"Nona, tunggu!" ucap seseorang, yang
tidak lain adalah orang suruhan Reza.
Ya, orang yang membawakan mobil Ara, hingga sampai di depan gerbang rumah gadis cantik itu. Ara langsung menoleh ke sumber suara, dengan ekspresi tanya.
"Iya ... ada apa, ya?" tanya Ara cepat.
"Ini kunci mobil Nona, yang saya bawakan tadi," ucap orang suruhan Reza, dengan mengembalikan kunci mobil Ara.
"Oh, terima kasih. Maaf telah mereka Bapak," jawab Ara sopan, setelah ia menerima kunci mobilnya.
"Sama-sama, kalau begitu saya pamit dulu."
"Iya, sekali lagi terima kasih."
Setelah orang suruhan Reza pergi, Ara memasuki mobil tidak lama ia menyalakan mobilnya untuk ia bawa ke dalam rumah megahnya.
Tin! Tin!
Satpam jaga mendengar suara bunyi klakson, langsung bergegas membuka pintu gerbang itu. Dalam hati, satpam yang dibuat khawatir oleh Nona-nya berharap yang datang adalah Nona Muda-nya.
'Suara mobil Non Ara kah itu, semoga saja itu benar mobil Non Ara yang telah kembali pulang,' gumam satpam Ara seraya membuka pintu gerbang.
Begitu pintu terbuka, Ara telah menurunkan kaca samping mobil. Ia menyapa dengan ramah pekerja di rumahnya.
"Selamat malam, Mang, Ara pulang cepat 'kan ini," ucap Ara sebelum membawa masuk mobilnya.
"Akhirnya Non Ara pulang juga, Tuan dan Nyonya sudah menunggu kedatangan Non Ara dari tadi. Cepat masuk, Non takutnya Tuan sama Nyonya marah nanti. Karena Non Ara pergi dengan membawa mobil sendiri," jawab satpam cepat.
Ara seketika panik, ia takut kalau kedua orang tuanya akan memarahi dirinya. Sebab ia telah mengabaikan larangan Pak Nathan dan Bu Nara.
'Gawat, ini, Papa dan Mama sudah pulang dari pesta. Pasti aku akan dimarahi sebentar lagi,' batin Ara, dengan bergegas membawa mobil kesayangannya ke dalam garasi mobil yang sangat cukup luas dan besar itu.
Di dalam rumah
Pak Nathan dan Bu Nara yang berada di ruang tamu, begitu mendengar suara bunyi mobil langsung menuju jendela. Sesaat kedua orang dewasa itu melihat, apakah suara mobil tadi adalah suara mobil anak kesayangan mereka.
"Pa, sepertinya itu suara mobil. Apa itu suara mobil Ara, ya?"
"Kita lihat saja, Ma, siapa tahu itu benar mobil Ara."
"Alhamdulillah, akhirnya anak nakal itu pulang juga," gumam Bu Nara penuh syukur.
Wanita paruh baya, masih terlihat cantik itu dengan terburu membuka pintu kemudian menghadang putrinya.
"Dasar anak nakal, ya. Sudah pergi diam-diam, bawa mobil lagi. Kalau kamu ada apa-apa di jalan bagaimana, hem?" Bu Nara langsung menjewer telinga kiri Ara.
Pak Nathan yang berada di belakang istrinya hanya bisa melihat, Meskipun dalam hati ia seperti merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh Ara. Tapi, ia tahu istrinya tidak akan melukai Ara dengan terlalu mengingat Bu Nara sangat menyayangi Ara.
"Aaaaa ... ampun, Ma, Ara mengaku salah. Ara minta maaf, ya."
"Minta maaf ... selalu seperti itu, kemudian nanti kamu melakukannya lagi, begitu?" tanya Bu Nara karena tidak percaya dengan ucapan Ara.
"Ti--tidak, Ara janji. Ara tidak akan pergi diam-diam lagi, dan membawa mobil," janji Ara, dengan nada gugup.
Tapi, dalam hati Ara merasa tidak yakin dengan janjinya. Apakah ia akan memenuhinya atau tidak, sebab ia tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti.
'Maafkan Ara, Ma, mungkin Ara janji bohongan. Karena mungkin nanti, bisa jadi Ara tidak menjamin kemungkinan kalau Ara pergi membawa mobil Ara lagi,' batin Ara.
Karena Bu Nara tidak kunjung melepaskan tangannya di telinga Ara, akhirnya gadis cantik itu mengadu sama Papanya dan meminta pertolongan.
"Pa ... tolongin Ara, Pa. Mama nakal, sama Ara," adu Ara, tanpa ia sadari kalau ucapannya membuat kedua orang tuanya yang mendengar jadi geli sendiri.
Karena tidak tega melihat Ara sepertinya kesakitan, Pak Nathan akhirnya mencoba menurunkan tangan istrinya dengan lembut seraya ia menghadiahi kecupan lembut di pipi Bu Nara.
Cup!
"Sudah, jangan sakiti putri kita lagi. Kasihan, lihatlah wajahnya sampai memerah begitu. Apa Mama nggak ikut merasakan sakit, kalau Ara kesakitan seperti tadi. Papa saja merasa sakit, lho, saat Mama menjewer telinga Ara," bujuk Pak Nathan lembut.
Apa yang dikatakan Pak Nathan ada benarnya, Bu Nara melihat ekspresi wajah Ara yang memerah, dan menahan tangis seketika tersadar kalau ia sudah keterlaluan pada putrinya sendiri.
"Apa ini sakit, Sayang?'' tanya Bu Nara lembut, dengan membelai telinga Ara yang habis ia jewer.
"Tidak, Ma."
"Maafkan Mama, ya, Sayang. Mama tadi terlalu mengkhawatirkan dirimu."
Bu Nara langsung merangkul putrinya masuk ke dalam rumah, sedangkan Pak Nathan menutup pintu. Baru saja pintu akan tertutup rapat, tiba-tiba Mang Udin memberitahu sesuatu yang membuat Pak Nathan dan Nara seketika khawatir.
"Maaf, Tuan, itu saya mau memberitahu kalau mobil Non Ara ada yang rusak di body mobil bagian depan. Saya rasa, Non Ara habis kecelakaan. Saya hanya khawatir, dan memastikan apakah Non Ara baik-baik saja?" tanya, sekaligus terselip rasa khawatir dari Mang Udin.
"Bernarkah?" tidak percaya Pak Nathan.
Pak Nathan seketika memandang ke arah Ara, dan Bu Nara yang dalam posisi merangkul Ara seketika langsung melepaskan rangkulannya.
Kemudian wanita paruh baya itu memeriksa keadaan Ara. Apakah di tubuh Ara terdapat luka yang serius atau tidak. Rasa khawatir dalam diri seorang Ibu terlihat jelas, Pak Nathan pun memiliki perasaan sama dengan istrinya.
"Apa tadi kamu menabrak sesuatu, Ara? Ayo katakan, jangan membuat Papa dan Mama khawatir akan keadaanmu," tanya Pak Nathan tidak sabaran.
"Katakan, Sayang, apa tadi kamu menabrak seseorang atau sesuatu?" sambung Bu Nara.
Tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir, akhirnya Ara berkata jujur kalau ia tadi di jalan menabrak mobil seorang pria, dan pria itu kini sedang memenuhi hatinya karena merasa penasaran.
"Ii--iya, Ara tadi menabrak mobil seseorang. Tapi, orang itu tidak apa-apa, kok. Malah tadi Ara di antar sama orang itu, dia tidak marah. Dia juga tidak mau meminta ganti rugi, padahal Ara telah menawarkan akan memperbaiki mobilnya di bengkel cinta," jawab Ara gugup, seraya menundukkan kepalanya.
"Ara tidak terluka sama sekali, kok, jadi Papa dan Mama tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Ara, ya, sebab Ara baik-baik saja," lanjutnya.
Bu Nara mendengar penuturan putrinya, langsung menghampiri suaminya lalu menangis tersedu di d**a bidang Pak Nathan.
"Tuh, 'kan, Pa. Ara pasti kenapa-napa, kalau dia membawa mobil sendirian. Mama sudah melarang dia berkali-kali, tapi dasar bandel dia tetap pergi membawa mobil. Akhirnya, apa? Kecelakaan, hu ... hu ...."
Tangis Bu Nara pecah, Ara yang semula menunduk seketika ia mendongakkan kepalanya. Ia tidak menyangka penjelasannya tadi membuat Mamanya sedih.
"Ma ... Ara minta maaf, ya, sudah buat Mama sedih. Ara juga minta maaf sama Papa, karena telah membuat kalian berdua khawatir seperti ini. Tapi, sungguh Ara tidak apa-apa. Kalau Mama tidak percaya Mama boleh lihat tubuh Ara sekarang," Ara menghampiri Mamanya, dan berusaha menenangkan Mamanya kalau ia baik-baik saja.
"Sudah, Sayang, jangan menangis. Ara kita tidak apa-apa, jadi jangan cemas."
"Lihatlah sendiri, ketakutanmu tidak beralasan Sayang."
"Ara kita tidak apa-apa, hanya mobilnya yang rusak tapi putri kita sehat dan tidak ada luka sedikitpun," Pak Nathan mencoba menenangkan, dengan melepaskan pelukannya.
"Sekarang lihatlah Ara. Apa di wajah dan tubuhnya ada luka, tidak 'kan. Sekarang Mama jangan menangis, dan takut lagi kalau Ara kenapa-napa," bujuk Pak Nathan.
Akhirnya Bu Nara menatap putrinya intens, sebagai Ibunya ia ingin memastikan kalau putrinya memang baik-baik, dan benar Ara-nya memang tidak apa-apa.
Grepp!
"Terima kasih telah pulang dalam keadaan baik-baik saja, Sayang," peluk Bu Nara erat.
"Iya, Ma. Maaf sudah membuat Mama sedih seperti ini, ya, Ara janji tidak akan membuat Mama sedih lagi," janji Ara, berharap ia bisa menepatinya nanti.
Pak Nathan merasa iri, karena istrinya sedari tadi terus mendapatkan pelukan dari Ara. Ia pun merengek layaknya anak kecil, ingin di peluk putri kesayangannya.
"Baby Ara, apa kamu tidak ingin memeluk Papamu ini? Kenapa hanya Mama saja sedari tadi kamu peluk, Papa juga pengen," ucap Pak Nathan, dengan merentangkan kedua tangannya.
Mendengar nada rengekan, dua wanita cantik dengan umur yang berada itu langsung menoleh ke sumber suara. Benar saja, di samping mereka terlihat pria dengan ekspresi cemberut, dan lucu saat dipandang.
"Peluklah, Papamu juga sedari tadi mengkhawatirkan dirimu. Dia adalah pria pertama yang tidak ingin membuatmu terluka, ataupun melihat air matamu. Jadi, jangan pernah membuat hati Papa sedih karena terlalu mencemaskan dirimu Sayang," pesan Bu Nara.
Bu Nara benar, Pak Nathan adalah sosok Papa yang hebat dan penyayang buat Ara. Semenjak kecil ia selalu hidup dengan limpahan kasih sayang, dan juga cinta dari orang-orang terdekatnya. Hingga ia tidak pernah merasakan sakit hati, ataupun sedih bahkan meneteskan air mata. Sebab hidupnya terlalu sempurna.
Tanpa menjawab ucapan Mamanya, Ara langsung berlari kemudian menghambur kedalam dekapan Papanya.
Detik berikutnya Pak Nathan membawa tubuh mungil itu berputar beberapa kali, sedangkan Ara yang mendapat perlakuan begitu merasa malu.
"Aaaa ... Papa, Ara sudah besar jangan gendong dan di ayunkan seperti ini. Ara malu, Pa," rengek Ara setelah Pak Nathan menurunkan Ara.
"Kenapa mesti malu, buat Papa kamu tetaplah putri kecil Papa yang selalu Papa manja dan sayang. Jadi, jangan sekali-kali bilang malu sama Papa. Karena Papa adalah pria pertama akan selalu membahagiakan dirimu, dan tidak akan pernah membuatmu menangis, yang ada hanyalah cinta dan kasih sayang dari Papa," ucap Pak Nathan tulus.
Mendengar ungkapan kasih sayang, dari Pak Nathan Ara tidak bisa membendung rasa harunya lagi. Ia meneteskan air mata, karena ia merasa beruntung bisa terlahir dari kedua orang tua yang begitu melimpahi dirinya dengan cinta dan juga kasih sayang.
"Terima kasih, Pa. Ara sayang, Papa."
"Papa juga, Sayang."
"Jangan buat Papa dan Mama khawatir lagi, ya, jika kamu kemanapun harus bilang dahulu. Jangan membuat kami panik, karena terlalu mencemaskanmu," nasehat Pak Nathan seraya membelai punggung Ara.
"Iya, Pa, Ara akan melakukan seperti yang Papa katakan," jawab Ara nurut.
Bu Nara melihat jam telah menunjukkan pukul 21:00 WIB, sudah waktunya untuk beristirahat. Tapi, ia sadar kalau putrinya pastilah belum makan malam.
"Sayang ... apa kamu sudah makan malam, Nak?" tanya lembut Bu Nara.
Ara menjawab dengan gelengan kepala, Bu Nara yang mengerti langsung membawa putri kesayangannya ke ruang makan. Sedangkan Pak Nathan berpamitan ke ruang kerjanya terlebih dahulu, sebelum Pak Nathan ke kamarnya.
"Sayang, aku ke ruang kerja dulu, ya," pamit Pak Nathan dengan menghadiahi kecupan di dahi istrinya.
Ara yang melihat keromantisan Papa dan Mamanya sedari kecil, merasa sudah terbiasa. Ia malah merasa senang, karena ia hidup dalam keluarga harmonis dan saling menyayangi.
Setelah mengecup dahi istrinya, Pak Nathan menghampiri putri kesayangannya. Lalu memberikan kecupan lembut di pipi Ara.
"Makan yang banyak, ya. Biar gemuk badan kamu, Sayang," saran Pak Nathan.
Sebab Pak Nathan melihat tubuh Ara terlalu mungil, dan kurusan. Padahal selama ini, ia dan istrinya selalu memberikan asupan gizi dan juga vitamin yang cukup buat Ara. Tapi, mungkin itu sudah bawaan dari lahir jadi ia tidak bisa berbuat banyak.
"Iya, Pa," jawab Ara lesu.
Bu Nara yang peka, langsung merangkul putrinya ke meja makan setelah melihat Pak Nathan pergi ke ruang kerjanya. Kemudian ia memberikan nasehat, dan juga semangat pada Ara.
"Sudah jangan hiraukan ucapan Papa, 'kan Papa sudah sering bicara seperti itu. Benar tidak?'' Bu Nara mencoba mencairkan suasana.
"Iya, benar, Ma. Papa memang sering bilang begitu, cuma yang buat Ara heran. Kenapa tubuh Ara tidak bisa berisi juga, padahal Ara pengen sekali seperti Sintia yang berisi dan terlihat seksi saat dilihat pria," ucap Ara terdengar sedih.
Bu Nara tahu apa yang dirasakan Ara, ia mengerti tubuh putrinya memang kurusan dan terlihat rata. Tidak seperti gadis kebanyakan terlihat montok dan seksi. Tapi, baginya dan suaminya Ara adalah gadis tercantik di dunia, serta sikap polos Ara membuat suasana rumah mereka terasa lebih hidup.
"Sssttt ... jangan bandingkan dirimu dengan sahabatmu itu, Sayang. Ara adalah Ara putri Mama dan Papa, apapun keadaan dan juga kondisi kamu sekarang kami sangat bersyukur dan merasa bahagia kamu hadir di tengah-tengah kami."
"Sedangkan sahabat kamu Sintia, dia tetap Sintia. Dia tidak akan pernah bisa menjadi dirimu. Begitu pun sebaliknya, jadi syukuri apa pun yang kamu miliki sekarang, Sayang. Mama tidak mau kamu berkecil hati karena melihat tubuhmu kurusan. Terpenting kamu sehat, Nak," nasehat Bu Nara bijak.
Mendengar ucapan Mamanya, Ara jadi mengerti. Ia tidak harus membandingkan dirinya dengan sahabatnya, karena setiap manusia telah memiliki takdir sendiri-sendiri.
"Mama benar, maaf Ara tadi sempat memiliki perasaan iri pada sahabat Ara. Sekarang Ara akan membuat pemikiran buruk itu, sebab Ara yakin meskipun Ara tidak seseksi Sintia pasti nanti Ara akan dipertemukan dengan pria yang tulus mencintai Ara. Seperti tadi, pria itu terlihat ja ---"
Ara seketika menghentikan ucapannya, karena tidak ingin Mamanya tahu. Kalau tadi ia bertemu dengan seorang pria, dan tanpa sadar pria itu membuat hatinya berdebar.
'Gawat, kenapa mulutku ini begitu lancar bicara. Padahal aku sama Mas Reza 'kan baru kenal, apakah kita nanti bisa bertemu lagi atau tidak aku juga tidak tahu,' batin Ara dengan menutupi mulutnya sendiri.
Bu Nara yang mengambil piring, dan berniat menyendok nasi seketika menghentikan kegiatannya. Ia langsung bergegas ke arah Ara, dan menanyakan siapa gerangan pria itu. Sebab selama ini putrinya belum pernah sekalipun, menceritakan tentang sosok pria padanya, dan malam ini adalah kali pertamanya.
"Hayo, katakan sama Mama. Apakah tadi Ara sudah bertemu dengan pangeran impian Ara, apa dia tampan seperti yang ada di dalam dongeng?" tanya Bu Nara beruntun, dengan rasa penasarannya.
Ara masih diam, dengan ekspresi lucu memegangi mulutnya dan kepalanya menggeleng berulang kali. Berharap Bu Nara mengerti, kalau ia tidak ingin mengatakan perihal pria yang ia temui dalam insiden kecelakaan kecil tadi.
"Kenapa diam, dan kenapa mulutnya ini di tutupi. Buka dulu tangannya, lalu jujur sama Mama. Itu lebih baik, Nak, dengan begitu Mama tahu pergaulanmu di luar. Bukan berarti Mama akan turut campur, hanya saja untuk berjaga-jaga agar anak Mama tidak di sakiti pria manapun," bujuk Bu Nara lembut.
Apa yang dikatakan Bu Nara ada benarnya, Ara pun langsung melepaskan tangannya di atas mulutnya sendiri. Kemudian ia menceritakan dari awal ia bertemu Reza, sampai pria itu mengantarkannya pulang.
"Apa Mama tidak akan marah, kalau Ara dekat dengan teman laki-laki Ara?" tanya Ara memastikan.
"Tentu saja tidak akan marah, Nak, bagaimana Mama bisa marah kalau teman kamu itu baik. Berbeda kalau teman kamu itu jahat, sebagai seorang Mama tidak akan terima," kekeh Bu Nara.
Sengaja Bu Nara mencairkan suasana, agar Ara tidak takut bercerita tentang teman priannya. Merasa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, akhirnya Ara mulai bercerita.
"Tadi, saat Ara jalan-jalan tiba-tiba Ara menabrak seorang pria. Ara kira pria itu akan marah, setelah mobilnya Ara tabrak, ternyata pria itu tidak marah. Meskipun kepala pria itu terluka, dia tidak marah. Dia juga tidak meminta ganti rugi, malahan dia mengantar Ara pulang."
Bu Nara hanya diam menyimak apa yang diceritakan putrinya, sampai mana ia akan menceritakan seorang pria. Dalam hati, ia merasa senang. Terlihat putrinya begitu semangat, dan heboh sendiri. Mengingat selama putrinya tidak pernah bercerita tentang pria, dan ini adalah kali pertama ia mendengar anak gadisnya berbicara seorang pria.
'Mama senang, Nak, akhirnya kamu mau menceritakan teman pria ataupun kenalan kamu. Mengingat selama ini, kamu begitu menutup diri dari pria padahal kamu itu adalah gadis yang sangat cantik,' batin Bu Nara.
Ara terus saja bercerita, sesekali diiringi senyuman di wajahnya. Bu Nara yang sedari tadi diam, akhirnya tidak bisa mengendalikan diri untuk menggoda Ara.
"Sekarang Mama tanya, apakah saat kamu bertemu pria tadi hatimu berdebar kencang. Terus wajah, dan dirimu tiba-tiba malu sendiri. Apa itu yang kamu rasakan tadi, Nak?" tanya Bu Nara ingin tahu isi hati putrinya.
"Iya, Ma, rasanya aneh. Tapi, Ara suka perasaan itu. Menurut Mama, apa jantung Ara yang berdegup kencang itu karena jantung Ara sakit?" Ara balik bertanya dengan kata polosnya.
Bu Nara langsung tertawa lepas, karena ucapan Ara yang kelewat polos. Dengan lembut Bu Nara membelai puncak kepala Ara, seraya menjelaskan.
"Hahaha ... kamu sangat lucu, Nak, polos sekali. Sama seperti Mama dulu, tapi kamu jauh lebih polos dan tidak mengerti apa-apa tentang hal orang dewasa."
"Tapi, Mama bersyukur ada untungnya. Jadi, kamu tidak merasakan namanya patah hati," kekeh Bu Nara, sesaat terlintas masa lalunya sebelum menjalin kasih dan menikah dengan Pak Nathan.
Ara mendengar penjelasan Mamanya tanpa memotong ucapan Bu Nara, selayaknya anak kecil. Karena ia ingin memahami, apa yang terjadi pada hatinya saat bertemu Reza tadi.
"Apa yang dirasakan jantung kamu, saat kamu bertemu pria dan tiba-tiba berdebar itu sangatlah wajar. Itu tandanya kamu telah dewasa, dan akan memulai babak kehidupanmu baru."
"Kamu harus mempersiapkan diri, apakah kamu sudah siap dengan namanya sakit hati atau tidak? Itu akan menjadi adalah pilihanmu nanti, Nak. Mama hanya bisa berdoa semoga siapa pun pria yang kamu cintai, bisa mencintaimu dan menerimamu dengan tulus. Tanpa menyakiti, serta menyia-nyiakan perasaanmu Sayang,'' terang, dan doa tulus Bu Nara.
Ara menyimak, dan merekamnya dalam hati. Ia memahami apa yang dikatakan Mamanya benar, ia harus memulai dan bersiap memilih untuk kehidupan asmaranya nanti. Apakah ia akan atau tidak, tergantung pria bersamanya kelak.
Dalam hati, Ara berharap Reza adalah pria pertama yang bisa membahagiakan dirinya. Pria pertama ia cintai pada pandangan pertama.
'Semoga saja rasa di dalam hatiku untuk Mas Reza bukanlah cinta yang salah, meskipun aku baru mengenalnya dan tidak tahu keseharian serta semua tentangnya. Tapi, aku yakin kalau Mas Reza adalah pria yang baik,' batin Ara.
"Aamiin ... terima kasih, Ma, untuk doanya. Ara yakin, pria yang tadi Ara temui itu adalah pria baik buat Ara nantinya," yakin Ara, tanpa ia tahu kalau keyakinannya akan banyak mengalami ujian dalam hidupnya.
"Iya, Sayang, Mama harap juga seperti itu. Tapi, sebelum kalian menjalin hubungan apapun jangan lupa perkenalkan dia sama Mama dan Papa. Biarkan Papa dulu yang menilai, seberapa berharganya kamu di matanya. Karena Papa dan Mama tidak mengharuskan pria itu kaya akan menjadi pendampingmu kelak, kami hanya ingin kamu bahagia dengan pilihamu dengan pria tulus mencintai dirimu," harapan Bu Nara.
Ara seketika menghambur kedalam pelukan Mamanya, ia benar-benar terharu dan sangat beruntung memiliki seorang Ibu yang begitu menyayangi dan selalu menomorsatukan kebahagiaannya.
"Tidak cukup ungkapan rasa terima kasih Ara sama Mama, sungguh Ara begitu beruntung bisa terlahir dari rahim Mama. Mama adalah sosok wanita yang baik, dan penyayang. Ara sayang Mama, sama Papa. Kalian berdua sungguh begitu berarti bagi Ara, kalian tidak pernah menuntut banyak pada Ara. Biarpun Ara memilih karir di bidang fashion, Papa juga tidak pernah melarang Ara," ucap Ara panjang.
"Itu karena kami menyayangi dirimu, Sayang. Kamu adalah belahan hati kami, jadi Mama dan Papa selalu ingin yang terbaik buatmu," jawab Bu Nara tulus dengan memeluk Ara sedikit erat.
Tanpa mereka sadari, jika sedari awal percakapan Ara dan Bu Nara. Pak Nathan mendengar semua percakapan itu, entah apa yang ada dalam benaknya kini.
Tapi, yang pasti Pak Nathan mulai menyadari kalau putrinya kini telah beranjak dewasa. Sesaat ia berpikir kalau ia ingin Ara-nya tetaplah gadis kecil, yang selalu ingin di manja olehnya.
'Ternyata kamu sekarang mulai beranjak dewasa, Nak, Papa hanya bisa berdoa semoga pria yang kamu maksud tadi bisa membahagiakan dirimu. Seperti Papa menjaga, dan menyayangi dirimu selama ini,' batin Pak Nathan, dengan netra yang berkaca-kaca.
Kemudian Pak Nathan dengan pelan berbalik, ia tidak jadi menghampiri dua wanita yang ia cintai. Karena ia ingin menenangkan dirinya sendiri, entah mengapa ketika membayangkan Ara pergi dari rumah setelah menikah. Ia seperti akan kehilangan separuh hidupnya.
Bersambung