aku ingin mengatakan sesuatu." Aku menepuk samping tempat tidur, meminta Naura semakin mendekat. la menurut dan mendekat padaku. Aku menoleh padanya. Posisi kami saling berhadapan.
"Kamu jangan pernah nangis lagi kayak gini." Dengan menggunakan tangan kanan, aku menghapus air matanya. "Mubazir, tau, nggak. Ini bukan kesalahan kamu. Lagipula, Allah tidak memandang kesucian wanita hanya lewat selaput dara. Allah tuh lihat hati, bukan fisik."
Naura terdiam mendengar ucapanku barusan. Aku melanjutkan, "Kamu tahu kisah p*****r yang datang pada Nabi Musa meminta ampun pada Allah?"
Matanya yang sembab menatapku begitu dalam, mencoba menerka-nerka isi kepalaku.
"Awalnya, Nabi Musa nggak mau memohonkan ampun padanya hanya karena status wanita itu sebagai p*****r. Lalu, malaikat Jibril datang menegur Nabi Musa. Melalui malaikat pengantar wahyu itu, Allah menyampaikan jika status masa lalu seseorang yang sangat buruk sekalipun, jika datang kepada Allah dengan penuh pengharapan dan bersungguh-sungguh, Allah akan membuat orang itu kembali suci dari dosa."
Tidak terdengar isakan lagi darinya. Matanya masih menatapku. "Jadi, jangan pernah berpikir jika kesucian wanita hanya dari keperawanannya. Suci itu dari hati, bukan dari fisik. Kalau fisik, itu bersih namanya."
Naura mengangguk pelan. Sekali lagi, ia menghapus air matanya. Kedua sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyuman.
"Terima kasih." la maju mendekat lalu memelukku.
"Sama-sama. Mau sholat tahajud bareng?"
Naura mengangguk samar, bersamaan dengan pintu yang terbuka. Adit masuk ke dalam kamar Naura.
"Ada apa?" Adit duduk di samping adiknya sambil mengusap rambut hitam adiknya.
"Mau sholat tahajud," ucap Naura sambil mengusap bawah matanya. Terlihat memerah dengan kelopak mata membengkak.
Adit tersenyum. "Ayo."
***
Kegiatan membersihkan kamar Naura selesai sudah.
Aku mengembuskan napas lega sambil menepuk-nepukkan tangan. Pegal juga seharian ini. Padahal, hanya menyapu dan membereskan barang-barang yang berantakan.
Untuk mengumpulkan kekuatan lagi, aku duduk di bibir ranjang Naura memindai sekitar.
Masih banyak pertanyaan yang berputar dalam benak. Bagaimana bisa kotak itu bisa sampai di kamar Naura tengah malam? Padahal sebelumnya tidak ada pengantar barang atau orang mencurigakan di sekitar rumah ini.
Aku bergidik ngeri membayangkan betapa berbahayanya lelaki itu. Pasti dia bukan sembarang orang. Mengintai Naura saja ia mampu, apalagi melakukan hal lainnya.
Getaran di saku gamis yang membalut tubuh membuatku tersentak kaget. Nama Adit tertera di layar ponsel. Tidak perlu berpikir panjang untuk menggeser ikon hijau ke samping
"Assalamualaikum," sapaku.
"Waalaikumussalam. Kamu bisa datang sama Pak Anton
untuk menjemput Naura? Saya ada banyak kerjaan di kantor." Suaranya terdengar terburu-buru.
"Oke. Nanti--"
"Saya tunggu kamu tiga puluh menit."
Bunyi sambungan terputus terdengar. Aku menjauhkan ponsel dari telinga, untuk bisa melihat layar yang semula hijau kini berwarna oranye.
Tidak ada waktu untuk berpikir. Aku segera berdiri, lalu melangkah keluar rumah untuk menemui Pak Anton.
***
Adit berdiri di depan sebuah kursi taman di halaman rumah sakit. Sementara Naura duduk dengan mata menatap kosong ke depan.
"Syukurlah kamu datang lebih cepat, Nissa." Adit menyahut. "Bawa Naura pulang, ya? Jangan ke mana-mana. Harus sampai di rumah dalam waktu 30 menit. Tidak boleh singgah, atau apa pun." Adit memberikan ultimatum yang jika ditolak, seakan dia akan membunuh setiap orang.
Tiga puluh menit? Sepertinya dia gila. Aku sampai di sini saja hampir satu jam. Ini karena macetnya jalanan dan jarak antara rumah dan rumah sakit.
"Kakak pergi, ya, Sayang? Kalau ada apa-apa, telpon Kakak saja, ya?" Aku bergeming memandangi Adit yang menunduk di depan adiknya. Sangat manis perlakuan lelaki itu pada adiknya. Sementara pada istri sendiri? Semena-mena.
"Saya pergi, Nissa. Ingat pesan saya!" Setelah mengatakan itu, ia langsung berlalu. Tanpa memberikan aku kesempatan sekedar mengucapkan salam atau mencium punggung tangannya.
Apa hubungan kami akan selalu seperti ini?
"Kak Nissa cinta banget, ya, sama Kak Adit?" Aku menoleh cepat ke arah Naura yang baru saja membuka suara. Apa yang dia katakan barusan?
"M-maksudmu?" Ini juga. Kenapa suara menjadi gugup seolah tertangkap basah melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat?
"Lihatin punggung Kak Adit sampe segitunya." Naura menarik sudut bibirnya. Matanya masih memperlihatkan luka yang dalam. Kali ini, keceriaan yang hendak ia tunjukkan kalah oleh kesedihan yang ia rasakan. Aku baru melihat sosok Naura yang satu ini: terpuruk begitu dalam.
***