"Sayang.. tolong aku,"
Meski pelan, Sania masih bisa mendengarnya. Wajah Christian terlihat pucat dari tempatnya berdiri. Entah apa yang terjadi pada pria itu.
Wanita cantik itu lantas berjalan mendekati Christian.
"Apa yang terjadi padamu Christ ?" tanya Sania saat sudah berada di dekat Christian.
"Aku____"
Ucapan Christian langsung terhenti karena ia tiba-tiba membuka tutup closet didepannya dan sedikit membungkukkan badannya disana.
Huuueekk
Huuueekk
Huuueekk
Sania yang merasa kasihan melihat Christian muntah-muntah disana, langsung membantu mengurut leher belakang pria itu dengan lembut.
"Sudah ?" ucap Sania saat Christian sudah berhenti muntah.
Christian hanya mengangguk lemah dan memijit pelipisnya.
"Sini ... ku bantu bangun,"
Sania membantu Christian berdiri. Tangan Christian ditaruhnya dipundaknya.
Sania membawa Christian ke kamar tamu yang ada didekat tangga.
"Tidurlah disini,"
Sania membantu membaringkan Christian di ranjang. Ia melepas sepatu Christian lalu menyelimutinya.
Christian memejamkan matanya, tapi ia tidak tidur.
"Apa perutmu sudah terasa lebih baik ?"
Christian hanya mengangguk pelan.
"Akan kubuatkan teh mint untukmu. Itu akan membuatmu lebih baik,"
Sania lalu keluar dari kamar itu, berjalan menuju dapur.
Saat sampai disana, ia melihat kakaknya tengah membersihkan kekacauan yang dibuat Christian tadi.
"Kau disini ? Lalu El bersama siapa ?" ucap Sania pada kakaknya yang sedang menggerutu kesal.
"Bersama mommy-nya. Astaga !!! Siapa yang mengacaukan dapurku seperti ini !!!" ucap Kevan sambil terlihat kesal sat membersihkan dapurnya disana.
Sania mencoba menahan tawanya saat melihat kakaknya seperti itu. Ya. Kevan memang tidak suka dapurnya dibuat berantakan.
Tapi disaat yang bersamaan juga Sania menyadari sesuatu.
"Mommy-nya ?? Maksud mu Alice ?? Astaga !!! Kau membuat putramu dalam masalah Kev,"
Sania langsung berlari meninggalkan Kevan. Sedangkan Kevan mengernyit tak mengerti lalu melanjutkan kegiatannya tadi.
"Mommy gak akan bolehin El kemana-mana lagi mulai sekarang. El juga gak boleh main ps lagi. Mommy juga gak akan biarin El main sama aunty lagi,"
Begitulah yang didengar Sania saat ia sampai di ruang tengah. Alice marah dan berbicara sedikit berteriak pada El yang sekarang tengah menangis disofa.
"Aku tak percaya ini. Teganya kau bilang begitu. Kenapa kau menghukumnya seperti itu Al ? Kau juga berniat memisahkan kami. Kau sungguh jahat,"
Mendengar suara Sania, El langsung berlari kearahnya dan memeluk Sania. Sania mengelus kepala El sayang.
"El hanya anak kecil Al. Dia tak tahu apa yang dilakukannya. Kau cukup memberitahunya jika perbuatannya salah. Dia pasti mengerti,"
Sania mencoba menenangkan El agar ia berhenti menangis.
Tak lama Kevan datang dan menjadi orang tengah diantara mereka.
"Apa yang terjadi ? El.. kenapa menangis sayang," Kevan mencoba melepaskan El yang memeluk Sania. Tapi El menggeleng dan mengeratkan pelukannya.
Kevan menatap Sania penuh tanya. Sania hanya mengedikkan bahunya acuh. Ia lalu membawa El kedalam gendongannya dan membawanya pergi dari sana.
Kevan menatap kepergian adiknya dengan pandangan tak mengerti. Ia berpikir telah terjadi sesuatu sebelum ia datang.
Kevan berbalik dan menatap wanita yang tengah berdiri ditengah ruangan itu. Terlihat Alice tengah menangis disana. Kevan yang merasa iba langsung menghampirinya dan mengelus pundak Alice agar wanita itu sedikit tenang.
"Apa yang telah aku lakukan ? Aku telah membuatnya menangis," ucap Alice sambil menangis sesenggukan.
Kevan hanya diam. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia merasa canggung dengan situasi sekarang.
"Aku memang mommy yang jahat. Aku mommy yang bodoh. Aku tak pantas dipanggil mommy lagi," tangisan Alice semakin keras. Kevan langsung membawa Alice kedalam pelukannya mencoba menenangkannya.
Keduanya saling berpelukan dalam waktu yang lama.
• • • • •
"Tenanglah sayang. Aunty disini," ucap Sania berkali-kali pada El yang sekarang tengah tidur memeluknya. Sesekali Sania merapikan rambut El dan mengecup puncak kepala bocah itu lembut.
Ya, tadi Sania membawa El ke kamar Kevan dan menidurkannya disana.
Sebenarnya Sania mengkhawatirkan keadaan Christian juga, tapi sepertinya Christian bisa menunggu sebentar.
"Tidurlah yang nyenyak sayang," ucap Sania lalu mencium puncak kepala El. Ia turun dari ranjang dan menyelimuti El.
Sania keluar dan mendapati Alice ada didepan pintu. Sania langsung memasang wajah datarnya.
"San ... aku______"
"Aku sedang tak ingin berbicara sekarang. Maaf aku ada urusan," ucap Sania dingin lalu pergi dari sana, meninggalkan Alice sendiri disana.
Alice kembali menangis disana. Tubuhnya luruh ke lantai.
Sania menuruni tangga dan mendapati Kevan tengah berbicara sengan seorang dokter.
"Ya sudah.. kau boleh pergi," ucap Kevan pada dokter. Sania mendengarnya samar-samar.
"Tunggu !!!" cegah Sania saat dokter itu hendak pergi. Sania berlari mendekati dokter itu.
"Periksa temanku dulu. Dia tadi muntah-muntah. Entah apa yang terjadi padanya," ucap Sania pada dokter itu.
Kevan menatap Sania penuh tanya. Ia tak tahu siapa yang dimaksud adiknya itu.
"Baiklah. Dimana dia ?" ucap dokter itu.
"Ayo ikut aku," Sania lalu pergi bersama dokter meninggalkan Kevan.
Sepeninggal Sania, Kevan berlalu ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
• • • • •
"Apa yang dia makan terakhir ?" tanya dokter pada Sania yang ada didekatnya.
"Entahlah dokter. Apa ada masalah ?"
"Tak ada masalah serius. Hanya saja sepertinya ia salah makan atau salah minum tadi. Saat dia bangun berikan dia makanan atau minuman yang hangat agar perutnya membaik," ucap dokter lalu mengemasi barang-barangnya dan berdiri.
"Baiklah dokter terima kasih,"
Dokter itu mengangguk lalu keluar dari kamar. Sania melihat wajah Christian yang masih pucat.
"Aku lebih suka saat dirimu yang selalu menggangguku dan membuatku kesal. Aku tidak suka melihatmu terbaring lemah seperti ini," gumam Sania pelan. Ia lalu pergi keluar meninggalkan kamar itu.
Sania berjalan menuju dapur. Ia tahu pada jam seperti ini kakaknya berada di dapur untuk menyiapkan makan siang.
Saat sampai disana, ternyata Kevan tak sendiri. Ada Alice bersamanya. Terlihat keduanya tengah memasak bersama sambil sesekali tertawa.
"Kev," panggil Sania pada kaknya itu, membuat dua orang yang ada disana menengok kearahnya.
"Ya.. ada apa ?"
"Apa menu makan siang kita ?" ucap Sania datar.
"Emm.. aku membuat sup ayam. Kau mau kubuatkan apa ?"
"Tidak perlu. Aku akan makan itu juga nanti. Panggil aku jika sudah siap nanti. Aku ada diatas," ucap Sania dingin. Ia lalu berjalan menjauhi dapur dan menaiki tangga menuju lantai atas.
Sementara Kevan, ia merasa ada yang aneh pada sikap adiknya itu.
"Apa kau tahu, ada apa dengannya ? Dia menjadi aneh sejak aku melihatnya terakhir bersamamu diruang tengah,"
Kevan dan Alice memang sudah mencoba saling mengenal, keduanya sudah tak canggung lagi untuk berbicara satu sama lain.
"Sebenarnya itu karenaku. Aku tadi terlalu emosi hingga mengucapkan hal yang mungkin menyakiti hatinya. Aku tidak memperbolehkan El bermain lagi dengan Sania. Sebenarnya aku tak bermaksud seperti itu. Aku______"
"Kau tahu, Sania menceritakan tentangmu dan El tadi pagi dengan sangat antusias padaku. Aku melihatnya sangat bahagia tadi pagi saat bercerita. Dan beberapa jam kemudian, kau membuat hatinya hancur dengan perkataanmu," kevan berhenti sejenak untuk memberikan jeda.
"Sania memang terlihat kuat luarnya, tapi dia juga sama-sama wanita sepertimu. Hatinya rapuh dan sensitif. Aku ingin membantu kalian berbaikan, tapi untuk hal ini sepertinya aku tak bisa. Maaf. Kurasa kata-katamu tadi, melukai hatinya terlalu dalam,"
Kevan pergi meninggalkan Alice sendirian didapur.
Bukannya Kevan membenci Alice. Ia mengerti jika Alice tak sengaja mengatakan itu. Maka dari itu, ia meninggalkan Alice sendiri untuk menenangkan fikirannya dan mencari solusi atas masalahnya.
Kevan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Saat sudah berada didekat kamarnya, ia melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Ia mengintip sedikit dari sana. Ternyata ada Sania dan El didalam kamarnya. Samar-samar ia mendengarkan keduanya berbicara.
"Kenapa El sudah bangun sayang.. hmm ..." ucap Sania sambil mengusap keringat di dahi El.
"Aunty gak boleh pergi. Aunty harus disini sama El," ucap El dengan memeluk erat Sania.
"Aunty gak kemana-mana sayang. Aunty cuma lihat keadaan uncle tadi. Kasihan uncle sedang sakit. Maaf ya. El cari aunty ya,"
Kevan sedih saat mendengar suara Sania yang melemah. Ia tahu, saat ini adiknya itu sedang menahan tangis.
"Jadi aunty gak akan dengerin mommy kan. Aunty tetap mau bermain sama El kan,"
Sania diam sebentar lalu tersenyum kearah El. Ia dan bocah itu saling menyayangi karena itulah keduanya tidak bisa terpisahkan.
"Sayang.. dengerin aunty. Tadi mommy bilang begitu karena mommy sedang marah. Mommy tidak sungguh-sungguh mengatakannya sayang,"
Kevan tersenyum mendengarnya. Adiknya sudah dewasa sekarang.
"Tapi aunty tidak pernah seperti itu. Mommy tidak sayang El. Jika mommy sayang El, mommy tidak akan berbicara seperti itu,"
Sania melihat El dengan sedih. Baru pertama kali ini ia melihat El memancarkan pandangan penuh kebencian seperti itu. Tidak boleh. El tidak boleh seperti memendam perasaan seperti itu lebih lama lagi.
"El tidak boleh berbicara seperti itu. Seperti El yang sudah berbuat kesalahan, El harus memaafkan perkataan mommy tadi. Begitu juga El. El harus meminta maaf pada mommy karena El pergi keluar rumah diam-diam,"
El hanya diam. Sepertinya El tak sependapat dengan Sania. Sania yang tahu El diam saja akhirnya memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
"El lapar tidak. Daddy memasak sup ayam untuk makan siang. El mau ?"
Pancaran mata El berubah, mata bocah itu berbinar.
"Mau !!!" ucap El antusias.
"Tapi El harus mandi dulu. El mau mandi sama aunty atau______"
"Tentu bersama Daddy-nya. Iya kan boy ?" ucap Kevan sambil berjalan masuk.
El memandang Sania meminta jawaban. Melihat Sania mengangguk, El langsung turun dari ranjang dan berlari kearah Kevan.
"Hore.. mandi bersama Daddy !!" ucap El antusias. Kevan tersenyum melihat tawa bahagia putranya.
Sania bangun dari tidurnya. Ia duduk diatas ranjang. Ia bahagia melihat interaksi dua orang yang disayanginya itu. Kini keluarganya yang mulanya hanya ada dia dan Kevan saja, bertambah ramai dengan kehadiran El diantara mereka.
Kevan mengangkat El tinggi, dan memutar bocah itu diangkasa. Keduanya tertawa bahagia. Sania kembali tersenyum melihat itu.
"Sudah-sudah. Hentikan itu. Cepat pergi mandi sana," ucap Sania membuat El dan Kevan menghentikan kegiatan mereka. Mereka menatap Sania sebentar lalu berbisik-bisik satu sama lain.
Sania menatap mereka curiga.
"Kau mau melihat kami membuka baju didepanmu ?"
Kevan dan El bersiap membuka baju mereka didepan Sania. Sania menatap malas keduanya. Ia bukanlah orang yang mudah dijahili. Lihat saja.
"Boleh saja. Ayo buka baju kalian disini. Aku tidak keberatan," ucap Sania menggoda keduanya sambil berjalan kearah mereka.
El kaget dan terbelalak lucu saat mendengar perkataan Sania.
"Daddy.. El malu.. ayo kita ke kamar mandi," ucap El menarik-narik tangan Kevan.
Sania tertawa kecil, sedangkan Kevan tertawa keras sambil menggendong El ke kamar mandi.
Sania menggeleng kecil melihat itu, ia lalu keluar dari kamar kakaknya itu dan pergi menuju kamarnya sendiri yang berada tepat disebelah kamar kakaknya.
"Lelah sekali rasanya," ucap Sania menghempaskan dirinya di kasur. Wanita cantik itu terlihat menatap langit-langit kamarnya seolah tengah memikirkan sesuatu entah apa itu.
"Aku butuh liburan," ucap Sania lalu mengubah posisinya menjadi miring kekanan.
Sania memejamkan matanya disana. Ia ingin menikmati waktu yang ada meski hanya sebentar saja. Tapi suara gaduh dari luar membuat matanya langsung kembali terbuka dan tentu saja suasana hatinya seketika menjadi kesal karenanya.
Sania berjalan menuju balkon. Ia menggeser pintu hingga terbuka dan berjalan ke pagar pembatas, melihat apa yang terjadi dibawah sana. Kegaduhan apa yang mengganggu acara bersantainya itu.
"Kau tidak boleh masuk,"
"Kau bukan siapa-siapa. Jadi kau tak punya hak untuk melarang ku masuk,"
Begitulah perdebatan 2 pria dibawah sana. Sania hanya menatap malas kejadian itu seolah itu adalah hal yang menurutnya tidaklah penting sama sekali. Jadi acara bersantainya terganggu oleh dua pria tidak bertanggung jawab itu ? Sial.
"Memangnya mau apa kau kesini ?"
"Bos ku ada didalam. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting padanya,"
"Untuk apa bos mu kesini,"
"Itu bukan urusanmu. Dan kuperingatkan padamu. Luka lenganmu itu bentuk peringatan dari bos ku. Lebih baik kau menjauhi nona Sania jika tidak ingin mendapat luka baru ditubuhmu,"
Begitulah yang didengar Sania. Tak sampai disitu saja, kini Sania melihat jika kedua pria itu lalu bertatapan sengit dibawah sana. Seolah siap berbaku hantam kapanpun.
"Hei !!! Jangan berisik dirumah orang. Jika mau bertengkar pergi saja sana," teriak Sania yang tentu saja berhasil membuat kedua pria tadi menyudahi aksi saling menatapnya. Lagipula itu menggelikan. Melihat dua orang pria bertatapan ? Oh tidak.
Kedua pria itu kemudian mendongak menatap Sania yang terlihat berdiri dengan santai dibalkon tepat diatas mereka.
"Nona.. pria ini tak memperbolehkan saya masuk. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan bos,"
"Kan sudah kubilang bos-mu tidak ada disini. Kau ini_____"
"Jonathan Skyes !!! Biarkan saja dia masuk. Bosnya memang ada disini. Kau itu jangan sok tau," teriak Sania kesal.
'Jadi ketenanganku tadi terganggu karena perdebatan tidak penting mereka ? Astaga !!! Andai aku sedang memegang pistol saat ini,' batin Sania dalam hati.
Ya.. yang berdebat dibawah adalah Seth dan Nathan. Dua pria konyol itu sungguh tak ubahnya seperti bocah kecil yang mendebatkan hal tidak penting.
Setelahnya, Sania sudah tak peduli lagi dengan mereka dan memilih kembali masuk ke kamar dan langsung ke kamar mandi. Ia melakukan niat awalnya mengapa ia ke kamar tadi, yaitu mandi.
• • • • •
"Daddy wangi. El suka bau daddy. Hhhmm ..." ucap El memeluk Kevan yang sudah berpakaian. Sementara El hanya memakai handuk.
Kevan terkikik dengan tingkah El yang lucu itu. Ia lalu melepas pelukan putranya itu, dan mendudukkan El di pinggir ranjang.
"El pakek baju apa sekarang ya.. euummm ..."
El melihat Kevan yang sedang berfikir dengan tatapan polosnya.
"Tanya aunty saja," ucap El memberikan Kevan ide.
"Wah.. El pinter. El duduk sini dulu, Daddy mau tanya aunty ya,"
El mengangguk lucu, lalu Kevan keluar dari kamar. Ia menggedor pintu kamar Sania yang ada disebelah kamarnya. Tapi ia tak mendapat jawaban, jadi ia memutuskan untuk mencari Sania di bawah.
Saat dibawah, Kevan mendengar suara pria yang berasal dari ruang tengahnya. Karena penasaran, iapun berjalan ke ruang tengah, untuk mencari tahu suara siapa itu.
"Bagaimana bisa wanita cantik sepertimu sendirian disini,"
"Jangan ganggu wanitaku Nath. Atau kau mau merasakan pukulanku lagi setelah sekian lama," ucap Kevan pada Nathan yang tadi menggoda Alice. Suaranya terdengar mengancam karena merasa cemburu disana.
Seth yang ada disamping Nathan memasang senyum lebarnya karena senang melihat Nathan tak berkutik setelah mendengar ancaman Kevan tadi.
"Daripada mengganggunya, buatlah dirimu berguna. Pergi dan belikan pakaian lengkap untuk bocah kecil berusia 5 tahun, sekarang,"
Nathan tak menggubris perintah Kevan. Ia berpura-pura tak mendengar dan malah terus memandangi wajah Alice. Dia sudah mengundang bahaya.
Dengan kesal, Kevan berjalan mendekati Nathan dan langsung menonyor kepala pria itu dengan keras.
"Apa-apaan kau ini !!" ucap Nathan sambil mengelus kepalanya. Ya, tentu saja itu sakit.
Kevan langsung duduk disamping Alice dengan santainya tanpa mempedulikan Nathan.
"Maaf tuan, apa anda tahu dimana tuan Christian ? Ada yang ingin saya bicarakan dengannya," ucap Seth pada Kevan.
"Dia ada di kamar tamu dekat tangga. Entah apa yang terjadi dengannya. Sepertinya dia sakit," ucap Kevan tanpa melihat kearah Seth. Karena Kevan masih setia menatap tajam kearah Nathan yang terus memperhatikan Alice.
Seth langsung berdiri dan menuju tempat bossnya berada. Memang itulah niatnya datang kesana, 'kan ? Untuk menemui bosnya.
Sedangkan Alice, ia merasa risih dengan tatapan Nathan dan juga gugup saat Kevan merangkul bahunya.
"Berhenti menatapnya. Kau punya telinga tidak sih," ucap Kevan geram.
"Aku punya. Dan juga sangat disayangkan jika kecantikannya tak dinikmati,"
"Kau itu......"
Begitulah seterusnya. Kedua pria itu terus bertengkar untuk waktu yang lama sampai Kevan melupakan El yang masih menunggu dikamarnya.
• • • • •
"Ulangi perkataan aunty tadi,"
"Saat dimeja makan, El akan minta maaf pada mommy dan akan bersikap baik sampai aunty pulang. Jika nanti terjadi sesuatu tekan no. 1 pada ponsel yang diberikan aunty,"
Sania tersenyum mendengar perkataan bocah itu. El memang bocah yang pintar.
Sania mengelus kepala bocah itu sayang. Mendapati El duduk sendiri diranjang dengan mengenakan handuk saja membuat Sania tak habis pikir dengan kakaknya.
Bagaimana bisa Kevan meninggalkan El sendiri saja dikamar. Beruntung El anak yang pintar dan pemberani. Jadi, ia tak menangis berada di kamar besar itu seorang diri.
Jika dihitung, sudah hampir satu jam El sendirian disana. Beruntung Sania tadi masuk ke kamar Kevan karena ingin mencari kakaknya itu.
"Ayo kita turun," ajak Sania pada El. El mengangguk dan menggandeng tangan Sania.
"Memangnya Aunty mau kemana ?" tanya El saat menuruni tangga.
"Aunty mau bertemu dengan teman," ucap Sania jujur.
"Kapan aunty pulang ?" tanya El lagi.
"Euumm.. mungkin aunty akan pulang besok pagi sayang," jawab Sania dan mendapat anggukkan kecil tanda mengerti dari El.
Keduanya sudah sampai dilantai bawah. Mereka mendengar suara gaduh yang berasal dari ruang tengah.
Sania lalu membawa El kesana.
"Apa ada tamu aunty ?"
"Mungkin,"
Keduanya berjalan bergandengan hingga sampai diruang tengah.
"Berisik sekali !!" ucap Sania dengan sedikit berteriak.
El yang menggandeng tangan Sania, bukannya takut mendengar Sania berteriak malah terkikik geli melihat tingkah aunty-nya itu.
Semua orang yang ada disana langsung menatap kearahnya.
"Ya ampun El !! Maaf tadi Daddy lupa kalau El nungguin Daddy," ucap Kevan berlari menghampiri El.
"El gak pa pa. Aunty udah makein El baju," ucap El dengan senyum lucunya. Kevan menatap El dari atas kebawah.
"Darimana kau dapat baju ini," tanya Kevan pada Sania.
"Dari mencuri," ucap Sania asal dan menatap Kevan malas.
Semua orang disana terbelalak kaget dengan jawaban Sania.
Sania melihat satu persatu orang disana. Nathan yang bodoh tengah memandang Alice dengan intens. Seth duduk disebelah Christian dengan santai. Tunggu ? Christian ? Dia sudah sembuh ?
"Aunty pergi dulu ya. El gak boleh nakal," ucap Sania mencium pipi El lalu berjalan menuju meja yang berada di dekat Christian.
Sania mengambil kunci mobil dan hp yang tadi ditaruhnya disana. Saat ia hendak pergi tangannya dicekal oleh Christian yang tengah duduk disofa.
"Mau kemana kau ?" ucapnya dengan nada dingin seperti biasa.
"Lepaskan tanganmu dulu," ucap Sania tak kalah dingin. Lagipula siapa yang bertindak tidak sopan duluan.
Bukannya melepaskan, Christian hanya diam sambil memandangi Sania.
"Aku ada urusan. Lepaskan tanganmu. Kau menyakitiku," ucap Sania saat merasakan cekalan Christian semakin kuat disana.
"Aku mau jawaban yang lebih spesifik," ucap Christian terlihat bersi keras membuat Sania menggeleng tak percaya dengan sikap pria itu. Karena menurutnya itu terlalu posesif, mengingat tidak ada hubungan apapun diantara keduanya
Semua orang yang disana hanya menjadi penonton pertengkangkaran mereka. Tak ada satupun dari mereka yang ingin ikut campur.
Tapi sepertinya anak kecil lebih berani daripada orang dewasa. Terbukti El sekarang berjalan kearah Sania dan langsung menggigit lengan Christian.
Cekalan Christian langsung terlepas begitu saja. Bocah pintar.
"Uncle tidak boleh seperti itu. Menyakiti orang lain adalah perbuatan tidak baik," ucap El membuat semua orang disana terperangah.
"Aunty tidak papa ? Lengan aunty merah. Apakah ini sakit ?" ucap El sambil mengelus lengan Sania pelan, membuat Sania tersenyum. Sania menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan El.
Setelah mendapat jawaban dari Sania, El lalu beralih menatap tajam Christian.
"Aunty akan pergi menemui temannya dan akan pulang besok pagi. Apakah jawaban itu cukup uncle," ucap El marah pada Christian.
"El gak boleh bicara seperti itu sayang," ucap Sania sambil menangkup pipi El.
"Sudah sana El pergi makan sama mommy dan Daddy," ucap Sania lagi.
"Tapi___"
"Katanya tadi El lapar,"
"Yasudah. El akan pergi makan. Aunty hati-hati dijalan ya," ucap El lalu berjalan kearah Kevan dan Alice dan menyeret keduanya menuju meja makan.
Saat El, Kevan dan Alice tak terlihat lagi, Sania lalu beralih menatap tiga orang yang tersisa disana.
"Nath, Seth. Kalian tidak ikut makan bersama mereka ?"
"Apakah boleh nona ?" tanya Seth.
"Tentu saja," ucap Sania dengan tersenyum.
Seth langsung berdiri dadi duduknya dan berjalan memuju dapur.
"Aku ikut !" ucap Nathan berlari menyusul Seth.
"Nah. Bagaimana dengan dirimu ? Kau tidak ingin pergi makan bersama mereka ?" tanya Sania pada Christian.
Christian yang mulanya melihat kearah lain untuk meredam emosinya terlihat langsung kembali menatap Sania yang tengah berdiri didekatnya itu saat ditanyai seperti tadi.
"Bagaimana bisa bertemu dengan teman membutuhkan waktu selama itu,"
Sania hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Christian. Apa mau pria itu sebenarnya ? Tadi dia bertanya dan Sania menjawabnya, sekarang bukannya membiarkannya pergi, Christian malah tetap menahannya disana. Kenapa ?
"Apa pedulimu. Kakak ku sendiri saja tidak memusingkan hal itu, sedangkan kau bukan siapa-siapaku. Jadi berhenti ikut campur urusanku," ucap Sania lalu berjalan melewati Christian begitu saja.
Christian langsung berdiri dari duduknya. Ia melihat Sania berjalan menuju pintu.
"Hanya ada satu kemungkinan apa yang kau lakukan bersama temanmu sampai selama itu,"
Sania terus berjalan dan tak menghiraukan kicauan Christian dibelakang sana. Satu-satunya tujuannya adalah cepat pergi. Ia tidak peduli apa yang dipikirkan Christian mengenainya.
"Kau akan melakukan one night stand bersamanya, 'kan ?"
Sania langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar hinaan yang tidak bertanggung jawab itu. Ia berbalik menatap Christian datar. Ia berjalan dengan langkah pelan yang pasti kembali ketempat Christian.
"Jadi selama ini kau menganggapku w************n ? Apa aku terlihat seperti itu ?" ucap Sania menertawakannya dirinya sendiri. Ia tidak menyangka ada oranag yang bisa menganggapnya sehina dan semenjijikkan itu. Itu keterlaluan.
Christian hanya diam ditenpatnya.
"Ohh.. aku lupa. Pria yang suka mempermainkan wanita sepertimu, pasti menganggap semua wanita itu sama. Iya, 'kan ?"
Sania kini sudah berdiri tak jauh dari Christian. Ia memandang rendah kearah Christian. Ia bisa saja mencakar wajah pria itu sekarang juga tapi tak dilakukannya.
"Karena kau selama ini menggunakan wanita hanya untuk memuaskanmu saja. Dan aku targetmu berikutnya. Apa aku benar ? Tentu saja," ucap Sania tersenyum miris. Sania melihat rahang Christian mengeras disana. Ia tak peduli. Hinaan dibalas hinaan, right ?
"Aku tak bisa kau dapatkan semudah itu. Dan lagi pula, aku tak suka berhubungan dengan seorang mafia. Terlalu beresiko dan berbahaya. Aku lebih suka seorang miliuner kaya," ucap Sania sengaja menyindir Christian. Dan ya, itu memang benar. Semua pria yang dikencaninya secara singkat selama ini memang rata-rata adalah seorang milyuner kaya.
Christian menatap Sania marah. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal.
Sania tersenyum puas melihat itu. Siapa yang mulai berperang tadi ? Christian sudah memilih lawan yang salah.
"Kau !!!" Christian mengangkat tangannya hendak memukul Sania, tapi berhenti saat hampir menyentuh pipi Sania.
"Lihat ! Seorang mafia tak akan segan mengangkat tangannya untuk menyakiti wanitanya, meski itu adalah wanita yang dicintainya. Berbeda jika dia seorang milyuner, dia akan menjaga dan memanjakan wanitanya. Sudahlah. Membicarakan hal seperti ini denganmu percuma saja. Kau tak akan mengerti,"
Sania membalas tatapan tajam Christian. Christian menurunkan tangannya perlahan.
"Kau sudah selesai, 'kan ? Sekarang giliranku berbicara," ucap Christian mencoba menahan emosinya.
"Sayangnya aku tak mau mendengarkan. Aku tak punya waktu lagi. Aku harus pergi sekarang,"
Sania berbalik dan hendak pergi dari sana. Tapi Christian menarik lengan Sania hingga tubuhnya berbalik kembali pada posisinya.
"Kau sudah merendahkan dan menghancurkan harga diriku. Kau membuat anggapan yang keliru tentangku. Seorang mafia tak akan mengejar gadis yang akan ditidurinya. Seorang mafia akan selalu bisa mendapatkan wanita untuk ditidurinya tanpa bersusah payah. Aku tak pernah mengejar dan menginginkan wanita seperti sekarang ini. Aku mengejarmu bukan karena aku ingin mempermainkanmu dan menjadikanmu teman tidurku saja. Aku sungguh-sungguh suka padamu. Aku tertarik padamu. Aku ingin kau menjadi kekasihku atau bahkan lebih dari itu,"
Sania menatap wajah Christian lekat. Ia mencoba mencari kebohongan dari sana. Tapi nihil. Christian sepertinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Sudah kukatakan berapa kali padamu, aku bukan wanita yang cocok untuk kau jadikan kekasih. Carilah wanita lain diluar sana. Aku yakin kau akan menemukan wanita yang sesuai dan cocok untuk____"
"Aku tidak mau. Aku hanya menginginkan dirimu,"
'Bagaimana cara menjelaskannya pada si bodoh ini ? Dia sama sekali tak bisa mengerti,' batin Sania dalam hati.
"Baiklah. Ayo kita buat kesepakatan," ucap Sania sambil menurunkan tangan Christian yang mencengkram lengannya.
Christian tak menjawab. Ia hanya menyimak apa yang dikatakan Sania.
'Okey. Hanya ini jalan satu-satunya. Kuharap ini berhasil membuatnya menjauh dariku,' batin Sania dalam hati.
"Aku akan pergi jauh dan bersembunyi disuatu tempat. Kuberi kau waktu 2 minggu untuk menemukanku,"
Christian menyeringai saat mendengar perkataan Sania. Membuat Sania ragu apakah rencananya akan berhasil atau tidak ?
"Jika kau gagal, kau harus berhenti mengejarku dan jangan menggangguku lagi," lanjut Sania.
Sania merasa Christian sudah menyusun rencana di kepalanya. Terbukti dari seringai pria itu yang terlihat semakin melebar.
"Jika kau berhasil, aku akan menjadi kekasihmu," lanjut Sania dengan pelan seperti tak yakin dengan apa yang diucapkannya sendiri.
"Deal," ucap Christian dengan seringai puas.
Sania hanya diam ditempatnya. Entah mengapa ia merasa telah salah melakukan semua itu. Ia tak yakin bisa berhasil melihat sikap Christian yang nampak tenang dan seperti sudah memiliki sebuah rencana didalam kepalanya itu.
'Jika aku gagal, maka aku terpaksa harus menjadi wanitanya hingga dia yang memutuskan untuk melepaskanku, yang entah hingga kapan itu ? Bagaimana ini ?'
Bersambung...