Part 14

1124 Words
“Kenapa kau tak pernah menyentuhku?” kejar Lita pada Samuel yang saat itu baru masuk ke kamar mereka. Samuel hanya diam, terus melangkah menuju pintu kamar mandi mengabaikan desakan Lita. “Apakah ada seseorang?” Langkah Samuel terhenti. “Apakah ada seseorang di luar sana yang  ada di hatimu?” “Kau tak mengerti, Lita. Dan ini tak ada hubungannya dengan wanita mana pun. Tidak ada wanita lain.” “Kau ingin aku percaya?” Samuel berbalik, menatap wajah Lita. “Hanya kau. Percaya padaku.” “Lalu kenapa kau pernah mengijinkanku melakukan tugasku sebagai istrimu yang seutuhnya?” Samual terdiam sejenak, memandang mata Lita penuh rasa bersalah. “Aku punya alasanku, dan kau tak harus mengerti.” “Kau yang membuatku menjadi menantu cacat di hadapan mamamu. Apakah aku masih tak berhak mengertimu?” Samuel menggeleng. “Kau hanya perlu mengerti bahawa aku punya alasanku.” Lita terdiam. Mencermati ekspresi wajah Samuel yang sendu. “Baiklah, tapi setidaknya beri tahu kesalahanku kenapa kau tidak ingin menyentuhku?” Samuel menggeleng lagi. Maju satu langkah mendekati Lita. “Kau tidak bersalah.” “Apa karena aku tidak menarik perhatianmu.” “Tidak. Kau sangat cantik. Dan aku menginginkanmu.” Lita tak mengerti bagaimana dirinya merasa diinginkan dan tidak dibutuhkan di saat yang bersamaan “Kalau begitu buktikan. Setidaknya buat aku hamil agar aku bisa menjalani hidupku sebagai menantu keluarga ini dengan baik jika bagimu aku belum bisa menjadi istri untukmu.” Samuel menyentuh kedua tangan Lita. “Aku tidak bisa, Lita. Mengertilah.” “Kenapa?” Samuel terdiam, wajahnya memucat dalam sekejap. “Katakan, Samuel.” Lita berganti menggenggam kedua tangan Samuel. “Aku istrimu. Kau tak perlu menyimpan semuanya sendirian.” Samuel menatap kedalaman mata Lita. Lama. “Akulah yang tidak bisa memiliki anak.”  Lita memejamkan matanya yang basah. Tubuh telanjangnya meringkuk di balik selimut dan air mata terus membanjir tanpa suara. Di balik punggungnya, suara dengkur pelan Leo masih terdengar. Pria itu sudah terlelap, setelah mendapatkan kepuasan dari tubuhnya. Akhirnya pria itu -Leo- berhasil mendapatkan keinginannya. Tubuhnya dibanting ke tempat tidur, terpantul dan langsung ditindih oleh tubuh besar pria itu. Seringai jahat tersungging di sudut bibirnya. “Bukankah kauingin menjadi menantu yang sempurna untuk keluarga ini?” “Lepaskan. Kumohon.” “Hanya aku yang bisa mengabulkan keinginanmu. Adikku itu tak akan pernah mampu menjadi seorang ayah. Meski aku yakin dia masih bisa menjadi suami yang gagah untuk memuaskanmu. Sayangnya, dia terlalu pengecut.” Lita membuka matanya lebar-lebar. Suara itu seolah bergema di seluruh ruangan dan ketakutan segera menyergap dadanya. Pandangannya berkeliling dengan liar. Tak ada siapa pun di ruangan ini. Hanya ada dirinya, dan Leo. Dan Leolah yang baru saja menyentuhnya. Bukan pria itu. Menyakinkan diri sendiri bahwa kedua pria itu tidak akan kembali di hidupnya, Lita beranjak turun dari tempat tidur. Menyiram tubuhnya dengan air dingin. Membersihkan seluruh jejak Leo di tubuhnya.   ***   Leo terbangun dan tak menemukan Lita di sampingnya. Kamar mandi pun senyap, tak ada tanda-tanda keberadaan wanita itu. Kemudian pandangannya turun ke arah tubuhnya. Menyadari ketelanjangan dirinya di balik selimut. Sisi tempat tidur di sampingnya juga berantakan, menandakan bahwa semalam Lita tidur di ranjang yang sama dengannya. Leo menyingkap selimutnya ketika hendak menurunkan kaki, tapi pandangannya teralih pada noda yang membekas di tengah kasur. “Darah?” Leo menajamkan matanya, tak lain dan tak bukan itu adalah darah. Kemudian sebuah ingatan menghantam kepalanya yang terasa seberat satu ton. Ia mabuk, pulang ke rumah menggunakan taksi, melihat Lita, dan ... Leo memukul kepalanya. “Apa yang sudah kulakukan padanya?” Menyambar celana karet di lantai, ia bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri dengan kilat, berpakaian secepat mungkin dan melangkah dengan terburu keluar dari paviliun. Di ruang makan sudah ada semua anggota keluarga. Pandangan Leo langsung tertambat pada Lita. Begitu pun dengan wanita itu. Namun, detik berikutnya Lita langsung berpaling. “Akhir minggu tak biasanya kau bangun pagi, Leo.” Olivia menatap penuh heran. Leo tak menyahuti. “Kenapa kau hanya berdiri di sana, Leo? Kau tak ingin duduk untuk makan?” Amira bertanya karena Leo hanya berdiri di dekat kursi kosong pria itu. “Duduklah. Kauingin makan apa?” Olivia dengan sigap membalik piring Leo dan siap menyajikan makanan apa pun yang diinginkan oleh Leo. Yang membuat Riana mendengus kesal. “Lita, tolong bawakan makananku ke kamar, dan segelas jus buah setelah kau selesai,” kata Leo pada Lita. Yakin wanita itu tak akan menolaknya karena ia mengatakannya di depan mama tiri dan papanya. Lita termangu. Menatap punggung Leo yang segera menghilang di balik pintu ruang makan. “Aku sudah selesai. Biarkan aku yang membawakannya.” Olivia segera bangkit terduduk. “Dia tidak menyuruhmu. Sepertinya telingamu masih berfungsi dengan baik ketika dia menyuruh hanya Lita yang melakukannya, kan?” Riana tak lagi bisa menahan kekesalannya. “Bukan Mama, aku, ataupun kau.” Wajah Olivia memerah. “Riana,” panggil Amira memperingatkan. “Aku hanya berusaha menjaga ketenangan di rumah ini, Ma. Setiap mereka bertemu, mereka selalu membuat keributan. Tidak bisakah aku menikmati akhir minggu dengan penuh kenyamanan? Juga Leo dan Lita,” dalih Riana. “Mama tahu bagaimana emosionalnya Leo jika melihat wajahnya, kan?” “Dia hanya sedang marah padaku. Dan aku sedang berusaha meluluhkan hatinya.” Olivia beralasan. “Sepertinya kesalahanmu terlalu sulit untuk dimaafkan, ya?” ejek Riana. “Bahkan anakmu pun tak bisa membuatnya bersikap sedikit lembut padamu,” telaknya. Wajah Olivia mengeras tak terkendali. Kedua tangannya terkepal di samping tubuh. Amira memandang Olivia yang sudah siap menerkam Riana, kemudian Lita. “Lita, sebaiknya kau segera pergi.” Perintah itu membuat Olivia meradang. Meninggalkan ruang makan dengan kaki dihentakkan ke lantai. Lita ingin menolak dan mengatakan biarkan saja Olivia yang melakukannya untuk Leo. Tetapi pandangan mamanya membuatnya menelan protes itu kembali ke tenggorokan. Leo memang sengaja melakukan itu di depan mamanya. Lita pun bangkit terduduk, masuk ke dapur lebih dulu untuk membuat jus buah. Leo duduk di sofa ketika Lita masuk dengan nampan berisi makan pagi dan jus buah. Menunggu Lita sambil membaca koran. Lita meletakkan nampan itu di meja, dan langsung berbalik. Tetapi tangannya ditahan oleh Leo. “Kita harus bicara.” Lita menyentakkan tangan Leo. “Aku tak ingin bicara denganmu.” Leo berdiri, menghadang di depan Lita. “Semalam aku mabuk. Maafkan aku.” “Aku tahu. Dan kau tak perlu minta maaf.” Lita melangkah ke samping, dan lagi-lagi dihadang oleh Leo. “Apa kau marah?” “Untuk apa kau peduli jika aku marah?!” sengit Lita akhirnya berani memandang wajah Leo. “Kau bahkan tak peduli saat aku memohon padamu untuk berhenti.” Leo terpaku. Lita berjalan melewati Leo. “Kau sudah pernah menikah, kan?” Suara Leo menghentikan langkah Lita. “Tapi aku pria pertama yang menyentuhmu.”  Tubuh Lita seketika membeku, dan wajahnya memucat pasi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD