Ada yang mengatakan jika cinta itu datangnya dari mata turun ke hati. Memang benar menurutku. Sejak awal aku berjumpa dengan Gus Rasyid ada getar yang tidak biasa dalam hatiku. Bahkan aku sampai kebawa mimpi bisa berkenalan dan bertatap muka dengan sang Gus ganteng. Jadi begini ya rasanya ngefans berat sama seseorang itu. Senyum-senyum sendiri nggak jelas. Dan selalu membayangkan dia yang kita sukai.
“Mayang Faiqotuz Zakia!”
Kenapa aku merasa seakan Gus Rasyid memanggil namaku ya.
“May, Mayang!” hentak Hasna membuyarkan lamunanku.
“Ada apa sih, Na. Ganggu orang lagi berandai-andai aja deh.” aku kembali menahan daguku dengan tangan kanan.
“Itu kamu dipanggil Ustadzah Salwa,” Hasna kembali menggoyang-goyangkan badanku.
Astagfirullah. Batinku. Ternyata aku sudah terbuai dengan lamunanku tadi.
“Njeh, Ustadzah. Pripun?” aku lekas menjawab panggilan beliau.
Ustadzah menggelengkan kepalanya pelan begitu melihatku sedikit salah tingkah.
“Kamu ini lagi di kelas Diniyah kok bisa-bisanya ngelamun, May,” tegur ustadzah Salwa.
“Ah mboten kok Ustadzah. Saya hanya-“ aku mencari kata yang tepat.
“Hanya apa? Keterusan ngelamun? Emang kamu ini ngelamunin siapa?” tanya Ustadzah.
“Gus Rasyid Ustadzah,” jawabku spontan. Aku segera mengatupkan mulutku rapat-rapat. Lalu memukulinya sendiri. Suara tawa teman-teman Diniyah terdengar memenuhi ruangan. Ada pula yang melempar candaan.
“Cie cie, suka sama Gus e terang-terangan.”
Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Malu bukan kepalang. Kenapa mulutku ini begitu licin dalam berucap sih. Bisa-bisanya aku jujur begitu ketika ditanya Ustadzah.
Apalagi Hasna. Dia sepertinya puas menertawaiku. Aku hanya bisa menerima nasibku yang dijadikan bahan tertawaan teman-teman sebab mulutku yang ceplas ceplos.
“Sudah sudah. Kita lanjutkan materi hari ini. Namun sebelum itu saya ingin kalian membaca separuh bacaan yang sudah Ustadzah maknai tadi. Ayo, Mayang. Kamu baca yang keras.”
Waduh. Kupandangi kitabku yang masih bersih bersinar tanpa coretan makna pego dibawahnya untaian kalimat Arab yang tertera di halaman yang sedang kubuka saat ini.
Teriakan “Huuuu.” bersamaan dari mulut teman-teman seaakan mengejekku ketika Ustdzah menyebut namaku. Bahkan ada yang berbisik padaku “Mampus kamu May.”
Kuberanikan diri membacanya walau sedikit terbata-bata. Aku dengan percaya diri berdehem sebentar sebelum mengiyakan perintah Ustadzah.
“Ehem. Baik, Ustadzah.”
Aku kemudian membaca kitab fiqih Sulam Taufiq yang kupegang. Bukan Mayang namanya kalau tidak bisa ngeles. Dengan sekali tarikan napas aku membacanya dengan lantang.
Sulam Taufiq adalah kitab karangan Syeh Abdullah Ba'alawi. Kitab yang membahas tiga keilmuan pokok. Yaitu ilmu akidah atau tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu fiqih.
Duk Duk Duk.
Ustadzah mengetuk bangku kayu yang menjadi mejanya. Beliau hanya menggeleng kecil melihat kelakuanku.
“Kenapa membacanya tanpa makna, Mayang?” alis Ustadzah menyatu menunggu jawabanku.
“Emm. Anu, Ustadzah. Saya-” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Kitabnya belum dimaknai, Ustadzah,” spontan salah satu santri yang duduk dibelakangku menyahut sambil melongokkan kepalanya melihat kitabku.
“Ssst.” Aku menempelkan jari telunjuk ke mulutku tanda memintanya diam.
“Astagfirullah, Mayang.”
Ustadzah menghela napas panjang. Mungkin beliau sudah angkat tangan melihat kemalasanku.
“Kamu itu dititipkan orang tuamu ke pesantren ini supaya belajar dengan sungguh-sungguh. Jadi orang yang ngerti. Paham tentang agama dan segala ilmu yang berkaitan dengan kehidupan. Lah, Diniyah saja kamu melamun, malas-malasan, kitab dibiarkan kosong, gimana mau paham? Kamu tidak suka dengan pelajaran saya?” Ustadzah melebarkan matanya.
Spontan aku menggeleng kuat.
“Mboten, Ustadzah. Kulo suka. Panjenengan menjelaskannya juga sangat detail,” elakku.
“Lantas kenapa kamu melamun hmm? Kalian ini sebentar lagi kenaikan kelas. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar dan melakukan hal yang bermanfaat. Jangan sampai merugi dan menyesal dibelakang nanti,” tutup Ustadzah dengan ucapan yang tajam.
Aku hanya menunduk menekuri kesalahanku. Tidak ada suara sedikitpun di kelas kami. Kami sibuk mencerna perkataan Ustadzah yang sangat benar. Hanya hening sebelum Ustadzah menutup kelas dengan ucapan salam.
***
Nurul Huda, pesantren salaf yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama hampir dua tahun ini. Aku mondok disini atas masukan dari sahabatku, Syifa Raudhatul Jannah.
Aku dan Syifa tetangga desa. Rumah kami juga sangat dekat. Hanya berbeda g**g saja. Tetapi dia sudah mondok lebih dulu sejak duduk di bangku Tsanawiyah. Sedangkan aku baru masuk pesantren saat Aliyah. Itu sebabnya aku tidak sekelas Diniyah dengannya. Aku masuk pesantren pun atas kemauan Ibu.
“Nduk, selesai Mts sampeyan harus mau mondok ya? Kalau Ndak mau Ibu bakal nerima lamaran dari anak Pak Agus tetangga kita. Biar kamu nikah muda.”
Ibu selalu mengeluarkan jurus pamungkasnya. Yaitu mengancam akan menikahkanku. Agar aku mau masuk pesantren seperti keinginannya. Padahal pada saat itu jiwa mudaku masih liar-liarnya dan ingin mengeksplor hal-hal baru.
“Ibu mau memaksa Mayang buat nikah? Pemaksaan itu dilarang loh, Buk. Menurut undang-undang perlindungan anak-“ belum sempat aku menyelesaikan perkataanku.
“Hush.” Ibu menarik mulutku gemas.
“Dikasi tahu kok sukanya bantah aja kamu ini,.” Aku memanyunkan bibirku.
“Didengarkan sampai selesai kalau Ibu ngomong. Jangan dipotong,.” aku mengangguk dan membuang napas kasar.
Aku selalu mengalah jika Ibu sudah bersikeras dengan keinginannya itu. Kalau tidak, beliau bisa-bisa berurai air mata sambil sesenggukan karena anak perempuan semata wayangnya ini telah membantahnya.
“Orang mondok iku enak, Nduk. Banyak barokahnya, banyak manfaatnya. Sampeyan nggak cuma belajar ilmu agama tapi juga dapat pengalaman hidup yang tidak kamu jumpai ditempat manaoaun. Wes lah nanti sampeyan pasti bakal krasan kalau sudah tau rasanya.” Ibu meyakinkanku agar aku tidak menolak lagi keinginannya itu.
Dari aku kecil, Ibu Memang selalu memasukkanku ke sekolah yang dinaungi lembaga Islam. Mulai dari RA, MI, kemudian Mts. Dan sekarang MA ditambah aku harus mondok. Tapi aku yakin Ibu menginginkan yang terbaik untukku.
Akhirnya aku pun menuruti keinginan Ibu yaitu masuk pondok pesantren di daerah Pacet. Ternyata dunia pesantren tidak semonoton yang kubayangkan.
Sebaliknya aku merasa nyaman di pesantren hingga kini. Hanya saja rasa malasku masih belum berubah. Tepatnya masih sulit untuk dihilangkan.
Suasananya adem ayem. Mungkin sebab banyak kebaikan dan doa-doa mustajab yang dilangitkan Abah Yai dan para santri. Lingkungannya pondok bersih terawat. Fasilitasnya juga memadai. Sehingga tidak ada sedikitpun kesedihan tatkala aku menginjakkan kaki di pesantren tercinta ini.
“May, Kata Hasna kamu tadi dimarahi Ustadzah Salwa ya?” tanya Syifa saat kami akan menuju ke acara memperingati maulid nabi yang diselenggarakan pengurus pondok.
“Hehe. Iya, Fa. Aku waktu ditegur Ustadzah waktu lagi ngelamunin sang pujaan hati,” jawabku terkekeh.
“Ngelamunin Gus Rasyid ya? Kamu ini nggak ada kapok-kapoknya memang. Kamu lupa pernah ditakzir sendiri sama Bu Nyai gara-gara molor di kamar waktu ngaos ashar?” Syifa mengingatkan.
Aku benar-benar malu jika mengingat hal itu. Karena tidurku yang pules kayak orang kepaten, Syifa akhirnya membiarkanku tidur di kamar saat ngaos setelah ashar sedang berlangsung. Bu Nyai tiba-tiba melakukan sidak tanpa diduga-duga. Nah beliau memergokiku yang masih terbuai mimpi-mimpi indah.
“Loh, Mbak. Temannya ngaji kok sampeyan malah tidur.” Bu Nyai menggoyang-goyangkan badanku. Refleks aku terbangun karena merasakan ada yang janggal kala itu.
Aku yang jengah langsung terduduk tegak dengan kepala menunduk meminta maaf pada Bu Nyai. Kemudian beliau menyuruhku untuk segera turun ikut pengajian sore sebelum Abah Hasan selesai ceramah. Bu Nyai menungguku diluar kamar.
Aku pun bergegas berganti baju dan mengambil kitab di lemari. Ketika turun ke majlis ternyata di mushola ada kelompok Mbak-Mbak yang hafalan Qur’an disemak oleh Ustadz Zahid. Aduh aku menahan malu dengan mengikuti langkah Bu Nyai. Aku berjalan memakai lutut ketika melewati Ustadz Zahid sambil menunduk. Kemudian Bu Nyai mengantarku sampai majlis dan memastikan aku mengikuti pengajian. Tatapan mengejek dari Mbak-Mbak mengarah padaku.
“Kamu masih belum kapok juga, May?” Syifa mengulang pertanyaannya. Aku menggelengkan kepala sambil nyengir.
“Emang kamu ini perlu dirukyah,” balasnya sambil mencubit lenganku.
“Enak aja. Emangnya aku kemasukan demit,” protesku kesal.
Syifa selalu saja mengatakan aku perlu dirukyah jika tindakanku tidak wajar menurutnya.
***
Alunan lagu-lagu religi mengalun merdu dari sound system’ membuatku tak sadar ikut bersenandung lirih. Gebyar acara maulid nabi diadakan di halaman depan rumah Abah Yai yang lebih dekat dengan pondok putra.
“Mayang!” suara Hasna melengking membuat telingaku berdenging.
“Hasna, suaramu itu emang kayak petasan dar dor dar dor,” sahutku kesal. Dia hanya meringis menampilkan senyum terbaiknya.
“Ayo cepat jalannya. Biar kita dapat tempat duduk paling depan. Kabarnya nanti yang ngasi sambutan Gus Rasyid menggantikan Abah Yai sebab beliau ada keperluan,” ujar Hasna.
“Wah yang benar?” kali ini aku yang menjerit histeris. Hatiku langsung berdenyar bahagia. Mataku menerawang mengingat tampang Gus Rasyid yang mempesona.
“Ehem.” degeham Syifa memutus hayalanku. Dia selalu saja mengganggu kesenanganku.
“Iya makanya ayo cepat kita cari tempat duduk paling depan.” Hasna merangkul aku dan Syifa. Menengahi kami berdua agar tidak berdebat panjang kali lebar.
Aku mengangguk antusias dan mempercepat langkah.
“Ojo ngisin-ngisini engkok nek lungguh ngarep. Ojo mlongo.”
Spontan kupukul pundak Syifa. Lama-lama gemas sekali aku melihat keusilannya. Hasna dan Syifa masih tertawa sambil menutupi mulutnya kemudian ngeloyor meninggalkanku dibelakangnya.
Para santriwan dan santriwati sudah berkumpul di halaman ndalem. Aku dan Hasna duduk dibarisan paling depan supaya bisa leluasa melihat ketampanan Gus Rasyid.
Setelah selesai pembacaan ayat suci Al-quran MC kembali membacakan susunan acara berikutnya yaitu sambutan perwakilan dari pengurus pondok. Hatiku berdebar-debar tak menentu menunggu sosok bak pangeran di negeri dongeng itu muncul di panggung. Sepertinya semua santri juga menunggu-nunggu sambutan dari Gus Rasyid.
“Sambutan yang pertama dari pengasuh pondok pesantren Nurul Huda. Kepada beliau, Gus Ahmad Rasyidudin Salim, dipersilahkan untuk naik ke atas panggung.”
Mataku mengikuti setiap pergerakan dari Gus Rasyid. Dia mulai melangkah naik ke atas panggung dengan santainya. Aku semakin gusar tak karuan melihat sosoknya yang tampan tanpa cela itu dari dekat.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Suaranya sedikit ngebass membuatku panas dingin. Beginikah rasanya suka dengan Gusnya sendiri. Aku belum pernah merasakan sebegitu sukanya pada seseorang. Ini baru kali pertama.
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,” jawaban menggema dari seluruh santri yang memenuhi halaman pondok terdengar riuh di telinga.
“Masyaallah, gantengnya calon imamku,” teriakku lantang tanpa sadar. Mataku masih tertuju ke depan. Sontak seluruh santri dan pengurus pondok menoleh ke arahku. Syifa dan Hasna cepat-cepat membekap mulutku.
“Ya Allah, May.. Mulutmu itu lo. Mbok ya dikondisikan. Dilos ae gak ini rem e,” Hasna berbisik dengan kesal.
“Mbuh. Di rungokno wong akeh Ilo. Suaramu cik banter men,” Syifa menambahkan.
Aku diam tak bergeming mendengar ocehan kedua sahabat baikku. Sambil menahan malu akibat celotehan refleksi barusan.