Trauma

1092 Words
Setelah berbincang-bincang lama dengan Maya, akhirnya Kania bisa bekerja dengan sempurna walau masih ada rasa yang mengganjal di dalam hatinya. Ya, tentang sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang harus ia pertaruhkan demi membalaskan dendam kepada mantan kakak iparnya itu. Namun, ia tetap akan mengesampingkan kepentingan pribadi demi fokus pada pekerjaannya. Berhubung hari sudah mulai siang, dan ia harus secepatnya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan agar managernya tidak ngomel-ngomel saat ia bekerja. Kini, setelah cafe itu dibuka, para pelanggan pun langsung berdatangan untuk memesan beberapa makanan dan minuman yang sudah tersedia di cafe itu. Terkadang, hampir setiap hari berbagai kalangan menghabiskan waktunya setelah rutinitas dengan nongkrong di cafe Maritim. Cafe dengan desain ruangan yang didominasi serba putih selalu tampak bersih dan terlihat cerah serta indah. Sifat warna putih yang netral juga sangat fleksibel dan mudah dipadukan dengan berbagai warna lainnya. Sehingga tak perlu banyak effort untuk memikirkan desain interior tambahan, karena sentuhan warna putih saja sudah terlihat memukau dengan penataan yang tepat. Tidak hanya dengan interior yang indah, cafe Maritim juga menyajikan menu yang lezat dan memuaskan lidah pelanggannya. Tidak heran jika cafe itu sangat diminati oleh berbagai kalangan yang ada di daerah tersebut. Tidak lama kemudian, ada dua orang laki-laki yang hendak memesan secangkir kopi kepada Kania. Dengan lihai gadis itu membuat kopi untuk kedua laki-laki itu. Akan tetapi, masalah telah terjadi. Mesin penggiling kopi tiba-tiba saja macet dan tidak bisa digunakan. Hal ini membuat Kania panik karena baru kali ini ia menghadapi mesin kopi yang bermasalah. "Mati aku! Kenapa mesinnya tiba-tiba seperti ini!" batin Kania. Gadis itu terlihat gusar dan tidak tahu jika ada seseorang yang sedang memperhatikan gerak-geriknya. Tanpa basa-basi lagi, Kania langsung memberitahukan kepada managernya jika mesin penggiling kopi itu sedang tidak bersahabat. Sang manager pun merespon dengan cepat karena tidak mau merusak kenyamanan para pelanggannya. Dan disisi lain, berhubung pesanannya tak kunjung datang, pria yang sedari tadi memperhatikan Kania langsung datang menghampirinya. Ia juga melihat Kania dan sang manager sedang merasa kesulitan. Tanpa ragu-ragu lagi pria yang berpakaian casual itu memberanikan diri untuk menemui mereka. "Apa ada masalah dengan mesinnya, Pak?" tanya pria itu. "Entahlah, Mas. Mesinnya tiba-tiba saja jadi begini," tukas sang manager itu. "Biar aku lihat, aku pernah memperbaiki mesin kopi milik temanku," ujar pria itu. "Baiklah, mudah-mudahan bisa kembali normal lagi," kata managernya Kania. Sementara, Kania hanya bisa terdiam sembari menunduk ke arah mesin kopi itu. Ia tidak peduli percakapan mereka karena pikirannya masih fokus pada mesin kopi itu. Dengan lihai, laki-laki itu mengotak-atik mesin itu sendirian. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya laki-laki itu bisa memperbaiki mesin kopinya. Tentu saja hal ini membuat sang manager senang. Dan Kania juga sangat berterima kasih kepada pria itu, karena sudah membantu meringankan pekerjaannya. Setelah kejadian itu, akhirnya Kania bisa membuatkan kopi untuk mereka yang sedari tadi memesannya, termasuk dua orang pria tadi. Kania masih tidak sadar jika pria yang membantu memperbaiki mesin kopi itu, selalu menatapnya dengan tatapan kagum. Ada rasa ingin tahu siapa namanya dan dimana asalnya, namun ia tahu batasannya dan gak mungkin juga langsung menanyakan identitasnya Kania. Setelah kedua pria itu pergi, ternyata Maya yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya mereka. Dan ia langsung menyimpulkan bahwa kedua orang itu terlihat menyukai Kania. "Kania, sepertinya orang tadi memperhatikanmu terus. Apa jangan-jangan mereka mengagumi kamu disaat pandangan pertamanya?" celetuk Maya. "Jangan ngawur!" ucap Kania singkat. "Beneran, Nia. Aku dari tadi memperhatikan gerak-geriknya juga. Masa kamu tidak merasa sih?" kata Maya menyipitkan matanya. "Emang tidak. Aku sudah menganggapnya masa bodo. Karena bagiku semua laki-laki itu sama," ucap Kania. "Sama-sama buaya!" "Gak semua laki-laki begitu, Kania. Kamu gak bakalan—" Belum juga Maya selesai bicara, tiba-tiba saja ada pembeli datang menghampirinya. "Tuh ada yang pesan kopi. Sana layani dulu," kata Kania menyengir. "Oh iya, May. Nanti dan seterusnya, jangan membahas soal laki-laki lagi sama aku. Karena sudah pasti mereka akan ku anggap tidak ada." Mendengar hal itu, Maya pun tercengang. Sebenci itukah dia terhadap kaum laki-laki? Padahal yang mendapat kegagalan berumah tangga adalah kakaknya, tapi kenapa dia yang trauma? "Kania, apa kamu tahu? Kalau laki-laki itu seperti segelas kopi. Dia kuat, hangat, dan akan senantiasa menjagamu baik siang maupun malam," tutur Maya sembari membawakan secangkir kopi untuk pelanggan yang baru saja memesannya. Kania yang mendengar hal itu langsung mendelik ke arah Maya. Sorotan matanya seakan ingin memberi pelajaran kepada sahabatnya itu. "Kata-kata mu itu, tidak akan membuat aku luluh. Karena aku tahu, kamu mendapatinya dari internet kan? Tidak benar-benar ucapan dari hati kamu." "Yey biarin saja. Tapi memang benar kok, kalau laki-laki itu bisa melindungi kita, buktinya orang tadi. Dia laki-laki tampan yang telah menolong kamu disaat kamu sedang kesusahan. Bayangkan saja kalau tidak ada dia, pasti kita gak bisa jualan kopi lagi. Dan kamu ... kamu pasti akan kena omelannya si Bagus!" ucap Maya dengan tegas. "Ada apa manggil-manggil aku, Maya?" teriak seseorang di dalam ruangan. Siapa lagi kalau bukan Bagus, sang manager paling narsis dan galak. "Oh, a-anu Mas. Ini gambar kopinya bagus hehehe," kata Maya gugup. Ia pun segera berlalu dari Kania, karena secangkir kopi yang ia buat belum juga diberikan kepada orang yang memesannya. "Mampus kau Maya!" ucap Kania menyengir. *** Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Dan saatnya Kania bergegas untuk pulang. Pada saat dirinya hendak menjalankan motor tuanya, tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Kania merutuki kekesalannya karena hujan datang secara mendadak. Mau masuk ke dalam cafe lagi, tidak mungkin. Sebab pintu cafe itu sudah terkunci rapat. Sehingga, ia hanya bisa menunggunya di depan cafe itu. Dan disaat itu pula, ada seorang pria yang menghampiri Kania. Ia terlihat buru-buru karena ingin segera berteduh di tempat itu. Kania yang melihatnya pun sedikit tercengang karena wajahnya mirip dengan laki-laki tadi saat di dirinya sedang bekerja. "Maaf, aku ikut berteduh!" ucap pria itu. "Silahkan!" jawab Kania singkat. "Oh iya, tadi gimana mesin kopinya? Tidak ngadat lagi kan?" tanya pria itu. Ya, pria yang kini bersama Kania adalah pria yang sudah membantu Kania memperbaiki mesin kopinya. "Oh, tadi kamu yang memperbaikinya? Aku sampai lupa!" ucap Kania pura-pura lupa. "Alhamdulillah tidak!" "Syukurlah!" ucap pria itu. "Oh iya, kenalin namaku Adam, kalau kamu siapa?" Pria yang bernama Adam itu sembari menyodorkan tangan ke arah Kania. Namun, Kania tidak meresponnya. Ia mengalihkan pandangannya seolah tidak ingin berjabat tangan. Namun, ia juga tidak enak hati, karena pria itu terlihat baik-baik saja. "Namaku Kania!" cetusnya. Pandangannya masih ke arah lain dan tetap tidak mau menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Adam. Sehingga membuat pria itu sedikit keheranan. Akan tetapi, dengan acuhnya Kania, ia semakin penasaran dengan wataknya gadis itu. Semakin Kania acuh, semakin Adam tertarik padanya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD