Prolog.
Dinding-dinding kaca memisah kita, ruang dan jarak makin tercipta, rindu ini tercecer tanpa cerita. Masihkah ada esok untuk kita?
***
Awalnya hanya ketukan pintu biasa hingga perlahan manusia di depan kamar gadis itu mulai panik karena empunya tak kunjung buka pintu kamar setelah hampir dua hari mengurung diri. Kini gedoran itu semakin keras saja, seperti dorongan kuat agar terbuka, tapi nihil saat kunci masih menggantung pada lubangnya.
Sedangkan pemilik kamar justru diam tanpa bahasa, Elsa seperti itu sejak lama, dia mulai gila.
Sejak hari perpisahan itu, Elsa sering mengintimidasi diri sendiri, menjadi seseorang yang bukan Elsa. Dia mulai aneh, menatap dunia seolah gelap tanpa ruang baginya bernapas, lalu ditambah tekanan agar Elsa menjadi boneka hidup seperti yang Mentari inginkan, seperti saat Elsa masih SMA.
Sebuah tali sudah terpasang di ventilasi pintu kamar mandi sejak semalam, sebuah simpul longgar yang kini menggantung tenang sebelum siap digunakan.
Wajah kuarsa itu sungguh pucat setelah tak mengonsumsi apa pun sejak dua hari belakangan, Elsa tak mengidahkan siapa pun yang membujuknya agar keluar kamar sekalipun Iqbal memohon. Gadis itu menulikan pendengarannya, tak ada seorang pun yang sanggup mengusik pikiran yang tengah berkecamuk saat begitu lama berperang melawan rasa sepi sendiri, sebab tak ada yang bisa ia percaya.
Kamarnya pun gelap, tak ada yang ingin dilihatnya sekalipun cahaya matahari, ia izinkan rasa sepi kian menguasai dan menguliti jiwa yang lama terkoyak itu.
Elsa yang awalnya meringkuk dengan wajah sembap di ranjang perlahan beranjak dan melangkah tanpa alas kaki hampiri pintu kamar mandi, sebuah kursi bahkan masih tertata di bawah tali yang sudah ia siapkan.
Saat namanya terus disebut oleh manusia di luar kamar, Elsa semakin tak ingin mendengar, ia berharap namanya berakhir dengan segera.
Gadis itu naik ke kursi, ia tatap nanar tali yang kini disentuhnya sebelum melingkarkan benda itu melewati kepala hingga jatuh ke leher.
"Lo nggak nyata, lo nggak ada, semua cuma ilusi. Semua nggak ada yang sayang sama gue, semua tinggalin gue, nggak ada yang mikirin perasaan gue. Ini yang kalian mau, kan? Kalau mama nggak bisa bebasin Elsa, biar Elsa bebasin diri sendiri." Air mata itu meluruh lagi, perih terus saja menggerogot hingga sakitnya tak tertahan, dunia bukanlah tempat bagi mereka yang rapuh tak berkesudahan.
Semua masih tentang inginnya bebas, tapi kembali terkekang.
Masih perihal cinta yang mengakar, tapi dicabut paksa.
Perihal takdir yang tak pernah bisa ia tentang.
"Matahari nggak akan bersinar besok, selamat tinggal."
***