Rashid's Residence

1818 Words
“Tyas, dekil banget sih!” gerutu Tara—lelaki yang terpaut lima tahun darinya. Wajah rupawan Tara jelas di turunkan dari orang tuanya yang memang rupawan dan menawan, memiliki tubuh tinggi dan bentuk badan berotot pas, di tambah rambut hitam berpotongan selalu rapi, hidung bangir, alis tebal dan bulu mata lentik membingkai iris matanya yang berwarna cokelat. Tinggi Tyas bahkan hanya sebatas bahu jika tidak menggunakan alas kaki. Tara baru sampai rumah dan langsung berkomentar begitu selesai memeluk adiknya yang begitu dia rindukan. Bibirnya mengerucut “Enak saja aku dibilang dekil!” gerutu Tyas tidak terima. “Kakak kamu benar, kamu memang terlihat nggak terawat.” Komentar Mami, tentu saja orang tuanya itu tidak akan melewati cara apa pun sampai membuat Tyas kembali tinggal di rumah. “Tyas mandi kok dua kali sehari, satu bulan sekali masih perawatan juga. Coba aja mami tanya dokter Rei, aku masih datang ke klinik.” Tyas memang setiap bulan rutin perawatan di klinik kecantikan yang di rekomendasikan Mami, dokter Rei adalah sahabat Mami, tentu saja akan laporan jika Tyas tidak pernah datang. “kecuali Weekend, kamu hanya mandi sehari satu kali.” Mami konsisten mencibir. Tyas langsung memberi tatapan tajam pada Tara. “Kakak sih!” Tara tertawa, lalu merangkul adiknya itu dengan sayang. “Sudah-sudah! Lebih baik kita makan malam sekarang.” Papi mengajak mereka makan malam. Mereka memang sengaja menunggu Tara. “Biar Mami lihat, sudah siap belum.” Mami meninggalkan ruang keluarga tersebut. Rumah orang tuanya berada di kawasan perumahan modern, terkenal dengan rumah besar dan mewah. Rumah dua lantai. Fasad Megah di bagian depan membuat identitas yang mewakili kepribadian sang penghuni, pagar tinggi dan kokoh yang menepati wilayah terdepan berwarna hitam selain berfungsi sebagai pengaman rumah, jika dilihat dari desain pilihan orang tuanya juga meningkatkan estetika eksterior rumah, empat pilar yang simetris di bagian depan selayaknya gaya arsitektur klasik. Sementara bagian dalam terdapat Foyer luas sebagai ruangan yang berisikan karya seni koleksi Mami dan piagam penghargaan Papi serta foto-foto keluarga. Ruang Tamu sebagai jantung rumah lebih terlihat nyaman meski tetap mewah dengan sofa besar berbahan kulit, dinding dan furnitur dengan unsur dekoratif yang unik, tak lupa lampu kristal yang megah menjadi ciri khas ruang tamu di rumah ini jadi mewah dan klasik, rumah terasa sejuk dan semakin mewah dengan aplikasi marmer di lantai dan bagian rumah lainnya, dengan dua tangga yang melingkar menghubungkan dengan lantai atas rumah ini. Di dukung dengan fasilitas serba ada dari dapur, perpustakaan, teater mini dan ruang karaoke, ruang olahraga, sampai kolam renang, taman bunga milik mami, gazebo, lapangan basket di belakang rumah. Sementara bagian atas ada empat kamar luas yang di fasilitasi toilet di dalamnya, seperti kamar hotel bintang lima. Termasuk kamar Tyas dan satu kamar utama di bagian bawah menjadi kamar orang tuanya. “Pacar kamu siapa sekarang, Tyas?” Tara merangkul adiknya itu dan berjalan di belakang Papi menuju ruang makan. “Kalau pun punya, aku nggak akan bilang Kakak!” Tyas cukup ingat bagaimana pacar-pacar Tyas mundur dan menghilang begitu di kenalkan dengan Tara. Lelaki yang di panggil kakak olehnya ini berubah jadi posesif melebihi Papi, dengan tatapannya saja lelaki yang dekat dengan Tyas pasti langsung merasa terintimidasi. “Harus dong, Tyas. Mana bisa kakak tahu kualitas mereka, pantas atau nggak buat kamu kalau kakak nggak kenal.” “Kenal yang dimaksud kakak mengancam.” “Mereka yang mentalnya payah, masa baru di tatap aja udah keringat panas-dingin berasa mau di eksekusi.” “Memang, Kakak lebih mirip algojo dibandingkan pengacara.” Tawa Tara meledak, dia sampai memegangi perutnya. “Astaga Tyas, tampang seperti ini dibilang sangar mirip algojo. Oh my little girl, you hurt me!” katanya dramatis sambil mengelus wajah. Tyas mengentakkan tangan Tara, dia berdecak “Aku udah dua-pupuh-enam tahun, berhenti memanggil aku ‘my little girl’ deh!” Tyas kesal jika masih dianggap anak-anak oleh Tara. "Begitu aja marah." Cibir Tara. Tyas sudah duduk di kursi tepat di sebelah Tara, sementara Papi menempati kursi paling ujung dan Mami di sisi satunya lagi, berhadapan dengan Tara. Mereka sedang makan malam bersama di ruang makan mewah yang terlihat sekali sengaja di desain secantik dan seelegan mungkin sesuai selera Mami tentunya, meja kaca dengan ukuran panjang di atasnya terdapat beberapa vas bunga kristal dengan bunga sedap malam hidup selalu rutin di ganti oleh Mami, juga ada lilin aroma terapi. Kursi dengan busa yang empuk. Ditambah lampu kristal gantung menarik di atas meja. Warna gold, putih dan abu-abu mendominasi di ruangan tersebut. Selera Mami memang yang terbaik jika menunjukkan kedudukan keluarga Rasyid. Kehidupan yang seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan hidup Tyas Larasati selama mandiri. Sang kakak, Tara sibuk menceritakan berbagai kasus yang dia tangani, dan bertukar pengalaman dengan Papi serta mami yang menanggapi putra sulungnya dengan antusias. Bagi orang tua tentu hal ini membuat ruang makan itu kembali terasa hangat setelah kembalinya Tara dan pulangnya Tyas. Sementara bagi Tyas dia sudah kehilangan selera karena mendengar pembicaraan keluarganya, dia merasa asing belum lagi kritik sang mami yang selalu berujung—andai kamu mau menuruti pilihan kami—ya, bagaimana pun Tyas tahu dari jenis sindiran Mami. “Makan yang banyak Tyas, Papi setuju dengan Mami. Kamu terlihat lebih kurus.” Papi angkat komentari kondisi tubuh Tyas. Sejak tadi Papi memang memperhatikan Tyas yang terlihat tidak selera. Memang, terakhir menimbang Tyas turun empat kilo. Jika dia menanggapi dengan riang, ternyata keluarga malah mengkhawatirkan-nya. Pekerjaan dan pola makan tidak teratur membuat dia kehilangan beberapa angka bobot tubuhnya. “Kamu jarang olahraga? Kalau mau diet mami sudah sering ingatkan untuk di seimbangkan dengan olahraga. Rossie, bahkan nggak pernah kamu tengok.” “Tyas belum punya waktu untuk ke sana.” Tyas terpaksa mengikuti Mami yang hobi olahraga berkuda. Bahkan saat ulang tahun ke dua puluh tahun, Mami memberikannya hadiah sebuah kuda jenis warmblood, kuda jantan diberi nama Rossie. Bukan Tyas yang memberi nama, tapi Mami yang memang sejak muda mencintai olahraga berkuda. Setiap orang tua memang tahu apa yang terbaik untuk anaknya, Tyas bersyukur memiliki keluarga yang harmonis dan perhatian. Tetapi Tyas seperti itu karena dia lebih tahu kemampuan dirinya, apa yang dia mau dan membuatnya nyaman. Tidak semua kan yang mami sukai, harus Tyas ikuti walau memang itu hal positif, tetapi itu bukan yang Tyas inginkan. “Harus sering berlatih, Mami yakin kamu sudah mulai kaku jika kita berkuda.” Tyas menarik napas dalam-dalam. Jika di kehidupan lain, terutama saat bersama teman-temannya Tyas merasa jadi diri sendiri, bebas dan tidak terbatas. Maka, sebaliknya saat seperti sekarang di tengah keluarga, Tyas merasa asing, dan terbatas. Semua yang Tyas lakukan di mata Mami selalu salah. “Weekend besok kita akan ke Lembang, menginap.” Mami kembali bicara. “Papi sudah mengosongkan jadwal, Tara juga masih di Indonesia beberapa minggu. Kamu dengar Tyas?” Tyas mendongak, membalas tatapan mami dan berusaha tetap waras untuk mengajak mami berdebat. “Tyas nggak bisa menolak, kan?” “Ya memang, kamu harus punya waktu untuk hidup normal la—“ Cukup!! mami sudah keterlaluan. Tyas langsung berdiri “Hidupku normal, Mami tahu itu!” Tyas tidak bisa diam lagi mendapat kritik sang mami. “Mami sudahlah, Tyas hentikan!” Tara tahu adiknya mulai tertekan makanya dia tidak tahan lagi untuk diam. “Mami tuh yang tadi terus keritik aku, seakan hidup Tyas itu salah.” Air matanya sudah di pelupuk mata, berkedip sekali Tyas yakin dia akan menangis jadi dia lebih baik sudahi makan malam ini. “Sori Papi, Tyas—“ “Duduk kembali, nggak ada yang boleh meninggalkan makanan yang masih utuh.” Papi angkat bicara, memberi perintah mutlak yang sudah pasti tidak bisa Tyas bantah. “Mami tolong jangan rusak suasana makan malam kita.” Papi memang selalu adil dan bijaksana, jika Mami pun salah, ia tidak segan menegur walau masih di depan mereka. *** Tyas termenung duduk di ayunan belakang rumah, kakinya ditekuk. Bintang dilangit tampak indah menghiasi malam ini. tiba-tiba dia tersentak saat ayunan bergerak lebih cepat. Tara tersenyum lebar merasa tidak bersalah sudah membuat dia terkejut. “Melamunkan apa sih kamu, Tyas? Pacar?” “Pacar terus! hidup benar-benar sempit kalau hanya asmara yang jadi beban pikiran” Tara terkekeh, dia bergabung duduk dengan adiknya di dalam ayunan. “dapat salam dari Clarisa.” Pacar bule kakaknya. “kamu sudah melamarnya?” “Yes, a few monts ago and said yes.” “Kapan rencananya?” “Aku maunya di segerakan.” Clarisa merupakan warganegara asli London, mereka bertemu karena Tara menangani kasus yang menimpa keluarga Clarisa. Dia adalah wanita berusia dua tahun di bawah Tara dan seorang dokter anak. Tyas pernah bertemu saat setahun lalu mengunjungi Tara di London bersama orang tuanya. Clarisa baik, dan cantik. Bahkan, kini sudah mulai bisa berbahasa Indonesia. “Bule gampang diajak komitmen? Biasanya sulit.” “Aku cuman mengatakan yang sebenarnya pada Clarisa, walau aku tinggal di London tetapi aku nggak bisa begitu saja melupakan dari mana asal usulku. Kita nggak mungkin pacaran seumur hidup, aku mau membangun keluarga dan memiliki anak.” Tara memang sekeren itu, Tyas tidak pernah ikut campur jika Tara mau hidup mengikuti budaya tempatnya tinggal asal dia bisa bertanggung jawab. Tetapi untungnya, Tara punya pendirian yang kuat. Dia bisa jaga kepercayaan keluarganya. “Baguslah jadi mami nggak perlu menuntutku memberinya cucu jika begitu.” Tara mengacak rambut adiknya. “Aku mulai mengerti sekarang.” “About what?” “Your life choices. Mami terlihat menuntut banyak hal untuk seperti yang Mami mau.” “I can’t do something like that in my life.” Tyas bersyukur di rumah hanya Mami yang bertentangan, dia tidak bisa bayangkan jika hidupnya harus ditekan dari setiap sudut. “Ya, pilihan kamu sudah tepat. Jika memang kamu nggak nyaman, you don’t have to do that. Hanya saja kakak minta, kamu nggak kelewat batas jika bertindak untuk menentang Mami. Bagaimana pun, Mami hanya melakukan apa yang menurutnya baik untuk kamu.” Memang itulah yang selama ini Tyas lakukan, menahan diri dan tetap waras menghadapi Mami. Tara melihat tatapan kosong pada sang adik, segera di dekap tubuhnya. “Kamu nggak sendiri, walau selama ini ada jarak diantara kita. Tapi, kamu jelas tahu kakak siap mendengarkan kamu kapan aja.” Tyas mengangguk dan tersenyum, dia bersandar pada d**a bidang Tara. “Sekarang coba beritahu kakak, laki-laki mana yang udah mencuri hati kamu?” perubahan pembicaraan tersebut sontak membuat Tyas tertawa. Sejak tadi Tara tidak menyerah untuk mengorek tentang asmaranya. “Jadi benaran belum ada? Masa sih kamu nggak laku?!” “Ka!” Tara terkekeh, “oke, sorry!” Tyas memutar bola matanya malas. “Eh, Tyas besok malam temani yuk. Teman-teman aku ngajak ketemu, ada beberapa yang belum menikah. Siapa tahu jodoh kamu.” “Nggak mau! Pergi sendiri aja!” Tyas langsung menolak, karena yakin tempat pertemuan Tara dan teman-temannya adalah kafe yang lebih menyerupai tempat minum atau kalau bertemu siang sambil main golf. Tyas pernah menggerutu karena diajak main golf, olahraga lain setelah berkuda yang di gilai keluarganya tapi tidak dengan Tyas Larasati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD