Episode 3

1340 Words
Rumah asing "Mama tau kau pasti kesulitan mengingat rumah ini. Disinilah kau tinggal setelah menikah dengan dia." tunjuk Yuni pada foto pernikahan Dinda dan Dimas di ruang tamu. Hal pertama yang Yuni lakukan setelah Dinda keluar dari rumah sakit adalah membawa Dinda pulang ke rumah. Salma yang semula tidak setuju, terpaksa merelakan Dinda setelah berdebat dengan suaminya. "Mama juga sudah menceritakan kondisi kesehatanmu pada asisten rumah tangga disini. Jadi kau tidak perlu merasa sungkan terhadap mereka." tambah Yuni sembari membimbing Dinda ke dapur. "Kau paling jago masak dan ini tempat favoritmu setelah menginjakkan kaki di rumah ini." jelas Yuni. Alya mengangguk kaku. Bingung harus bersikap seperti apa. Seumur-umur, Alya tidak pernah masak kecuali masak mie instan dan air putih. Itupun karena terpaksa ketika dia dan teman-temannya berkemah. "Apa-apa aku boleh ke kamar?" tanya Alya ragu-ragu. Yuni tersenyum. "Tentu sayang. Kau istirahat saja dulu. Jika kondisimu sudah lebih baik, kau bisa bergabung bersama kami." "Kamarku..." "Ayo mama tunjukkan." potong Yuni seraya membimbing Dinda mengikutinya. Alya mengekor dengan patuh. Sesekali matanya awas menatap beberapa foto yang dilewati saat menuju kamar milik Dinda. "Ini kamarmu dan Dimas. Istirahat saja dulu. Mama tau kau pasti kebingungan. Untuk sementara, ingat saja wajah-wajah orang yang ada di rumah ini. Lama-lama kau akan terbiasa. Anggap saja kau baru pertama kali datang kemari." ujar Yuni lembut. Alya mengangguk singkat. Matanya sibuk meneliti kamar bernuansa abu-abu yang sangat kental dengan aroma laki-laki. Alya mulai ragu apakah benar Dinda tidur dikamar tersebut. Sepeninggal Yuni, Alya bergegas mengunci pintu. Gadis itu mondar mandir sembari memperhatikan foto Dimas yang tersusun rapi di dinding kamar. "Jadi dia Dimas? Dia suami wanita ini? Astaga wajahnya sangat angkuh. Jangan-jangan ini bukan kamar mereka? Apa ini kamar Dimas? Jika Dimas tidak disini, lalu dimana dia? Seperti apa pernikahan mereka? Apa yang harus ku lakukan jika Dimas kembali? Berapa lama dia pergi?" gumam Alya pelan. "Tidak! Ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal itu. Zein, aku harus mengunjunginya. Pasti ada alasan kenapa jiwaku berada dalam raga Adinda. Aku harus memecahkan teka-teki tidak masuk akal ini. Perkara bisa kembali atau mati, aku harus siap setiap waktu. Sebelum Dimas kembali, aku sudah harus mengorek informasi sebanyak mungkin. Ini gila! Siapa yang bisa percaya! Sial! Sebenarnya apa yang terjadi?" gerutu Alya sembari menjambak rambutnya frustasi. "Aku bahkan belum bisa menerima kenyataan kalau tubuhku sudah tertimbun tanah. Sekarang aku harus menjalankan peran seseorang sebagai istri. Aku salah apa? Kenapa jadi begini? Bukankah hidupku sudah cukup menderita?" isak Alya pelan. Alya merebahkan diri dengan lengan menutup mata. Karena masih dalam pengaruh obat, Alya jatuh tertidur. Tanpa Alya ketahui, Dimas sudah kembali ke Indonesia. Laki-laki itu terpaksa pulang karena Yuni mengancam akan bunuh diri. *** Alya terbangun setelah nyaris setengah hari tertidur pulas. Betapa kagetnya Alya saat matanya menangkap sosok laki-laki yang tengah duduk menghadap ke arahnya. Laki-laki itu menyilang kaki dengan kedua tangan saling bertaut. Sekali lihat saja Alya sudah bisa mengenali siapa laki-laki itu. Dimas, dia suami Adinda yang sudah 1 jam menunggu Alya bangun. "Ba-bagaimana kau bisa masuk? Bukankah pintunya di kunci?" tanya Alya terbata. "Kau? Maksudmu aku? Waw setelah 5 tahun tidak bertemu, begini sikapmu pada seorang suami? Ah tidak-tidak, sepertinya itu lebih baik." ralat Dimas. Alya duduk dan sengaja memperhatikan Dimas dengan seksama. Laki-laki itu berperawakan tinggi sekitar 180 cm. Rahangnya tegas. Bola matanya yang hitam pekat, sangat kontras dengan wajah Dimas yang putih mulus. Rambutnya yang di tata rapi, menambah pesona Dimas sebagai laki-laki sejati. Mata Alya terpaku pada bibir Dimas yang s*****l berwarna merah menggoda. Sesaat Alya menelan ludah. "Apa kau tidak pernah melihat laki-laki?" sindir Dimas. Alya gelagapan. Buru-buru Alya memalingkan muka menghindari tatapan Dimas. "Aku tidak tau kenapa kau berada di kamar ini. Bukankah sebelum pergi sudah ku memperingatkan untuk tidak menyentuh kamarku? Kau bodoh atau pura-pura lugu?" bentak Dimas. Alya melotot, tak menyangka Dimas akan bersikap demikian pada istrinya. Jiwa pembangkang Alya tiba-tiba berontak. Alya sangat benci direndahkan dan dihina. Hanya ibunya yang boleh berlaku demikian. Hanya wanita itu yang bisa Alya maklumi. Walaupun Dimas tidak sedang memarahinya, tapi Alya tidak akan membiarkan raga Dinda dihina selama dia masih ada di dalam raga wanita itu. "Bodoh? Pura-pura lugu?" ulang Alya sarkas. "Kenapa? Kau tersinggung? Tidak biasanya kau bersikap seperti ini. Kau selalu menundukkan pandangan dan mengucapkan maaf. Setelah menjadi tameng untuk keluargamu yang nyaris bangkrut, apa sekarang kau sudah berani melawan saat mereka kembali berjaya?" Alya terdiam. Otaknya mulai mencerna percakapan ibu Adinda dan orang-orang yang saat itu belum Alya kenali. "Kau sangat hebat Adinda. Setelah memanfaatkan mama untuk memaksaku kembali, apa lagi yang kau rencanakan? Kau bermaksud menjeratku dalam pernikahan yang sesungguhnya? Cih, jangan terlalu serakah. Jika terlalu serakah kau tidak akan mendapatkan apapun." lanjut Dimas. Alya tampak geram. Alya jadi menebak-nebak perjanjian pernikahan seperti apa yang tengah dijalani Dinda? Bisa-bisanya Dimas merendahkan wanita itu. "Serakah? Ah aku jadi penasaran untuk melihat seperti apa surat perjanjian pernikahan kita. Siapa tau aku bisa mendapatkan banyak harta jika bisa membuktikan bahwa kau melanggar perjanjian pernikahan itu. Bukankah perjanjian pernikahan dibuat untuk menguntungkan kedua belah pihak? Jika perusahaan keluargaku kembali berjaya, artinya pernikahan kita juga menguntungkan untuk keluargamu. Aku yakin keluarga kalian pasti tidak mau dirugikan." balas Alya santai. Dimas mengepalkan tangan menahan kesal. Alya sebenarnya tidak tau apapun. Alya hanya menebak-nebak setelah menguping pembicaraan orang-orang disekitarnya. "Akhirnya kau menunjukkan taring..." "Aku tidak ingin berdebat. Kepalaku sudah cukup pusing dengan masalah yang datang silih berganti. Kau bisa keluar jika kau tidak suka. Ah begini saja, jika kau keberatan, kau bisa meminta mama memilihkan kamar yang baru untukku. Lagipula aku tidak suka tinggal satu kamar dengan orang asing. Pilih salah satu yang menurutmu masuk akal. Aku harus mandi. Selesai mandi ku harap kau sudah mengambil keputusan." potong Alya cepat. Tanpa menunggu persetujuan Dimas, Alya masuk ke kamar mandi. Dimas masih melongo. Laki-laki itu kehilangan kata-kata. Setau Dimas, Dinda tidak pernah berkata kasar. Dinda wanita penurut dan lemah lembut. Perubahan sikap Dinda, menimbulkan tanda tanya besar di kepala Dimas. "Orang asing? Maksudnya aku? Apa yang wanita itu rencanakan? Apa dia ingin balas dendam setelah 5 tahun ditinggalkan?" gumam Dimas. *** Saat Alya keluar dari kamar mandi, Dimas sudah tidak ada di dalam kamar. Alya mendesah lega. Sesaat Alya merapikan penampilan dan mencari baju yang cocok di dalam lemari. Gadis itu tertegun memperhatikan pakaian milik Adinda yang terkesan sopan dan tertutup, berbanding terbalik dengan pakaian yang selalu Alya kenakan. Alya berganti baju dengan cepat dan bergegas turun ke lantai bawah. Gadis itu celingukan mencari sumber suara Dimas dan orang tuanya. "Apa tidurmu nyenyak?" tanya Yuni dari meja makan. Ternyata dari tadi mereka sedang mengobrol sambil menikmati cemilan. Alya mengangguk singkat seraya mendekat. "Mama sangat senang karena Dimas sudah kembali. Mulai saat ini mama tidak akan mengizinkan Dimas pergi lagi." ujar Yuni dengan senyum lebar. Alya memilih tetap berdiri meskipun Yuni sudah memintanya duduk. "Itu, apa boleh aku pindah kamar?" tanya Alya tanpa basa-basi. Yuni dan Lukman seketika menatap Dimas. Laki-laki itu menyeruput kopi dengan santai. Sepertinya Dimas tidak terganggu atas keinginan istrinya. "Apa maksudmu sayang? Kau tidak suka di kamar itu? Kalau itu memang keinginanmu, kau boleh pindah." ujar Yuni. "Benarkah?" tanya Alya dengan wajah berseri. "Tentu saja. Tapi, Dimas juga akan menempati kamar yang kau pilih." lanjut Yuni. Seketika Alya menunduk. "Aku ingin pindah kamar agar tidak harus berada dalam satu ruangan bersama Dimas. Dia memang suamiku. Tapi, dalam keadaan seperti ini, dia sama saja seperti orang asing. Aku tidak ingat siapa Dimas dan bagaimana pernikahan yang kami jalani. Untuk itu, aku butuh waktu menyesuaikan diri." Yuni dan Lukman saling pandang. Dimas masih terlihat tidak peduli. Laki-laki itu memilih sibuk dengan ponselnya. "Dinda, mungkin papa lancang jika bicara seperti ini. Papa harap kau pertimbangan lagi keputusanmu. Bagaimanapun kalian pasangan suami istri. Papa tau kondisimu tidak sedang baik. Untuk itu, dengan bersama Dimas papa harap kau akan memulai sesuatu yang baru. Kau tidak perlu mengingat. Yang harus kau lakukan adalah menjadi seorang istri." ujar Lukman bijak. Alya kehilangan kata-kata untuk membantah. Perkataan seorang ayah tak sekalipun pernah Alya abaikan. Disisi Alya, Dimas tampak berwajah kesal. Laki-laki itu meninggalkan meja makan dan meminta Alya mengikutinya. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD