9. Pasar malam

1913 Words
Sesuai dengan janji, pukul tujuh malam seorang Mahesa Gibran Pranata, cowok yang hampir tidak pernah terlihat dekat dengan cewek itu, hari ini, malam ini, untuk pertama kalinya, dia menjemput seorang cewek dan mengajaknya jalan. Kurang jelas? MENGAJAKNYA JALAN! Yakin, jika anak-anak Titan yang lain tau, jika teman-temannya tau, jika ada satu saja anak Garuda yang tau, pasti besok pagi sekolah langsung heboh! Malam ini juga style Mahesa bisa dibilang cukup niat daripada biasanya. Cowok itu menggunakan celana jeans biru muda sobek-sobek, kaos putih polos, dilapisi dengan jaket parasut warna hijau army. Lengkap dengan sneaker putih dan rambut acak-acakan andalannya. Mahesa sudah bertengger di depan rumah Selina, sebenernya ingin masuk guna berpamitan langsung dengan Mama gadis itu, tapi Selina melarangnya dan menyuruh untuk menunggu saja di depan. Mahesa nurut saja daripada tidak jadi jalan kan? "Mahesa?" Spontan kepala Mahesa tertoleh ke belakang. Mahesa terdiam, atau lebih tepatnya terpaku dengan Selin malam ini? Iya, Mahesa terpaku melihat penampilan Selina. Sederhana tapi terlihat begitu sempurna. Mengetahui Mahesa yang sampai tak berkedip menatapnya, Selina jadi canggung sendiri. Dia lantas memperhatikan penampilannya sendiri dari atas hingga bawah. Memang ada yang salah dengan hanya menggunakan kaos kuning oversize bergambar spongebob kecil di tengah, serta baggie pants biru dongker? "Sa, baju gue jelek ya?" tanya Selina akhirnya memberanikan diri. Mendengar itu sontak Mahesa tersadar. Wajahnya kayak orang linglung. "Em apa?" tanyanya gelagapan. Selina mendesah berat. "Baju gue jelek ya? Outfit gue gak cocok ya sama lo?" ulang Selina. Namun, dengan cepat Mahesa menggelengkan kepalanya. Cowok itu juga melompat turun dari atas motornya. Berdiri tepat di depan Selina. "Ha? Enggak kok, siapa yang bilang jelek?" "Habisnya lo lihat gue gitu banget." Tanpa Selina pernah duga dan bayangkan, Mahesa tersenyum kepadanya. Benar-benar tersenyum manis, bukan senyum miring menyeramkan yang biasanya cowok itu tunjukkan. "You're so beautiful tonight." Sepertinya Selina akan pingsan setelah ini. Dengan sekuat tenaga Selina menahan napasnya saat Mahesa mendekat. Jantung Selina semakin berdebar tak karuan ketika tangan Mahesa mulai terulur menyisihkan anak rambut Selina ke belakang telinga. "Gue suka cewek yang sederhana, nggak neko-neko kayak lo," Mahesa berujar lagi. Kata tiap kata yang keluar berhasil membuat Selina panas-dingin, sesak napas, rasanya mau meninggal. Sebisa mungkin Selina mengontrol dirinya. Selina kemudian berdehem sambil mendorong d**a Mahesa agar cowok itu menjauh. Selina juga membuang muka, bukan karena takut tapi karena tidak kuat dengan pahatan sempurna itu. "Jangan kayak gitu lagi, Sa," kata Selina. Mahesa mengangkat sebelah alisnya bingung. "Jangan kayak gitu gimana?" tanyanya polos. Atau sok polos? Entahlah. "Ish! Jangan dekat-dekat gue!" "Kenapa?" "YA KARENA LO BUAT PERASAAN GUE GONJANG-GANJING MAHESA!" pekik Selina dengan cepat dan keras. Mahesa malah tertawa mendengar suara Selina dan juga melihat ekspresi wajahnya. "Lo juga jangan kayak gitu kalau gak mau digituin," balas Mahesa ambigu. "Gitu-gitu apaan? Nggak jelas banget sih lo!" Bukannya menjawab, Mahesa malah melengos pergi mengambil helm yang akan dia gunakan dan yang akan Selina gunakan. Sengaja dari rumah Mahesa membawa dua. "Pakai," suruh Mahesa mengulurkan helm hitam full face yang sama seperti miliknya, hanya saja ukurannya lebih kecil. Selina menatap helm itu tak percaya. "Ya kali aja gue pakai helm cowok? Bisa lebih bener dikit nggak?" "Lo nggak tau alasan di balik gue pilih helm ini, jadi selagi gue baik kasih lo pengaman, buruan pakai." "Nggak mau!" tolak Selina mentah-mentah. "Mending gue ambil helm gue sendiri aja," katanya. "Janganlah! Kan gue udah bawain buat lo," cegah Mahesa. "Ya gue gak mau pakai yang ini!" kekeh Selina. "Tapi kalau tau alasannya mau pakai?" tanya Mahesa membuat Selina terdiam sejenak. "Mau nggak?" desak Mahesa. "Ya apa dulu alasannya." "Sini gue bisikin." Mahesa menarik tangan Selina. Selina menolak tapi Mahesa terlalu kuat, jadinya gadis itu nurut-nurut saja. Hingga selanjutnya pernyataan Mahesa sukses membuat semua organ dalam tubuh Selina rasanya langsung berhenti beroperasi. Suara yang pelan dan lembut dengan sangat sopan masuk ke dalam telinga Selina membuat Selina tidak bisa membalas apa-apa lagi. Mau dengar apa yang Mahesa katakan? Mahesa bilang, "Gue udah feeling kalau lo bakal tampil cantik, itu sebabnya kenapa gue bawa helm ini, karena gue gak mau kecantikan lo dinikmati orang lain selain gue." ASTAGFIRULLAH, rasanya pengen terbang tinggi tanpa mau turun lagi. **** "Cinta menyatukan kita yang tak sama." "Kamu yang mengadah dan tangan yang ku genggam," tiba-tiba Laskar datang membalas lirik lagu yang dinyanyikan Azka. Sempat terdiam sejenak, tapi tangan Azka tetap lihai memetik senar gitar menjadi sebuah irama yang indah. Namun, temponya berubah pelan. "Berjalan salah, berhenti pun tak mudah." Rizal yang baru saja datang dengan segelas kopi di tangannya akhirnya itu bergabung, duduk di sebelah Azka membuat cowok itu diapit dirinya dan Laskar. "APAKAH KITA SALAH?" lanjut mereka berdua, Laskar dan Rizal bersamaan. Setelahnya Azka langsung menaruh gitarnya dengan lesu. "Sadboy detected. Ada cerita apa lagi hari ini?" tanya Laskar sok baik padahal ada niat terselubung, yaitu meledek. "Taulah capek," balas Azka malas. "Mangkannya move on sob! MOVE ON!" ujar Rizal. Azka melirik Rizal. "Lo lupa lirik yang barusan lo nyanyiin?" tanya cowok itu. "Apa?" "Berjalan salah, berhenti pun tak mudah," Azka kembali bernyanyi mengulang lirik yang tadi. "Lo pikir mudah buat ngelupain Nabila? Lo pikir gue mau gitu terus terjebak cinta salah? Enggak!" Rizal terkekeh kecil, tak menyangka jika Azka akan tersinggung. "Ya sorry." "Udahlah jangan galau, galau. Mending sekarang ikut gue," kata Laskar. "Ogah, lo kan sekte sesat, entar lo dukunin gue lagi. Gak, gak mau gue," tolak Azka mentah-mentah yang langsung mendapatkan toyoran dari Laskar. "Asem banget sekte matamu! Maksud gue ikut gue cari cewek. Noh di sana tadi gue lihat ada pasar malam. Sabi lah tebar-tebar pesona dikit," kata Laskar sambil menatap lurus ke dapan di mana ada anak-anak yang lain sedang bermain karambol di depan warung. Warung Belakang Sekolah, tidak pagi, tidak siang, tidak malam, selalu ramai, tidak pernah sepi. Padahal pengunjungnya juga itu-itu saja. Namun, dengan adanya mereka, anak-anak Titan, warung itu jadi selalu dapat pemasukan banyak tiap harinya. Ya ... meski beberapa ada yang tukang nge-bon. "Gimana? Hayulah gas masa lo mau galau-galauan gini terus sih? Nih ya, cara paling ampuh untuk melupakan seseorang itu ya melampiaskannya ke orang lain!" kata Laskar memberi ajaran sesatnya. "Ayolah, mana yang katanya playboy? Mana ada playboy gamon macan lo ini?" ujar Rizal. Azka lalu menghela napasnya kasar. Orang-orang memang menyebut dirinya playboy karena sering memergokinya tengah berduaan dengan cewek yang selalu saja ganti di tiap harinya. Namun, semua itu bukan semata-mata ingin memainkan hati cewek-cewek itu, sama sekali bukan. Mereka saja yang ngejar-ngejar Azka, sebagai cowok baik dan tau bagaimana rasanya ditolak itu sakit, jadilah Azka menerima cinta mereka. Hanya sehari pacaran lalu Azka memutuskannya. Tau dengan alasan apa? Kan lo udah ngerasain gimana jadi pacar gue, sekarang gue mau putus, kasihan yang lain nunggu giliran buat ada di posisi lo. "Gue ini bukan playboy, gue cuma berusaha baik aja sama mereka-mereka," ucap Azka membela dirinya. "Baik, baik apanya?" tanya Laskar tidak terima. Cowok itu lantas berdiri menghadap Azka dan Rizal. "Udah daripada lo berdua gak jelas di mari, gue bilang mending ikut gue ayo!" ajak Laskar lagi. "Emang lo gak takut dimarahin Anggi?" tanya Rizal. "Cewek lo kan posesip akut." Laskar lalu tergelak. "Aman udah sama Anggi, gue juga udah izin buat pergi sama lo pada. Anggi tuh percaya sama gue kalau gue gak bakal main cewek di belakang dia." "Hati-hati, jangan permainkan kepercayaan seseorang. Sekalinya kecewa bakal susah ngobatinnya," balas Azka memperingati. "Iyee Ka iyee, paham gue. Khatam! Lagian siapa yang mau main cewek di belakang Anggi?" "Lah mendadak amnesia lo? Barusan lo ngomong sendiri Bambang! Maksud gue ikut gue cari cewek. Noh di sana tadi gue lihat ada pasar malam. Sabi lah tebar-tebar pesona dikit." Rizal mengulang sekaligus menirukan gaya bicara Laskar tadi membuat cowok dengan tubuh besar itu meringis sambil memegangi tengkuknya. "Ya gimana ya, gue bisa jelaskan kok." "Ck, udahlah! Eh btw Mahesa sama Kay ke mana dah? Gak liat batang hidungnya sama sekali dari tadi," tanya Azka sambil mengedarkan pandangannya mencari dua orang itu tapi tidak ketemu. "Mereka dua gak ke sini? Tumben?" "Yang pertama, lo masa belum paham aja sama Kay, besok kan ada ulangan fisika, sebagai siswa teladan ya mana mau dia keluar rumah? Pasti belajarlah!" jawab Laskar menduga-duga. "Yang kedua, gak tau juga si Mahesa ke mana. Gak ada juga dia chat gue dari tadi sore." "Serem amat bisa ngilang tiba-tiba," celetuk Rizal. "Sudahlah, ngapain juga mikirin mereka kayak gak ada kesibukan lain aja. Mereka udah gede, udah bisa main sendiri!" kata Laskar. "Lo pikir anak kucing?" "Apa ajalah, Jal. Terus gimana nih? Jadi cari cewek gak?" Setelah lama berpikir, Azka kira bukan ide buruk juga bukan? Cowok itu kemudian berdiri. "Gas lah!" katanya. Senyum Laskar merekah lebar. "Dari tadi kek. Yaudah skuy meluncur!" "Ntar gue naruh gitar dulu di dalam." "Wokeh bos siap!" **** Di pasar malam, Mahesa dan Selina tertawa puas setelah berhasil memainkan sebuah game dan mendapatkan hadiah boneka dinosaurus hijau berukuran besar. "Haduh capek ketawa, ternyata lo jago juga ya mainnya," ujar Selina langsung duduk di kursi yang tak jauh dari tempatnya. Mahesa menyusul duduk di sebelah gadis itu. "Mainan kayak gitu mah udah makanan gue dari kecil," balas Mahesa. "Iya deh percaya. Eh ini boneka dino bagusnya kasih nama siapa ya? Lucu banget habisnya, gemes." Selina terus melihati boneka yang ukurannya hampir sepertiga dari badannya itu dengan perasaan sangat senang. "Kasih nama Malin aja," ujar Mahesa. "Malin?" tanya Selina. Mahesa mengangguk. "Mahesa Selina kan? Biar kita jadi orang tuanya nanti." "Idiihhh apaan, ngarep banget berumah tangga sama gue. Nih, mending gue namain dia pakai nama aslinya aja. Dino!" Mahesa memutar kedua bola matanya malas. "Terserah lo aja deh." "Oh ya Mahesa, gue haus nih, lo nggak ada niatan buat beliin gue minum gitu? Dari tadi kita belum minum dan makan apa pun loh kalau lo lupa." Sontak saja Mahesa tertawa mendengar ucapan Selina. "Frontal sekali ya? To the point." "Ya habisnya gue udah ngode batuk-batuk dari tadi lo gak peka," tutur Selina. "Gak pa-pa, gue lebih suka kalau lo ngomong langsung jangan pakai kode-kodean. Gue gak bakal ngerti, dulu waktu SD cuma gue yang dapat nilai pramuka C," kata Mahesa malah curhat. "Yaudah gue cari minum dulu, tunggu sini jangan kemana-mana," pesan Mahesa sambil berdiri menengok kanan-kiri cari penjual minum. Setelah tau akan beli apa, Mahesa pun segera berjalan pergi. Selina yang ada di sana terus melihat Mahesa sambil senyam-senyum sendiri. Mahesa kalau dilihat-lihat lucu juga. Anaknya asik ternyata. Mahesa di mata Selina adalah pribadi yang sangat berbeda. Mahesa saat bersama Selina mendadak menjadi bucin akut. Selina ingin tertawa tapi takut dosa jadilah dia hanya diam mengikuti saja apa Mahesa lakukan untuknya, selama itu baik tentunya. Tak lama pergi, Mahesa akhirnya terlihat kembali dengan dua gelas minuman di tangannya sambil terus tersenyum untuk Selina. "Boba milk tea untuk Selina, dan boba taro untuk Mahesa," ujar Mahesa dengan nada bicara yang dibuat-buat membuat Selina tidak bisa untuk tidak tertawa. "Tau dari mana gue suka boba milk tea?" tanya Selina setelah membiarkan es manis itu masuk ke dalam tenggorokan. "Gue tadi nanya sama penjualnya. Kira-kira rasa yang paling disukai cewek itu rasa apa." "Terus penjualnya bilang apa?" Selina kepo. "Ya ini, dia bilang kebanyakan cewek pesan yang milk tea yaudah gue ngikut." "Random banget sih lo, Sa? Lucu. Coba aja di sekolah lo kayak gini, yakin gue cewek-cewek pada kelabakan sama tingkah lo," ujar Selina memperhatikan Mahesa. Mahesa jadi terdiam. Dia juga sejak tadi merasakan aneh pada dirinya. Mahesa juga heran kenapa bisa selepas ini saat bersama Selina. Kayak gak ada beban gitu. Biasanya kalau sama teman-temannya yang lain Mahesa masih sedikit kepikiran tentang masalahnya. Namun, dengan Selina sekarang pikiran Mahesa benar-benar enteng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD