"Mas!"
Zakiya memanggilnya. Pasalnya, ia semakin curiga dengan pemberitaan yang sangat-sangat ganjil ini. Dari awal, ia harusnya memang sudah curiga. Namun tak terpikir ke arah sana sama sekali. Ia sibuk mengumpulkan pemberitaan. Ia sudah tahu media massa mana yang memberitakan lebih dulu. Tapi tidak sadar siapa yang mungkin saja menjadi informannya. Siapa?
"Ya, Kiya?"
Lelaki itu tampak sibuk. Sibuk di depan laptop. Rangga sedang memantau pemberitaan soal Zakiya. Jujur saja, ia juga khawatir dengan kondisi ini. Meski Zakiya justru tak ambil pusing. Sejauh ini, mereka sedang berupaya membuat berita tandingan. Tentunya bukan hoaks seperti yang media lain katakan. Mereka justru berupaya membeberkan bukti. Karena memang itu tujuan Nando sejak awal bukan? Lantas, Rangga masih percaya dengan lelaki itu ketika semua ini terjadi?
"Mas," ia berdeham. Kemudian duduk di sofa. Tadi sudah menutup pintunya karena takut ada orang lain yang mendengar. Meski sah-sah saja. "Mas udah ngehubungi Shinta?"
"Kenapa memangnya?"
"Kiya bukannya mau su'uzzan," ia memelankan suaranya. Rangga masih belum sadar. Ia benar-benar terfokus pada hal lain. Kemudian tiba-tiba mengetuk kening.
"Astagfirullah! Mas lupa!"
"Apanya yang lupa, Mas?"
"Ayah Mas! Astagfirullah! Harusnya Mas jemput di bandara!" serunya. Ia benar-benar lupa.
Zakiya geleng-geleng kepala. Akhirnya ia membiarkan Rangga pergi begitu saja. Sementara ia menghela nafas. Ayah Rangga memang hendak datang ke Jakarta. Sudah lama tak bertemu Rangga dan putri semata wayangnya yang sangat-sangat disayanginya. Disaat Rangga sudah larut dengan urusan ayahnya, Zakiya naik ke lantai atas. Ia mencari Lona atau Kang Syamsul. Yang terlihat hanya Kang Syamsul.
"Kang! Punya nomor Shinta?"
Keningnya mengerut. Bingung dengan Shinta mana yang dimaksud.
"Shinta dari The Asean Post! Sama Asean TV! Wartawan papan atas itu!"
Aaaah. Kang Syamsul mengangguk-angguk. "Gue gak punya kontaknya."
Yaaah. Zakiya menghela nafas. Agak-agak sedih dengan kenyataan ini.
"Kenapa memangnya, Kiya?"
Zakiya menceritakan bagaimana kronologi lengkapnya dan Kang Syamsul ternganga.
"Itu sih udah jelas, Kiya! Tapi bentar. Kayaknya bukan dia juga yang laporin berita!"
"Tapi udah ada kemungkinan kan pastinya?"
Kang Syamsul mengangguk-angguk. Mereka sama-sama bisa memastikan kemungkinan kronologinya.
"Tapi Rangga udah tahu?"
"Kayaknya belum ngeh sih," ia juga agak ragu menjawabnya. "Mas Rangga emang minta tolong buat di-blow up kan. Tapi pemberitaannya harusnya gak bawa Kiya dong, Kang!"
Kang Syamsul terkekeh. Benar juga.
"Dia ada dendam ama lo?"
"Kenal dekat aja kagak."
Kang Syamsul tertawa. "Ya udah nanti tunggu Rangga deh. Tuh orang harus tanggung jawab tuh!"
Zakiya terkekeh. Akhirnya memang menunggu Rangga. Meski lelaki itu sangat sibuk. Sibuk apa? Mempersiapkan kado untuk ulang tahun Humaira seminggu lagi. Ayahnya sampai datang juga dengan rencana itu. Mereka jarang sekali memberikan kejutan. Ayahnya mendadak memberi ide. Rangga pikir, ini adalah ide yang sangat bagus. Makanya mereka sengaja mempersiapkan ini meski masih seminggu lagi. Gadis itu akan menginjak 21 tahun. Sudah mulai beranjak dewasa.
Setelah mengantar ayahnya ke rumah dengan beberapa kado yang mereka beli bersama, Rangga kembali ke kantor. Karena urusan memang belum selesai. Apalagi katanya, Zakiya juga menungguinya. Entah apa yang hendak dibicarakan oleh gadis itu. Sepertinya penting sekali.
"Kiya?"
Gadis itu nyaris tertidur. Ini baru jam delapan malam. Tapi bagaimanapun, pasti lelah sekali. Apalagi Zakiya hilir-mudik. Ia sangat lah sibuk. Belum lagi, minggu depan mendadak dijadwalkan untuk seminar proposal tesisnya. Waah tambah runyam lah. Memang terkadang suka begitu. Namanya juga hidup.
Rangga tersenyum kecil. Tak ingin membangunkan tapi serba salah. Kan gadis itu menungguinya. Iya kan? Jadi ia tepuk bahunya dengan pelan. Zakiya bangun dengan pelan. Gadis itu langsung membelalak karena Rangga sudah tiba di dekatnya.
"Kalo ngantuk, mending pulang aja."
Ia menggeleng. "Bentar doang, Mas."
"Eh iya. Apa yang mau kamu omongin?"
"Itu Mas Rangga bisa hubungi Shinta?"
Mata Rangga mengerjab-erjab. Ia ditunggui selama ini hanya untuk menanyakan ini? Kalau hanya begini kan ia bisa saja menghubunginya langsung? Untuk apa Zakiya menunggu sampai selarut ini?
"Kenapa dengan Shinta?" tanyanya bingung.
"Anu.....Mas. Kan yang pertama kali memberitakan kasus utu sama Kiya itu--"
Rangga terbelalak. Baru menyadari hal itu juga. Ia mengeluarkan ponselnya dengan terburu-buru.
"Iya ya? Kok Mas juga gak sadar?"
Zakiya terkekeh. Ia sudah menduga kalau Rangga juga tidak menyadari hal ini. Mereka sibuk memikirkan ke mana-mana tapi ternyata jawabannya terasa sangat dekat sekali.
"Mati, Ki," tukasnya lalu menghela nafas bersama Zakiya.
"Mas tahu di mana dia tinggal?"
Rangga mengangguk. "Semoga belum pindah. Mau ke sana sekarang? Kamu yakin?"
Ia sebetulnya was-was. Zakiya membawa mobilnya. Akan terlalu jauh arah pulangnya nanti.
"Biar Mas aja yang ke sana. Kamu pulang aja," titahnya. Tapi Zakiya masih menimbang-nimbang. Walau akhirnya mengangguk juga. Keselamatan lebih penting dari apapun. Akhirnya Zakiya pamit pulang. Rangga mengantarnya sampai depan. Lelaki itu juga segera mengendarai mobilnya menuju rumah kontrakan Shinta. Ia tak tahu apakah Shinta masih tinggal di sana atau tidak. Berhubung memang sudah lama sekali tak ke sana. Rasa-rasanya terakhir datang juga dengan Humaira saat gadis itu masih awal-awal kuliah. Rangga baru menyadari kalau ini memang sudah terlalu lama.
Tiba di sana....memang benar. Rumahnya gelap. Rangga sempat bertanya-tanya, katanya sudah tak ada yang menghuni sejak setahun terakhir. Akhirnya Rangga pulang dengan tangan kosong. Ia mengabari hal itu pada Zakiya dan berjanji akan menghubungi Shinta besok pagi. Namun masih sama. Nomornya tak aktif lagi. Ia jadi was-was. Sepertinya menang terjadi sesuatu.
@@@
"Paaa!"
Suaranya melengking. Zakiya bahkan baru bangun tidur tapi sudah membelalak dengan banyaknya pemberitaan yang dikirim teman-temannya. Semua menyangkutpautkan keterlibatan Zakiya sebagai anak pengusaha menengah. Kalau kemarin-kemarin pemberitaannya justru ramai karena diduga adanya hubungan Zakiya sebagai selingkuhan Nando, sebaliknya di pemberitaan yang terbaru ini, segalanya berubah. Zakiya tak disebut selingkuhan lagi tapi disebut sebagai orang yang sengaja membujuk Nando untuk mau mengungkap kasus itu dan mengiriminya uang sebagai imbalan. Itu karena persaingan usaha antara ayahnya dengan pemilik Abdi Agro Negoro Group yang menurut Zakiya justru tak masuk akal. Perusahaan ayahnya tak seberapa. Ayahnya hanya membeli lahan kelapa sawit dari lelang bank. Namun masih menjadi persengkataan kalau versinya Abdi Agro Negoro Group. Padahal sudah jelas, saat hutang perusahaan jatuh tempo tahun lalu, mereka tak bisa membayarnya. Dan sebagai jaminan, salah satu aset, yaitu lahan perkebunan sawit yang ditarik oleh pihak bank. Namun mereka tak menerima dengan alasan, mereka hendak membayarnya. Tapi kan sudah terlambat juga. Lahannya sudah dikekang bahkan ayahnya Zakiya sudah membayar uang mukanya. Tinggal men-transfer sisanya ke pihak bank. Namun di dalam pemberitaan yaa Zakiya diduga bersekongkol untuk memperburuk citra perusahaan melalui Nando agar jual-beli lahan itu menjadi lancar.
Papanya malah tertawa ketika mendengar pemberitaan itu di pagi hari. Pengusaha kan ada yang lebih licik dan ada yang tak mudah ditipu juga.
"Papa gak marah apa? Mereka bikin berita omong kosong gitu. Heran kelas konglomerat kok beritanya gosiip."
Zakiya sudah mendumel. Papanya masih tertawa. Karena ini memang sangat lucu.
"Ini entah bawahannya yang emang g****k atau pemimpinnya yang gak tahu strategi, gak ngerti lah, Kiya. Gak usah diturutin pemberitaan kayak begini."
"Tapi saham Papa jadi turun begitu."
Papanya terkekeh. "Rezeki itu udah diatur. Ya sudah lah."
Zakiya tersenyum kecil. Ini nih yang membuatnya senang dengan keluarganya sejak beberapa tahun terakhir. Efek Andra patah hati, yang intropeksi diri malah jadi serumah. Hahaha. Ada hikmahnya? Sangat. Papanya sedang suka-sukanya sama muslimah. Kalau ada yang lewat pasti ditanya-tanya sudah menikah atau belum biar bisa dikenalkan pada Andra. Tapi abangnya itu yang susah. Kalau Andra selalu bilang....
"Andra sadar diri kali, Pa. Mau dapet yang kayak gitu, hidup Andra kudu bener dulu."
"Ya benerin makanya."
Anaknya hanya terkekeh-kekeh saja. Andra tetap lah Andra. Barangkali benar-benar belum tersentuh dengan hidayahnya. Tapi ya sudah lah. Setiap orang memang memiliki prosesnya masing-masing. Zakiya juga tak menyangka kalau ia akhirnya akan selurus ini. Dulu ia ogah seperti ini. Maksudnya berpenampilan memakai gamis, berkaos kaki, bahkan mengenakan cadar kadang kalau ia pergi umrah atau berwisata ke beberapa negara Timur Tengah.
"Kiya?"
Itu suara Rangga. Zakiya baru saja menyalakan mesin mobil. Suara Rangga yang tersambung ke speaker mobil abangnya langsungt terdengar. Itu memang panggilan yang diterima secara otomatis. Meski terbatas hanya pada nomor-nomor tertentu.
"Ya, Mas? Ada kabar dari Shinta?"
"Masih mati." Rangga menghela nafas. Cowok itu juga baru saja berangkat. Sempat rusuh tadi dengan Humaira. Gadis itu hendak ke kampus, minta diantarkan. Tapi Rangga buru-buru. Lalu gadis itu malah merengek karena ada ayahnya. Memang akal-akalan Humaira biar diantar ayahnya sampai kampus dengan naik taksi online. Lucu? Begitu lah. Kadang gadis itu memang kekanakan. Coba pikir, mahasiswi mana yang masih merengek minta diantar ayahnya? Meski ayahnya senang-senang saja.
"Yaaah. Terus gimana dong, Mas?"
"Nanti Mas pikirkan. Kita coba ketemu sama senior Mas dulu deh. Mumpung beliau ada waktu. Kamu udah di mana sekarang?"
"Di jalan, Mas. Belum jauh dari rumah sih."
"Ya udah. Mas kirim alamatnya. Kamu langsung ke sana saja oke?"
Zakiya mengiyakan. Ia segera bergegas. Hampir satu jam kemudian, akhirnya tiba. Rangga sudah menunggunya di lobi. Mereka masih punya waktu setidaknya sepuluh menit. Ia tersenyum tipis begitu melihat Rangga yang sedang duduk.
"Mas!"
Rangga menoleh. Lelaki itu tampak mengirim pesan. Kemudian mengajak Zakiya naik ke lantai atas. Mereka hendak menemui salah satu senior Rangga di kampus dulu. Beliau adalah pimpinan redaksi The Minutes. Media nasional yang sudah terkenal dengan kejujurannya dalam segala pemberitaan. Yaa masih netral dan tidak ada campur tangan dari apapun. Keberpihakannya juga masih pada rakyat. Rangga merasa perlu bertemu. Karena ia yakin, lelaki ini pasti sudah memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengannya.
Begitu tiba di ruangannay, keduanya menyapa. Lelaki itu memang tampak sibuk meski masih sangat pagi. Ini bahkan belum jam delapan pagi.
"Ooh ini Mbak Zakiya yang inisialnya dibawa-bawa?"
Zakiya terkekeh. Memang hanya inisial yang digunakan dalam banyak pemberitaan. Tapi tetap saja banyak yang tahu kalau itu adalah dirinya. Karena salah satu media massa memberikan klue tentangnya. Mau marah juga percuma. Mereka tak akan perduli dengannya. Hanya urusan uang saja yang diperdulikan. Tamat sudah kalau begitu kan?
"Masa yang kayak begini, mau menjadi selingkuhan?"
Zakiya maupun Rangga tertawa. Lelaki itu menggelengkan kepala. Tak habis pikir juga dengan pemberitaan itu.
"Mereka itu gak pinter sama sekali kalo mau bikin skandal. Asal viral aja. Ya emang viral sih. Tapi kegoblokannya lebih viral lagi."
Ruangan itu kembali didominasi dengan tawa. Hal yang membuat lucu. Pemberitaan-pemberitaan itu memang tak ada pintar-pintarnya sama sekali.
"Kebetulan, saya memang mendapat bocoran banyak sekali. Cuma gak tahu kalau itu ternyata jurnalismu, Ga."
Rangga tersenyum tipis. Maklum lah, ia memang bukan media nasional. Rangga bahkan tak melabeli kantornya sebagai perusahaan melainkan organisasi nirlaba. Lantas dari mana ia mendapatkan uang? Rangga punya pekerjaan sampingan. Ia juga bisa menggambar rumah dan segala halnya. Dari online, bayarannya sudah sangat besar. Ia juga memiliki beberapa saham. Memang bukan yang kaya banget. Karena memang Rangga tidak berprinsip harus hidup kaya tapi cukup. Lihat saja rumahnya yang kecil. Rangga lebih suka yang sederhana.
"Apa saja informasinya, Mas?"
Lelaki itu menghela nafas. "Kamu tahu kan direksi The Asean Post?"
Rangga mengangguk-angguk. Tentu saja mengenalnya.
"Kabarnya, ia hendak dijodohkan dengan sepupu si konglomerat."
Aaaah. Rangga paham seketika.
"Ya kamu tahu lah. Kalo konglomerat menggelar perjodohan itu pasti ada tuker-tambahnya. Gak semua konglomerat lurus meski di antaranya setidaknya ada satu atau beberapa yang baik dan manusiawi."
"Mereka sedang menghalau pemberitaan terkait Nando muncul. Skandal yang dibawa Nando tentu akan mencoreng nama perusahaan. Dan lagi, kamu juga pasti sudah tahu kalau pejabat Pajak juga bekerja sama dengan mereka kan?"
Rangga mengangguk.
"Makanya kasus ini berusaha ditutup-tutupi termasuk dari KPK. KPK sudah mencium ini sejak lama. Namun penyelidikannya selalu dihalang-halangi pihak kepolisian. Ya tahu sendiri lah bagaimana kedua lembaga itu sedari dulu. Gak pernah akur."
Mereka paham. Bocoran informasi yang didapatkan memang cukup banyak. Zakiya mencatat setiap poin keganjilan yang disebutkan tadi. Setelah itu, ia dan Rangga bergerak menuju kantornya Shinta. Meski Zakkya tentunya tak ikut masuk. Hanya Rangga yang ke sana, khusus untuk bertanya keberadaan Shinta. Tapi apa katanya?
"Mbak Shinta lagi liburan, Mas. Cuti."
Tentu saja Rangga heran dengan jawaban itu. Kok bisa-bisanya gadis itu liburan disaat seperti ini? Zakiya jelas makin curiga dengan kabar yang ia dengar dari Rangga. Ia jadi semakin yakin kalau gadis itu ada sangkut pautnya. Ia tak tahu apakah Shinta ini jujur atau tidak dalam investigasi kemarin. Yang jelas, ini jelas aneh. Rangga juga heran. Seharusnya Shinta menghubunginya. Bahkan sebelum berita itu turun, ya harusnya memang menghubunginya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Gadis itu malah menghilang. Rangga menarik nafas dalam. Tak berani menduga-duga apa yang mungkin terjadi. Ia mengenal Shinta. Shinta tak mungkin berkhianat. Dan ini membuatnya justru semakin khawatir. Takutnya gadis itu menjadi tumbal dari kasus ini. Buktinya, yang meliput dan sering tampil di televisi akhir-akhir ini bukan lah Shinta.
@@@