"Wow.. ada tamu rupanya," ucap Sania saat melihat satu persatu orang yang ada didalam rumah itu sambil berjalan masuk kedalam.
"Kenapa kalian semua tegang sekali ? Duduklah dengan santai," ucap Sania lagi sambil berjalan mendekati tamunya.
"Apa ini ? Maaf tuan-tuan, tapi tidak ada yang boleh menggunakan senjata didalam rumah ku. Jadi simpan kembali pistol kalian itu," ucap Sania saat mendapati semua tamunya berdiri dengan menodong senjata ke arah Kevan dan Nathan yang sedang duduk santai di sofa.
Tunggu. Nathan tengah memegangi lengannya yang berdarah. Sepertinya tembakan yang didengar oleh Sania diluar tadi, itu ditujukan untuknya. Tapi pertanyaannya adalah kenapa Nathan yang ditembak ?
Semua orang disana hanya diam tak melakukan apa yang diperintahkan oleh Sania tadi.
Sebenarnya, Sania berbicara seperti tadi untuk mencairkan sedikit suasana yang disana. Tapi nampaknya tak membuahkan hasil. Nathan, Kevan dan tamu itu saling bertukar tatapan sengit dan tajam satu sama lain seolah saling menantang disana. Tak ada raut wajah takut sedikitpun diantara ketiganya.
"Apa yang sebenarnya terjadi disini ? Bisakah seseorang menjelaskannya padaku," ucap Sania yang memang ingin tahu apa yang sudah terjadi didalam rumahnya itu. Apa yang telah dilewatkannya ? Dan kenapa semalam ini tamu itu datang ke rumahnya ? Apa tidak bisa besok saja ?
"Jangan ikut campur, sayang. Ini urusanku dan kakakmu," ucap Christian dengan rahang yang mengeras karena amarah.
Ya. Tamu yang dimaksud Sania tadi adalah Christian dan belasan anak buahnya.
"Kau menyuruhku diam ? Sungguh ? Akulah tuan rumah disini. Aku bisa saja mengusir kalian semua dengan paksa karena telah menerobos masuk ke rumahku tanpa izin. Aku sedang dalam mode bahaya saat ini karena lelah dan mengantuk sekali. Jadi jaga bicaramu itu," ucap Sania berteriak marah dan terlihat menyeramkan, yang tentu saja membuat Christian terdiam karena sadar sudah salah berucap barusan.
"Maafkan aku, sayang. Tapi_____"
Sania dengan sengaja mengangkat tangannya tinggi didepan wajah Christian saat tak sengaja melirik kearah meja. Disana terdapat banyak tumpukan foto berserakan.
"Foto siapa ini," ucap Sania sambil mengambil beberapa foto yang ada di meja didepannya.
Sania mengamati foto yang ada ditangannya itu satu persatu. Ekspresi Sania tak dapat digambarkan saat ini. Entah apa yang dipikirkannya saat melihat foto-foto itu.
"Tolong jelaskan padaku, siapa wanita yang ada disampingmu ini," ucap Sania menunjukkan satu foto pada Christian.
Christian hanya melirik foto itu sebentar dan tak menjawab pertanyaan Sania.
"Biar ku tebak. Dia ... kakakmu, 'kan ?" ucap Sania sembari melempar foto-foto kembali ke meja.
Christian menatap Sania sebentar dengan ekspresi terkejutnya. Tapi ia dengan cepat mengembalikan ekspresinya lagi seperti semula.
"Aku tahu dimana kakakmu berada," ucap Sania sambil berjalan ke arah sofa dan duduk disebelah Nathan.
Semua orang yang ada disana kini menatap Sania terkejut.
"Namanya Alice, 'kan ?" semua orang yang ada disana dibuat terkejut lagi oleh ucapan wanita cantik itu disana.
Sania tak ambil pusing dengan tatapan orang-orang yang disana. Ia kini melihat lengan kiri Nathan yang terkena tembakan.
"Pelurunya tidak dalam. Tapi kulitmu robek, kau harus dapat beberapa jahitan," ucap Sania sambil mengamati lengan Nathan.
"Jangan berdekatan dengannya lagi. Atau aku bisa menembak bagian tubuhnya yang lain," ancam Christian pada Sania.
Sania menatap Christian malas, mendengar ancaman tadi. Ada apa dengan pria itu. Sania merasa seolah Christian bersikap seperti seorang kekasih saja.
"Tembak saja pria ini. Aku tak keberatan," ucap Sania santai.
Nathan langsung terbelalak terkejut kearah Sania. Sedangkan Kevan tertawa kecil mendengar ucapan adiknya.
"Daripada mengancamku seperti tadi, bukankah lebih baik kita membicarakan tentang kakakmu. Bukankah kau kesini karena itu,"
"Kami sudah selesai berbicara. Sekarang tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sekarang aku hanya ingin membunuhnya saja,"
Christian menatap tajam dengan menodongkan pistol kearah Kevan. Tentu saja ia takkan tinggal diam saja.
"Tunggu sebentar. Kau memang sudah berbicara dengan Kevan. Tapi kau belum berbicara denganku. Kau tidak ingin mengetahui tentang kakakmu ? Kemarilah.. duduk didekat ku. Kita bisa berbicara berdua,"
"Kita bisa bicara nanti sayang. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu,"
"Kalian itu sama-sama keras kepala," ucap Sania berdiri dari duduknya berjalan mendekati Christian.
"Kemarikan pistol-mu," ucap Sania sambil menjulurkan tangannya pada Christian.
Christian hanya diam saja. Ia tak memberikan apa yang Sania minta.
"Ayolah Christ.. biarkan aku menjelaskan sesuatu dulu. Hanya sebentar. Setelah itu kau bisa membunuh Kevan," bujuk Sania pada Christian.
Sania tahu Kevan saat ini terkejut mendengar pernyataannya. Tapi sekarang, hanya itu cara untuk meyakinkan Christian.
Christian memandang wajah Sania lekat. Ia mencoba mencari tahu apakah wanita yang berdiri didepannya itu tengah berbohong atau tidak.
"Please ..." ucap Sania lagi. Dan berhasil. Christian kemudian dengan pasrah menyerahkan pistolnya pada Sania disana.
"Terima kasih," ucap Sania sambil tersenyum. Ia lalu mengeluarkan peluru pistol itu dan menaruhnya di meja.
"Kalian semua juga. Simpan kembali senjata kalian," ucap Sania pada anak buah Christian. Kali ini mereka menurut. Mungkin karena mereka melihat boss mereka juga menurut pada Sania.
"Kev.. kemarilah,"
Kevan menatap tanya kearah Sania sebentar lalu ia berdiri berjalan kearah Sania.
"Sini.. kalian berdua harus berdiri berhadap-hadapan," ucap Sania memposisikan Kevan dan Christian berdiri berhadapan. Sementara Sania, berdiri diantara keduanya.
'Mengapa hari ini aku banyak sekali memberi penjelasan pada orang. Sudahlah.. sebaiknya aku cepat selesaikan ini dan tidur,' gerutu Sania dalam hati.
"Baiklah. Aku akan mulai menjelaskan. Aku akan memulainya dengan Christ,"
Sania berpindah ke samping Christ.
"Christ. Kau kemari karena sudah mengetahuinya kan. Tentang betapa brengseknya perlakuan Kevan kepada kakakmu. Membawa kakakmu ke apartemennya dalam keadaan tidak sadar dan melakukan hal yang tak seharusnya hingga membuat kakakmu hamil,"
Sania lalu berpindah ke samping Kevan.
"Tapi Christ. Yang kau lakukan pada kakakmu juga tidak kalah brengseknya dari Kevan. Mengusirnya dari rumah ketika tahu kalau kakak mu hamil tanpa mau mendengarkan penjelasannya dulu. Kau tahu, dia menangis dipinggir jalan tengah malam dengan berbaju tipis, padahal waktu itu udara sangat dingin, dengan keadaannya sedang hamil. Bagaimana jika terjadi hal buruk padanya waktu itu ? Bagaimana jika aku tak melihatnya waktu itu ? Brengsekk !!!"
Sania meninju pipi kiri Christian keras hingga sudut bibirnya berdarah. Semua anak buah Christian langsung menodongkan senjata pada Sania.
Christian memberi isyarat dengan tangannya agar anak buahnya menurunkan senjata mereka.
Christian mengusap ujung bibirnya yang sedikit berdarah.
"Kau kesini untuk membunuh Kevan karena dia telah melakukan hal yang tak sepantasnya kepada kakak mu kan. Tapi apa kau pernah berfikir jika kau membunuhnya kau membuat keponakanmu tak mempunyai ayah. Apa kau tega melakukan itu ?"
"Aku yang akan menggantikan si b******k ini menjadi sosok ayah untuknya," ucap Christian dengan nada dinginnya. Sementara, Sania tersenyum miring mendengar itu.
"Apa dia mau menerimamu jika ia tahu kau telah membunuh Daddy-nya ?" ucap Sania dingin.
Sania melihat Christian terdiam mematung. Ya tentu saha Christian tahu jika ucapannya benar.
"Kau diam seperti ini berarti kau mengetahui jawabannya, 'kan ?"
Sania kini berdiri diantara kedua pria yang tengah terdiam seperti tengah berpikir.
"Kalian bukan anak kecil lagi. Jangan langsung mengambil keputusan ketika sedang marah. Selesaikan masalah kalian baik-baik. Kurasa masalah ini bisa selesai jika kalian saling bicara," ucap Sania sambil mengelus pundak kedua pria itu.
"Aku sudah selesai disini. Aku mengantuk dan ingin tidur sekarang. Saat aku bangun besok, aku ingin kalian berdua mengatakan padaku apa solusi yang kalian dapat dan kuharap tak ada masalah lagi diantara kalian," ucap Sania lalu menghampiri kakaknya.
Sania mencium pipi kakaknya dan Kevan mencium kening Sania.
"Selamat malam Kev," ucap Sania lalu berjalan menjauh menaiki tangga menuju kamarnya.
"Sekarang.. mari kita berbincang," ucap Kevan ramah pada Christian.
"Jangan bersikap sok manis seperti itu padaku. Kita tak sedekat itu," ucap Chriatian dingin.
"Aku hanya melakukan apa yang disuruh Sania tadi. Kau tahu, dia itu memasang banyak cctv di seluruh rumah ini yang tak bisa kau lihat. Dia___"
"BERHENTI MEMBICARAKANKU !!!" teriak Sania dari atas.
"Itulah yang ku maksud," ucap Kevan membuat orang-orang yang ada disana terkikik geli. Termasuk Christian.
Malam itu menjadi malam yang panjang untuk kedua pria itu. Sementara Sania bersyukur melihat kedua pria yang bersitegang tadi sudah mulai sedikit bisa berhubungan baik dari cctvnya.
Sania pergi tidur dengan perasaan senang dan damai.
• • • • •
Pagi harinya...
Sania bangun dari tidur nyaman-nya karena gedoran di pintu kamarnya.
"Iya Kev.. sebentar lagi aku turun," teriak Sania lalu gedoran dipintunya berhenti.
Selalu begitu setiap pagi. Karena memang pintu kamarnya tidak bisa dibuka selain olehnya. Demi keamanan privasinya, wanita cantik itu sengaja mengunakan pemindai tangan buatan eropa yang ditambahkan beberapa modifikasi olehnya. Karena itulah kakaknya selalu membangunkannya dengan mengetuk pintunya beberapa kali. Selalu seperti itu.
Sania bangun dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya dengan malas. Karena ia masih sangat mengantuk.
Sembari menguncir kuda rambutnya, ia berjalan menuju pintu dan turun kebawah.
"Sarapan apa kita pagi ini ?" ucap Sania malas sambil membuka lemari es, dan mengambil jus jeruk dari sana.
"Aku membuat sandwich. Aku tau kau akan bangun kesiangan. Jadi, aku membuat itu untuk sarapan tadi pagi. Kau mau sarapan apa," ucap Kevan sambil memberikan sentuhan akhir pada hasil masakannya.
Sania mendengarkan kakaknya sambil meminum jus jeruknya.
"Memangnya sekarang jam berapa ? Aku juga mau sandwich," ucap Sania malas sambil membolak-balik apel yang ada dimangkuk buah besar, sambil bingung akan memakannya atau tidak.
Setelah menaruh gelas yang digunakannya untuk minum tadi, Sania lalu duduk didekat kakaknya.
"Jam 10. Ini_______"
"Astaga !! Hari ini aku ada kelas mengajar pagi Kev !! Aku harus_______"
"Mereka tadi sudah telepon ke rumah. Mereka bilang ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku bilang pada mereka kau tidak bisa datang hari ini,"
"Syukurlah. Terima kasih, ya. Aku memang sebenarnya malas mengajar hari ini,"
Sania yang mulanya berdiri, kini duduk lagi di kursinya. Ia lalu mulai memakan sandwich yang diberikan Kevan.
"Kau memang selalu malas setiap hari. Lagipula apa untungnya kau mengajar disana ? Asisten dosen ? Pekerjaan murahan apa itu ?" ucap Kevan sengaja mengejek adiknya.
"Tentu saja karena uang. Tapi alasan utamanya tentu saja karena dari sana aku jadi punya banyak fans pria kaya yang akan memberiku banyak hadiah," jelas Sania lalu ia melanjutkan memakan sandwich-nya lagi.
"Kau ini benar-benar,"
Sania hanya memeletkan lidahnya sebentar lalu kembali memakan sisa sandwich-nya.
"Christian akan datang 1 atau 2 jam lagi,"
"Untuk apa," ucap Sania setelah menelan potongan Sandwich terakhirnya.
"Kita akan mengadakan pertemuan keluarga. Dan Alice harus ada disini. Kau harus menyuruhnya datang," ucap Kevan serius.
"Baiklah. Apa El juga boleh kesini ?" ucap Sania pelan.
"El ? Siapa dia ?"
"Elvano Eldert. Putra-mu yang tak kau ketahui," tubuh Kevan langsung menegang setelah mendengarnya.
"Elvano .. terima kasih sudah menyisipkan namaku didalam namanya," ucap Kevan pelan. Tapi Sania tahu kalau kakaknya itu kini tengah bahagia.
"Berterima kasihlah pada Alice nanti, karena dia yang memberikan nama itu. Putramu itu sangat tampan sepertimu Kev, kau akan senang bertemu dengannya nanti. Begitu juga dengannya, selama ini dia selalu bertanya tentang Daddy-nya dan sangat ingin bertemu dengan Daddy-nya,"
"Ceritakan lebih banyak tentangnya," ucap Kevan dengan mata berbinar.
"Dia memiliki warna mata coklat gelap sepertimu. Pipinya sedikit gembul dan aku selalu mencubitnya setiap bertemu dengannya. Dia sangat menyukai mobil mewah karena melihat mobil-mobil bagus yang kubawa setiap aku datang kesana. Dia suka main ps. El juga sangat pintar disekolah. Dia lebih menurut padaku daripada Alice. Ahh !! Dia suka makanan italy sepertiku, terutama pizza,"
Kevan mendengarkan dengan antusias. Sania bahagia melihat kakaknya seperti itu.
"Yang jelas semua yang ada di diri El itu perpaduan dari kita berdua. Alice saja sampai marah saat melihat tak ada sama sekali hal pada dirinya yang menurun pada El. Entahlah. Mungkin sewaktu mengandungnya, Alice selalu memikirkanmu dan juga mungkin karena aku yang selalu membuat kesal Alice saat mengandung. Kau tahu. Wanita hamil itu mengerikan. Kalian para lelaki tak akan sanggup menghadapinya. Sungguh sangat mengerikan,"
Sania bergidik ngeri membayangkan masa lalunya.
"Aku menyesal tak bisa melihat tumbuh kembang El. Daddy macam apa aku ini. Aku disini sibuk dengan jalang yang tidak berguna, disana Alice dan El menunggu kedatanganku,"
Sania mengelus punggung tangan kakaknya.
"Sssttt... sudahlah Kev. Kau tak mengetahui tentang Alice waktu itu. Kau juga dalam keadaan tak sadar saat melakukannya. Kau tak_____"
"Aku pria b******k. Benar seperti itu kan,"
"Tidak sepenuhnya,"
Kevan menatap Sania bingung.
"Apa maksudmu ?" ucap Kevan tak mengerti.
"Ingat tidak setiap bulan aku selalu meminta uang padamu dan aku bilang untuk belanja. Sebenarnya uang itu ku berikan pada mereka untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Alice dan El hidup bahagia disana tanpa kekurangan apapun,"
"Terima kasih telah menjaga mereka untukku San,"
Sania tersenyum mengejek pada Kevan. Ia berniat menggoda kakaknya itu.
"Aku menjaga mereka untukku sendiri. Lumayan aku punya Alice yang selalu membuatkan macam-macam makanan untukku. Dan juga El. Aku jadi punya teman untuk diajak bermain,"
Kevan tersenyum kecil mendengarnya. Ia tahu adiknya ingin mencairkan suasana yang kurang nyaman diantara mereka. Kevan mengelus kepala adiknya sayang. Ia tahu ia bisa selalu mengandalkan adiknya itu disetiap kesempatan.
"Alice wanita yang cantik dan baik. Ya.. walaupun dia sedikit cerewet. Aku yakin kau akan langsung suka padanya saat pertama kali bertemu,"
'Semoga saja begitu, San,' ucap Kevan dalam hati.
Kevan menatap adiknya yang tengah menuangkan jus jeruk ke dalam gelas itu dengan senyum tulus. Tapi tiba-tiba terlintas ide jahil untuk menggoda adiknya.
"Kau sendiri kapan akan mulai mencintai pria. Nathan yang tampan dan baik seperti itu kau tak suka. Christian yang tampan juga banyak uang kau acuhkan. Kau mencari yang seperti apa sih ?"
Sania menatap sinis kakaknya yang saat ini tengah tersenyum mengejek kearahnya itu. Kakaknya selalu saja mencoba menjodohkannya seolah sudah malas menopang hidupnya disini. Tapi Sania tahu kakaknya itu hanya bercanda.
"Entahlah. Aku masih belum mendapatkan seseorang yang tepat." ucap Sania asal, tapi didalam hatinya sebenarnya ia berkata lain.
'Tapi didekat Christian aku merasakan hal aneh, Kev. Dan itu membuatku takut,'
"Bagaimana kalau aku mencarikan seorang pria untukmu ?"
Bersambung...