Belajar Dari Pahitnya Kopi

1305 Words
Dering alarm dari ponsel yang telah kusetel semalam sedikit membuatku tersentak. Kulihat jam di dinding masih pukul 4 pagi. Adzan subuh belum berkumandang, kudengar gemericik air dari dalam kamar mandi kian mengalir deras. Pasti Ibu dan Bapak sudah bangun lebih dulu. Ini efek begadang semalam. Badanku teramat sukar bangun hanya untuk sekedar mengambil air wudhu. Rasa malas ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut. Dua rakaat saat shubuh lebih baik dari pada dunia seisinya. Kupaksakan tubuhku untuk bangun lalu ke kamar mandi yang ada dibelakang rumah. Aku memiliki kebiasaan mandi disaat subuh. Kudengar khasiatnya sangat banyak. Selain melancarkan peredaran darah, mandi dipagi hari saat matahari belum menampakkan sinarnya juga dapat mencegah stres. Air dingin yang dirasakan oleh tubuh ketika mandi saat itu diketahui dapat membantu mengurangi risiko terkena penyakit hipertensi. Hal ini dapat menekan gejala varises dan pengerasan pembuluh darah. Sehingga, memudahkan organ-organ tubuh dalam menerima suplai oksigen dan nutrisi sesuai kebutuhan. Kuguyur seluruh badanku tanpa meninggalkan sisa sedikitpun. Merasai tiap tetes air meresap ke dalam pori-pori kulit. Seketika kantuk yang kurasakan lenyap. Berganti dengan badan yang terasa segar. Selesai mandi, kuambil mukena dan kugelar sajadah di lantai. Sambil menunggu adzan subuh berkumandang. Kulantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan khusyu sambil meresapi makna yang terkandung ditiap ayatnya. Terdengar samar dikejauhan seorang muadzin mengumandangkan adzan dengan suara merdunya. Kujawab tiap lantunan adzan yang bergema diseluruh desa. Selesai adzan kutunaikan dua rakaat sholat shubuh dan tak lupa membaca wirid juga surat Waqiah. Aku keluar ke taman yang ada didepan rumah. Ibu suka sekali memelihara bunga dan tumbuhan merambat lainnya. Tak ayal rumah kami terasa sejuk dan asri. Kuhirup napas dalam-dalam. Sungguh kuasa Allah yang telah menciptakan alam beserta isinya dengan sangat indah. Pagi yang sejuk. Burung-burung bertengger di pepohonan mulai berkicau nyaring. Gesekan dahan yang tertiup angin mengalun pelan. Daun-daun kering jatuh berguguran menapaki bumi. Simphoni alam yang mengundang damai setiap insan. Mataku menerawang jauh. Sambil melakukan gerakan senam ringan. Kuputar-putar kepalaku ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Kurentangkan tangan sambil berjinjit tinggi. Lalu kuputar pinggangku ke belakang untuk merilekskan badan yang masih kaku. Usai melakukan gerakan ringan yang melemaskan badan, kuseduh kopi s**u mocca untuk menemani pagiku yang syahdu ini. Aku suka kopi dengan rasa yang manis. Satu sendok kopi dan dua sendok gula. Selalu seperti itu aku membuatnya. Rasa pahit yang ada dalam kopi aku tidak terlalu menyukainya. Walaupun seharusnya aku bisa mengambil pelajaran dari pahitnya kopi. Sama seperti kisahku. Bahkan aku belum memulainya tetapi sudah berakhir dengan luka yang menganga hingga saat ini. Mungkin kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah sebuah epilog tanpa prolog. Jika saja dulu aku tak gegabah mencintai dia yang telah pergi. Dia yang telah menikah dengan orang lain. Dan harusnya aku sadar diri dia tidak akan membalas perasaanku. Kata-kata terakhir yang ia ucapkan padaku berhasil membuatku tertampar dan sedikit malu dengan sikapku yang terang-terangan mengaguminya. “Kamu itu selama jadi santri belajar yang benar. Dalami ilmu selagi masih dipesantren. Jangan cuma cari kesempatan dalam kesempitan. Jangan nyari simpati ke saya. Nanti rugi kamu.” Mak jleb. Ucapannya masih terngiang di telingaku hingga kini. Ya. Memang benar. Tidak ada untungnya bagiku. Hanya kenyataan pahit yang kudapat. Tapi entah mengapa dulu perkataannya hanya numpang lewat saja ditelingaku. Aku masih saja suka curi-curi pandang dan melontarkan guyonan pada Gus tampan nan rupawan itu. Gus ganteng aku memanggilnya dulu. Karena kadar ketampanannya di atas rata-rata menurutku. Sekarang rasa itu harus secepatnya kuleburkan tanpa sisa. Aku tidak boleh bergelut dalam ketidakpastian. Apalagi Gus sekarang sudah bahagia bersama istrinya. Apalah aku yang hanya remahan krupuk mengharapkan hal yang tidak mungkin terjadi. Aku tidak mungkin menjangkaunya. Gus. Ternyata rasa yang telah kupupuk dahulu dan kusirami dengan kekaguman hingga cinta berakar kuat dalam hati, nyatanya salah. Saya sudah salah dan terlanjur terluka. Maka hal yang benar adalah menghapus nama njenengan perlahan sampai pada akhirnya saya akan lupa dengan rasa yang pernah ada. *** “Bu May, sudah tau kan dapat tugas sebagai guru informatory. Bantu saya menangani konseling anak-anak dan membimbing murid-murid yang bermasalah ya,” ucap Pak Misbah. Salah satu rekan mengajarku yang kini duduk dihadapanku menunggu jawaban dariku. Kebetulan jam istirahat telah berbunyi. Kami berkumpul di ruang guru untuk sekedar bercakap-cakap. Aku menjalani peranku sebagai guru biologi dan wali kelas di kelas 11 IPA. Lembaga tempatku mengajar adalah sebuah yayasan mulai jenjang TK/RA sampai dengan Madrasah Aliyah. Sudah 4 tahun lebih aku mengabdikan diri di lembaga Ma’arif yang cukup maju pesat ini. Menjadi pengajar sedikit banyak membuatku melupakan rasa sakit yang masih membekas. Walaupun aku masih sulit untuk melupakan namanya. Namun kesibukan cukup membuatku teralihkan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hal itu benar adanya. Aku harus menjadi panutan yang baik untuk anak didikku. Tetap menebar senyum yang sumringah walau sebenarnya bermuram durja. “Oh begitu ya, Pak. Maaf saya baru tahu. Ketinggalan info. Hehe. Baik nanti Pak Misbah buat rincian bagi tugas saja ya. Insyaallah saya usahakan bantu,” jawabku mantap. Jadi dari masing-masing guru di sekolah ini bukan hanya memiliki tugas mengajar saja. Namun memiliki tugas sebagai pendamping. Salah satunya sebagai informatory seperti tugasku. Membantu guru BK untuk memberikan bimbingan dan konseling pada siswa. Selain itu juga sebagai fasilitator, mediator, dan kolaborator. Semua itu menjadi amanah seorang guru sebagai pendidik sekaligus tauladan yang dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik bagi para murid-muridnya. Karena seorang guru adalah warna kehidupan yang mampu membimbing para generasi muda untuk semakin maju dan berprestasi. “Oh baik, Bu. Nanti saya pilah-pilah dulu ya mana tugas yang perlu bantuan dari Bu Mayang. Wah ada apa nih, Bu, kok sampai tidak fokus begitu. Padahal baru dishare 1 hari yang lalu lho,” timpal Pak Misbah sambil menyesap kopi hangat yang baru saja diseduhnya. Kutengok ponsel yang sedari tadi anteng dalam saku tas milikku. Kubuka grup w******p sekolah yang penuh dengan pemberitahuan. Salah satunya yang diucapkan Pak Misbah tadi. “Eh iya. Lagi fokus ngurusi anak-anak kelas, Pak. Ada beberapa yang sedikit bermasalah. Jadi tidak kepikiran buat nengok grup,” sahutku beralasan. “Oalaah begitu ta, Bu. Oh ya, Bu Mayang apa tidak ingin menikah?” Pak Misbah menatapku penasaran. Sesaat kemudian riuh suara para guru berdehem saling bersahutan. Deg. Kenapa pertanyaan itu justru muncul dari salah satu rekan mengajarku. “Memangnya kenapa, Pak? Pak Misbah mau comblangin Bu Mayang ta?” sahut Pak Ridlwan, salah satu guru senior yang paling lama mengabdi di madrasah yayasan Mambaul Ulum. Tentu saja mereka selalu antusias jika menyangkut statusku yang hingga kini masih setia menjomblo. Sebenarnya bukan masalah siap atau tidaknya untuk menikah. Aku masih berusaha meleburkan perasaanku padanya agar tidak ada lagi rasa kecewa jika nanti aku sudah siap menjalin hubungan dengan orang baru. “Jodoh itu urusan Allah, Pak. Jika nanti sudah waktunya pasti saya akan menikah,” jawabku santai. “Iya juga sih, Bu. Tapi mungkin Bu Mayang ini seleranya tinggi ya?” tambahnya sambil menyeruput kopi yang mengeluarkan kepulan asap. “Ah tidak juga, Pak. Saya ini memang masih ingin menyendiri saja kok. Nanti kalo sudah ada yang cocok pasti saya mau,” aku sedikit mengelak. “Yang benar, Bu? Jangan-jangan Bu Mayang pernah patah hati ya sampai trauma menjalin hubungan baru?” selidik salah satu rekanku yang lain, Pak Hafidz. Aku menghembuskan napas panjang. Lalu menggeleng pelan tanda tidak setuju dengan celetukan Pak Hafidz. Ah dasar Bapak-Bapak kepo. Usia kami memang tidak beda jauh. Jadi aku berusaha memaklumi guyonan mereka yang seakan ingin mencairkan suasana. “Sudah to, Pak. Jangan nggojloki Bu Mayang terus. Nanti orangnya ngambek nggak mau ngajar lagi lho,” bela Syifa. Sahabatku sejak mondok hingga sekarang kami mengajar ditempat yang sama. Dia selalu membelaku ketika dibully tentang statusku yang single. Sedangkan tawa menggema di ruang guru. Aku hanya tersenyum kecil sambil menunduk melihat ponsel yang kumainkan sedari tadi. Kubiarkan mereka mengejekku sepuasnya. Lagi pula itu hanya guyonan saja. Lumayan kan hiburan gratis. Setidaknya aku harus secepatnya move on dari kenangan tentangnya. Tetapi Apa aku mampu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD