Kuncoro duduk di sofa seraya memandang Yura dan Rasya bergantian.
“Sebaiknya kalian segera menikah. Saya sudah lelah dengan pekerjaan ini. Usia kamu sudah tiga puluh Rasya, mau sampai kapan kamu melajang?” tanya Kuncoro dengan pandangan matanya yang menatap pilu kepada Rasya, dia pun membetulkan letak kacamatanya yang melorot dengan jari telunjuknya.
“Anda tidak punya hak mengatur saya!” ucap Rasya ketus.
“Saya punya hak penuh. Usia saya mungkin tak lama lagi Rasya dan saya ingin melepas tanggung jawab ini, lagi pula kamu Yura,” ucap Kuncoro melihat ke arah Yura yang hanya menunduk. Tadi Rasya sudah mengenalkan Yura kepada Kuncoro secara singkat.
“Y-ya?” ucap Yura seraya mengangkat wajahnya.
“Kamu jangan mau hanya dimanfaatkan tubuhnya saja. Kamu harus minta tanggung jawab kepadanya,” ucap Kuncoro seperti ayah menasehati anaknya. Yura hanya mengangguk seraya menatap Rasya. Dia merasa mereka semalam memang tak berhubungan karena bagian bawah tubuhnya tak terasa aneh. Namun ... Rasya sudah melihat tubuh mulusnya yang tak berbusana.
“Mas Rasya harus tanggung jawab,” ujar Yura seraya menunduk takut. Rasya bahkan tak tahu apakah semalam tadi dia telah menggagahi Yura karena kepalanya yang pusing dan tak mengingat apapun. Rasya menoleh ke arah Kuncoro. Hanya dengan jalan menikah, dia bisa mendapat kebebasan dari bayang-bayang pria tua itu setelah orang tuanya meninggal. Akhirnya dia pun mengangguk.
“Aku akan menikahi kamu,” ucap Rasya tegas. Yura membelalakkan mata, tak menyangka bahwa Rasya akan mengatakan itu padahal dia hanya ingin mengancamnya tadi agar Kuncoro pergi dan dia bisa segera pulang.
Yura melihat ponselnya yang terus bergetar, panggilan masuk dari Dela sejak tadi tak henti, padahal biasanya jika sekali tidak diangkat, Dela akan berhenti meneleponnya. Yura merasa sesuatu yang tidak beres pasti telah terjadi, karena itu dia menerima panggilan itu.
“Ya Del?”
“Kamu kemana aja sih!!!!” teriak Dela, suaranya terdengar bergetar, “nenek Ana meninggal! Sekarang kita di rumah sakit! Cepat kesini!” sentak Dela setelah menyebutkan nama rumah sakit. Tangan Yura bergetar dan menjatuhkan ponselnya dia pun menangis, membuat Kuncoro dan Rasya saling tatap dengan sorot penuh pertanyaan.
“N-nenek!!!” teriak Yura seraya beranjak dan berlari hingga Rasya mengejar dan memegang tangannya.
“Ada apa?” tanya Rasya.
“Nenek meninggal!” ujar Yura seraya menangis.
“Tunggu sebentar,” ucap Rasya seraya berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian, dia harus mengantarkan Yura, tak tega melihatnya yang linglung dia pasti sangat bingung dan sedih saat ini.
Kuncoro menahan senyumnya melihat Rasya dan Yura, tugasnya akan segera selesai dan dia akan bebas dari tanggung jawab setelah menikahi Rasya seperti pesan peninggalan orang tua Rasya yang juga merupakan sahabatnya semasa hidup.
***
Rasya singgah ke apotik milik salah satu kenalannya, tadi dia sempat menemani Yura di rumah sakit, membayar biaya administrasi juga ambulance untuk neneknya yang telah meninggal, di pemakaman pun dia yang mengeluarkan uang untuk membayar segala hal. Dengan jujur dia mengatakan bahwa dia calon suami Yura sehingga para warga tidak menaruh curiga.
Yura sendiri tampak sangat kehilangan, dia hanya bisa menangis dan terus menangis, wajar saja karena nenek Ana satu-satunya anggota keluarga yang dikenalnya tidak ada yang lain.
Hampir sore ketika Rasya masuk ke apotik tersebut, temannya pun langsung menyambutnya. Pria dengan mata sipit sepertinya namun bertubuh gempal itu tersenyum melihat Rasya.
“Saya sudah siapkan obat untuk kamu. Ah harusnya kamu tahu bahwa tidak semua obat bisa diminum bersamaan!”
“Kepala saya terlalu pusing semalam,” ujar Rasya, bahkan sampai kini dia masih merasa kepalanya yang berdentum seolah puluhan genderang bertaluh bersamaan.
“Untungnya kamu tidak mati,” dengus pemilik apotek itu, dia lalu menyerahkan dua jenis obat untuk Rasya, “yang satu kamu minum sekarang, untuk meredakan sakit kepalanya, yang satu nanti jika sudah sampai rumah, karena efeknya bisa mengantuk, kamu perlu istirahat yang cukup,” ujarnya.
Rasya menerima obat itu dan membayar biayanya, lalu dia pergi meninggalkan apotek setelah mengucap terima kasih meski dingin suaranya. Bukan Rasya namanya jika banyak berbicara dan hampir semua orang di lingkungannya mengetahui itu.
***
Yura menatap kamar neneknya, merasa menyesal, seandainya waktu diputar kembali. Tak ingin dia menginap di rumah Rasya malam tadi. Atau jika bisa diputar ke waktu sebelumnya, dia tidak mau berurusan dengan pria itu.
Matanya sudah tak bisa menangis lagi, terlalu banyak menangisi sang nenek sejak tadi. Hari sudah semakin malam dan dia duduk di tepi ranjang pembaringan terakhir nenek. Mengedarkan pandangan ke kamar neneknya yang tampak berantakan, beberapa buku terjatuh dari rak buku sang nenek yang memang gemar membaca buku. Beberapa di antaranya buku bertuliskan bahasa Jepang.
Yura mengambil satu buku yang terjatuh di lantai, buku itu terbuka dan ada jejak sepatu di atas kertas yang terbuka itu. Yura membiarkan buku itu tetap terbuka dan meletakkan di sisi ranjang, itu adalah buku favorit neneknya. Kisah tentang kerajaan pada masa dulu. Sehingga warna buku itu pun sudah menguning.
Dokter bilang bahwa neneknya mengalami sesak napas yang mengakibatkan kehilangan nyawanya, para warga yang datang menghibur mengatakan kepada Yura bahwa sang nenek memang sudah renta dan sudah waktunya meninggal. Namun seandainya bisa ... Yura ingin berada di sisi sang nenek saat beliau mengembuskan napas terakhir. Bukan seperti ini!
Beberapa warga masih tampak membereskan kursi-kursi di halaman rumah Yura, Dela pun tampak membantu membereskan bagian dalam rumah bersama beberapa wanita lainnya.
Yura menoleh ke arah jendela, mendengar suara dari para warga yang tengah berberes.
“Semalam saya samar mendengar suara minta tolong, hanya sekali, tapi saya enggak yakin apa itu suara nenek Ana?” ucap seorang pria yang entah siapa?
“Ah enggak mungkin, kita semua tahu nenek Ana enggak bisa berbicara,” jawab rekan lainnya.
“Ya saya juga berpikir begitu, tapi seandainya saja saya memeriksanya, saya sempat berpikir apakah suara minta tolong itu berasal dari televisi?”
“Sudah jangan disesali, nenek Ana sudah tenang, sekarang kita doakan saja,” ucap rekan lainnya itu lalu terdengar suara kursi di seret, sepertinya mereka telah menyelesaikan menumpuk kursi dan akan membawanya kembali ke kediaman kepala rukun warga.
“Ra,” panggil Dela, Yura mengangkat wajahnya yang pucat, menatap teman dekatnya yang juga tampak kelelahan dan sedih. Jelas saja Dela terlihat sedih karena dia yang pertama kali mengetahui bahwa nenek Ana telah tiada.
“Pagi tadi, saat menemukan nenek, apa pintu terkunci?” tanya Yura. Dela menatap langit-langit seolah berpikir. Memutar kembali ke masa pagi tadi, ingatannya dipaksa bekerja keras karena sejujurnya dia sangat terkejut mendapati nenek Ana sudah tak bernyawa yang sempat membuatnya menjerit persis orang gila dan berlarian ke luar rumah nenek Ana.
“Pagi tadi, ya aku ingat, rumah ini enggak di kunci, karena itu aku panggil nenek Ana, aku pikir nenek sudah bangun karena semalam aku ingat pintu di kunci. Saat aku mencari nenek di dalam, aku lihat nenek masih tertidur di kamar, aku mencoba membangunkannya karena nenek Ana hampir enggak pernah bangun siang kan? t-tapi ... nenek enggak mau bangun, ku rasakan hidungnya enggak bernapas,” ucap Dela sambil kembali terisak.
Yura memeluk untuk menenangkannya, “aku tahu ini berat Del, tapi bolehkah aku tanya satu hal lagi? Aku curiga dengan kematian nenek,” ucap Yura. Dela mengangguk, melepas pelukan Yura dan memegang tangannya.
“Saat kamu ke kamar nenek, apa kondisi kamar berantakan seperti ini?”
“Aku melihat beberapa buku jatuh, aku bahkan sempat meletakkan dua buku ke raknya, aku pikir nenek mungkin tak sengaja menubruk lemari buku karena kamu bilang penglihatan nenek agak terganggu kan belakangan?”
“Lalu kenapa buku-buku terbuka? Nenek tentu enggak mungkin membacanya kan?”
“Saat aku memanggil warga, mereka berlarian ke kamar dan sepertinya beberapa di antara warga menabrak lemari buku dan membuat buku itu terjatuh dan terbuka. Ra ... kamu lelah, jangan berpikir macam-macam ya, sebaiknya kamu istirahat sekarang,” ucap Dela. Meminta Yura bangkit namun Yura enggan. Dia masih ingin bernostalgia di kamar sang nenek, menyesap aroma neneknya berlama-lama.
“Ya sudah kalau kamu enggak mau bangun. Aku pulang dulu ya, mandi dan ganti pakaian. Setelah ini aku akan menginap di sini,” ucap Dela.
“Terima kasih ya Del,” bisik Yura.
“Kamu istirahat ya,” ucap Dela. Dia pun mengajak beberapa wanita yang masih ada di rumah itu untuk keluar karena Yura pasti butuh istirahat, terlebih rumah itu sudah selesai dirapikan.
Dela menutup pintu rumah Yura, namun angin membukanya kembali. Dela pun melihat handle pintu tersebut.
“Apa rusak ya?” tanyanya. Belum sempat dia berpikir lebih jauh, dia mendapatkan panggilan alam, ya perutnya terasa sangat sakit. Dia menahan mulasnya seharian ini karena terlalu sibuk mengurus pemakaman dan menemani Yura. Kini dia berlari cepat menuju rumahnya yang berada tak jauh dari rumah Yura dia harus menuntaskan hajatnya dan setelah ini dia akan kembali ke rumah Yura segera.
Lagi pula masih banyak warga di sekitar rumah Yura, tak mungkin ada apa-apa kan? Hari juga masih belum terlalu malam.
***
Rasya membuka matanya setelah beberapa jam tertidur pulas, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dia turun dari ranjangnya dan menuju kamar Sonia, rupanya gadis kecil itu sudah tertidur, di luar gerimis, udara menjadi sedikit dingin dan sangat nyaman untuknya tidur.
Rasya kembali ke kamar dan memutuskan mandi, saat menyabuni tubuhnya dia mengingat Yura. Apa wanita itu sudah makan? Dari yang Rasya tahu, Yura hanya tinggal berdua dengan sang nenek, wanita itu pasti sangat bersedih. Rasa sesal ikut menyergapnya, seandainya dia tak pulang terlalu larut tentu dia bisa mengantar Yura pulang untuk menemani sang nenek.
Dengan pemikiran itu, Rasya mempercepat mandinya. Dia memutuskan ke rumah Yura untuk melihat keadaannya, bukankah dia telah berjanji untuk menikahi gadis itu?
***