"SANIA !!"
"SAN !!"
"SANIAAA !!"
"WAKE UP !!"
"SAN !!"
Mata Sania langsung terbuka begitu saja dan yang pertama kali dilihatnya adalah Kevan yang tengah mengguncang tubuhnya.
"Ada apa ? Apa kau bermimpi buruk ?"
Bukannya menjawab pertannyaan Kevan, Sania malah langsung bangun dan memeluk kakanya itu dengan sangat erat.
Sania menangis dipelukan Kakaknya itu.
"Sssstt.. aku disini. Tenanglah," ucap Kevan mengelus punggung Sania, berusaha menenangkannya.
Sania semakin mengeratkan pelukannya, dan terus menangis. Bayangan kakaknya yang terluka mengenaskan membuatnya takut. Ia tak mau kehilangan kakaknya. Hanya dia satu-satunya orang yang dimilikinya saat ini.
Mimpi itu. Mimpi itu adalah bentuk dari bertapa terbebaninya dirinya akan ucapan Christian padanya semalam. Ya. Semoga saja hanya begitu. Itu hanya karena terlalu stres berlebihan. Itu bukanlah pertanda buruk apapun. Bukan.
"Nath. Sebenarnya apa yang terjadi semalam. Apa yang tak kuketahui ?"
Mendengar perkataan kakaknya itu, Sania langsung melepaskan pelukannya dan mengusap sisa air matanya. Ia melihat kearah Nathan yang ternyata juga ada didalam kamar itu juga, entah sejak kapan. Saat Nathan hendak menjawab pertanyaan Kevan, Sania langsung menyela dan menjawabnya lebih dulu.
"Semua ini salah Nathan. Dia menakut-nakutiku tadi malam,"
Kevan langsung menatap tajam kearah Nathan setelah mendengar ucapan adiknya tadi. Ya, menurutnya saat itu Nathanlah orang yang bersalah dalam hal ini. Dan ya, Sania memang sengaja mengkambing hitamkan Nathan disana. Seperti yang biasa dilakukannya.
Sania berucap tanpa suara kearah Nathan.
'Sorry. Don't tell him the truth,'
Nathan yang melihat kode Sania itu, hanya dapat menghela nafas berat. Sekali lagi ia terjebak diantara kakak beradik ini.
"Ya ya... maafkan aku. Aku hanya menggodanya. Aku tak tahu jika perkataanku membuatnya sangat ketakutan hingga sampai seperti ini," ucap Nathan pada Kevan.
"Sudahlah Kev. Maafkan dia. Aku sudah tak apa," ucap Sania menghentikan Kevan yang terlihat hendak marah.
"Ya, baiklah. Kalau begitu kau cepat mandi sana. Ini sudah siang. Kau juga harus sarapan. Aku akan ke markas. Kau akan ditemani Nathan disini. Nanti kalau mau menyusul saja ke markas bersamanya,"
Kevan turun dari ranjang dan berjalan ke pintu.
"Mau apa ke markas ?" tanya Sania saat Kevan meraih gagang pintu. Ya, tumben sekali kakaknya sepagi ini terlihat rajin dan ingin pergi kesana.
"Ada seseorang yang ingin ku lenyapkan disana," ucap Kevan sambil mengerlingkan matanya kearah Sania.
Sania mendengus kesal melihat kepergian kakaknya. Itu berbeda terbalik sekali dengan kakaknya yang tadi malam dilanda patah hati berat. Kini Sania bisa dengan senang hati menjalankan sumpahnya untuk memukul wajah kakaknya itu. Ya, ia pasti akan melakukannya nanti. Kini ia melihat Nathan yang berdiri menatapnya.
"Terima kasih sudah membantuku lagi," ucap Sania sambil turun dari ranjang.
"Kau tahu setiap aku memberi bantuan tak cukup dengan bayaran terima kasih,"
"Iya aku tahu. Tapi apa kau mau mencium ku yang belum mandi ini,"
"Itu bukan masalah," ucap Nathan merangkul pinggang Sania lebih dekat.
Sania melingkarkan tangannya dileher Nathan, saat Nathan mulai menciumnya. Sania membalas dan mengimbangi ciuman Nathan. Jadilah mereka melakukan ciuman panas di pagi hari.
Setelah beberapa saat Sania yang lebih dulu melepaskan pagutan mereka.
"Kevan akan membunuhmu jika tahu kau menciumku dikamarnya seperti ini,"
Nathan hanya tersenyum kecil lalu mengecup bibir Sania.
"Kurasa itu sebanding dengan dapat merasakan bibirmu. Sudahlah sana mandi. Kau bau,"
Sania menyentak kasar tangan Nathan yang melingkar dipinggangnya.
"Sial !! Aku tak akan meminta bantuan darimu lagi, Nathan b******k," ucap Sania berlari kearah pintu, membuka dan membantingnya keras.
Sedangkan Nathan tertawa kecil dan mengikuti jejak Sania, keluar dari kamar.
• • • • •
"Kenapa wanita selalu lama ketika mandi ?" tanya Nathan kesal. Ia sekarang tengah duduk di ruang makan dan sesekali meminum wine putih yang ada didepannya.
"Karena mereka mahluk yang cantik. Butuh waktu lama untuk tampil cantik, kau tahu. Oops.. kau kan tidak punya kekasih, mustahil kau tahu hal seperti itu," ucap Sania yang baru saja turun kebawah setelah selesai mandi. Ia langsung duduk dikursi yang berhadapan dengan Nathan.
"Apa lagi ? Sudah makan saja yang ada," ucap Nathan semakin kesal saat melihat Sania melihat makanan dengan wajah lesu.
"Hei !!! Apa masalahmu sebenarnya ? Kenapa kau suka sekali membentakku akhir-akhir ini ? Akan ku adukan kau pada Kevan," Sania langsung mengambil ponselnya yang ada disaku jaketnya. Ia lalu menelepon Kevan.
"Dasar pengadu. Aku juga bisa mengadukanmu tentang tadi pagi pada Kevan,"
"Coba saja. Dan kau yang akan menyesal telah melakukan itu, karena aku tak akan bicara padamu selama yang ku mau. Kau pasti menderita karena aku tahu kau tergila-gila padaku dan tak tahan jika tak bertemu dan berbicara denganku sehari saja. Kemana sih Kevan ? Kenapa dia tak mengangkat telfonku ? Sania kesal dan meletakkan ponselnya dimeja dengan keras.
Nathan langsung bungkam disana karena yang dikatakan Sania benar, tapi itu hanya sebentar. Ia lalu kembali menggoda Sania.
"Kevan sedang sibuk. Kau itu jangan mengganggunya dengan hal-hal kecil seperti ini,"
"Diam sajalah. Aku mau pergi keluar sendiri. Berdua saja denganmu seperti ini hanya membuatku selalu kesal," Sania sudah bersiap ingin berdiri tapi Nathan mencegahnya.
"Okay-okay maafkan aku. Sekarang kau mau apa putri yang banyak maunya,"
"Aku mau pizza,"
"Tinggal dlivery kan. Lalu apa susahnya," Nathan lalu mengeluarkan hpnya.
"Itulah bedanya kau dan Kevan. Jika aku minta pada Kevan dia akan langsung memasakan-nya untuk ku,"
Nathan mendengus dan memasukkan kembali ponselnya ke sakunya.
"Tapi aku tidak bisa memasak. Kenapa tidak kau buat sendiri saja ?"
"Aku malas,"
Nathan menatap Sania yang tengah lesu didepannya. Itulah yang disukainya dari Sania, dan membuatnya jatuh cinta padanya.
Sania selalu bicara jujur dan juga ia sangat mudah mengekspresikan perasaannya. Sania juga wanita berpendirian dan berprinsip. Sekali ia menginginkan sesuatu ia tak akan berhenti sampai ia mendapatkannya. Seperti tadi, Sania menginginkan pizza untuk sarapannya. Ia akan terus menggerutu kesal jika belum tersedia pizza didepan matanya untuk memenuhi rasa lapar perutnya.
"Kau yang pintar masak saja malas. Bagaimana aku yang tidak bisa memasak ?" ucap Nathan lalu menghabiskan winenya yang tinggal sedikit itu dalam satu tegukan.
"Sudahlah. Aku sedang kesal. Jangan mengajakku berdebat," ucap Sania menunjuk Nathan dengan garpu.
Setelahnya Nathan diam dan tak bicara. Ia hanya melihat Sania yang bertingkah seperti anak kecil yang tengah merajuk, dengan mengaduk-aduk makanan yang ada dipiring.
Sania menghentikan aktivitasnya saat ponselnya berbunyi. Ia melihat Id callernya sebentar dan langsung menjawabnya.
"Kev, aku mau pizza sekarang !!"
"Sarapan saja dengan apa yang ada disana. Besok aku akan membuatkanmu pizza. Aku__"
Sania langsung memutuskan teleponnya sebelum kakaknya itu selesai bicara disana karena marah. Ia lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya kembali.
Wanita cantik itu tiba-tiba langsung bangun dari duduknya dan berjalan cepat menuju ruang tengah tanpa menghiraukan Nathan yang terus bertanya dan mengikutinya. Beruntung saat ini ia menggunakan sneakers.
"Kau mau kemana ? Kau ingat Kevan menyuruhku menemanimu. Baiklah aku tahu kau tak ingin ditemani, tapi katakan padaku kau mau kemana ?"
Sania tak menghiraukannya. Ia membuka laci dan mengambil kunci dan kacamata hitam dari sana.
"Jangan ikuti aku. Aku mau pergi sendiri. Jika Kevan bertanya bilang saja tidak tahu," ucap Sania menutup pintu utama rumahnya itu dengan membanting cukup keras lalu menguncinya dari luar.
Sania membuang kunci itu sembarangan dan memakai kaca mata hitam yang diambilnya tadi. Ia lalu berjalan menuju garasi.
Sania membuka garasi dan menuju rak kunci. Lamborghini Elemento hitam menjadi pilihannya. Ia ingin mengebut dijalanan sekarang. Dan kalau perlu akan ia buat penyok saja mobil itu sampai tak berbentuk. Tak peduli jika Kevan nanti marah. Karena mobil itu baru dibeli oleh Kevan 1 minggu yang lalu.
Sania langsung masuk kedalam mobil dan menyalalannya.
"Mari kita lihat. Apa kehebatan mobil yang sangat mahal ini ?"
Sania melajukan mobilnya membawanya keluar rumah. Ia sempat mendengar gedoran di pintu dan ancaman dari Nathan. Tapi ia tak mau peduli.
"Ayo mobil barunya Kevan. Kita meluncur," begitulah ucapnya saat sudah berada diluar.
Sania langsung menekan gas mobilnya perlahan dan semakin dalam. Kecepatannya terus bertambah.
Sania menyalip mobil-mobil didepannya dengan gesit.
"Aku suka mobil ini," teriak Sania senang, sambil mengganti gigi mobilnya.
Sania terus melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal.
"Kevan bilang kecepatan maksimum mobil ini 290 km/jam. Tapi lihat. Aku bisa membuat kecepatan mobil ini menjadi 370 km/jam," ucap Sania saat melakukan drift di tikungan tajam.
Sania mendengar alarm polisi dari arah belakangnya.
"Waktunya untuk kabur,"
Sania langsung menekan gas lebih dalam. Ia akan membawa mobil itu keluar kota. Dan memang tujuan awalnya ia akan pergi ke Mount Kisco.
"Polisi akan menyerah jika aku pergi dari kota," ucapnya tenang sambil terus mengemudikan mobilnya.
"Aku lupa !!!" Sania langsung merogoh saku jaketnya untuk mengambil hpnya.
Ia berusaha melakukan itu dengan tetap fokus menatap jalan di depannya.
"Dapat. Matikan gps dan lalu matikan ponsel,"
Sania melakukan hal yang digumamkannya tadi pada ponselnya. Meski butuh waktu lama karena ia sedang menyetir dalam kecepatan yang tinggi saat ini, tapi ia berhasil melakukannya.
"Aku bertanya-tanya. Kenapa lampu merah kecil dibawah sini terus menyala. Bagaimana kalau ku injak saja ?" ucap Sania lalu menginjak lampu yang berkelip merah di dekat kakinya itu dengan brutal hingga lampu itu mati.
• • • • •
"Tuan, pelacak di mobil dimatikan. Mungkin nona Sania tahu tentang itu,"
"Tuan, ponsel nona Sania sepertinya juga dimatikan. Kita tak bisa melacaknya,"
Begitulah yang dikatakan para anak buahnya, membuat Kevan langsung menggebrak meja dengan keras.
"Jika terjadi sesuatu pada adikku, akan kubunuh kau. Kau tahu para musuhku belakangan ini sedang gencar-gencarnya melakukan serangan terbuka padaku, 'kan ? Kenapa kau biarkan dia keluar sendiri ? Dasar bodoh !" ucap Kevan marah pada Nathan.
Nathan sendiri tak ambil pusing dengan perkataan Kevan, karena sekarang dirinyapun juga tak kalah khawatir kepada Sania.
• • • • •
"Boss. Mereka gagal mengikuti nona Sania,"
"Nona mengendarai lamborgini dan mengebut di jalanan boss. Kami tak bisa menyamai kecepatan mobilnya,"
Begitulah laporan dari anak buah Christian. Christian sendiri hanya duduk diam dikursi sambil terus bermain Darts-nya.
"Boss.. apa anda__"
"Pergilah. Tinggalkan aku sendiri," perintah Christian pada anak buahnya.
Sepeninggal anak buahnya, Christian langsung mengambil amplop coklat berisi foto-foto Sania pagi ini, yang berhasil diambil oleh anak buahnya. Ia melihat foto itu satu persatu.
"Tak ada yang boleh mencium bibirmu sepanas itu kecuali diriku," ucap Christian saat melihat foto Nathan dan Sania tengah berciuman.
Perlahan foto itu diremasnya dengan kuat.
"Seth !!!" teriaknya kencang dan tak beberapa lama Seth masuk dengan berjalan sedikit tergesa-gesa.
"Ya boss. Ada yang anda ingin__"
"Cari tahu pria yang ada difoto ini," Christian melempar foto yang diremasmya tadi pada Seth. Dan dengan sigap Seth menangkapnya.
"Baik tuan. Saya permisi,"
Seth berjalan keluar dari ruangan boss-nya. Saat diluar, ia langsung membuka foto yang sudah tak berbentuk itu.
"Nona .. apa yang kau lakukan ??" geram Seth saat melihat foto yang masih terlihat jelas adegan ciuman Sania dan Nathan tadi pagi.
Seth lalu pergi menjalankan perintah dari Christian dengan terus memandang foto ditangannya, seolah masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia yakin pasti nanti Sania atau pria itu akan mendapat masalah setelah ini.
• • • • •
"Kak.. bisa suruh supir untuk menjemputku," ucap Sania ditelepon.
"Ya tentu saja. Kau dimana ?"
"Aku di bengkel. Bilang pada supir untuk datang lebih cepat ya,"
"Baiklah. Bagus sekali kau datang kemari. El mencarimu sejak kemarin,"
"Ahhh.. si kecil itu. Pasti dia sedang sekolah ya. Bukankah sebentar lagi waktunya dia pulang. Biar aku saja yang menjemputnya sekarang. Tak perlu menyuruh supir kesini. Aku akan menjemputnya dengan mobil ini. Pasti dia akan senang,"
"Baiklah hati-hati. Kau mau kusiapkan sesuatu dirumah,"
"Aku sedang ingin pizza. Bisa kau buatkan untukku,"
"Tentu saja. Sampai bertemu di rumah,"
"Baiklah, Dah ..."
Tut tut tut.
Sania meletakkan kembali gagang telepon yang dipegangnya ke tempatnya setelah pembicaraanya bersama seseorang tadi dirasa sudah selesai. Ya, Sania menggunakan telepon umum tadi. Ia tak mau mengambil resiko dengan menghidupkan ponselnya.
Wanita cantik itu lalu kembali masuk kedalam mobilnya yang sebelumnya ia parkir di pinggir jalan. Ia melajukan mobilnya menuju tempat tujuannya yang tak jauh dari sana.
Sania bersenandung kecil disepanjang perjalanan karena mengingat ia akan makan pizza sebentar lagi.
Terbesit di kepalanya tentang bagaimana reaksi Kevan saat ia pulang nanti.
"Pasti dia akan marah, 'kan ? Tapi, aku bisa lebih marah darinya. Ya. Itu benar," ucap Sania meyakinkan dirinya sendiri.
Sania membelokkan mobilnya masuk ke dalam sekolah swasta anak yang cukup besar.
Setelah masuk, ia langsung saja menjadi pusat perhatian. Semua orang yang ada disana yang dengan kompak melihat kearah mobilnya.
Sania berhenti di dekat pintu masuk sekolah, lalu keluar dari mobilnya.
"Auntyyyyyy !!!!" teriak seorang anak yang langsung berlari kearahnya.
Sania tersenyum melihat itu. Ia lalu merentangkan kedua tangannya menyambut anak kecil itu.
"Wah.. El sudah besar sekarang," ucap Sania sambil memeluk anak itu.
"Aunty kemana saja ? Kenapa tidak pernah datang ke rumah ?" ucap anak itu melepas pelukannya dan merajuk.
Sania tersenyum lucu melihat tingkah bocah didepannya.
"Aunty sibuk sayang. Lihat mobil disana. Aunty bekerja untuk beli mobil itu. Apa kau suka mobilnya ?"
"Wah... apa kita akan pulang naik itu ?"
"Tentu saja. Ayo," ucap Sania membawa bocah bernama El itu menuju mobil.
Sania membukakan pintu untuk El, setelah El masuk, sania menutup pintu dan memutari kap mobil kemudian dirinya sendiri masuk lalu duduk dibelakang kemudi.
"Pakai sabuk pengamannya dulu boy. Mau dibantu memakainya,"
"No aunty. Aku bisa. Aunty pakai sabuk pengaman aunty sendiri saja," ucap El sambil memasang sabuk pengaman.
"Aunty tidak suka pakai sabuk pengaman. Kalau begitu ayo kita jalan," ucap Sania saat melihat El sudah mengenakan sabuk pengamannya.
Sania lalu menyalakan mesin mobilnya, dan membawa mobil itu keluar dari area sekolah. Sania selalu senang dan suasana hatinya menjadi membaik berkali-kali lipat saat sudah bersama dengan bocah itu.
"Aunty,"
"Ya sayang. Ada apa ?"
"Apa Daddy benci padaku ? Kenapa sampai sekarang Daddy tidak menemuiku dan mommy ?"
Sania terdiam sesaat. Sebenarnya ia sudah lelah berbohong pada bocah ini. Tapi ia tak punya pilihan lain. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini sampai saat waktunya tiba nanti. Namun entah kapan itu.
"El.. apa yang aunty bilang untuk tidak berbicara buruk tentang orang lain ? Apa lagi itu Daddy El sendiri,"
"Maaf aunty," ucap El menunduk. Sania ikut sedih melihat keponakannya seperti itu. Tapi Sania juga tak kehabisan akal untuk bisa membuat bocah itu tersenyum bahagia lagi.
"Okay. Aunty janji, El akan ketemu Daddy sebentar lagi," ucap Sania meyakinkan.
El menatapnya lekat dan penuh pengharapan disana, lalu perlahan senyum bahagia terukir di bibir mungil bocah itu.
"Promise ?" El menunjukkan jari kelingkingnya. Sania langsung menautkan jarinya kelingnya dengan jari El.
"Promise," ucap Sania pada bocah berumur 5 tahun itu.
Tautan kelingking merekapun terlepas. Dan El terus bercerita sepanjang perjalanan. Sania hanya merespon seperlunya saja. Bukan karena tak berminat mendengarkan. Ia sangat senang mendengar cerita bocah itu. Hanya saja, ia memikirkan kembali tentang janji yang dibuatnya tadi.
'Bagaimana cara agar aku mempertemukannya dengan Kevan ? Astaga... aku bingung sekali. Tapi ini sudah 6 tahun berlalu. Aku tidak bisa menyembunyikan anak ini lebih lama lagi atau aku sendiri yang akan menyesal nanti. Maafkan aku kakak. Aku akan mempertemukanmu dengan putramu sebentar lagi.'
Bersambung...