"Dokter bercanda aja."
Maya tersenyum malu, lalu meraih kresek yang diulurkan Dokter Reza. Walaupun menurutnya apa yang diucapkan laki-laki itu hanya sebuah candaan, tetapi tak ayal hatinya ge-er juga. Namun, lagi-lagi dia harus sadar diri. Tidak boleh terlena oleh hal yang tidak pasti, nanti sakit hati.
Sementara Dokter Reza tersenyum kecut. Ia sedikit kecewa ketika gadis di depannya itu hanya menanggapi ucapannya sebagai candaan. Dasar perawat tidak peka. Mungkin memang harus pelan-pelan menyampaikan perasaannya, tidak boleh grasa grusu.
Setelah Maya melepas high heels dan menggantinya dengan sendal jepit yang dia beli, Dokter Reza duduk kembali di samping perawatnya itu, menikmati desiran halus plus rasa nyaman yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
Begini rupanya rasa ketika berada bersama orang yang kita sukai. Deg degan, tetapi tidak mau udahan.
"Kamu sudah punya pacar, May?" tanyanya setelah beberapa memilih diam. Informasi yang dia peroleh selama ini, mendengar percakapan antar perawat, Maya memang masih jomblo. Akan tetapi, mana tahu jika gadis itu pandai menyimpan cerita pribadinya dan ternyata dia sudah punya calon.
"Enggak ada, Dok." Maya menggeleng ringan.
"Benaran enggak ada?" Dokter Reza merasa ada angin segar menerpanya.
"Ya, benaranlah, Dok. Untuk apa juga saya bohong. Enggak ada yang mau sama saya."
"Masa enggak ada yang mau? Kamu cantik banget padahal."
Maya menoleh sebentar pada Dokter Reza, meneliti mana tahu dokternya itu kesurupan jin cinta. Sudah dua kali laki-laki itu menyebutnya cantik malam ini, dalam jarak yang tidak jauh.
"Buktinya sampai sekarang saya masih jomblo," sahutnya setelah mendapati lawan bicaranya itu sepertinya baik-baik saja.
"Kalau ada yang mau jadiin kamu pacar, kamu mau?"
"Enggak mau." Maya menyahut cepat.
"Kenapa?"
"Usia segini, saya enggak cari pacar lagi, Dok."
"Terus?"
"Saya cari laki-laki yang siap nikahi saya. Enggak sekadar pacaran."
"Memangnya usia kamu berapa, sih, May? Sudah siap nikah?"
"24, Dok."
"O .... Sudah matang buat nikah, ya?"
"Iya, Dok. Tapi hilal calon suami belum kelihatan."
Maya tertawa tersipu, merasa malu dengan usianya yang terus beranjak, tetapi belum ada tanda-tanda akan menikah.
"Tidak kelihatan bukan berarti enggak ada," balas Dokter Reza bijak.
"Iya, sih, Dok."
"Berarti jika ada yang melamar kamu dan ajak kamu nikah, kamu mau?"
"Bisa dipertimbangkan, Dok."
"Memangnya calon suami yang jadi kriteria kamu itu bagaimana, May?"
"Mmm ...." Maya terdiam sejenak. Pandangannya menerawang ke depan.
"Saya suka laki-laki yang menyejukkan, Dok," sahutnya sambil tersenyum dengan tatapan masih menerawang. Seolah, gambaran laki-laki impiannya itu ada di depan sana.
"Menyejukkan bagaimana?" tanya dokter Reza ingin tahu. Jelas ia penasaran, apakah dirinya masuk dalam kriteria yang Maya impikan.
"Bagaimana, ya?" Maya tampak bingung untuk menjelaskan.
"Yang jelas, saya ingin menikah dengan laki-laki yang saya cintai dan tentu saja mencintai saya, Dok," terangnya kemudian.
"Menyejukkan itu, maksudnya dia memiliki cinta yang begitu besar sehingga saya selalu merasa nyaman saat bersamanya. Dia mampu menjadi pengayom, pembimbing saya baik untuk urusan dunia maupun akhirat. Bayangkan, Dok, betapa menyejukkan jika seseorang sangat mencintai kita, maka dia tidak akan pernah mau menyakiti, selalu bersikap lembut dan memerlakukan kita dengan baik."
"Apa cukup hidup hanya dengan cinta, May. Bahkan banyak kita dengar perceraian yang didasari faktor ekonomi."
"Tentu saja hal itu akan menjadi kriteria lanjutan, Dok. Akan tetapi, menurut hemat saya bukan sekadar harta yang dilihat, yang terpenting tanggung jawab. Tidak perlu harta yang melimpah, jika dia sosok yang bertanggung jawab, maka pasti dia akan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya dengan baik."
Dokter Reza mengangguk paham, mengerti apa yang disampaikan Maya.
"Kalau tidak punya pacar, apa kamu punya seseorang yang kamu sukai?" tanya Dokter Reza lagi.
"Tentu saja punya, Dok."
"Siapa?"
"Dih, tumben Dokter kepo?" Maya terkekeh ringan.
"Ya, ingin tahu saja apa salahnya 'kan?"
"Jelas salah, Dok. Ini masuk ranah pribadi soalnya."
"Apa bukan karena orang yang kamu sukai itu saya, sehingga kamu tidak mau menjawab?"
"Pede sekali anda, Dok?" Maya mendelik, membuat Dokter Reza tertawa ringan.
"Ya, sudah kalau tidak mau memberitahu, tidak apa-apa," ucapnya di ujung tawa. Lalu keduanya terlibat hening beberapa saat, sebelum akhirnya Dokter Reza kembali bersuara.
"Mau nyobain jajan enggak, May?" Ia menunjukkan beberapa gerobak yang menjual camilan. Ada sosis dan bakso bakar yang aromanya cukup menggoda.
"Duh, kenyang, Dok. 'Kan barusan habis makan," balas Maya.
"Benaran enggak mau coba? Kita enggak setiap hari, lho, datang di sini."
"Benaran, Dok. Saya masih kenyang."
"Ya, sudah kalau begitu."
"Eh, tapi itu ada arum manis, Dok." Maya menunjuk pada beberapa arum manis yang bergantungan pada gerobak salah satu pedagang.
"Kamu mau?" tanya Dokter Reza sambil mengikuti arah telunjuk Maya.
"Mau, Dok."
"Ya, sudah. Kamu tunggu sini. Biar saya yang ke sana."
"Eh, biar saya saja, Dok. 'Kan saya yang pengen."
"Sudah, kamu di sini saja." Tidak menunggu jawaban Maya, Dokter Reza menuju tempat penjual Arum manis yang memang sedikit jauh dari tempat mereka berdiri. Setelah membeli satu bungkus, ia kembali menemui Maya.
"Ini," ucapnya sembari menyerahkan makanan kembang gula itu, yang disambut Maya dengan suka cita. Dokter Reza bahkan takjub melihat perawatnya itu begitu antusias hanya menerima sebuah arum manis.
"Terima kasih, Dok." Tanpa sungkan, Maya langsung membuka dan mulai mencicipi.
"Dokter mau?" tanyanya ketika melihat Dokter Reza yang terus menatap ke arahnya.
"Coba rasa."
Dokter Reza membuka mulut. Bukannya mengambil sendiri, ia justru memasang ancang-ancang minta disuapi.
"Dih, Dok! Manja amat. Ambil sendiri!" Maya menggerutu.
"Suapin, May. Tadi saya sudah belikan kamu."
"Itu 'kan Dokter sendiri yang mau belikan."
"Suapin, May. Aaa ...." Dokter Reza tidak peduli, dia tetap memasang gaya minta disuapi.
"Ish, Dokter!" Mau tidak mau, akhirnya Maya menyuapi juga.
"Enak, Dok?" tanyanya setengah dongkol sambil melihat ekspresi laki-laki di depannya itu.
Dokter Reza mengangguk.
"Enak. Manis! Kayak kamu," ucapnya sambil menyesap rasa arum manis yang disuapi Maya. Ia pun tidak mengalihkan pandangannya, membuat Maya yang harus mengalihkan wajah karena tersipu malu. Ia merasa pipinya menghangat. Dokternya itu sepertinya benar-benar sedang korslet.
"Masih mau di sini, apa sudah cukup?" tanya Dokter Reza kemudian.
"Cukup, deh, Dok," sahut Maya pelan. Korsletingnya sang Dokter sepertinya berbahaya jika mereka harus berlama-lama berdua.
"Mau jalan-jalan ke tempat lain?"
"Lain waktu saja kita ke sini lagi untuk ke air terjun. Dokter sudah janji 'kan?"
"Oke. Apa, sih, yang enggak buat kamu."
Maya tersenyum tipis. Ingin rasanya dia melayang atas sikap Dokter Reza malam ini, jika tidak ingat untuk tidak terlalu berharap. Dokter judesnya hari ini benar-benar aneh. Sepertinya dia lupa minum obat.
***
Dokter Reza mematut penampilan di depan cermin sembari bersiul riang. Senin pagi, dia dan Maya sudah kembali ke Pontianak dan siap menjalankan rutinitas seperti biasa.
Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap. Penunjuk waktu di tangannya baru berada di angka enam, tetapi dia sudah rapi dengan kemeja warna marun dan celana jeans hitamnya. Penampilan yang paripurna. Sementara snelli akan ia tenteng saja dan dikenakan nanti jika sudah di rumah sakit.
Dia sudah tidak sabar untuk segera sampai ke rumah sakit dan bertemu Maya secepatnya. Padahal biasanya dia baru berangkat paling cepat pukul sembilan pagi, lalu melakukan visit ke ruang rawat inap dan baru ke poli sekitar pukul sepuluh atau sebelas.
Mulai hari ini, dia akan langsung ke ruang poli dan melakukan visit pada pasien rawat inap setelah bertemu Maya.
Setelah merasa semua persiapan lengkap, Dokter Reza meraih ponsel dan membukanya sebentar. Jemarinya mengarah ke galeri dan menatap foto Maya sejenak.
"Kamu yang memulainya, Maya. Kamu yang hadir ke dalam kehidupan saya. Maka sekali kamu masuk, saya tidak akan melepaskanmu," ucapnya sembari menatap foto Maya yang diambilnya diam-diam saat di mobil waktu itu. Ia mengusap gambar itu, seolah tengah menelusuri wajah Maya secara nyata.
Merasa cukup, ia lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu meraih tas kerja beserta snelli dan membawanya ke luar menuju meja makan. Di sana, kedua orang tuanya sudah memulai sarapan terlebih dahulu. Fahrurrozi tampak tengah menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap miliknya. Laki-laki itu tidak bisa meninggalkan kebiasaan menikmati secangkir kopi di pagi hari.
"Tumben pagi-pagi sudah keluar? Biasanya habis subuh tidur lagi dan jam delapan baru siuman. Apa ada pasien darurat?" tanya laki-laki itu saat Dokter Reza muncul di hadapan mereka.
Dokter Reza urung menjawab. Ia menarik salah satu kursi, duduk di sana, lalu menuangkan segelas jus kemasan untuk sendiri. Setelah itu, tangannya meraih selembar roti gandum, mengoleskan selai di atasnya lalu menutup dengan lembar yang lain.
"Enggak ada, Yah. Supaya enggak ditinggalkan sarapan sendiri lagi aja," balas Dokter Reza ringan setelah menggigit rotinya satu gigitan.
Arumi terkekeh ringan mendengar jawaban yang diberikan Dokter Reza pada suaminya. Ia tahu persis bukan itu alasan putranya itu sebenarnya. Jika hanya tidak mau ditinggalkan sarapan, mengapa sepagi ini sudah siap untuk berangkat? Sudah serapi dan seganteng itu. Lagi pula, kakaknya di Ngabang, di mana Dokter Reza dan Maya menginap waktu itu sudah menelepon dan menceritakan semuanya, tentang hubungan dokter dan perawat yang di duga sekadar kamuflase.
"Kapan kamu akan mengenalkannya pada kami, Za?" tanya Arumi di ujung kekehannya. Dahi Dokter Reza mengernyit.
"Mengenalkan apa, Bunda?" tanyanya bingung.
"Mengenalkan dia," balas Arumi.
"Dia siapa?"
"Perawat yang pagi ini mau cepat-cepat kamu temui."
"Uhuk!"
Dokter Reza terbatuk, tidak menyangka jika Arumi telah mendengar rumor tentang dirinya dan Maya.
"Memangnya perawat siapa, Bun?" tanya Fahrurrozi yang tidak mengerti dengan topik yang dibicarakan anak dan istrinya itu. Arumi memang belum menceritakan tentang informasi yang ia dengar dari kakaknya kepada Fahrurrozi.
"Calon menantu kita, Yah," sahut Arumi enteng tanpa memikirkan wajah putra mereka yang sedikit memerah karena ucapannya. Bahkan ia kembali bicara yang membuat Dokter Reza semakin tersudut.
"Tidak perlu malu-malu begitu, Za. Kamu itu sudah 30 tahun. Bukan hal yang aneh lagi kalau dekat dengan seorang gadis. Yang seharusnya malu itu jika di umur segini, kamu sama sekali belum punya calon. Seolah tidak laku. Lihat Alya adik kamu. Dia saja sudah mau punya baby."
"Oh, jadi Reza sudah punya calon?" tanya Fahrurrozi.
"Sudah, Yah. Ternyata kemarin dia ke Ngabang itu bareng calonnya. Dasar anak enggak tahu diri, malah dikenalkan terlebih dahulu pada uwaknya ketimbang pada orang tuanya."
Nah 'kan?
Apa yang Dokter Reza pikirkan sebelumnya memang benar adanya, bahwa dia akan dianggap tidak tahu diri karena mengenalkan Maya ke Uwak Jum terlebih dahulu, bukan kepada kedua orang tuanya. Padahal antara dia dan Maya belum ada hubungan apa-apa.
"Kenapa begitu, Za?" Fahrurrozi menuntut penjelasan.
"Mmm, itu, Yah. Sebenarnya ...."
"Kamu malu?" celetuk Arumi.
"Bukan, Bun."
"Lalu apa?"
"Sebenarnya Maya ...."
"Nah, iya, Yah. Namanya Maya."
Dokter Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena Arumi selalu memotong ucapannya.
"Kenapa enggak ajak Maya ke rumah dulu, Za?" Fahrurrozi kembali menuntut penjelasan.
"Sebenarnya Maya itu bukan ...."
"Bukan calon kamu?"
"Iya, Bun."
"Kata Uwak Jum, kamu juga mengaku seperti itu pada beliau. Uwak Jum bilang, kalau Maya memang bukan calon kamu, dia siap melamar untuk Rovi. Sebab katanya Rovi juga suka sama Maya."
"Hah?"
Dokter Reza tersentak, panik mendengar apa yang disampaikan Arumi.
Benar-benar, ya, si Komodo! Dia mengumpat dalam hati.
"Jadi bagaimana? Dia calon kamu atau bukan?" tanya Arumi memastikan.
"Mmm ...."
"Jangan sampai terlambat, Za. Jangan menyesal di kemudian hari. Kalau memang kamu dan Maya ada hubungan, cepat diresmikan. Usia kamu semakin bertambah. Apa perlu menunggu jenggotan baru nikah?"
Dokter Reza menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia mengerti kemauan orang tuanya. Akan tetapi, semua butuh proses. Masa iya nikahi anak orang seperti beli anak ayam di pasar. Apalagi belum tentu anak orang itu mau menerima.
Dia harus mengatur strategi bagaimana supaya bisa memiliki Maya tanpa sebuah penolakan. Sudah setua ini, rasanya dia benar-benar tidak siap jika harus terluka untuk kedua kali. Dia sudah lelah dan tidak punya energi lagi untuk itu. Akan tetapi, bagaimana caranya untuk mewujudkan hal itu? Strategi apa yang harus dia gunakan?
Bicara kata segera, maunya dia juga kalau bisa, ya, sesegera mungkin. Kalau bisa langsung sat set sut tek dung.
#eh?