Prolog

1134 Words
“Naya mana?” Rena yang sedang melamun menikmati senja di kafe tebing Abraham resort menoleh kaget. Satria tertawa gemas, lalu menyusul duduk setelah mencuri ciuman di bibir calon istrinya itu. Harusnya Rena senang bisa ditemani Satria di kafe dengan pemandangan laut luar biasa indah dan senja yang begitu romantis, tapi kehadiran wanita yang mengekor di belakangnya itu seketika menghancurkan moodnya. “Naya diajak Om Adnan jalan-jalan bersama ketiga cucu kesayangannya yang tadi baru datang,” jawab Rena. "Mereka sudah sampai?" "Sudah." "Bagaimana keadaan Freya?" tanya Satria tampak khawatir dengan keadaan kakaknya. "Kurang baik, begitu datang langsung tertidur." “Mau minum apa, Sat, biar sekalian aku pesankan?’’ sela wanita rekan bisnis Satria yang ikut duduk di meja mereka itu. “Tidak usah,” tolak Satria malah menyeruput jus di gelas Rena. Memilih bersikap acuh tak acuh, padahal Rena sudah muak melihat kelakuan anak tunggal Mahendra grup yang selama beberapa hari ini terus saja menempel di dekat Satria. “Kamu tadi jadi melihat foto hasil prewedding yang kemarin?” tanya Satria. “Jadi,” sahut Rena mengangguk. “Bagus kan?” “Banget, Naya sampai tidak berhenti tersenyum melihat foto kita yang pas bertiga di pantai.” ucap Rena dengan binar bahagianya. “Kalian ini aneh, lamarannya saja masih minggu depan tapi sudah foto prewedding duluan. Kalau sampai gagal tidak jadi menikah, bukannya foto kalian akan terbuang percuma?” celetuk wanita itu dengan tidak sopannya. “Maksud kamu ngomong begitu apa, Nad?!” sahut Satria ketus. Rena mendengus melihat Nadien mengedikkan bahunya tanpa sedikitpun merasa ada salah dari ucapannya. Dia bukannya tidak tahu kalau wanita itu selalu menatapnya remeh. Mungkin menganggap dirinya tidak pantas untuk seorang Satria yang sekarang menduduki kursi wakil direktur perusahan raksasa keluarga mereka. “Sopanlah sedikit! Banyak kata yang lebih pantas diucapkan, kenapa harus bicara seolah menyumpahi hubungan kami!” tegur Satria. “Kita sudah lama kenal Sat, kamu juga tahu kalau bicaraku memang suka ceplas-ceplos. Lagipula takdir orang siapa tahu. Yang sudah menikah saja bisa cerai karena diganggu pelakor, apalagi yang lamaran saja belum!” ocehnya semakin keterlaluan. Mendengar Nadine menyinggung soal pelakor raut muka Rena seketika berubah masam. Dia tidak bodoh, wanita itu memang sengaja menyindirnya. “Mulut sampah!” Bukannya tersinggung mendengar umpatan kasar Satria, Nadine justru tertawa lebar. Jangankan dimaki, dibanting Satria di atas tempat tidur pun Nadine sudah biasa. Kalau saja Rena tahu hubungan mereka di masa lalu, dia yakin pasti tidak akan sudi duduk ngobrol bertiga seperti sekarang. “Aku haus,” ucap Rena. “Sebentar!” sahut Satria beranjak. Seperti mendapat angin segar, Nadine menyeringai menatap Rena sinis. Bahkan meski sedari tadi sekretaris sekaligus calon istri Satria itu lebih banyak diam, tetap saja membuat Nadine muak. “Pantas saja dulu kamu bisa membuat Daniel Sanjaya dan Lena Iskandar bercerai. Di balik diammu ternyata paling pandai merayu, sampai-sampai seorang Jonathan Lin tidak keberatan anaknya menikahi wanita perusak rumah tangga orang yang bahkan punya anak haram.” cibirnya tajam, tapi Rena masih tetap tampak tenang. “Tidak masalah mau bagaimanapun orang menghinaku, tapi jangan sekali-kali berani menyebut anakku sebagai anak haram!” sahut Rena menoleh tajam. “Kenapa harus tersinggung? Semua orang juga tahu anakmu lahir di luar nikah dan tanpa ayah,” sindirnya makin menjadi. Yang Nadine tidak tahu, Rena adalah tipe wanita sabar yang lebih suka diam. Tadinya dia pikir bisa mempermalukan Rena kalau wanita itu berteriak marah dan jadi tontonan di kafe yang penuh pengunjung itu. “Sekarang aku justru berpikir, kamu begitu membenciku pasti karena sakit hati Satria lebih memilihku. Seperti apa masa lalu Satria, aku sudah jelas itu. Apakah kamu salah satu dari wanita yang pernah dia tiduri?” balas Rena. Mata Nadine melotot, mulut tajamnya yang sedari tadi tidak berhenti mencari gara-gara tiba-tiba terbungkam bisu. Tidak ingin memperkeruh keadaan, Rena melangkah ke pagar pembatas paling luar yang menghadap langsung ke hamparan lautan. Indah, senja di sana memang tidak ada tandingannya. “Melamun lagi?” Senyum Rena merekah saat Satria datang dan memeluknya hangat dari belakang. Seperti belum puas, pria itu taqpa malu sedikit pun mulai menghujaninya dengan ciuman. “Bagaimana pembicaraanmu tadi dengan Nadine? Ada hasil?” tanya Rena. “Belum, pihak Mahendra tetap ngotot minta separuh saham.” geleng Satria. “Sat ...." “Hm ...." gumam Satria masih tidak berniat melepas pelukannya di pinggang Rena. “Selalu ingat kesepakatan kita, tidak ada kata maaf untuk pengkhianatan!” “Kamu curiga aku ada apa-apa dengan Nadine?” tebak Satria setelah mendengar Rena yang tiba-tiba menyinggung soal itu. “Tidakkah kamu merasa sikapnya terlalu kelewat sinis. Orang bodoh juga tahu dia selalu berusaha untuk selalu dekat denganmu. Jangan bilang dia juga salah satu mantan teman tidurmu ya?!” ketus Rena. “Kami hanya membicarakan soal kerjasama Linzone dan Mahendra grup, Ren. Kenapa bicaramu malah ngelantur?” “Statusmu yang mantan buaya membuatku ketar-ketir tidak tenang. Sudah begitu Nadine selalu saja menyebalkan dan genit ke kamu. Wajar kan kalau aku kesal?!” sahut Rena. Satria tertawa, lalu membalik tubuh Rena dan kembali merengkuhnya erat. Dulu saat mereka memutuskan berpisah karena salah paham, dirinya bahkan patah hati setengah mati. Susah payah untuk bisa bersama lagi, mana mungkin Satria berbuat bodoh dan menghancurkan semuanya. Sampai kapanpun dia tidak akan siap kehilangan Rena dan Naya, gadis kecil yang sudah Satria anggap juga sayangi seperti anak kandung sendiri. “Kamu cemburu?” godanya. “Memangnya tidak boleh?” “Boleh, yang banyak juga tidak apa-apa.” sahut Satria terkekeh. “Kayak kamu kalau kita sedang bertemu Bang Rendra ya?” sindir Rena. Satria mengecup bibir Rena gemas. Saking bahagianya mereka sampai lupa kalau juga ada Nadine disana. Wanita itu merengut kesal, lalu pergi begitu saja. Tadinya Nadine sudah merasa yakin kedekatannya dengan Satria akan bisa dia manfaatkan untuk mendapatkan kontrak kerjasama itu dengan poin penting sesuai tuntutan mereka. Sayangnya semua meleset dari perkiraannya, karena nyatanya Satria bukan lagi casanova yang dulu pernah berbagi ranjang dengannya. Terlebih kedatangan keluarga besar Satria hari itu ke Bali, justru akan membuat Nadine tersandung masalah dan menghancurkan rencana kerjasama perusahaan mereka. “Ayo balik ke villa, nanti anak-anak keburu pulang! Freya lagi sakit, kasihan kalau masih harus dipusingkan ketiga anaknya.” ajak Rena. “Sakit dibuat sendiri!” gerutu Satria. “Dia kakakmu.” “Sudah tahu ketiga anaknya masih kecil, malah hamil lagi. Sialnya kalau Freya hamil selalu aku yang jadi korban ngidamnya!” gerutu Satria. “Anggap saja latihan, Sat. Biar nantinya kalau aku hamil dan ngidam yang aneh-aneh, kamu sudah tidak kaget.” Senyum di wajah Satria seketika menghilang begitu mendengar Rena menyinggung soal anak. Satu hal yang Rena belum tahu tentang calon suaminya, meskipun sangat menyayangi para keponakannya dan juga Naya, tapi pria itu tidak pernah menginginkan punya anak dari darah dagingnya sendiri. Hal penting yang hingga kini belum pernah Satria bicarakan dengan Rena, padahal sebentar lagi mereka sudah memutuskan untuk serius melangkah ke jenjang pernikahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD