2. Senjata Makan Tuan

1592 Words
"Saya jadi pasangan, Dokter? Enggak salah, Dok?" Maya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia menatap lurus ke arah dokter Reza. Sorot matanya dalam dan penuh selidik, mencari tahu apakah laki-laki di hadapannya itu serius atau tengah bercanda. Dokter Reza mengembuskan napas kasar sambil mengempaskan punggungnya dengan kasar pula pada sandaran kursi. Matanya pun mengarah lurus pada Maya, membalas tatapan perawatnya itu tidak kalah dalam. "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Maya. Maksud saya jadi pasangan di sini, bukan dalam artian yang sebenarnya. Tapi hanya untuk menemani saat resepsi itu saja. Tidak lebih," terangnya cepat. Ia tidak mau membuat gadis di depannya itu salah paham. Alih-alih seperti layaknya orang yang sedang minta tolong, dokter Reza lebih menunjukkan egonya. Raut wajahnya arogan, tidak terdapat sedikit pun gurat senyum di sana. Seolah dia tidak sedang butuh bantuan sama sekali. Cara bicaranya pun ketus. Lebih condong orang yang sedang memberi perintah daripada meminta bantuan. Maya tersenyum kecut. Tentu saja dia paham maksud dokter Reza sejak awal. Mana mungkin laki-laki itu hendak menjadikannya pasangan yang sebenarnya. Dia sadar siapa dirinya, beda kelas dengan dokter Reza. Dokter Reza kelas kakap, dia kelas teri. Meskipun demikian, di dalam hati Maya tetap terbersit rasa kecewa. Harus diakui, dia menyukai dokter Reza sejak pertama kali mereka bertemu. Berawal dari rasa kagum akan ketampanan sang dokter hingga akhirnya dia menemukan banyak sisi positif dari laki-laki itu setelah menjadi asistennya di Poli. Secara fisik, dokter Reza merupakan sosok yang sempurna di mata Maya. Laki-laki itu merupakan mahluk ciptaan Tuhan terindah yang pernah dia temui. Alis yang tebal, hidung yang mancung, serta bibirnya yang tipis benar-benar membuatnya sulit menjaga pandangan. Bagi Maya, aktor Korea Hyun Bin saja kalah memesona di matanya. Kepada dirinya dokter Reza kerap bersikap jutek. Cara bicaranya pun ketus. Mungkin semua itu dia lakukan untuk membalas sikap Maya yang selalu jahil dan suka usil. Di luar dari itu semua, di mata Maya dokter Reza adalah pribadi yang baik. Saat melayani pasien, Maya dapat melihat ketulusan hati dari seorang dokter Reza. Dia selalu bersikap dan bicara lembut kepada setiap anak yang menjadi pasiennya, menunjukkan bahwa dia seorang laki-laki yang penyayang. Kelembutan itu tidak dibuat-buat, melainkan dapat dirasakan dari hati. Maka hati Maya pun jatuh padanya. Gadis itu terpaksa mengakui bahwa dia menyimpan perasaan yang khusus untuk pria itu. Oleh karena rasa sadar diri bahwa suatu hal yang mustahil perasaannya itu akan berbalas, Maya menyimpan rasa sukanya itu dalam-dalam, menguburnya hingga ke dasar hati agar tidak pernah muncul ke permukaan. Segala sikapnya yang usil, blak-blakan dan selalu jahil adalah salah satu cara untuknya menutup perasaan itu. "Saya tahu, Dok. Maksud dokter jadi pasangan pura-pura 'kan?" tembak Maya to the point. "Ya, betul!" sahut Dokter Reza cepat dan tegas. Ada yang tercubit di hati Maya mendengar jawaban tegas itu. Ternyata dia hanya berhasil menutup perasaannya agar tidak muncul ke permukaan, tetapi tidak berhasil menenggelamkan perasaan itu hingga ke bagian hatinya yang paling dasar. Rasa itu tetap menguasai seluruh ruang hatinya. "Kamu bersedia?" tanya dokter Reza kemudian. Walaupun sebenarnya laki-laki itu penuh harap jika Maya bersedia, tetapi tetap saja dia masih meninggikan ego. Raut wajahnya tetap datar saat berbicara. Pun masih minim ekspresi. Nada bicaranya juga masih sama, ketus. "Boleh saja, Dok. Kapan acaranya?" tanya Maya. "Akhir Minggu ini." "Oke, Dok. Tidak masalah. Akhir Minggu ini saya free." "Oke. Bagus kalau begitu. Mungkin nanti kita akan bermalam satu hari di sana. Jadi kamu bisa memberitahu orang tuamu sejak sekarang." "Bermalam? Memangnya acaranya di mana, Dok?" Maya mengernyitkan dahinya. "Di Ngabang." "Oh, bukan di Pontianak?" "Bukan." "Jauh sekali, Dok?" "Ya, memang dia dan suaminya asli dari sana. Jadi acaranya digelar di sana." "Oh ...." Maya mengangguk paham. "Kenapa? Kamu masih bersedia menemani saya 'kan?" "Tentu saja masih, Dok. Justru kebetulan saya bisa jalan-jalan sekalian refreshing. Ngomong-ngomong Dokter punya keluarga di sana?" tanya Maya ingin tahu. "Punya. Kenapa?" "Jadi nanti kita menginap di sana?" "Enggak. Kita menginap di hotel saja." "Hah? Di hotel? Yang benar, Dok?" "Kita menginapnya pisah kamar, Maya. Kamu jangan mikir yang macem-macem. Apalagi yang aneh-aneh." "Iya, Dok. Mana tahu 'kan?" "Ngeres juga, ya, otak kamu?" "Bukan begitu, Dok." Maya berkilah. "Terus?" "Mana tahu ternyata di sana kita resepsian juga." "Mulai!" Dokter Reza mengerling tajam. Ekspresinya membuat Maya tertawa lepas. "Ya, ngarep tipis-tipis enggak dosa 'kan, Dok?" ucapnya jahil tak pelak menambah kerlingan dokter Reza semakin tajam. "Ngaco saja, Kamu. Ya, sudah kalau begitu. Pulang sana!" ketusnya. "Setelah meminta bantuan, lalu saya diusir begitu saja, Dok?" "Terserah. Kalau kamu mau menginap di sini juga boleh. Saya enggak larang." "Eh, enggak, Dok. Iya, kalau begitu saya pulang." "Hmm." "Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam." *** "Kita mau ke mana, sih, Dok?" Maya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Sore hari secara tiba-tiba saja dokter Reza datang menjemputnya. Entah laki-laki itu tahu alamatnya dari siapa. Ketika ditanya, dia tidak mau menjawab. "Banyak tanya kamu. Nanti juga tahu," sahut dokter Reza ketus. "Dokter ini menyebalkan." Maya merengut. "Menyebalkan bagaimana?" "Sama perempuan enggak ada manis-manisnya. Ketus. Kaku. Jutek. Judes. Bahkan sama yang dimintai tolong pun begitu." "Sengaja." "Sengaja, Dok?" "Iya. Nanti kalau saya manis-manis, kamu baper dan jatuh cinta. Saya enggak mau. Perempuan itu 'kan gampang baper." "Saya tahu diri kali, Dok." "Cinta tidak pernah tahu diri, Maya. Kalau sudah terlanjur jatuh cinta dan dipaksa untuk tahu diri, rasanya itu sakit." Maya terdiam. Apa yang dikatakan dokter Reza itu benar adanya. Selama ini dia tahu diri untuk membatasi diri dengan laki-laki di sampingnya itu. Namun, hatinya tidak pernah untuk tahu diri. Cinta untuk dokter Reza tetap bersemi dan dia benar-benar merasakan sakit atas rasa itu. Bagaimana pun dia mencoba untuk legowo, tetap saja di dalam dadanya rasanya sakit. Sesak. "Apa dokter pernah bersikap manis kepada perempuan lain?" "Tentu saja." "Pasti ke mantan gebetan dokter itu, ya?" "Iya. Hanya ke dia saja. Dan itu dulu, sebelum undangan resepsi itu datang," sahut dokter Reza jujur. Suaranya yang tadinya dingin, berubah menjadi sendu. Maya mencuri lirik, penasaran dengan perubahan nada bicara laki-laki itu. Meskipun hanya melihat sekilas, ia dapat melihat raut di sampingnya memang sudah berubah sendu. Maya mengalihkan pandangan ke arah depan, seolah tengah menikmati padatnya jalanan kota. Akan tetapi, kenyataannya ia tengah berandai-andai. Andai dia merupakan perempuan yang dicintai dokter Reza, tentu sangat menyenangkan rasanya. Laki-laki itu begitu setia. Apalagi yang membahagiakan seorang perempuan, selain cinta dari laki-laki yang begitu besar dan tulus. "Dokter enggak mau membuka hati lagi?" tanya Maya hati-hati. Sebenarnya dia takut untuk bertanya, tetapi rasa penasaran membuatnya memberanikan diri. "Untuk sekarang tidak. Enggak tahu nanti," balas dokter Reza. Nada suaranya kembali datar. Seketika Maya menyesal telah mengajukan pertanyaan seperti itu. Bagaimana jika laki-laki itu curiga jika dia menyukainya? Mobil yang dikendarai dokter Reza berhenti di pelataran parkir sebuah butik muslimah besar dan elite di kota itu. Dahi Maya mengernyit, heran mengapa ia dibawa ke tempat itu. Maya tidak pernah datang ke sini Sebelumnya. Akan tetapi, dia tahu jika butik ini terkenal dengan produknya yang selalu anggun dan elegan. Mereka hanya benar-benar memproduksi satu piece untuk setiap desain. Tentang harga jangan ditanya, kantong Maya tidak akan mampu untuk menjangkaunya. Jika dipaksa, bisa jadi Maya tidak akan menerima gaji selama satu bulan, itu pun mungkin hanya mendapat koleksi yang paling murah. "Kenapa kita ke sini, Dok?" Maya masih belum paham tujuan laki-laki itu membawanya ke tempat itu. "Masuk saja. Nanti kamu juga tahu." Maya menghela napas panjang. Lalu mengusap d**a, menyabarkan diri dalam menghadapi keketusan laki-laki itu. Sementara dokter Reza berjalan kaku mendahuluinya. Mau tidak mau dia mengekor di belakang. "Carikan satu gaun yang bagus dan cocok untuk dia," ucap dokter Reza ketika salah seorang karyawan butik menghampiri mereka. Dagu laki-laki itu mengarah pada Maya. "Hah?" Maya ternganga. Dia menatap dokter Reza penuh tanya. Namun, akhirnya memilih menyimpan kalimatnya dan mengikuti langkah karyawan butik itu. "Kakak suka gaun yang bagaimana?" Karyawan butik memandu Maya yang tampak bingung menentukan pilihan. Di depannya semua gaun terlihat bagus. "Sebenarnya saya suka yang sederhana," sahut Maya kikuk. Dia terlahir dari keluarga sederhana, rasanya sungkan untuk mengenakan gaun yang mewah apalagi bling-bling. Jika boleh menebak, gaun ini pasti untuk menghadiri pesta resepsi pernikahan teman dokter Reza. Rasanya aneh bagi Maya jika dia terlalu tampil menyolok, apalagi sampai menandingi gaun pengantin. Sebuah gaun dengan warna dasar hitam, dipadu aksen gold pada beberapa bagian. Benar-benar terlihat sederhana, tetapi setelah dilakukan fitting, sangat pas ditubuh Maya. Tidak menempel ketat, tetapi mampu membuat aura kecantikan Maya keluar. Kulitnya yang putih, sangat kontras dengan warna gaun itu, apalagi ditambah pasmina hitam yang memang selama menjadi warna favorit Maya. "Yang ini cocok, Pak?" Karyawan butik menunjukkan gaun yang dikenakan Maya pada dokter Reza. Maya berdiri kikuk. Sementara Dokter Reza terpaku di tempat. Maya yang sehari-hari selalu tampil dengan pakaian putih-putih, sangat berbeda dengan balutan gaun yang dia kenakan. "Sepertinya pilihan Kakak cocok, lihat abangnya sampai terpesona," imbuh karyawan itu lagi. Dokter Reza meneguk ludah. Geraknya gugup dan serba salah. Dia tidak bisa memungkiri kalau memang dirinya terpesona pada gadis di depannya itu. Dia membawa Maya ke butik ini agar penampilan gadis itu paripurna di depan Rumaisha saat acara resepsi wanita itu nanti. Dia ingin menunjukkan pada Rumaisha bahwa dirinya telah menemukan pengganti yang tidak kalah cantiknya. Akan tetapi, ternyata rencana justru membuat dirinya yang terpesona. Senjata makan tuan. "Apa benar dokter terpesona?" Maya menatap laki-laki di depannya dengan senyum jahil. Walaupun ia tidak yakin, tetapi di dalam hatinya terbersit harapan jika itu benar adanya. Dokter Reza memalingkan muka, menyembunyikan rona wajahnya yang dirasa mulai berubah. "Ya, jika dia suka gaun itu dan merasa cocok, boleh," ucapnya gugup. Ia memilih tidak menggubris ucapan Maya, justru menjawab pertanyaan karyawan butik sebelumnya. Dokter Reza merasa tangannya sedikit dingin dan gemetar, sementara jantungnya seperti berdetak lebih cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD