Yang Katanya Pernah Suka

2569 Words
Zakiya jelas panik. s*****a laras panjang tadi terlihat jelas di depan matanya. Ia tak tahu kenapa bisa dikejar-kejar seperti ini. Padahal ini hanya lah ambulans. Ambulans adalah kendaraan kemanusiaan. Di mana letak kesalahannya? Tak ada. Mereka saja yang terlalu menaruh curiga. Gara-gara banyak pendemo yang lolos dengan ambulans, mereka jadi mengincar semua ambulans. Termasuk Zakiya yang jelas-jelas membawa pasien yang terluka parah di belakang. Suara tembakan berkali-kali menghantamnya. Zakiya tak bisa berpikir hal lain kecuali satu, tidak Tuhan selain Allah. Hanya lafaz itu yang terus berulang di dadanya. Dalam keadaan sekalut ini, siapa yang tak panik? Zakiya tidak mau mati begitu saja sebelum bermanfaat lebih untuk negeri ini. Banyak orang yang cerdas tapi ketika bergabung dengan penguasa, mereka lebih mengedepankan nafsu mereka. Banyak orang yang alim, tapu begitu menjabat, mereka menjual keilmuan mereka demi harta yang tak seberapa. Coba saja pikir, bukan kah ada banyak orang yang seperti itu? "Abang!" Akhirnya panggilannya tersambung. Sudah sejak tadi ia meneror Andra dengan teleponnya yang hanya perlu menekan tombol satu itu. Yeah, Andra adalah orang pertama yang akan selalu ia susahkan dalam hal-hal semacam ini. Mendengar suara riuhan ambulans dan suara tembakan jelas membuat Andra ikut panik. Meski Zakiya berkali-kali berhasil lolos. Namun sejujurnya, kaki Zakiya sudah lemas. "Di mana?" Duh! Zakiya mencoba melihat ke sekelilingnya tapi yang ia lihat hanya gedung-gedung tinggi. Ia bahkan tak tahu ini tepatnya di mana. Ia hanya ingat jalanan di mana ia mulai demo tadi. "Di Jalan Proklamasi. Kita dikejar kepolisian padahal ini mobil ambulans." Suara Andra tampak terdnegar cemas dari seberang sana. "Posisi Abang kejauhan. Ini di Pondok Indah. Coba telpon yang lain!" "Kiya udah gak bisa mikir. Abang tolong cari temen atau siapa kek yang bisa tolongin kita!" Usai mematikan telepon, Zakiya menghembus nafas. Ia mulai mengencangkan sabuk pengaman usai melirik ke arah kaca spion. Mobil kepolisian masih mengejarnya meski sempat tertinggal jauh karena tadi banyak terhalang pendemo yang berlarian. Oke, Kiya, hajar saja. Ia berusaha menguatkan diri. "Sorry, lo masih sadar? Ada kekuatan untuk pegangan? Kalo ada, pegang kuat-kuat," ia hanya bisa mengatakan itu sembari berdoa kuat-kuat. Kemudian kakinya dengan gemetar menekan pedal gas semakin dalam. Ia memang gila karena berani membawa ambulans sekencang ini. Tenang, untuk soal kecepatan bukan kah ambulans diperbolehkan untuk melakukannya? Karena sedang membawa pasien yang darurat? Untuk argumentasi itu akan Zakiya pikirkan lagi nanti. Sekarang adalah waktu untuk menyelamatkan diri dan orang yang ia bawa ini. POLISI BRENGSEEEEEK! Begitu teriaknya dalam hati sembari menekan pedal gas kuat-kuat. Kalau ia mati gara-gara ini, ia berjanji akan menuntut mereka nanti. @@@ "Pokoknya gue akan bales!" Ia sudah bertekad. Tapi tenang, ia tak akan membalas dengan cara yang sama buruknya dengan mereka. "Sabar mbak, saya obati dulu." Kiya menghela nafas. Ia terpaksa patuh. Haaah perjalanan rasanya panjang sekali hingga ia bisa tiba di sini. Ia bahkan tak berpikir apapun. Kepalanya berdarah karena tak sengaja dipukul polisi. Ya sepertinya juga bukan sengaja. Zakiya yakin, itu sengaja. Para polisi sekarnag buta. Mau perempuan atau laki-laki, semua dihajar. Ia di sana sebagai jurnalis saja hampir tewas. Bayangkan kejadian yang begitu mengerikan tadi. "Kok bisa sih, mbak, sampai dikejar-kejar begitu?" Mahasiswi yang sedang memasang perban di kepalanya bertanya. Haaah. Kalau ia ceritakan akan panjang. Yang jelas tadi, ia hanya ingin menyelamatkan pasien saja. Bayang kan, ambulan saja dikejar. Ia benar-benar tak habis pikir. "Saya rasa, mereka itu bukannya kurang akal tapi memang gak punya akal." Si mahasiswi itu terkekeh. Ya kurang lebih memang sama. Sekarang sedang darurat keadilan. Dan para mahasiswa hanya ingin memperjuangkan itu. "Tapi tadi bukannya, mereka seharusnya melihat kalau mbak memakai kartu nama?" Zakiya menunjukannya. Bahkan kartu namanya masih dikalungkan di leher. Mereka setidaknya pasti melihat atau mau mendengar ucapannya kalau ia hanya warga sipil biasa yang kebetulan berprofesi sebagai seorang jurnalis. "Tuli kali. Terlalu banyak makan duit." Si mahasiswi terbahak. Ia beranjak dari sofa lalu membilas air bekas darah itu ke wastafel. "Kamu tahu dari mana tempat ini?" Dari jakun alias jaket kuning yang dikenakan, ia tentu tahu gadis ini berasal dari kampus mana. Dan aah.....apa ia masih perlu bertanya. Ia baru ingat kalau salah satu sepupunya Farrel berkuliah di kampus kuning itu. Ini pasti arahan darinya. "Dari cawabem kami. Ya mantan ketua BEM kedokteran juga." "Kamu kedokteran juga?" "Ya kebetulan begitu, mbak. Makanya aku bertugas di sini. Aku kurang cocok berorasi." Zakiya tersenyum kecil. Tapi menurutnya di mana pun posisinya akan sama menyenangkannya. Mau berorasi atau menolong kemanusiaan melalui tangannya dan obat-obatan. "Rencana kalian matang sekali ya untuk setiap demo?" "Kami belajar dari demo-demo sebelumnya. Mbak pasti tahu semua rentetan kejadian, dari mahasiswa yang pernah tertembak mati, diberondong gas air mata, dipukul sampai mati, dan dimasukkan ke tahanan berhari-hari. Lalu belum lagi kekacauan di lapangan. Aparat yang seharusnya mengayomi malah kerap menahan jalan kami untuk menolong teman-teman yang sekarang agar dapat dibawa ke rumah sakit. Mereka menahan dengan alasan yang menurut saya terlalu kaku, hanya takut kami kabur. Padahal ada nyawa yang lebih penting dari itu. Dari situ saya berpikir, sebetulnya untuk apa mereka itu hidup? Apa sekedar menjalankan tugas atasan tanpa ingat bahwa tugas mereka yang sebenarnya adalah untuk masyarakat sipil? Bukan kah kita yang membayar gaji mereka?" Zakiya terkekeh. "Itu naskah orasi yang bagus." Si mahasiswi itu tertawa. Lalu ia mengulurkan tangan. Meski mungkin Zakiya bisa membaca namanya pada kartu namanya yang juga dikalungkan. Yeah, sebagai salah satu staf medis mahasiswa dikala darurat seperti ini. "Nuraini, mbak." "Namamu sama seperti jasamu hari ini." Ia terkekeh-kekeh. Tentu senang sekali bertemu dengan orang seperti Zakiya. Ia selalu mengagumi jurnalis. Kemudian Zakiya beranjak. Gadis itu pamit karena ingin memantau sesuatu. Namun belum juga benar-benar beranjak, abangnya muncul dari pintu. "Abang!" "Parah gak?" "Tadi ke dorong polisi. Kena tongkatnya." Diam-diam ia meringis karena lukanya masih sangat basah. "Kia harus ngecek yang lain, Abang." Ia hendak beranjak tapi Andra menjitak kepalanya dan dibalas dengan desisan miliknya. "Lo baru aja mau mati terus mau ngumpan diri lagi? Solidaritas itu bukan saling mengumpan nyawa. Tapi saling menjaga diri," omelnya. Zakiya hanya bisa mengerucutkan bibir. Ia sudah berhasil sampai di sini pun sudah bagus. Tadi tiba-tiba ada mobil hitam yang menghalangi laju mobil polisi di belakangnya. Kemudian tahu-tahu mendapat telepon dari Ferril, entah dari mana cowok itu mendapatkannya dan ia diarahkan untuk datang ke sini. Kejadian tadi memang super gila. Tapi jujur saja, Zakiya trauma. Rangga, kepala organisasinya, juga sempat datang tapi kini lelaki itu pergi lagi. Lelaki itu pasti sibuk. Lalu Zakiya juga baru teringat. Apa kabar adik lelaki itu? Bukan kah tadi juga ikut orasi? Para orator ulung selalu menjadi sasaran empuk para kepolisian. Selain wajahnya yang familiar. Mereka juga dianggap provokator. Padahal yang provokator itu adalah orang-orang yang kerjanya tidur di ruang sidang paripurna. Bukan mereka yang mencoba menyuarakan nurani rakyat. Iya kan? Ditambah lagi, mereka makan gaji buta dari uang rakyat. "Kiya! Lo punya rekaman?" Zakiya menganggukkan kepalanya. "Boleh salin ke sini?" Cowok itu mengulurkan Ipad miliknya. Lelaki ini Farrel. Seseorang yang pernah menganggapnya istimewa. Tapi sekarang tentu sudah tidak lagi. Walau hubungan mereka masih baik-baik saja. Ya sejak dulu juga begitu. Farrel juga bukan tipe orang yang akan membenci ornag lain begitu saja. Zakiya mengambil iPad-nya kemudian menyalin semua video rekaman yang sempat ia ambil selama berdemo tadi. Yeah sampai kejadian dikejar pihak kepolisian tadi. Sudah banyak kalimat yang mengelilingi kepalanya untuk ditulis. Akan ia maki pihak kepolisian melalui tulisannya pada berita esok hari. Lihat saja. "Ada masalah?" Abangnya bertanya. Zakiya juga hendak bertanya karena ia menangkap raut wajah Farrel yang tampak berbeda. Sepertinya memang terjadi sesuatu. "Biar kepolisian tidak bisa membangun alibi." Ahh. Zakiya mengangguk-angguk. "Sekalipun ada alibi, mereka selalu berkilah mengayomi padahal membunuh pelan-pelan." "Setidaknya mengumpulkan data. Mereka akan semakin keterlaluan. Apalagi kalau isu kudeta sengaja dihembuskan untuk menjadi alasan." Zakiya mendongak. "Lo tahu banyak?" "Siapapun bisa menganalisanya. Ini periode kedua di mana wajah asli kepemimpinannya sudah diperlihatkan." Ahh. Zakiya mengangguk-angguk. Benar juga. Tapi sebetulnya ada satu pertanyaan yang muncul di dalam benaknya, apa kepentingan Farrel di sini sebagai pengusaha? "Tapi masih banyak yang bersimpati dengan nurani." "Nurani tapi tidak terbuka pintunya. Jadi sulit membedakan mana yang benar dan tidak," ucapnya lalu menatap Zakiya. "Ada kemungkinan para pendemo akan dituduh membakar gedung pemerintahan dalam waktu dekat." "Itu terlalu jelas, Farrel. Setidaknya mereka harus memiliki alasan yang lebih masuk akal." "Mereka bisa membayar siapa saja untuk membakar disaat kondisi seperti ini. Pendemo dan bukan pendemo sulit dibedakan. Satu-satunya bukti yang bisa dikumpulkan adalah semua rekaman video. Dan untuk menghanguskan semuanya tidak perlu alasan yang masuk akal. Cukup alasan sedang diperbaiki dan orang-orang tidak akan mencari tahu." "Lo punya rekaman CCTV?" "Itu bisa diakses publik. Tapi beritahu tim lo untuk akses sekarang sebelum ditutup. Mereka pasti akan menghanguskan semua bukti yang ada." "Thanks, Farrel." Ia sangat berterima kasih. @@@ "Sialnya tadi gue gak sempat rekam atau pun. Lo gila apa? Gue dalam kondisi kayak gitu!" dumelnya. Indra terkekeh seraya meminta maaf di seberang sana. Ia bahkan lupa kalau Zakiya hampir mati. Zakiya baru saja melaporkan semua kejadian yang terjadi padanya. Mumpung ingatannya masih jelas. Tim Rangga di kantor pun langsung melacak keberadaan ambulans yng diangkutnya melalui rekaman CCTV publik. Agar ada bukti yang lebih komplit. Meski sebetulnya bukan hanya satu atau dua ambulans yang menjadi korban. Sementara Farrel sedang mengubah rencana. Ia sudah menduga kalau polisi akan mengincar semua ambulans setelah beberapa pendemo selamat dengan mobil itu. "Gerak terang-terangan!" titahnya sebagai pemimpin operasi keselamatan ini. Zakiya berdiri tak begitu jauh dari belakangnya. Ini gedung perusahaan sepertinya bukan milik keluarga Farrel. Apalagi keluarga besarnya. Bukannya Zakiya kepo tapi ia memang ahrus tahu segala aset yang dipunyai oleh keluarga konglomerat. Atau yang ini terlewat olehnya? Zakiya tahu banyak. Terlebih bagi mereka yang juga terlibat di dalam pemerintahan. Mungkin di dalam keluarga Farrel tak ada. Tapi Zakiya hapal kalau salah satu sepupu Farrel menikah dengan seorang anggota DPR. Kemungkinan a***e of power dari posisinya sebagai anggota DPR dan juga kaitannya dengan keluarga konglomerat, tak akan bisa mangkir. Karena fakta itu terlalu jelas. Zakiya hanya tak suka kalau ada orang yang memiliki banyak harta lantas dengan sewenang-wenangnya memanfaatkan hal itu untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Meskipun melihat apa yang ada di depannya, Zakiya akui kalau Farrel berbeda. Tidak seperti keturunan keluarga konglomerat lain. Ia bahkan bisa melihat teknologi yang mereka pakai berkali-kali lipat lebih canggih dibandingkan dengan ruangan sempit mereka di dalam organisasi. Zakiya berdeham, menyadarkannya. Omong-omong pertemuan ini mengingatkan Zakiya pada kejadian beberapa tahun lalu saat tak sengaja bertemu Farrel dalam sebuah acara. Zakiya waktu itu menatapnya dengan tatapan yang sangat curiga. Maksudnya, merasa aneh dengan Farrel yang terlihat agak hedon dalam dunia pergaulannya. Tapi mungkin ia salah atau aah? Entah lah. Zakiya tak percaya segala macam pemberitaan-pemberitaan media massa. Sekalipun ia lebih mengenal Farrel. Ia tahu benar karakter Farrel. Namun tak ada jaminan kalau seseorang tidak akan berubah bukan? "Ini digunakan dengan benar kan?" tanyanya. Farrel membalik badan. Ia sedang memantau pergerakan para sepupu dan juga timnya yang berada di luar sana. Ada banyak monitor terpasang. Tidak hanya itu, banyak komputer canggih yang belum oenrah Zakiya lihat. Rasanya seperti pernah melihatnya di dalam film. Tadi pintunya terbuka begitu saja. Meski mungkin tak banyak yang bisa naik ke lantai ini. Hanya Zakiya dan beberapa orang yang bisa dipercaya. Farrel tak menjawab pertanyaan bernada negatif itu. Baginya, setiap orang berhak menggunakan sudut pandangnya masing-masing. Kalau ingin menilai dengan kacamata positif ya silah kan. Mau sebaliknya juga tak masalah. Farrel merasa tak ada yang perlu dirisaukan hanya karena perbedaan pendapat. "Apa yang terjadi sama ambulans-ambulans itu?" "Lo jurnalis. Lo lebih dari tahu dibandingkan dengan gue," tutur Farrel diplomatis. Cowok itu menaruh minuman di atas meja. Pertanda kalau Farrel menyuruhnya duduk. Kalau memang ingin melihat bagaimana Farrel bekerja dengan timnya di sini, Farrel terbuka. Asal jangan diliput saja. Dan kenapa ia membiarkan Zakiya di sini? Karena ia percaya pada Zakiya. Hanya itu. Zakiya mengangguk-angguk. Ia tak menyangkal ucapan Farrel barusan. Memang benar apa yang dikatakannya. "Apa argumen lo soal polisi yang ngejar ambulans untuk membela diri di depan media massa?" "Kalau mereka cerdas, mereka akan bilang penyusup ada di sana." Zakiya mengangguk-angguk. Mungkin juga mereka akan mengatakan itu. "Tapi bukan kah mereka sendiri yang menyusupkan penyusup itu?" Farrel terkekeh kecil. Itu ucapan yang jitu sekali. Zakiya benar. "Sayangnya gue pengen dengar alasan bodoh mereka." "Misalnya?" "Yaa apa saja yang membuat mereka terlihat seperti orang yang d***u. Gue bukan mau menghina semua orang-orang di Kepolisian kayak gitu ya. Gue tahu gak semua. Mungkin hanya satu tapi dia sangat berkuasa, itu sangat sulit bagi yang di bawahnya untuk memberangusnya. Tapi kalo rame-rame berbuat kotor gimana? Itu menggelikan meski memang banyak kejadiannya. Dan tahu kenapa mereka sering berargumentasi bodoh?" "Karena uang haram?" Zakiya terkekeh. Farrel tepat sekali. "Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan. Amalannya tidak akan diterima. Tidak terkabulnya doa dan dengan perlahan akan mengikis keimanan seseorang. Hingga ia akan sulit menerima kebaikan." Farrel mengangguk-angguk. Menyetujui ucapannya. Ini lah ia sukai dari Zakiya. Apalagi keaktifan gadis itu di organisasi sekolah. Zakiya adalah orang yang tidak akan segan untuk protes kalau apa yang ia proteskan itu jelas salah dan merugikan banyak orang. "Jika ada orangtua yang memberi makan anak-anaknya dengan harta yang haram, maka makanannya itu akan masuk ke dalam darah mereka Lalu akan tumbuh berkembang menjadi tulang dan daging, serta akan memengaruhi kepribadian mereka. Bahkan Rasulullah juga telah mengingatkan bahwa setiap daging yang tumbuh dari memakan harta haram, maka ia lebih pantas untuk dijilati api neraka." "Gak salah memang kalau ada yang bilang orangtuanya maling maka akan ada kemungkinan anaknya juga sama. Karena mungkin pengaruh dari yang haram yang telah diberikan dari orangtua ke anak itu." Obrolan mereka malah menjadi panjang dan menyerempet ke mana-mana. Ini mengingatkan Zakiya pada zaman di mana ia masih sangat dekat dengan Farrel. Jujur saja, Farrel itu memang pendiam tapi ia adalah teman yang asyik kalau diajak berbicara. Farrel tak pernah memaksakan pendapatnya. Farrel juga menilai sesuatu dengan objektif. Yang lebih penting, Farrel tak merasa kalau dirinya benar. Mungkin ini juga yang membaut Zakiya selalu menganggap kalau ia dan Farrel itu memang lebih cocok berteman. Yaa teman dengan penuh diskusi. Karena berdiskusi dengan Farrel akan ada solusi. Begitu pula dengan permasalahan ini. Andra entah ke mana. Katanya pamit sebentar lalu bersamanya akan pulang. Jujur saja, Zakiya juga sudah lelah. Rangga juga sudah menyuruhnya untuk beristirahat saja. Apalagi bayangan tadi kan masih belum hilang. Zakiya masih gemetar kalau ingat hal itu. Bisa-bisanya orang yang bertugas mengayomi malah mengejarnya seperti penjahat. Kenapa tidak para koruptor saja yang dikejar seperti itu? Apa karena Zakiya rakyat kecil? "Nanti jangan lupa konferensi pers, Kiya," ingatnya. Ia hanya was-was dengan pemberitaan yang akan muncul. Mereka juga masih menduga-duga. Meski beberapa video ambulans lain yang dikejar aparat sudah viral di media sosial. Pertama, memang banyak tertangkap kamera masyarakat. Kedua, Farrel juga sudah mengirim tim untuk dengan sengaja merekamnya dan menyebarkannya dengan cepat. "Yaa tergantung situasi dan kondisi," tuturnya lantas pamit pada Farrel. Lelaki itu hanya mengangguk dan kembali fokus lagi pada pekerjaannya. Zakiya berjalan menuju lift, keningnya mengerut melihat kemunculan salah satu sepupu Farrel. Wajahnya tak asing. Tapi membawa almamater kuning. Hanya saja, ia tak tahu namanya. Jadi lewat begitu saja. Toh tujuannya adalah Andra yang katanya sudah menunggu di lantai bawah. "Iya, Mas?" Ia mengangkat telepon dari Rangga. Kaget juga karena ponselnya gemetar. "Gimana keadaanmu?" Zakiya terkekeh. "Ya ampun, Mas. Masih sempat-sempatnya nanyain Kiya." "Ya kan tadi khawatir. Kamu abis dikejar polisi gitu. Udah balik kan?" "Ini baru mau balik kok." "Kok baru balik?" Zakiya terkekeh. "Ini balik kok, Mas. Udah yaa? Kiya mau istirahat dulu." Rangga mengiyakan. "Banyak istirahat, Kiya," pesannya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD