Bahagia itu ada batasnya. Kita membutuhkan waktu sejenak untuk merenungkan berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk tertawa hari ini. Berapa banyak keringat yang kita habiskan hanya untuk kata bahagia itu.
Tampaknya tidak ada batasan bagi Seavey dan Ayana untuk berbahagia. Puas bermain-main di bawah guyuran hujan. Seavey tidak langsung pulang ke hotel. Dia mencari penginapan di sekitar hutan merah, tempat kencannya dengan Ayana. Paling tidak, hal itu mewujudkan keinginan Ayana untuk menjalin hubungan cinta yang sederhana.
Tidak butuh waktu lama pencarian mereka membuahkan hasil. Hanya butuh sepuluh menit untuk menemukan penginapan sederhana yang harganya tidak terlalu mahal.
"Tinggal satu kamar yang kosong." kata pemilik rumah sewa. Dia mengamati Seavey dan Ayana bergantian. Menebak-nebak mereka pasangan kekasih atau bukan. Mereka berdua memakai kaos yang bermotif sama. Hmm, Ayana dan Seavey memang sudah membeli pakaian murah saat baju mereka basah. "Kupikir, kalian bisa tinggal sekamar." lanjut perempuan paruh baya itu.
Seavey tidak langsung mengiakannya. Ia meminta pendapat Ayana lebih dulu. "Tidak buruk. Dari pada kembali ke hotel lebih baik di sini dulu. Aku masih ingin menikmati hawa Redwood Forest." jawab Ayana.
Perempuan pemilik rumah sewa menambahkan, "Di sini juga ada perapian. Kalian bisa merasakan suasana abad pertengahan." katanya membuat Seavey dan Ayana melihat-lihat sekelilingnya. Ada banyak lukisan abad pertengahan di dinding, arsitekturnya terkesan klasik.
"Ini kuncinya. Kalian bisa menonton tv di ruang tengah kalau mau. Kamar kalian ada di lantai dua." Seavey mengambil kunci kamar itu, pamit ke kamarnya dan menarik tangan Ayana menuju kamar mereka.
Di dalam kamar, Seavey membuatkan kopi untuk dirinya dan Ayana. Beruntung sekali ada dapur di kamar itu. Jadi, Seavey tidak harus repot ke dapur lantai bawah. "Suasananya benar-benar mirip abad pertengahan. Aku seperti sedang memerankan film klasik." komentar Ayana yang sudah duduk di depan perapian. Menghangatkan tubuhnya yang sempat kehujanan.
"Kupikir juga begitu." Seavey mengambil duduk di samping Ayana. Kemudian menyodorkan kopi buatannya. "Trims." Ayana mengambil kopinya dan menyesapnya. Enak sekali kopi buatanmu, Sea! Kau tidak hanya tampan ... kau juga pandai membuat kopi.
Seavey mengambil selimut. Membaluti Ayana dengan selimut itu. Mereka duduk di depan perapian dalam selimut yang sama. Ayana mengambil ponselnya, memutar lagu kesukaannya. "Kau sudah banyak tahu tentang aku. Sekarang giliranku. Ceritakan tentang dirimu." pinta Seavey lembut.
Ayana meletakkan cangkir kopinya di sampingnya. "Aku lahir di Bali. Saat usiaku dua belas tahun, aku pindah ke Singapura. Aku besar di sana. Aku kuliah di New York atas kemauan nenekku. Kami tidak punya uang tetapi segala cara dilakukan Papa dan Mama agar aku bisa kuliah di sini. Sialnya adalah mereka kehabisan uang saat aku sudah semester akhir." Seavey menyadari betul bahwa uang begitu berharga di mata Ayana. Sementara dia ... terlalu banyak uang sampai mempergunakan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting.
"Kenapa nenekmu ingin kau kuliah di New York. Bukankah di Singapura terdapat Universitas yang bagus?" Seavey penasaran sebagaimana penasarannya Ayana biasanya. Ayana mengangkat bahunya, "Nenek berpendapat kalau Amerika akan merubah kehidupanku. Katanya biarlah mereka hidup miskin semiskin-miskinnya asal aku tidak seperti mereka yang hidup susah. Aku anak tunggal jadi aku teramat disayangi." Ayana terharu--mengingat pengorbanan Orang tua dan neneknya. Mendadak rasa rindu itu menyelimutinya. Aku rindu rumah! Anak perantauan pasti merasakannya...
Ayana melanjutkan perkataannya, "Hidup itu kejam! Bukan kesenangan yang kudapatkan selama aku kuliah. Rasanya justru lebih berat dari yang kubayangkan. Beruntung aku menemukanmu. Kaulah yang membuatku keluar dari kesulitanku." Ayana menyandarkan kepalanya di pundak Seavey. Ada kekuatan saat berada di dekat pria itu. Segalanya lebih indah saat ada dirinya.
Seavey mengecup keningnya, "Bukan aku tapi doa dari keluargamu yang membuatmu terlepas dari kesulitan. Kupikir kau merindukan keluargamu." Seavey mengingat kontrak Ayana sebagai agen pembersih yang tersisa satu tahun. Sebentar lagi Ayana akan pergi dan dia akan sendiri... Ketakutan itu menguasai kepalanya.
Si te pido un beso, ven, dámelo
Jika aku meminta ciuman, kemari, dan berikan padaku
Yo sé que estás pensándolo
Aku tahu kau memikirkan itu
Llevo tiempo intentándolo
Aku sudah berusaha beberapa kali
Mami, esto es dando y dándolo Mami,
Aku menyerah
Sabes que tu corazón conmigo te hace bang-bang
Aku tahu saat kau bersamaku jantungmu berdenyut kencang
Lagu yang diputar Ayana masih menggema. Bukan waktu yang tepat musik itu berdendang. Harusnya lagu mellow milik Adele yang terputar.
Sabes que esa beba está buscando de mi bang-bang
Kau tahu bahwa kau berusaha membuatku deg-gean
Ven, prueba de mi boca para ver cómo te sabe
Ayo coba rasakan mulutku untuk mencari tahu apa yang terjadi
Quiero, quiero, quiero ver cuánto amor a ti te cabe
Aku ingin tahu berapa banyak cinta yang bisa kau buat
Yo no tengo prisa, yo me quiero dar el viaje
Aku tidak buru-buru, aku ingin berjelajah
Empecemos lento, después salvaje
Mari kita mulai dengan perlahan lalu menjadi liar
Ayana menikmati sentuhan Seavey di kepalanya. "Benar, Sea. Aku sangat merindukan papa, mama, dan nenek. Keluarga adalah bagian penting dalam--" Ayana menutup mulutnya. Kau telah membicarakan hal yang salah, Ayana! Seavey punya definisi buruk mengenai keluarga. Bagaimana bisa kau membahas hal itu? Minta maaflah Ayana.
Sebelum Ayana mengucapkan kata maaf. Seavey lebih dulu menimpali, "Kau tidak perlu meminta maaf. Aku tidak akan tersindir dengan pernyataanmu tentang keluarga. Aku tidak pernah menyalahkan pendapat orang lain mengenai apa pun. Termasuk pengertian keluarga." kata Seavey datar.
Ayana diam. Seavey mampu membaca pikirannya. "Ya, bagaimana pun kau pasti akan kembali ke Singapura 'kan? Meninggalkan aku dan hubungan ini." Seavey terdengar pasrah. Ayana ingin mengatakan akan selalu berada di dekat pria itu, tapi... Aku juga ingin pulang, Sea! Setidaknya melihat mereka baik-baik saja di sana.
Ayana menangkup wajah Seavey. "Aku tidak mau putus denganmu, Sea! Aku sudah nyaman berada di dekatmu. Aku sama sekali tak berniat mengakhiri kenyamanan ini." bisik Ayana seraya mencium lembut bibir Seavey.
Seavey mematung. Merasakan Ayana di bibirnya. Pria itu merasa tak bisa melawan takdir di mana Ayana akan pergi dari hidupnya sewaktu-waktu. "Aku merasa kau hanya tokoh fiksi dalam hidupku, Ayana. Aku menikmatimu tetapi terkadang aku merasa ini seperti mimpi." Kalimat itu terdengar begitu puitis. Tapi ada makna lain di dalam kalimat itu.
"Kalau begitu, berpikirlah bahwa aku nyata, Sea. Aku di sini, bersamamu. Aku bukan gadis di atas kertas seperti kaurasa." Ayana menegaskan. Membuat Seavey menyapu bibirnya lagi. Hasrat itu tak tertahankan. Seavey mengangkat Ayana ke tempat tidur. Mereka menghabiskan waktu berdua di tempat itu. Ayana bukan fiksi, Sea. Rasakan dia! Dia adalah kenyataan yang tak bisa kau hindari.