LDR 4

964 Words
        Saat ini aku sedang berada di rumah Bunda Tania, mulai dari selesai kampus sampai saat ini mau makan malam aku masih di rumah Bunda.  Bunda sedang mandi, kami baru saja selesai masak untuk makan malam. walaupun kami Cuma bertiga tetapi Bunda Tania tetap ingin masak daripada beli. Kenapa kami bertiga karena satu lagi adalah Mas Billy.         Aku mendengar suara deru mobil dan yang aku yakini itu mobil Mas Billy maka aku membukakan pintu. Tetapi aku disambut dengan kedatangan Mas Billy beserta dengan Ayahnya. Aku belum pernah bilang ya kalau aku itu segan banget sama Ayahnya Mas Barra. Soalnya sikapnya sama kayak Mas Barra pendiam, cuek, dingin gitu.         Aku emang udah pernah beberapa kali, tapikan pada saat itu aku bukan siapa-siapa tapi kali ini aku berstatuskan pacarnya Mas Barra, berarti bisa dibilang calon mertua bukan? Aku berusaha untuk mengontrol wajah terkejutku dan aku melihat Mas Billy sudah cengengesan ga jelas lihat mukaku. Tapi tetap saja aku menaruh kesopanan dengan memberi salam pada Ayahnya Mas Barra yang kupanggil dengan Bapak. “Aluna Bunda mana?” Tanya Mas Billy padaku. “Lagi mandi Mas. Sini Aluna bawakan tasnya Pak.” “Gausah biar Billy saja.” Akhirnya aku mengurungkan niatku dan mengikuti dua pria itu dari belakang. “Eh Ayah udah datang.” Bunda keluar dari kamar miliknya. Bunda cepaka-cepiki pada Ayah Mas Barra. “Kita makan malam dulu ya, nanti aja mandinya.” Bunda menggandengan tangan Ayah Mas Barra sedangkan aku hanya mengikuti keluarga itu dari belakang.         Aku membantu Bunda untuk menyiapkan makan malam tersebut dengan menata makanan di meja. Setelah itu aku duduk disamping Mas Billy, sedangkan Bunda disamping Ayah Mas Barra biasanya kepala keluarga duduk di meja kepala bukan? Tapi aku tidak mau ambil pusing, lima menit makan tidak ada yang mulai percakapan sampai akhirnya Ayah Mas Barra yang memulai. “Kamu mahasiswanya istri sayakan?” “Eh iya Pak.” Aku terkejut ternyata aku korban dari pertanyaan itu. “Seingat Ayah Billy punya pacar, udah putus?” “Enggak kok Yah masih lanjut kok.” Aku melihat Ayah Mas Barra menatapku dan Mas Billy bergantian dan kami bingung. “Aluna pacarnya Barra sekarang Yah.” Bunda yang memberitahu dan membuatku sedikit tersedak karena pernyataan itu. Bagaimanapun aku canggung sekarang. “Barra?” Hanya itu yang di ucapkan oleh Ayah Mas Barra. “Nama kamu siapa?” Tiba-tiba Ayah Mas Barra bertanya lagi padaku. “Aluna Pak.” “Maksud saya nama lengkap kamu.” “Aluna Khandra Wicaksono Pak.” Aku melihat Ayah Mas Barra manggut-manggut sambil minum. “Kamu anaknya Khanza sama Andra Wicaksono?” “Eh iya Pak.” Aku kaget kenapa bisa tahu, padahal orangtuaku hanyalah karyawan biasa. “Ayah kenapa bisa kenal?” Bunda yang bertanya menyuarakan hati kami. “Kakeknya Aluna dari Mamanya Ayah kenal, beliau banyak punya usaha dan kebetulan kita lagi ada proses kerjasama. Sama Andra Ayah pernah ketemu kalau ada perjalanan bisnis.” Aku hanya manggut-manggut wae dah. Entar detailnya tanya Papa sama Mama aja. “Bagus dong kalau udah saling kenal dapat lampu ijo nih.” Mas Billy yang bersuara dan tertawa melihat ekspresiku yang kelabakan sedangkan Bunda Tania tersenyum jangan tanyakan Bapak Mahendra Ayahnya Mas Barra diam-diam bae.         Setelah itu tidak ada lagi percakapan, selesai makan kedua pria itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Aku dan Bunda membereskan meja makan, Bunda Tania hanya mempunyai asisten rumah tangga yang pulang hari, jadi ketika sore udah pulang tetapi tidak untuk masak. Karena Bunda Tania sama kayak Mama yang percaya dengan masakan sendiri daripada orang lain.         Selesai membereskan kami duduk di ruang TV sambil menonton tetapi pikiranku saat ini tidak pada Tv. Aku bersendar di bahu Bunda Tania dan memeluk tangan kirinya dan Bunda Tania tersenyum. “Kamu kenapa? Berantem sama Barra?” Aku menganggukkan kepalaku dengan lesu. “Eh enggak berantem yang gimana-gimana juga sih Bun. Mas Barra jadinya dingin sama Aluna.” “Kamu ketahuan bohong ya?” Aku melepaskan diri dari Bunda dan menatap dengan terkejut. “Bunda tahu darimana? Mas Barra cerita sama Bunda?” Bunda hanya tersenyum. “Waktu kecil Ayah pernah janjiin sesuatu sama Barra, lalu Ayah lupa buat nepati. Barra sangat ingat dua minggu Barra diamin Ayah, barulah Ayah tahu kenapa Barra kayak gitu. Barra bilang kalau Ayahnya pembohong, jadi sejak itu kami ga pernah bohong sama Barra. Lihat Barra kayak gitu ngeri banget.” Aku jadi semakin lesu mendengar hal itu. “Tapi ada bedanya, kamu tetap diperhatiin sama dia. Ga sampe di diemin yang gimana banget, berarti kamu berhasil buat Barra berubah sedikit demi sedikit walaupun tetap marah. Berarti dia menghargai kamu dan takut kehilangan kamu. Dulu sebelum sama kamu, mantannya ada yang bohong Barra langsung putusin. Nah kamu ketahuan bohong masih aman-aman ajakan. Berarti kamu itu beda bagi Barra.” Aku sedikit tersentuh mendengar hal itu kalau emang benar seperti itu. “Nanti juga Barra akan balik lagi kok. Barra ga tidur dari hari senin kemarin.” “Loh kenapa Bun?” Jujur aku ga tahu soal ini. “Hari senin kemarinkan Barra sidang kamu tahukan?” Aku benar-benar kaget, Mas Barra ga bilang kalau dirinya sidang. Kenapa sih Mas Barra ga kasih tahu hal penting kayak gitu. Setidaknya aku bisa semangatinkan, walaupun gabisa bantuin apa-apa disana. “Nah ternyata skripsinya itu dosennya pada suka, jadi mau diajuin buat penelitian keluar negeri. Jadinya dosennya minta selama tiga hari di ubah skripsinya semua ke dalam bahasa Inggris. Jadinya Barra selama beberapa hari ini ngerjain itu. Besok deadlinenya mungkin salah satu Barra kayak gitu efek itu juga. Ngertiin Barra ya Luna.” Bunda menggenggam tanganku dan aku hanya tersenyum dengan paksaan.         Aku masih kecewa karena Mas Barra gabilang kalau dia sidang. Bahkan aku tau dari Bunda itupun kalau ga cerita gini mungkin aku ga akan tahu. Mas Barra bener-bener nganggap aku ga sih? Padahal aku selalu bilang apapun pada Mas Barra. “Bunda, Aluna pulang ya. Udah malam,” “Iya, jangan terlalu dipikirin soal Barra. Dia emang gitu kok nanti baik sendiri.” “Iya Bunda. Salam sama Bapak dan Mas Billy ya Bun.” “Oke sayang. Hati-hati ya.” Bunda mengantarkanku sampai ke depan dan menungguku sampai aku benar-benar pergi.         Dalam perjalanan aku terus memikirkan yang dilakukan Mas Barra padaku. Apakah aku tidak sepenting itu? Tapi aku menahan untuk tidak melupakannya malam ini. Deadlinenya besok maka aku akan membiarkan Mas Barra untuk fokus pada skripsinya. Sampai rumah aku langsung chat Mas Barra dan memberikan kata-kata semangat, yah setidaknya walaupun terlambat ia berharap sedikit berguna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD