♡Bagian 8♡

2291 Words
Mobil yang di kemudikan Pak Wadiman telah sampai di depan pekarangan rumah Syifa, "Ini Mbak rumah nya?" tanya Pak Wadiman takut salah memberhentikan mobil. "Iya Pak, ini rumah saya. Bapak mau turun sekalian?" "Eh ngga usah Mbak. Nanti katanya Tuan mau ngejemput sendiri." "Oh yaudah, saya turun ya Pak sama Kila. Sayang, pamit dulu sama Pak Wadiman." ujar Syifa seraya menyuruh Kila yang asik dengan iPad di tangannya. "Aku turun dulu ya Pak Iman, hati hati dijalan Pak." "Siap Non." Kila menyerahkan iPad yang dia pegang kepada Syifa, dan berusaha keluar dari mobil sendiri. "Bye Pak Iman." Pak Wadiman membalas dengan membunyikan klakson mobilnya. "Yuk sayang masuk." Syifa langsung menggandeng tangan kecil itu. Untungnya dia sudah memasukan iPad anak itu ke dalam tasnya. Dia seperti Ibu ibu yang habis belanja bulanan. Tangan kanan yang menggandeng anaknya dan tangan kiri yang menenteng plastik swalayan. Sebelum tiba di pintu masuk saja sudah terdengar riuh dari dalam rumah, sepertinya dua keponakan kembarnya sedang berkunjung ke rumahnya. "Assalamu'alaikum." salam Syifa ke dalam rumah. Di ruang tamu ada Ayahnya si kembar dan jangan lupakan wajah Kakaknya yang sudah tidak bisa di jabarkan lagi. Mata melotot ketika melihatnya menggandeng tangan anak kecil. Bahkan si kembar juga ikut diam ketika melihat kearahnya. Syifa menunjukkan senyum manisnya ke arah Abang ipar dan Kakaknya. "Hay, Ante dateng kok ngga di peluk?" Kedua keponakannya langsung menubruknya, "Ante.." "Onti..." cicit Kila. Syifa tidak sadar jika pegangan tangannya terlepas dengan anak itu. Dan sekarang Kila memanggilnya seraya menarik samping bajunya. "Eh iya, Onti lupa. Kenalin, ini namanya Dina." tunjuk Syifa ke arah keponakan perempuannya, "Dan yang ini Dino." sekarang gantian Syifa menujuk ke arah keponakannya yang cowo. "Dina," "Dino," Awalnya Kila bersembunyi di balik Syifa, dia takut berkenalan dengan orang baru. Maklum saja, dia jarang sekali berbaur dengan lingkungannya. Faktor utama, tidak ada yang menemaninya untuk berbaur, tidak mungkin Papahnya mengawasinya 24 jam. Bahkan jika weekend hanya mereka habiskan berdua saja tanpa berbaur kepada tetangganya. Syifa membalikan badannya, mensejajarkan tingginya dengan Kila, "Sayang, mereka ini keponakan Onti. Mereka seumuran sama kamu. Mereka baik kok." ujar Syifa memberikan pengertian. Perlahan Kila mengintip ke arah Dina dan Dino, dan untungnya kedua keponakan Syifa mudah berbaur dengan anak seumuran mereka. "Hay Kila, aku Dina. Yuk main sama aku." Dina menjulurkan tangannya ke arah Kila. Kila menoleh sebentar ke arah Syifa. Syifa menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Dengan keberaniannya, Kila menerima uluran tangan Dina. Ternyata keponakannya itu mengajak Kila ke tempat area bermain mereka yang memang disediakan Bapaknya Syifa untuk kedua cucunya. "Dek," panggil Lisa. Syifa yang sudah mau naik tangga, diam sejenak mendengar panggilan Kakaknya. Dia memejamkan matanya sejenak, dari nada panggilan saja Syifa sudah tahu kalau Kakaknya itu mau mengintrogasi dirinya. "Aduh, perut Syifa sakit Kak. Mules kebelet pup." dirinya langsung melarikan diri ke kamar. Perutnya sakit hanya alibi saja supaya Kakaknya yang super kepo itu tidak mengintrogasi dirinya. "Udah, nanti dia juga cerita. Jangan dipaksa sayang." ujar Iqbal menenangkan istrinya. Dia paham, sekarang istrinya itu sangat penasaran siapa anak kecil yang dibawa Syifa. Untungnya kedua orang tua mereka sedang keluar ada urusan mendadak dari kantor Bapaknya Syifa. "Isshhh masa iya anak dia Mas?" fikiran Lisa mulai ke mana mana. Iqbal langsung menarik hidung sang istri, "Astaghfirullah, kok bisa sih fikiran kamu sampe sana?" Iqbal hanya bisa menggelengkan kepala saja mendengar pemikiran istrinya sampai sejauh itu. "Ya kan takut Mas." rajuk Lisa. "Udah ah. Mending sekarang kamu bikinin anak anak cemilan. Kan ada temen mereka yang baru itu." tak urung Lisa menuruti permintaan suaminya dan berjalan ke arah dapur. Sedangkan di dalam kamar, Syifa mengatur nafasnya. Dia memegang dadanya yang berdebar kencang seraya memejamkan matanya sejenak. Lagi lagi, dia tahu jika dia berbohong akan berakibat seperti ini. Tapi tidak mungkin juga jika dirinya menceritakannya langsung. Nanti saja ketika Ibu Bapaknya sudah di rumah. Bukan hal penting memang, tapi pasti orang orang akan menyangka Kila anak yang dia sembunyikan. Setelah merasa nafanya dan debarannya sudah normal, Syifa berjalam kearah kamar mandi. Membersihkan dirinya dan turun ke bawa. Dia mempunyai janji dengan Kila untuk membuatkannya chicken katsu. Baru sampai di depan pintu dapur, dia melihat Kakaknya sedang mengaduk minuman. Syifa mengatur nafasnya dulu sebelum bertemu dengan Kakaknya, "Bikin apa Kak?" Lisa yang sedang mengaduk coklat panas, langsung membanting sendoknya. "Astaghfirullah. Bisa ngga sih Syif, jangan ngagetin kalo dateng." omel Lisa seraya mengelus dadanya. Dia kaget tiba tiba Adiknya itu sudah di sampingnya. "Hehe maaf Kak. Lagian serius banget sih ngaduk coklatnya." "Ck, udah sana siapin es batu sama tiga gelas." pinta Lisa sambil mengaduk coklat di hadapannya. "Okey, mau buat siapa Kak?" tanya Syifa seraya mengeluarkan es batu batangan dari dalam kulasnya. "Buat anak anak." "Oh." Setelah membantu Kakaknya mengisi satu persatu gelas coklat, baru dia memanaskan air. Dia mau mengolah ayamnya dulu. "Kamu mau masak apa?" tanya Lisa yang sudah membawa nampan berisikan coklat dingin yang tadi dia buat. "Mau bikin chicken katsu Kak. Si kembar suka jugakan?" "Suka banget. Yaudah Kakak mau nganter ini dulu ya, nanti kalo udah Kakak bantuin." "Oke Kak." Karena sudah terbiasa dengan alat dapur, jadi tidak susah bagi seorang Syifa. Apa lagi hanya mengolah chicken katsu, sudah dia hafal diluar kepala. Ya memang, awalnya dia pintar mengolah bahan dia belajar dari Youtube dan buku masak. Itu pun dorongan dari Ibunya yang tidak berhenti menasehatinya untuk belajar masak. Dengan alibi, seorang perempuan itu harus pinter masak. Kalo ngga pinter, jangan harap nanti suami betah di rumah. Siapa yang bisa tahan jika setiap detik diceramahi seperti itu. Apa lagi ketika melihat Syifa menganggur hanya berselancar dengan ponselnya, sang Ibu langsung memulai menasehatinya. Dan akibat kegigihannya juga dia jadi pandai memasak seperti sekarang. "Udah jadi? Maaf Kakak telat, tadi si kembar berantem." ujar Lisa yang merasa bersalah. "Santai Kak. Udah mau jadi kok, tinggal ngebuletin aja adonannya." jawab Syifa seraya membentuk adonan yang sudah tercampur dengan ayam yang tadi dia rebus. "Cepet juga ya kamu. Ini di blender dulu ya ayamnya?" Lisa ikut membentuk adonan menjadi lonjong atau bulat, terserah sesuai selera. "Kalo aku ngga di blender Kak. Entar kelembutan kalo di blender. Tadi cuman di cincang aja, jadinya tipis tipis sama kecil kecil gitu." "Oh gitu. Pantes, Kakak di rumah di blender dan hasilnya ngga bisa di pulung pulung begini." "Bisa aja sih Kak. Cuman agak di banyakin terigunya biar ngga encer jadinya." Lisa menganggukan kepalanya mendengar penjelasan dari Adiknya. Antara dirinya dan Syifa memang Syifalah yang lebih jago dalam hal memasak. "Abis ini di apain?" adonan yang mereka pulung pulung tadi sudah habis dan sudah berubah bentuk menjadi lonjong atau bulatan bulatan. "Kalo mau langsung juga gak papa kok. Tapi ya lebih baik ditaro di kulkas Kak. Kan bisa kenceng nanti." "Okee, nanti Kakak coba ya di rumah. Terus ini berapa lama di kulkasnya?" Syifa melirik jam dinding sejenak, "Kurang lebih 15 menit aja cukup Kak. Kalo kelamaan 10 menit gak papa kok." "Yaudah, Kakak ke anak anak dulu ya." "Iya Kak." Syifa tidak ikut meninggalkan dapur seperti Kakanya, dia memanaskan teflon dengan minyak. Dia berfikir, jika 10 menit sepertinya anak anak kelamaan menunggu makanan ini. Jadi mungkin secukupnya saja. Dia mengecek ke freezer, ternyata udah lumayan kencang. Jadi tidak akan hancur jika dia goreng. "Onti.." panggil Kila yang sudah ada di pintu dapur. Syifa langsung membalikan badannya, "Loh sayang, kok di sini? Kenapa?" dia menghampiri Kila. Kila meminta Syifa untuk menggendongnya, Syifa menuruti. Lagi pula Kila tidak terlalu berat, bahkan dua keponakannya yang lebih besar dari Kila dia bisa menggendongnya. Syifa mematikan kompor sejenak. Takut minyaknya sudah terlalu panas lebih baik dia matikan. Kelihatannya Kila seperti mengantuk, terlihat dari matanya yang sayup sayup. Dengan telaten, Syifa menggendong Kila seraya mengusap punggung anak itu. Merasa nyaman, Kila pun mulai memejamkan matanya. Dia lelah. Kila mulai berat di gendongannya. Artinya anak itu sudah tertidur di gendongannya. Dan benar, Kila sudah tidur pulas. Syifa tidak mungkin membiarkan Kila tidur dengan seragam sekolahnya. Untungnya ukuran badan Kila dengan Dina tidak jauh berbeda. Mungkin lebih besaran Dina sedikit, tidak masalah. "Kak, ada baju Dina yang di sini ngga?" tanya Syifa ketika mendapatkan Kakaknya sedang berbincang dengan Abang iparnya. "Loh tidur itu si Kila Syif?" tanya Lisa yang sudah bangkit dari duduknya. "Iya ini. Tadi tau tau udah didepan pintu dapur." "Tadi dia nanyain kamu di mana, yaudah Kakak kasih tau aja di dapur. Ternyata ngantuk ini dia." Lisa melangkahkan kakinya menuju kamarnya di rumah ini. Ada sebagian baju anak anaknya yang di rumah orang tuanya. Lisa berhenti di depan pintu kamarnya, "Mas, kamu gendong si Kila ke kamarnya Syifa ya. Biar Syifa nyari bajunya sama aku." "Eh, ngga usah Bang. Aku aja." Syifa merasa tidak enak jika meminta bantuan Iqbal. "Udah gak papa Syif, sini sama Abang aja." tawar Iqbal seraya meraih Kila dipelukan Syifa. "Udah sana ikutin Kakak kamu. Nanti dia ngamuk kalo ngga di turutin." bisik Abang iparnya. Syifa hanya menggelengkan kepala, "Yee gitu gitu juga buat Abang klepek klepek kan?" Syifa sangat tahu bagaimana hubungan Iqbal dan Lisa. Dulu di saat mereka berdua belum menikah, Syifa lah yang selalu menjadi tumpuan. Jika Lisa sedang ngambek dengan dirinya, maka Iqbal akan meminta tolong Syifa supaya membujuk Kakaknya. Maka dari itu hubungan Syifa bisa di katakan dekat dengan Kakak iparnya. "Cipruttt." teriak Lisa dengan lantang dari kamarnya. Syifa langsung berlari kearah kamar Kakaknya itu, dari pada berujung telinganya sakit. "Nih, kamu pilih aja yang mana." Lisa menyerahkan keranjang baju anak perempuannya. "Belom digosok itu. Cuman di cuci doang." lanjut Lisa tau pemikiran Adiknya ketika melihat seonggok cucian di dalam keranjang seperti belum di cuci. "Aku ambil ini aja ya Kak. Piyama aja." ujar Syifa seraya mengambil pilihannya yang jatuh pada sepasang piyama bergambar hello kitty. "Bebas. Pilih aja, muat kan itu?" Syifa mengangkat piama tersebut, membayangkan tubuh mungil Kila. Sepertinya tidak terlalu besar juga. "Kegedean dikit. Gak papa lah. Aku ambil ya, thanks Kak." Sebenarnya sampai sekarang Lisa masih penasaran siapa anak kecil itu. Tapi dia sendiri dilarang keras oleh suaminya untuk menanyakan hal tersebut. Katanya, biar nanti Syifa yang menceritakan dengan sendirinya. Tidak lama Syifa pergi meninggalkan kamarnya, dia mendengar orang sedang menaruh kresek di meja makan. Lisa membereskan baju yang tadi di bongkar Syifa, dan melihat siapa yang ada di dapur. "Loh Bu? Udah pulang?" tanya Lisa ketika melihat Ibunya di meja makan. "Udah Kak. Adek mana?" tanya Bu Indah. "Oh Adek di kamar. Sini Bu, biar Lisa aja yang nata di kulkas." Bu Indah langsung menyerahkan plastiknya kepada putri sulungnya. Dia meminta izin untuk mengganti pakaiannya. Tapi sebelum benar benar pergi ke kamarnya, dia ingin melihat putri bungsunya. Setibanya di depan kamar putri bungsunya, matanya langsung terbelalak ketika melihat Syifa sedang mengantikan baju anak kecil. Baru saja Bu Indah ingin teriak, tapi keburu Syifa melihat ke arahnya. Dan Syifa memberi kode dengan jari telunjuknya yang dia letakkan di depan mulutnya. Bu Indah langsung membekap mulutnya rapat rapat. Dan menunggu anaknya itu keluar memberi penjelasan. Syifa merutuki dirinya sendiri yang ceroboh tidak menutup pintu kamarnya. Setelah selesai mengantikan Kila dengan piyama keponakannya, dia menyelimutinya. Ketika dirinya melihat ke arah pintu, ternyata Ibunya masih menunggu. Syifa membuang nafasnya sejenak, dia memang harus menjelaskan siapa Kila sebenarnya. "Eh Ibu," Syifa langsung menyalimi punggung tangan Ibunya, "Kapan nyampe Bu? Bapak mana?" "Baru Ibu nyampenya. Bapak masih di kantor. Tadi Ibu pulang duluan naik taxi." jawab Bu Indah dengan tatapan masih kedalam kamar putri bungsunya. Syifa langsung menutup pintu kamarnya, "Yuk Bu. Adek jelasin ya." Syifa atau Lisa jika sudah menggunakan panggilan itu, tandanya sedang merajuk kepada orang tuanya. "Hm." jawab Bu Indah seraya menuruni anak tangga. "Udah di tata semua Lis?" Lisa yang sedang meletakkan buah terakhir dari kantong plastik ke dalam kulkas langsung menoleh, "Eh udah Bu. Semua udah Lisa tata." "Yaudah alhamdulillah. Mana suami kamu?" tanya Bu Indah tidak melihat menantunya. "Mas Iqbal di kamar kayaknya Bu. Tadi anak anak minta di temenin di kamar." Lisa langsung melihat ke arah Syifa yang bermanja di lengan Ibunya, "Ibu udah tau?" "Anak itu? Tau tadi Ibu udah liat. Katanya Adek kamu ini mau jelasin." jawab Bu Indah seraya berjalan kearah ruang keluarga. Syifa langsung diam ketika Ibunya melepas glendotannya, "Ih Ibu mah." tak urung Syifa juga ikut melangkahkan kakinya diikuti oleh Lisa. "Jadi?" tanya Bu Indah setelah melihat kedua anaknya duduk di sofa. "Jadi gini, Bapaknya anak yang tidur di kamar aku itu bossnya Teh Gita." "Gita? Gita Ananda?" tanya Lisa dengan nada tidak percaya. "Iyaaa. Teh Gita Kakakku sayanggg." "Terus kamu kok bisa kenal?" sekarang Bu Indah yang penasaran. Kok bisa putri bungsunya kenal dengan atasan Gita keponakannya. Mulailah cerita Syifa mengalir. Dari awal pertemuannya dengan duda anak satu itu. Kecuali yang mereka berkunjung ke taman bersama sama. Nanti Ibunya mengira jika dia mempunyai hubungan dengan duda tersebut. Padahal dalam kamus hidup Syifa tidak sekali pun ingin menikah dengan pria yang memiliki buntut. "Oh gitu. Yaudah. Ibu ke kamar dulu ya, capek belum istirahat." pamit Bu Indah meninggalkan kedua putrinya. "Yailah. Tau ngga, aku kira tuh ya dia anak yang kamu sembunyiin." Syifa langsung melempar Kakaknya meggunakan bantal sofa yang ada di sampingnya. "Sompret lu." umpat Syifa yang sudah berjalan menuju dapur meninggalkan Lisa yang masih mendumel karena rambutnya yang rapih terkena lemparan bantal sofa. Syifa menyalakan api kompor lagi, melanjutkan memanaskan minyak yang tadi sempat dia tinggal karena Kila tidur. Dan mengambil chicken katsu yang sudah membeku. Baru saja dia mencemplungkan satu chicken katsu ke dalam penggorengan, Kakak perempuannya yang suaranya membahana itu meneriakinya. "Cipruttttt, hape lu bunyi ituuu bangunin anak gueee." teriak Lisa karena anaknya menangis mendengar suara nada dering dari ponsel milik Adiknya. Bahkan dirinya sudah tidak memakai aku-kamu jika sudah kesal. Syifa mematikan kompornya lagi dan segera mengangkat panggilannya. Ponselnya memang tidak di kamar, melainkan ada di meja pantry yang kebetulan dekat dengan kamar Kakaknya itu. Pak Dwiki is calling you ? Ada apa duda ini menelfon dirinya? Syifa menepuk jidatnya sendiri, dia lupa jika buntut duda ini ada di rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD