Nyonya
Ada dua alasan mengapa Mina memilih hidup sendiri. Pertama, karena ia benci dirinya. Kedua, karena ia sangat-sangat benci pada manusia.
Dua tahun hidup sendiri dalam lingkup apartemen yang sempit. Sekelilingnya aneh, mereka terlalu ramai dan sangat mengganggu. Setiap malam, Mina berkeliling di sudut-sudut kota. Dengan ramainya kendaraan lalu-laulang.
Bahkan hanya beberapa tetangga saja yang terkadang melihat Mina pulang tengah malam. Memang Mina aneh, sepanjang hari selalu mengenakan sweater hitam dengan tudungnya yang terpasang. Terkadang ia pulang dengan wajah yang babak belur.
Orang mengira Mina hanyalah berandalan, sampah masyarakat, dan hanya mengganggu kedamaian permukiman apartemen.
Dan ketika memikirkan itu, Mina mual sekali. Mereka berkata tanpa berkaca. Dan berucap tanpa dalih yang jelas. Apakah mereka dukun gadungan? Atau mereka sutradara yang mengatur hidupnya?
Padahal kebalikannya. Mina kini berada dalam kamar dengan komputer di depannya. Memeriksa beberapa data para warga sipil. Sudah bisa menebak?
Ya, Mina adalah seorang intel. Sebut saja intel andalan. Oleh karena itu, identitasnya tak di ketahui. Bahkan, beberapa penjahat tak menyadarinya. Mina cantik, wajahnya tanpa senyum, matanya tajam, dan bibirnya yang tipis. Ia seorang profesional, agen rahasia. Identitasnya sama sekali tak boleh terbongkar, walaupun nama aslinya. Harus diingat bahwa nama samarannya adalah Yara.
Tok tok tok
Ketukan pintu itu justru terdengar seperti gedoran.
Mina memutar bola matanya malas. Rambutnya yang berantakan ia hempaskan kebelakang. Dengan baju kaos oblong seadanya, rambut berantakan dan bekas luka di sudut bibir, gadis berusia dua puluh satu tahun itu berjalan membuka pintu.
"Yara ... buka!!" terdengar suara teriakan menggelegar dari luar.
"Ck, sabar napa." pintu pun terbuka.
"Apa?
Tante-tante berwajah menor dan selalu memegang kipas itu mengerjap tak percaya. Ia menunjuk Mina dengan kipasnya. "Kamu ini!! Gak sopan sama orang tua!!!"
Mina menguap. "Ada apasih, Tante Clisa yang paling unyu-unyu?" Mina memasang wajah sok imut.
Tante Clisa memutar bola matanya malas. "Uang!"
"U-uang? Tante kira gue ATM?"
"YARA!!"
"Ehh ayam ayam." Mina terjingkat kaget dengan gelapan. Wajahnya kini terlihat sangat canggung, dan tersenyum malu-malu. Ia mengusap lehernya lalu merapatkan kaki dan menundukkan wajah. "Hehe ... Tante Clisa ngagetin."
Tante Clisa mengipas wajahnya.
"Alesaannn ... alesaann terus ... drama mulu."
Mina semakin tersenyum canggung. Ia menengok ke kanan dan kekiri. Melihat beberapa tetangga mengintip. Ada yang mengintip di celah pintu. Ada yang pura-pura mengepel di koridor. Ada yang bersembunyi di balik pot bunga kaktus. Ada juga yang pura-pura berbicara pada kucing yang di detik ketiga langsung di cakar.
Aneh.
Tapi, Mina hanya bisa sabar. Mereka tukang julid garis keras. Bahkan jika ada masalah keuangan di lantai paling ujungpun mereka tau.
"Gini loh, Tante," ujar Mina dengan ragu.
"Gana gini ... gana gini. Yang jelas kalo ngomong! Jangan ngang-ngong, ngang-ngong aja!!"
Mina menelan ludah. "Tunggu dulu dong Tante Clisa. Hehe kalem bro, Yara ambilin duit dulu ya. Kayanya ada ceban, deh."
"Hah?! Kamu kira itu duit mau buat saya beliin cilok?!!"
Mina menggeleng. "Tante jangan marah-marah ... takut nanti lekas tua ...," nyanyi Mina sembari berjalan mundur. Lalu, ia berbalik dan menutup pintu. Mengunci pintu. Mengambil sweater andalannya dan langsung keluar lewat jendela. Menepakai lantai balkon satu persatu-satu. Berhubung kamar Mina di lantai tiga, jadi tidak terlalu berbahaya.
"YAARRAAAAAAA!!!"
Bahkan di balkon lantai dua pun Mina masih bisa mendengar suara cetarmembahananya tante Clisa.
Brakk!
"Asshh anjing sakitnya." Mina menggosok-gosokkan dengkulnya. Ia menutup tudungnya dan berlari keluar area.
Tak lama, ponsel kecil di saku Mina berdering.
Tiga menit obrolan berakhir. Dengan segera ia berlari di tengah-tengah padatnya orang berjalan. Dengan santai ia membuka jaket hitamnya.
Menampilkan pakaian kaos oblongnya. Dengan gesit ia masuk ke dalam toko baju, kini ia memakai baju yang mini dan lebih bagus.
Dengan celana ketat, ia berjalan di tengah keramaian. Tangannya asik memakaikan lipstik untuk bibirnya. Setelahnya, ia tersenyum tipis, karena sisi lain dari lipstik itu adalah air cabe.
Sampailah ia di klub karaoke. Setelah, masuk ia mencari nomer kamar yang di instrusikan.