"Kiya! Lo punya temen atau kenalan yang paham hukum lingkungan?"
Zakiya yang sedang sibuk dengan tulisannya pun menoleh. Jemarinya terus menari di atas keyboard meski kepalanya resmi berpaling dari layar.
"Kenapa?"
"Gue perlu mengkaji sesuatu sebelum menulis di berita. Seperti biasa," tukasnya.
Zakiya mengangguk. Ia mengambil ponselnya kemudian mengirimi nomor kontak yang ia punya.
"Ada kasus baru?"
"Ho-oh. Kemarin ada peneliti dari Kanada yang menganalisa air sungai Citarum. Ternyata air sungainya mengandung banyak zat-zat kimia berbahaya. Ada logam berat juga yang sudah melebihi baku mutu yang diperbolehkan. Dari penelusuran mereka, air sungai tercemar dari keberadaan pabrik-pabrik tekstil yang membuang air sisa produksi ke sungai itu. Dari tekstur warna, terlihat sangat pekat. Nih coba lo lihat sendiri gambarnya," tuturnya lantas membiarkan Zakiya mendekati mejanya dan kedua orang itu mengamati semua gambar-gambar yang berserakan di atas meja. "Air di sekitar lokasi pembuangan juga masih berbusa pekat. Dan ada kejadian ganjil dari pihak perusahaan saat si peneliti melakukan wawancara di sana. Seperti ada yang ditutup-tutupi. Gue tertarik untuk angkat berita ini."
"Apa yang membuat lo tertarik?"
"Lihat nama wakil direkturnya," tuturnya sembari menunjuk gambar profil website perusahaan dari salah satu pabrik tekstil itu.
"Wakil Menteri BUMN?"
Lona menjentikan jarinya. "Tidak hanya satu perusahaan ini. Dari list perusahaan yang dianggap menjadi sumber pencemaran ini rata-rata petingginya memiliki posisi penting di pemerintahan."
"Bukan hal umum."
"Kalau kita angkat ini ke ranah publik, meski tidak berpengaruh banyak kan minimal agak membuat kotor nama mereka. Mereka sudah bikin sumber mata air rakyat jadi kotor, apa salahnya kita berbuat hal yang sama?"
"Gue setuju. Kang Syamsul gimana?"
Ia mengangkat jempolnya. "Rencananya ini akan diangkat saat isu reshuffle diluncurkan."
"Akan ada reshuffle lagi?" tanyanya. Sepertinya ia banyak ketinggalan berita akhir-akhir ini.
"Mungkin. Mengingat beberapa menteri baru ditangkap dengan kasus korupsi. Kemungkinan besar akan diganti."
Zakiya mengangguk-angguk. Ia belum sempat meneliti itu karena sibuk mengurusi beberapa kasus HAM yang terbengkalai.
"Eh iya, tadi udah lo kirim kontaknya?"
"Iya. Coba cek. Namanya Echa. Gue gak sengaja kenalan sama dia dan ketemu dalam suatu kasus. Dia kerja di perusahaan konsultan yang sepertinya bermain kotor dalam memainkan data-data lingkungan perusahaan."
"Apa nama konsultannya?"
"Swastika Eka Graha."
Kening Lona mengerut kemudian terburu-buru mencari kertas yang tadi sepertinya masih di atas meja. Zakiya menyimak kelakuannya dari kursi. Sepertinya ada yang baru lagi atau ada yang terlewat?
"Mantap! Ini yang bikin dokumen lingkungan beberapa pabrik tekstil juga konsultan ini, Kiya. Dan waw! Mereka juga punya laboratorium dan hasilnya berbeda jauh dari data yang gue dapat dari si peneliti asing itu!"
Zakiya langsung berlari mendekat. Ia melihat dua lembar kertas yang dipegang Lona dan memeriksanya berkali-kali. Penglihatannya tidak salah.
"Lo yakin dia mau buka suara? Sebagai karyawan di sana, apa dia masih bisa kerja di sana?"
Zakiya menghela nafas. "Dia sempat cerita ke gue sedikit. Cuma karena gue lupa, gue gak ngehubungin dia lagi. Kelihatannya bisa dipercaya dan dia bisa saja bongkar semuanya kalo dia punya nyali."
Lona menghembus nafas keras. "Menyuarakan kebenaran memang tidak mudah."
Kata-kata itu sudah biasa didengar Zakiya. Bahkan semua orang yang bekerja di lembaga ini sangat berintegritas dan tidak dapat disogok. Mereka bukan media massa yang dibayar oleh pemerintah atau pun instansi lain untuk membuat berita-berita pencitraan. Mereka bekerja di sini dengan nurani dan murni untuk menyuarakan kebenaran. Bahkan yang mendirikan lembaga ini sendiri adalah mantan ketua KPK yang pernah dijebak dalam suatu peristiwa pembunuhan yang membuatnya harus mendekam di dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan orang lain.
@@@
"Kita validasi lagi datanya, Lona. Coba ambil air di sana, sesuai dengan titik-titik lokasi si peneliti itu mengambil. Terus kita bawa ke dua laboratorium. Yang paling bisa dipercaya ya laboratorium kampus," titah Kang Syamsul sebagai kepala redaksi. Lona mengangkat jempolnya.
"Revan, kejar data-data kementerian terkait luas HGU beberapa pejabat pemerintah. Terutama yang berurusan dengan lahan milik beberapa petani itu. Validasi juga ke kantor daerah setempat," lanjutnya lagi. Revan juga mengiyakan perintahnya. Lelaki ini memberikan beberapa perintah lain pada rekan kerjanya. Terakhir, matanya tertuju pada Zakiya yang berdiri sembari memeluk buku catatannya. "Kiya, ada perkembangan?"
Zakiya menghela nafas. "Dari bocoran, dalam waktu dekat mereka akan mengesahkan undang-undang itu. Tapi...."
"Tapi?"
"Ya Kang Syamsul tahu lah bagaimana kinerja DPR sekarang. Mereka hobi mengesahkan sesuatu di tengah malam. Masa Kiya harus berjaga-jaga di sana setiap waktu?"
Kang Syamsul terkekeh begitu pula dengan beberapa orang di sana. "Coba eksekusi lagi, Ndra," ia memberi perintah pada Indra yang sedang menguap. Cowok itu langsung memberi hormat meski mengundang tawa. "Oke. Sepertinya saya harus menyudahi ini. Indra sudah memberi kode soalnya," sindirnya yang lagi-lagi membuat tawa. Tak lama rapat penutup itu pun disudahi. Mengingat ini memang sudah jam sepuluh malam dan bukan saatnya lagi untuk melanjutkan rapat. Rapat-rapat yang digelar dijam-jam seperti ini sangat wajar bagi Zakiya. Bekerja sebagai jurnalis tak mengenal waktu. Kadang ia juga perlu mengejar beberapa berita yang harus turun esok pagi. Mereka memang hanya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang media massa. Meski kecil, tapi yang menyenangkan bagi Zakiya adalah mereka menggunakan nurani dan tidak menjual harga diri. Ia sangat bangga akan hal itu.
"Zaki! Mau naik kagak lo?" tawar Revan. Dia adalah sahabat lelaki terdekatnya yang selalu menempelinya ke mana pun. Hanya saja, akhir-akhir ini ia dan Revan diberikan tugas berbeda oleh Kang Syamsul.
"Lo nganter gue sampe rumah atau depan komplek?"
"Menurut lo sampe mana?"
Ia menggeplak helm yang dipakai Revan. Cowok itu terkekeh. Walau tak urung, Zakiya ikut naik.
"Mobil lo ke mana?" tanyanya begitu motor meluncur memasuki jalan raya.
"Bengkel."
"Mogok lagi?"
Zakiya hanya berdeham. Lagi pula mobil itu memang sudah lama menemaninya semenjak ia kuliah sarjana. Dulu saat dikejar-kejar polisi, mobil itu juga yang menemani.
"Ganti lah."
"Itu mobil bokap."
"Bokap lo banyak duitnya."
"Duit bokap. Malu lah. Masa diumur segini, gue masih minta?"
Revan terkekeh. "Ada anak orang kaya model elo begini ya," celetuknya. Tapi Zakiya tidak merasa dirinya kaya. Karena menurutnya, yang punya uang itu Papanya. Jadi uang itu bukan miliknya. Kalau ia mau kaya, ia akan usaha sendiri. Seperti memperjuangkan kuliah S2-nya kali ini. Ia membayar uang kuliah dari tabungan beberapa tahun terakhir. Ia memiliki banyak pekerjaan jadi ia punya banyak pemasukan. "Eh tesis lo gimana kabarnya?"
Zakiya mendengus. "Setiap hari gue cek email, gak satupun profesor luar balas email gue."
Revan terkekeh. "Lo ngajuin itu kapan heh?"
Zakiya melirik ke atas. Jemarinya tampak berhitung. "Sepuluh atau sebelas bulan lalu?"
Revan terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Harusnya lo ikut konferensi bukannya ikut demo. Kalo lo ikut konferensi seenggaknya lo akan ketemu beberapa profesor dari luar."
Zakiya menghela nafas. "Lo hapal rutinitas gue kan?"
Revan tertawa. "Pagi ke gedung DPR, jadi staf ahli. Sore lo ke redaksi. Malam kadang lo ke lembaga hukum. Kapan lo rehatnya?"
"Gue masih bisa tidur tiga sampe empat jam. Itu udah cukup belek!"
"Tidur sama menyenangkan diri sendiri dengan bebas dari rutinitas itu beda! Lo harusnya memberikan hadiah istirahat panjang untuk diri lo sendiri!" tuturnya yang membuat Zakiya menghela nafas. Ia punya alasan sendiri kenapa ia terlihat sangat sibuk begini. "Omong-omong lo jadi staf ahli gak bermasalah tuh? Kan lo sering demo di kantor DPR. Lokasi demo sama tempat kerjanya sama."
Zakiya terkekeh. "Gue staf luar coy. Lo tahu? Ada banyak jalan menuju Roma. Lo percaya aja gue staf ahli beneran di sana!" ujarnya yang membuat Revan berpikir keras. Cowok itu sampai menoleh ke belakang tapi malah ditoyor Zakiya yang tertawa. Revan ini adalah satu-satunya lelaki yang selalu percaya segala omongan Zakiya. Mungkin karena Zakiya terlihat lugu padahal ia cerdik sekali.
@@@
"Aliansi BEM menolak ikut rapat dalam organisasi kita," itu sapaan yang bagus sekali ketika Zakiya baru saja tiba di sebuah kantor kecil milik lembaga yang bergerak untuk melindungi perempuan dan anak-anak. "Padahal gue udah jelasin detil semuanya. Kalo kita perlu kerja sama dengan mereka untuk demo kali ini."
"Wajar kalo mereka menolak, Rey. Setiap demo, mereka selalu dikejar berita ada yang menunggangi. Isu itu selalu dihembuskan oleh media massa untuk membuat citra demo itu jelek. Padahal itu adalah rutinitas demokrasi yang sangat normal."
"Terus?"
"Kita tetap pada rencana. Yang penting, para pengacara harus standby kalo ada apa-apa. Kita perlu dampingi mahasiswa yang tertangkap. Dan lagi, udah kontak relawan medis?"
Nova mengacungkan tangan. "Gue juga udah hubungi beberapa ambulans."
Zakiya mengangguk. "Kita perlu berjaga-jaga, jangan sampai ada penyusup. Dan satu hal lagi, masing-masing harus selalu merekam kejadian apa pun yang menurut kalian ganjil."
"Oke!" seru timnya.
"Kita standby dari jam berapa, Kiya?"
"Dapet info mahasiswa kapan ke berangkat?"
"Dari bocoran sekitar jam satu siang."
Zakiya mengangguk-angguk. "Berarti kita dari pagi. Perlu telusur dulu dan cari bocoran dari pihak kepolisian. Lacak dan cari tahu ke mana mereka akan bergerak. Mereka pasti mencegat para pendemo di jalan. Dan satu lagi, cari tahu anak-anak jalanan atau preman yang mungkin mereka gunakan untuk membuat demo tandingan untuk memecah belah kita."
"Ide cerdas, Kiya!" tutur lelaki yang baru saja tiba di dekat pintu ruangan. Semua mata menoleh padanya. Ia lah pemimpin aksi demo dari organisasi yang berpihak pada rakyat kali ini. Sekaligus pendiri organisasinya. Masih muda. Usia? 30 tahun dan masih jomblo. Hihihi. "Selain informasi dari Kiya, gue pengen beberapa dari kita ngeliput secara live di beberapa media sosial selama berdemo. Gimana?"
"Oke!"
"Terakhir, lacak aksi berbagai media massa yang menjadi tangan pemerintahan. Kita cari bukti untuk melawan pemberitaan mereka yang miring tentang demo besok!"
Ruangan bergemuruh dengan acungan tangan semangat.
@@@