Tepat pukul delapan malam, di sebuah gedung perkantoran bertingkat lima, seorang wanita bertubuh kecil, mengenakan dress selutut berwarna magenta, dengan rambut hitam–panjang tergerai begitu indah, terlihat begitu riang berjalan melewati lobby yang sudah sepi tak berpenghuni, sembari menenteng sebuah kotak bekal di tangan kanan, dan tas kecil berwarna kuning yang menyampir pada bahu kiri.
Sesekali, wanita cantik dengan langkah kaki pendek itu menoleh ke sisi kiri dan kanan, berhenti sejenak di depan sebuah bingkai LED besar berisi poster games terlaris di layanan distribusi digital sembari mengulas senyum lebar, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya menuju salah satu ruangan di lantai lima gedung perkantoran tersebut.
Masuk ke dalam sebuah lift yang sudah terbuka, wanita cantik itu pun menekan tombol angka lima pada floor button, hingga pintu elevator perlahan mulai menutup dengan rapat. Bersenandung, seraya menengadahkan kepala ke atas untuk melihat floor designator yang perlahan berganti angka setiap kali car lift melewati lantai demi lantai gedung tersebut.
Sampai pada akhirnya, suara dentingan pun terdengar–menandakan jika lift sudah berada di lantai yang dituju, dan pintu yang semula tertutup begitu rapat, mulai terbuka lebar. Memperlihatkan sebuah koridor luas, dengan penerangan yang masih terbilang cukup terang di sepanjang jalan.
Dengan sesegera mungkin, wanita itu melangkahkan kaki keluar dari car lift, lalu berjalan menuju salah satu ruangan yang berada di sudut koridor tersebut, dengan perasaan tidak sabaran, sebab akan bertemu sang suami yang sudah dua hari tidak pulang ke rumah karena pekerjaannya.
Namun tiba-tiba, langkah wanita itu perlahan mulai melambat, kala mendengar suara samar seorang wanita sedang mengobrol sembari menyebutkan nama sang suami. Perasaan yang semula begitu senang, seketika tak karuan. Berharap, semua yang dia pikirkan, adalah tidak benar.
“Kok, jam segini Bapak masih di kantor? Memangnya hari ini Pak Aresh gak akan pulang lagi?”
“Pulang, sih, kayanya. Cuma agak maleman. Saya mau beresin kerjaan dulu.”
“Ah, kalau gitu, saya temani, ya, Pak. Kebetulan, saya juga gak ada kegiatan apa-apa di rumah.”
“Boleh, kalau kamu tidak keberatan.”
“Temani Bapak makan malam juga saya tidak keberatan, kok. Bapak tidak usah merasa tidak enak.”
Lambat laun, suara perbincangan samar itu mulai terdengar sangat jelas, kala langkah kaki sang wanita berhenti tepat di depan salah satu ruangan dengan pintu masuk yang sedikit terbuka. Ia kepalkan kedua tangan untuk menguatkan diri, kemudian mendorong daun pintu tersebut dengan cepat, lalu masuk, hingga wanita bersetelan blazer putih dan rok mini hitam itu seketika terperanjat–diikuti oleh pria di sampingnya–menoleh ke arah asal suara, sembari melepaskan tangannya dari lengan sang pimpinan. Membuat wanita cantik bertubuh kecil itu menjatuhkan kotak bekal dari genggaman.
“A-Aresh ....” Gumamnya pelan, dengan suara bergetar dan mata yang membulat sempurna.
***
Kecewa.
Ya, hanya satu kata itu saja yang bisa menggambarkan perasaan saat ini, ketika segalanya kembali diluluhlantakkan oleh kenyataan pahit.
Untuk yang kesekian kali. Lagi, dan lagi, ditikam begitu dalam oleh sebuah pengkhianatan, hingga menyayat jauh di atas kepercayaan. Menodai ikrar janji suci pernikahan, tanpa adanya rasa bersalah sedikitpun.
Sakit yang sama dengan luka yang sama, dan luka yang sama dengan orang yang sama pula. Seakan, semuanya tak pernah berhenti hanya karena kata cinta. Bertahan pun rasanya sudah tidak mampu, sedangkan menjadi sendirian bukanlah perkara yang mudah.
Benar kata banyak orang, jika mengendalikan kesetiaan seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak peduli seberapa baik perlakuan kita kepada dia–yang dicintai, bukan berarti kita bisa mendapat perlakuan yang sama. Tidak peduli seberapa besar arti kehadiran dia dalam hidup kita, bukan berarti dia akan menghargai, apa yang sudah kita korbankan selama ini. Karena terkadang, orang yang paling kita cintai, berubah menjadi orang yang paling tidak bisa kita percayai. Karena terkadang, orang yang paling kita percayai, adalah orang yang memberi luka paling besar dalam hidup ini.
“Sa! Sasa! Kamu di mana?”
Walau samar, terdengar cukup jelas suara bariton pria itu memanggil-manggil nama wanita yang sedang bersembunyi di balik bilik toilet. Langkah kakinya pun terdengar begitu cepat, menghilang beberapa saat, kemudian kembali terdengar mendekat dengan napas memburu. Seakan, kekhawatiran sedang menyelimuti dirinya.
“Sa! Kamu di mana? Please, dengerin penjelasan aku!”
“Sa!”
“Sasa!”
“Nerissa!”
“Yank!”
“Astagfirullah ... Allahu ....”
Panggilan demi panggilan ikut menyertai. Begitupun getar lambat dari ponsel di dalam tas. Menandakan bahwa kini rasa takut semakin mendominasi dalam diri pria itu. Alih-alih keluar dari tempat persembunyian, wanita cantik itu malah meringkuk di atas closet duduk yang tertutup sembari menundukkan kepala. Menyembunyikan derai air mata yang semakin tak terbendung lagi, kala suara dari pria yang sangat dia cintai kembali terdengar menyerukan namanya.
Sakit.
Kecewa.
Menyesal.
Perasaan itu bercampur menjadi satu dengan beban hati yang mesti harus dipikul setelah semuanya terjadi ... Lagi. Ya, lagi! Karena kejadian ini bukanlah kali pertama dialami oleh wanita bernama Nerissa itu. Bahkan, entah sudah kali keberapa ia memberi kesempatan yang lain kepada sang suami, dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan terhadapnya.
Akan tetapi, untuk kali ini Nerissa benar-benar sudah menyerah atas luka yang kembali ditorehkan oleh sang suami, hingga memiliki pemikiran untuk mengakhiri segalanya.
Ya ... Segalanya. Dimulai dari hubungan menyakitkan yang dia bangun, rumah tangga yang sudah hampir dua tahun dia pertahankan, hingga perasaannya terhadap pria itu.
Dengan perasaan yang begitu lelah, diambilnya ponsel dari dalam tas kecil yang dia taruh di atas tangki closet duduk, membuka salah satu aplikasi berkirim pesan, lalu memasuki ruang obrolan, tanpa membuka pesan demi pesan yang masuk, termasuk dari kakak iparnya.
[My Captain]
(25 Panggilan Tak Terjawab)
My Captain : Sa, kamu di mana? Please, angkat telepon aku.
My Captain : Nerissa Adena Darres!
My Captain : Tolong, dengerin aku dulu!
My Captain : Ini gak seperti, apa yang kamu pikirin. :(
(2 Panggilan Tak Terjawab)
My Captain : Yank! Jangan gini, dong! Ah elah! Bikin gak tenang aja. _-
My Captain : Semua masalah bisa diselesain bener-bener asal dengan kepala dingin. Ayolah, Yank. Angkat dulu telepon aku!
(1 Panggilan Tak Terjawab)
My Captain : Please ....
My Captain : Jangan bikin aku bingung kaya gini :(
My Captain : Cukup Baginda Raja Oliver aja yang bikin aku sakit kepala hari ini. Tolong, kamu jangan nambahin dengan bikin aku khawatir kaya gini, Sa.
My Captain : Allahu Akbar. :(
My Captain : Sayang, please ....
Lagi-lagi, air mata wanita itu kembali berderai tanpa jeda, usai membaca sederet pesan yang dikirim oleh sang suami. Apalagi, saat membaca pesan terakhir, yang mana panggilan sayang masih begitu fasih dia serukan tanpa beban dan tanpa rasa bersalah. Padahal kenyataannya, pria yang sering bermain-main dengan banyak wanita itu adalah pemberi luka paling banyak dalam hidup Nerissa. Terlebih ... pengkhianatan.
Dengan kedua ibu jari yang bergetar hebat, wanita berwajah kusut itu akhirnya mulai mengetik beberapa kata pamungkas, yang mana hatinya dipaksa untuk ikhlas, walau berat untuk dihadapi. Hingga tombol pengiriman pun disentuh begitu lembut, dan pesan terkirim kepada sang empunya nomor tersebut.
[My Captain]
Anda : Maaf Resh, aku bener-bener udah nyerah. Sabar aku udah habis. Semuanya udah di luar batas kemampuan aku. Lebih baik kita bercerai.
***