Dibalik Swastika Eka Graha

2893 Words
"Apa rencana lo?" tanya Lona. "Gue butuh informasi lebih banyak. Lo gak minat buat ngembangin ini? Meski gak bisa ngebidik, kita bisa buat isu ini jadi lebih besar." Lona masih berpikir. Permasalahan Swastika Eka Graha tentu saja belum ditutup. Ia juga sedang bekerja sama dengan beberapa organisasi lingkungan untuk menaikan berita ini. Meski mungkin tak seviral kasus-kasus lain. Urusan lingkungan memang kerap dikesampingkan. Bahkan meskipun menjadi salah satu tanggung jawab perusahaan. Walau dijadikan salah satu syarat untuk membuka usaha, kenyataannya pada penerapannya tak ada yang bersungguh-sungguh. Alasan utamanya tentu saja biaya. Karena untuk melakukan pengelolaan lingkungan pasti sedikit-banyak memakan biaya sementara mereka akan berdalih sama sekali tak ada keuntungan yang didapat dari pengelolaan itu. Padahal itu pikiran jalur pendek milik mereka. Kalau lingkungan terjaga, siapa yang akan menikmati? Mereka saat tua hingga cicit-cicit mereka. "Boleh. Terus rencana lo?" "Gue mau ketemu Echa. Dia ada waktu katanya. Jadi, bisa lo kirim informasi yang udah lo rangkum?" Lona mengangkat jempolnya. Dengan cepat, ia meringkas semua bacaannya dan data yang sudah didapat kemudian dikirim secara cepat pada Zakiya. Zakiya baru membacanya saat sudah duduk di dalam taksi. Ia membaca informasi itu secara seksama. Ada banyak hal yang ia beri tanda merah. Itu adalah hal-hal yang penting dan sangat krusial. Permainan data lingkungan, pengukuran yang dilakukan tidak sesuai standar sehingga dipertanyakan kevaliditas hasil di dalam laporan. Selain itu, dampak dari air limbah yang dibuang secara sengaja ke dalam sungai sudah sampai mencemari persawahan rumah warga sekitar. Karena air sungai digunakan untuk mengairi padi. Zakiya merinci poin-poin itu untuk ia tanyakan pada Echa setelahnya. Satu jam perjalanan, Zakiya tiba di kampus. Kampus ternama di Kota Depok. Ia sudah sering sebetulnya datang ke sini. Hahaha. Iya lah. Kampus ini menjadi kampusnya untuk menempuh magisternya. Sayangnya sudah lama terbengkalai. Ia sedang memompa semangat untuk memulai proposal penelitian tesisnya yang sudah lama terbengkalai karena berbagai kesibukan. Ia berjalan menuju salah satu area yang ada di depan danau Kenanga, sekitar perpustakaan kampus UI. Tidak ada yang berubah sebetulnya. Hanya Zakiya merasa asing karena sudah lama tak datang ke sini. "Echa?" Echa mendongak. Perempuan itu sudah lama menunggunya. Wajahnya tampak sendu. Zakiya bisa merasakan bagaimana sedihnya kehilangan pekerjaan meski hanya melihat dari matanya. "Masih ingat gue?" Echa mengangguk. Berkat Zakiya, ia mau bersuara. "Eung, kata Revan, terakhir lo bareng temen lo. Temen lo?" "Di rumah sakit," tuturnya. Zakiya mengangguk-angguk. Enggan bertanya lagi. Takutnya malah menambah kesedihan. Ia berdeham lantas mengeluarkan beberapa kartu dari dompetnya. "Gue gak tahu sih. Entah elo tertarik atau enggak," tuturnya. Ia memberikan beberapa kartu organisasi non profit yang sekiranya bisa mempekerjakan Echa. "Mungkin di bawah kebutuhan. Tapi beberapa darinya bonafit. Dicoba aja kalau tertarik. Mereka lagi butuh beberapa staf untuk inspeksi kasus-kasus terkait lingkungan. Terutama yang organisasi hukum itu, mereka butuh banget orang yang paham lingkungan." Echa mengangguk pelan. Sangat berterima kasih dengan cara Zakiya menyampaikan rasa empati kepadanya. "Ada apa mau ketemu?" Zakiya berdeham. "Jadi gini. Kami memutuskan untuk menelisik lebih dalam. Lona juga sedang mencari beberapa organisasi lingkungan uang sekiranya mau bekerja sama untuk menyelediki kasus ini. Kami butuh informasi banyak dari lo. Sebagai orang yang lama kerja di sana, lo pasti tahu kan gimana pola kerja mereka?" Echa mengangguk. "Gue rekam ya?" Ia hanya mengangguk lagi. "Tawaran biasanya datang dari berbagai proses. Ada klien yang langsung menghubungi. Tapi khusus perusahaan-perusahaan plat merah atau yang milik pemerintahan biasanya diadakan tender. Namun curangnya, mungkin tidak hanya perusahaan konsultan kami yang melakukan, biasanya perusahaan kami membuat dua perusahaan fiktif." Zakiya bisa langsung menangkapnya. "Jadi perusahaan atas nama Swastika Eka Graha lalu dua perusahaan fiktif itu diikutkan juga dalam tender." Echa mengangguk. "Ya otomatis sudah menang karena sebetulnya kan itu hanya satu perusahaan. Itu terjadi berkali-kali. Mau di perusahaan BUMN atau yang biasa, jika ada tender ya sistemnya sama." "Lalu mereka dapat berapa?" "Tergantung. Terakhir yang gue tahu, total p********n 300 juta rupiah. Lalu 80 juta ditransfer kembali ke karyawan di sana. Itu sudah seperti hal yang biasa karena kejadiannya selalu berulang." "Itu tender untuk apa sebetulnya?" "Jadi begini, di dalam lingkungan itu ada banyak sekali pengukuran-pengukuran yang wajib dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari tanggung jawab mereka. Tidak hanya persoalan kepatuhan terhadap UU tapi juga etika. Ada pengukuran kualitas udara, biasanya kita mengukur dengan parameter-parameter tertentu di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Nah, yang 300 juta itu hanya untuk pengukuran di dalam ruangan. Tapi tergantung jumlah lokasi yang akan diukur. Biayanya bisa sebesar itu karena jumlah lokasi yang diukur juga ada banyak." Zakiya mengangguk-angguk paham. "Berarti dibayar dulu baru ditransfer ke rekening mereka?" Echa mengangguk. "Pasti rekening pribadi. Dari dulu modus perusahaan-perusahaan pemerintah yang bekerja sama dengan kami ya begitu. Yang swasta juga sama." Zakiya berpikir lamat. "Tapi kasus korupsi semacam ini sangat jarang terekspos kan?" "Karena sulit membuktikannya. Dari sistem p********n, mereka aman. Kecuali rekening bis saya yang disidak. Bahkan bukan cuma hal semacam ini. Untuk reakreditasi pengujian kualitas udara ruangan dalam hal ini ruang kerja itu kan harus mendapat sertifikat dan pengakuan dari kementerian tenaga kerja. Untuk mendapat sertifikat itu juga tidak dengan tangan kosong." "Mereka meminta bayaran juga?" Echa mengangguk. "Dibayar secara tunai. Gue sendiri yang mengantarkan," tuturnya yang membuat Zakiya meneguk ludah. Pantas saja ia bisa melihat beban berat yang ditanggung Echa. Meski gadis itu tak berbicara sedikit pun tentang hal itu. "Lalu terkait data-data yang dimanipulasi?" "Tim sampling atau tim yang biasanya dikirim ke lapangan untuk melakukan pengukuran itu tidak semuanya profesional. Mungkin lab-lab besar dan sudah punya nama memang memiliki tim dan alat yang profesional. Tapi kami tidak. Tim kami terdiri dari segerombolan anak-anak SMK. Yaa mereka memang punya skill kerja karena lulusan SMK tapi sebetulnya tidak layak melakukan pengukuran. Karena pertama, tidak semua memiliki sertifikasi keahlian. Untuk melakukan pengukuran kualitas udara, air maupun lainnya perlu sertifikasi pelatihan untuk melakukan pengukuran itu sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Sayangnya tim kami tidak banyak yang memiliki sertifikasi. Bos memang pelit untuk urusan pelatihan karena biayanya juga mahal tapi menurut gue alasannya bukan itu. Karena di dalam mendirikan perusahaan pasti ada hal karyawan juga dan sebetulnya perusahaan yang justru butuh akan hal itu. Karena dari beberapa perusahaan yang manajemennya sangat ketat, mereka bisa meminta sertifikat tim sampling kami. Namun kejadian di lapangan, mereka hanya sekedar meminta, tidak ada yang benar-benar mengecek apakah sertifikat dan orangnya itu sama. Karena bos kami selalu meminjam sertifikat orang lain dan yang turun ke lapangan tetap tim sampling kami yang tidak punya sertifikasi itu." Zakiya makin ternganga. "Jadi bagaimana mau percaya akan hasil atau data-data di dalam laporan lingkungan suatu perusahaan kalau orang yang melakukan pengukurannya saja tidak punya keahlian itu. Mereka juga sering sekali bekerja asal-asalan. Apalagi kalau tidak diawasi oleh pihak klien. Kadang alat yang dibawa juga dalam keadaan mati. Dan beberapa wadah yang seharusnya diganti malah tidak diganti. Jadi digunakan terus sampai akhir. Sehingga yaaa tidak ada bahan yang bisa dibawa ke laboratorium untuk diukur atau dianalisa. Apanya yang mau dianalisa kalau begitu? Lalu tiba-tiba ada hasilnya di dalam laporan." "Itu bagaimana lagi ceritanya?" Echa menghela nafas. Sebetulnya malu karena ia sudah lama berada di sana dan malah ikut membungkam kebenaran. Gejolak batin susah keluar dari pekerjaan kotor karena masih butuh uangnya sungguh membunuh. Sampai lama-lama ia stres juga. Terakhir, karena tak kuat lagi dengan perlakuan bosnya, ia keluar. "Ya sama seperti ketika kita mengerjakan sesuatu secara asal. Tak ada datanya, tahu-tahu ada angka. Misalkan, kita hendak membaut laporan praktik lapangan saat di kampus. Kita tidak melakukan praktik lapangan itu, jadi apa yang mau ditulis di dalam laporan? Bahkan ada orang di kantor yang seolah sangat paham akan data-data lingkungan dengan cara mengira-ngira angkanya. Ya intinya mengira secara asal berdasarkan pengalaman dan blablabla. Padahal kejadian di lapangan tidak seperti itu. Hasilnya juga selalu di bawah standar kecuali untuk beberapa perusahaan yang ketat, hasil real mungkin diberikan. Kemudian dikirim lah laporan itu ke klien. Terkadang, klien ada yang protes kalau nilainya terlalu tinggi atau melewati standar yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Lalu diturunkan begitu saja angkanya dan dikirim lagi dengan berbagai alasan dari bos. Padahal kalau saya yang jadi klien itu, saya pertanyakan dengan benar hasil itu. Namun sayangnya, karena sebagian besar dari mereka ikut menikmati uang kotor itu yaaa sudah tertutup semua isi kepalanya dan juga nuraninya." Zakiya mengangguk-angguk. "Gue tertarik untuk yang BUMN itu. Boleh disebut yang mana? Karena kan ada banyak." "Hampir semua. Kalo gue sebut salah satu bidang yang krusial, lo pasti langsung tahu. Karena permainannya di sini monopoli. Semua kendaraan butuh itu," ujarnya sambil menahan senyum. Zakiya langsung tertawa. Tentu saja paham dengan kode itu. "Lalu untuk yang di Bandung itu. Perusahaan tekstil yang bermasalah. Lo tahu apa hubungan bos lo itu dengan salah satu komisarisnya?" "Kawan lama. Sama-sama alumni kampus yang sama." Aaaah. Zakiya mengangguk-angguk. Biasanya memang hubungan semacam itu di antara pelaku korupsi sudah biasa. "Sebetulnya sangat gampang melacak korupsi semacam ini. Tinggal diserahkan kepada yang melacak, punya nyali atau tidak?" Zakiya terkekeh. "Nyali punya. Gue yakin orang-orang di KPK atau institusi lain masih banyak yang berintegritas. Sayangnya karena posisi mereka dibawah, banyak ditindas. Sudah banyak kasus pegawai KPK yang cacat dan meninggal karena kecelakaan. Terduga pelakunya pasti ada hubungannya dengan orang yang sedang bermasalah dengan apa yang mereka kerjakan. Sayangnya, tak bisa diadili. Mereka senang di atas angin. Tapi gak apa, gue percaya, untuk orang-orang kayak gitu, pasti ada balasannya. Allah kan gak tidur." Echa tersenyum tipis mendengarnya. Ini sedikit menghiburnya. Meski sudah resmi menjadi pengangguran. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan diri dari pekerjaan laknat itu untuk lebih dekat dengan Tuhan. @@@ "Capek?" Zakiya nyengir. Ini sudah sore tapi bukannya pulang, ia malah memilih kembali ke kantornya Rangga. Tentu saja sudah gemas untuk mengeluarkan rekaman pembicaraan yang sangat panjang dengan Echa tadi. Maka sembari minum, ia biarkan Rangga mendengar apa yang ia dapat hari ini. Rangga mengangguk-angguk. Ia langsung menyalinnya. "Gimana menurutmu, Mas?" "Serahin aja ke Lona. Dia pasti gerak cepat." Zakiya mengangguk-angguk. "Kiya sebetulnya penasaran sih, Mas. Yaa mungkin gak bisa diadili sekarang untuk kasus-kasus semacam ini. Tapi korupsi seperti ini kan harus diberantas. Apalagi tadi Echa juga bilang kalau p********n 300 juta itu untuk sekali pengukuran. Dalam setahun biasanya bisa dua kali pengukuran karena wajibnya per semester atau enam bulan. Yaa kalau sudah terjadi selama bertahun-tahun itu kan bisa dihitung. Berapa uang yang seharusnya bisa digunakan secara baik tapi malah mereka konsumsi untuk memperkaya diri. Lalu setelah Kiya cek-cek juga, gak ada standar harga untuk pengukuran semacam ini yang diatur oleh pemerintahan. Jadi yaa permainan harga tinggi menjadi wajar padahal tidak wajar sama sekali. Apalagi Echa juga menjelaskan alat-alat yang mereka pakek itu hanya lah alat-alat portable dari China yang harganya bahkan hanya beberapa ratus ribu. Bisa digunakan berulang-ulang tapi harga yang ditaruh justru puluhan kali lipat dari harga alatnya sendiri. Apa tidak gila?" Rangga terkekeh. Ia tahu kalau Zakiya emosi. "Minum lagi," titahnya. Dengan itu bisa menurunkan emosi. Zakiya menghela nafas usai menghabiskan satu botol minuman. "Mas gak pulang?" "Lah? Kamu sendiri gak pulang?" Zakiya nyengir. "Karena Mas masih di sini makanya Kiya nyamperin. Cuma mau ngasih ini doang sih. Saking gemasnya. Mau cerita juga soal yang tadi." Rangga mengangguk-angguk. Ia sangat berterima kasih dengan dedikasi Zakiya untuk organisasi ini. "Lalu soal semalam bagaimana?" "Nah itu. Emailnya sudah dicek sama tim IT." Rangga mengangguk. Ia memperlihatkan rincian pengirim email. "Salah satu mantan pegawainya sendiri." Itu sangat menarik. "Jadi?" "Mungkin kita iyakan saja untuk berangkat ke Singapore. Kamu gimana? Bisa?" Zakiya mengangguk. "Nanti sama siapa?" "Mas saja." Zakiya mengangguk lagi. "Gak ajak Maira? Pasti ngamuk tuh." Rangga tertawa. Sementara Zakiya teringat sesuatu. "Maira kenapa sih?" "Hah?" "Eung gini ya, Mas. Maira tuh kemarin minta tolong Kiya buat nyari kerjaan." "Kerjaan?" Zakiya mengangguk-angguk. "Katanya gak mau ngerepotin Mas gitu. Emangnya kenapa sih?" Ia penasaran. Rangga sehebat ini tak mungkin merasa keberatan untuk menghidupinya. Lagi pula, setahunya ayah Rangga itu pengusaha sukses di Jogja. "Aaah," Rangga mengangguk-angguk. "Dia kayaknya ikut khawatir. Pasti denger omongan Mas ditelepon sama Ayah." "Terjadi sesuatu?" Rangga mengangguk pelan. "Namanya pengusaha kan ada naik-turunnya. Maira itu selalu takut hal-hal semacam itu. Mungkin kalo kamu lihat dia jadi orator, gak ada takutnya menghadapi para pemerintah di depan sana. Mau diseret ke penjara juga gak masalah. Tapi kalo hubungannya sama keluarga, dia takut sekali." "Apa karena..." Rangga mengangguk kecil. Zakiya memang tahu banyak tentang kehidupan keluarganya. "Tapi dia anak yang kuat, Mas." Rangga tersenyum kecil. "Kamu bantu saja kalau begitu." "Seriusan?" Zakiya tak percaya. Rangga justru tertawa. "Aku mau lihat dia semakin mandiri." Zakiya mengulum senyum lantas mengangguk-angguk. "Oke, tapi jangan suruh dia berhenti nanti kalo udah memulai sesuatu." Rangga tertawa lagi. Di sini sisi plin-plan Rangga yang sering diuji jika urusannya dengan Humaira. Adiknya yang paling disayang. Selesai urusan dengan Rangga, Zakiya bergerak menuju rumah. Ia perlu istirahat. Akhir-akhir ini jadwalnya sangat padat sehingga tesisnya semakin terbengkalai saja. Padahal teman-teman seangkatannya sudah wisuda. Untuk mengumpulkan niat demi menyelesaikan proposal tesisnya saja perlu semangat. Ia menarik nafas panjang. "Kapan kuliahmu selesai?" Papanya sudah menyapa dengan pertanyaan itu saat ia baru turun dari tangga. Zakiya tak punya jawaban. Ia belum menemui dosennya sama sekali. Sudah lama pula tak menghubungi. Pasti nanti ia dimarahi. "Nanti deh, Pa." "Apa yang sudah kamu mulai itu harus segera diselesaikan, Kiya. Jangan cuma kejar yang lain. Kuliah juga harus diprioritaskan." "Kiya tahuuu ihh!" Papanya terkekeh. Gadis itu menarik kursi makan dan ikut duduk. "Abangmu bilang kalau kamu deket sama Rangga-Rangga itu?" "Ya kan atasanku di kantor. Masa gak deket?" "Sampe ngurusin adiknya segala di rumah sakit." Zakiya tertawa. Ia lupa kalau kakak sablengnya itu sangat ember. Ke mana pula tuh orang? Ia melirik ke lantai atas tapi tak terlihat batang hidungnya. Pasti kelayapan. Ia geleng-geleng kepala. Padahal ia juga tak berbeda jauh. Hanya saja, Andra hobi nongkrong sementara ia sibuk hilir-mudik rapat. "Ya kan nolong, Ma." "Ajak lah ke sini," tutur Papanya. Zakiya hanya bisa tertawa mendengarnya. "Emangnya gak tertarik?" Zakiya terkekeh. "Kan atasan ya Allah." Kedua orangtuanya tertawa. Mereka memang raja dan ratu kepo. "Adiknya cantik katanya Abangmu." Zakiya tertawa. "Abang kali yang tertarik." Papanya terkekeh. "Kalau anaknya mau, kamu gimana nanti sama Masnya itu?" "Iih! Apaan sih!" kesalnya. Kedua orangtuanya hanya tertawa. Mereka makan malam bertiga saja kali ini. Usai mengobrol sebentar usai makan, Zakiya kembali ke kamar. Niat hati mau memulai proposal tesisnya lagi. Semoga tak teralihkan seperti kemarin-kemarin. Ia malah mengurus urusan lain. Begitu membuka email untuk menyapa dosen pembimbingnya...malah masuk pesan dari kampus. Ada juga dari dosen pembimbingnya. Ia memang belum mengecek isi email seharian ini. Begitu pesan itu masuk, ia menghela nafas. Baik dari pihak kampus maupun dosen pembimbingnya sama isi pesannya. Ia diperingatkan untuk segera menyelesaikan penelitiannya menilik masa studinya yang sudah berjalan 2,5 tahun. Batas waktu hanya tinggal satu semester lagi. Ia segera membalas pesan dosen pembimbingnya, mengajukan jadwal untuk bimbingan. Kemudian berpikir lagi tentang proposal tesis yang tertunda dan melongo di depan layar. Tak lama ia tertawa sendiri. Saking sudah lamanya tak menyentuh file ini, ia sampai lupa harus memulai dari mana. Pikirannya mentok sekali. Bingung. Apa harus mengganti topik penelitian atau melanjutkan yang sudah ada? @@@ Belum ada balasan dari dosennya hingga hari ini. Sementara ia sudah kembali sibuk rutinitas. Seperti biasa, usai bekerja dari gedung DPR dengan memata-matai, ia kabur ke kantornya Rangga. Masih berdiskusi soal penggelapan pajak yang dilakukan oleh salah satu BUMN yang bergerak di bidang pertanian. Yang melapor adalah salah satu mantan staf yang mengurusi perpajakan. Orang itu mengirimi Zakiya email. Awalnya Zakiya yak percaya. Lalu meminta Rangga dan tim lain untuk mengecek kebenarannya dan ternyata memang benar. Ia heran saja kenapa orang itu tiba-tiba menghubunginya. Zakiya tak tahu kalau namanya sedang melambung di media sosial karena kasus konferensi pers itu. "Kiya!" Ia menoleh. Ia sedang asyik berdiskusi dengan teman-temannya di meja bundar. Indra muncul di ambang pintu. "Ada cowok nyariin lo. Itu loooh...." "Itu apa?" tanyanya sambil beranjak dari kursi. "Yang kasus hamilin si Puteri Indonesia itu." Hah? Ia jelas bingung. Farrel? Ia segera turun ke lantai satu dan justru bukan mendapati Farrel tapi Ferril. "Ngobrol bentar dong," pintanya. "Ngobrol apaan? Ada urusan penting?" Ia mengangguk. "Tapi jangan di sini." Zakiya mengiyakan. "Tunggu bentar," tuturnya. Ia sudah terbiasa bertemu Ferril. Terkadang ada beberapa urusan dengan pejabat atas dan tahu-tahu lelaki ini memberikan banyak informasi yang tentu saja sangat membantu. Zakiya kembali ke lantai atas. Ia menyudahi rapat kecil-kecilan mereka. Kemudian pamit dan membawa tas dan barang-barang pentingnya. Lalu menghampiri mobil Ferril yang tentu saja mengundang banyak perhatian. Mobil mahal tapi parkir di depan sebuah gedung organisasi yang bergerak dalam bidang pemberitaan dan terlihat sangat sederhana. Aneh kan? Makanya mengundang banyak perhatian. "Ada urusan apa?" Ferril berdeham. Ia mencari jalan menghindari CCTV. "Lo abis ketemu Echa kan?" "Lo kenal juga?" Ferril mengiyakan. "Apa yang kalian obrolin?" "Kenapa mau tahu?" "Gue ada urusan penting sama dia." Kening Zakiya mengerut. Urusan apa? Hahaha. Zakiya tak tahu. Ferril punya urusan asmara yang penting dengan gadis itu. Tapi gadis itu menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Baru kali ini Ferril kehilangan jejak dan ia mulai khawatir. Ia tahu kalau Echa sedang frustasi. Takutnya kan bunuh diri. Mana Nabila juga tak tahu. Gadis itu juga sepertinya tak sadar kalau sahabatnya menghilang. "Sepenting apa?" "Ada lah. Kasih tahu aja, kalian ngobrolin apa?" Zakkya berdeham. Ia mana bisa membeberkan rahasia responden? "Lo tahu kan kode etik jurnalis?" Ferril hanya bisa menghela nafas. Maka terpaksa ia jujur akan maksudnya bertanya mengenai hal ini dan itu malah membuat Zakiya tak bisa berhenti tertawa. Ia pikir, Ferril mungkin membawa berita buruk persoalan ia bertemu Echa. Tapi ternyata....astagaaa! "Buaya bisa tobat juga," pikirnya begitu melihat mobil Ferril sudah bergerak menjauhi kantor Mas Rangga. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD