Ada kalanya sebuah tatapan mengungkapkan ribuan perkataan, yang hanya mampu tersimpan di dalam batin seseorang. Sama seperti saat ini, ketika Skylar menatap tajam kepada Dyandra. Sekian makna dapat terlihat disana. Namun, yang terpampang hanyalah aura penolakan dari keduanya.
“Kenapa diam? Akui saja kalau memang menurutmu aku tampan,” tegas Skylar tersenyum nakal.
“Silakan bermimpi, Tuan Skylar!” elak Dyandra melengos ke arah berlawanan. “Demi apa ada lelaki yang dengan penuh percaya diri mengakui kalau dirinya tampan?” Lanjut mendengkus kesal.
“Aku rasa aku lebih tampan dari suamimu yang di foto itu,” lanjut Skylar memuji dirinya sendiri.
“Ih, amit-amit!” pekik Dyandra. Sengaja membuat wajahnya sesinis mungkin. “Suamiku seratus kali lipat lebih tampan darimu. Dan yang jelas dia tidak angkuh sepertimu!”
Kali ini, biarlah ia membanggakan Arka agar tidak kalah berdebat dengan Skylar, calon partner kerja yang terbaru. Mengatakan Arka jauh lebih tampan walau dalam hati merasa mual saat melakukannya.
“Siapkan kantor untukku,” ulang Skylar mengingatkan kembali. Ia tidak memperpanjang pembahasan siapa lebih tampan. Dia atau Arka?
“Tidak mau!” tolak Dyandra detik itu juga. “Aku bukan pesuruhmu yang bisa kamu perintah-perintah!”
“Lalu? Tidak jadi merger?” ledek Skylar meremehkan penolakan itu. Wajah tampannya entah kenapa terlihat justru menggemaskan saat ia meledek seperti ini.
“Aku tidak peduli!” balas Dyandra semakin kesal dan membuang muka. “Dasar manusia narsistik!”
“Ya, sudah, aku akan katakan pada papaku bahwa putri Pak Batara yang menggagalkan merger ini. Karena dia tidak mau membuatkan kantor untukku,” sahut Skylar santai. Berjalan keluar sambil memamerkan tubuh bagian belakangnya yang terlihat tegap dan atletis.
“Eeeh! Jangan begitu!” cegah Dyandra takut kalau benar-benar diadukan kepada sahabat ayahnya.
“Good! Dua hari lagi aku kembali dan kantorku sudah harus siap!” Lekaki itu tersenyum puas, merasa menang.
‘Sial! Di rumah aku harus bersabar dengan Arka! Di kantor aku harus bersabar dengan Skylar. Ada apa dengan para lelaki dalam hidupku ini?’ Hela napas panjang penuh beban diembus oleh Dyandra.
***
Ponsel Dyandra terus berdering. Moeryati sang mertua menelpon berkali-kali sementara Dyandra sedang melakukan rutinitas sehari-hari yaitu melihat secara langsung bagaimana keadaan toko serta para karyawan.
Ketika ia kembali ke ruangan dan mendengar nada panggil tak berhenti, kakinya bergegas menyambar benda pipih di atas meja. Napas sedikit terengah, terutama setelah melihat siapa yang menelepon.
“Iya, Ma?” gopoh Dyandra menjawab panggilan. Dia baru saja berkeliling toko tanpa membawa ponsel sehingga tidak mengetahui ada telepon.
“Kamu dari mana saja!” bentak mertuanya marah.
“Iya maaf, Ma. Ada apa?” Dyandra sudah terbiasa dibentak dan dicibir oleh Ibunda Arka tersebut.
“Cersey sakit ini! Badannya panas! Cepat pulang!” seru Moeryati semakin terdengar marah.
Dyandra terkejut. Bayangan keselamatan bayinya langsung terlintas. “Mas Arka sudah di telpon, Ma?” gugup, ia bertanya dan entah kenapa jika berhubungan dengan wanita penyewa rahim tersebut, ia selalu mengarah kepada sang suami.
“Arka sedang ada rapat penting! Kamu bawa Cersey ke dokter! Sekarang!” perintah Nyonya Besar di kediaman Hasbyan terdengar sangat jengkel kepada menantunya. “Ini tanggung jawabmu!”
Tanpa berlama-lama, Dyandra segera berlari keluar kantor. Cepat menginjak pedal gas mobilnya. Kembali ke rumah untuk menjemput Cersey, sambil berdoa bayinya baik-baik saja.
Sesampai di rumah, Dyandra langsung menghambur keluar kendaraan. Ia berlari sekencang mungkin ke dalam kamar wanita yang sangat ia benci, tetapi juga sangat ia jaga keberadaannya.
“Kamu kenapa?” Terengah-engah Dyandra mendekat, memegang kepala Cersey.
“Ya ampun! Kamu panas sekali! Ayo, kita ke rumah sakit!” panik Dyandra langsung memapah Cersey.
“Aku pusing sekali, Mbak,” keluh kekasih gelap Arka tersebut bergelayut di lengan Dyandra.
Beberapa pembantu rumah tangga di sana ikut membantu keduanya berjalan menuju mobil. Sepanjang perjalanan Cersey menutup matanya dan beberapa kali mengerang, menahan sakit.
“Apanya yang sakit?” Dyandra tambah panik. “Perutmu sakit?”
“Kepalaku rasanya seperti dihantam palu, Mbak!” rintihnya terus kesakitan. “Perutku tidak apa-apa.”
“Kamu harus kuat, Cersey! Ada anakku di dalam sana! Kurang sedikit lagi kita sampai rumah sakit!” Dyandra sudah tidak peduli siapa wanita di sebelah dan apa yang sudah dilakukan kepadanya. Setiap ia melihat perut Cersey yang telah membuncit, hanya ada bayangan seorang bayi mungil di sana … anaknya.
Nyonya Hasbyan menambah pijakan di pedal gas mobil agar melaju lebih cepat. Layaknya seorang pembalap, ia meliuk ke kanan dan ke kiri, menyalip berbagai mobil sambil membunyikan klakson berkali-kali.
Suara ban berdecit persis di depan UGD. Mobil Dyandra berhenti dan ia segera turun.
“Pak, tolong! Adik saya sedang kesakitan!” teriak Dyandra memanggil petugas di dalam ruang UGD.
Dua orang lelaki berseragam perawat segera keluar membawa ranjang rumah sakit.
“Mbak Dya, dimana Mas Arka?” racau Cersey mencari kekasihnya.
Dyandra merasa hati disambar petir untuk yang kesekian kalinya. Untuk apa perempuan itu mencari suaminya? Ia tidak menjawab pertanyaan Cersey. Bibir tidak sanggup bergerak mengucapkan apa pun. Matanya mengikuti gerakan ranjang rumah sakit yang membawa Cersey masuk ke dalam UGD.
“Ibu, parkir saja dulu mobilnya di sana,” saran seorang petugas security menunjuk area parkir.
“Eh, iya, Pak,” balas Dyandra seperti linglung.
Sudah menggila di jalan raya demi bisa segera mencapai rumah sakit, ternyata diakhiri dengan adegan Cersey mencari suaminya … secara terang-terangan. Keberanian mencari Arka seperti sebuah tamparan besar dan sakit, di wajah Dyandra. Apakah ia benar-benar sudah tidak dianggap oleh mereka?
***
Dokter jaga segera memeriksa Cersey. Sementara itu, Dyandra menulis pesan kepada suaminya melalui aplikasi chat, tetapi tidak dibaca. Ia juga menelpon berkali-kali dan tetap tidak dijawab. Terakhir sebuah pesan dititipkan saja ke sekretaris Arka, bahwa Cersey sedang sakit.
Dyandra kemudian menghubungi kakaknya. Rasa khawatir dan takut membuat ia membutuhkan teman untuk bercerita.
Dyandra [Aku di rumah sakit. Cersey mendadak panas. Aku kuatir bayiku.]
Drupadi [Dokter berkata apa? Sakit apa dia?]
Dyandra [Tidak tahu sakit apa. Kepalanya sakit sekali dan badannya panas.]
Drupadi [Di mana suamimu?]
Dyandra [Arka aku hubungi juga tidak bisa. Kata Mama, dia sedang rapat penting. Dan tahu tidak, Dru? Cersey bisa-bisanya bertanya padaku, dimana Arka? Apa dia tidak merasa sungkan?]
Drupadi [Perempuan tidak tahu malu. Lihat saja, kalau keponakanku sudah lahir dan resmi menjadi anakmu, akan kulempar dia dengan air bekas cuci piring!]
Dyandra [Aku muak sekali dengan semua ini. Ingin kucakar wajahnya lalu kujambak rambut panjangnya itu! Aku mau gila rasanya, Dru!]
Drupadi [Jangan gila! Ada Skylar di kantor, bukan? Hahahaha!]
Dyandra [Kamu yang gila! Hahahaha!]
Drupadi [Kalian cocok berdua! Buang saja suamimu itu! Biar dia menua bersama Cersey!]
Begitulah isi pembicaraan Dyandra dengan kakaknya yang sudah muak dengan perilaku Arka. Dyandra tahu, maksud Drupadi soal Skylar hanyalah sekedar bercanda. Akan tetapi memang tidak dapat dipungkiri, lelaki blasteran itu sungguh nyaman dipandang.
Nyaman dipandang, bukan nyaman untuk diajak berbicara apalagi berdiskusi. Skylar dengan sikap dingin, angkuh, dan meremehkan wanita, sungguh menyebalkan bagi Dyandra. Ia menghela napas berat, memejamkan mata sambil menyenderkan kepala di dinding.
“Keluarga Bu Cersey? Bisa masuk ke dalam?” panggil perawat membuyarkan lamunan Dyandra. “Dokter ingin berbicara sebentar.”
“Kami sedang melakukan tes laboratorium. Untuk mengetahui apakah ada infeksi di dalam tubuhnya atau tidak. Ada berkas-berkas yang harus ditandatangani. Suaminya dimana?” tanya dokter jaga mempersiapkan beberapa kertas.
“Suaminya tidak ada. Sedang pergi tugas, berlayar,” jawab Dyandra, seperti yang sudah-sudah dengan skenario yang sama. “Saya kakaknya. Saya saja yang tanda tangan,” putusnya mengambil kertas dari tangan dokter jaga, lalu menandatangani semua yang diperlukan.
“Baik, tunggu sebentar. Kondisi Bu Cersey sudah stabil. Demamnya sudah kami turunkan. Tapi ia masih lemas. Silahkan ditemani, sambil menunggu hasil laboratorium keluar.”
Sebuah anggukan dilakukan Dyandra sembari menatap Cersey dengan berbagai campuran perasaan. Perut wanita telah bertambah besar. Dengan terpaksa, ia menunggui wanita simpanan suaminya itu. Walau kesal, tetapi juga penuh harap bahwa bayinya akan baik-baik saja.
***
Ingatan bagaimana pertama kali ia bertemu dengan Cersey mulai melintas kembali seperti playback dalam sebuah film.
“Hai, saya Cersey!” sapa wanita berparas manis dan segar bernama Cersey itu kepada Dyandra dan Arka, memperkenalkan dirinya sekian bulan lalu.
Wajah yang sangat bersahabat dengan bahasa tubuh yang penuh rasa percaya diri. Itulah kesan pertama yang dilihat Dyandra pada Cersey.
“Aku Dyandra. Ini Arka, suamiku. Kami pasangan yang akan menyewa rahimmu untuk diisi dengan anak kami,” beber Dyandra langsung pada pokok permasalahan.
“Aku sudah siap. Dan aku berjanji akan selalu menjaga bayi kalian!” yakin Cersey pada waktu itu.
“Apakah kamu bersedia tinggal bersama kami? Karena kami harus yakin kamu selalu sehat sampai hari persalinan nanti,” tanya Dyandra memberikan syarat.
“Baiklah kalau memang itu yang kalian mau. Aku akan tinggal bersama kalian.”
Siapa yang menyangka, bahwa kesediaan Cersey tinggal bersama, akan berbuah petaka di kemudian hari. Pada detik itu, Arka bahkan tidak melihat kepada sang wanita lebih dari tiga detik. Sama sekali tidak ada ketertarikan sang lelaki. Namun sekarang … setiap malam ….
Dyandra menunduk, merenung nasib pernikahannya. Sesuatu mengaduk perut dan juga ulu hati hingga membuat rasa sesak kian bergemuruh. Sesekali dadanya kembang kempis dan jemari meremat erat ponsel di genggaman.
***
Suara langkah kaki terdengar memburu di belakang Dyandra, memasuki ruang UGD. Perlahan ia menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata Arka sudah datang dari kantornya.
“Cersey! Kamu kenapa?” seru Arka setibanya di UGD. Raut wajah Arka terlihat sangat kuatir, sampai ia lupa untuk menyapa sang istri. Ia langsung menuju Cersey dan melewati Dyandra begitu saja.
“Mas Arka? Aku sakit, Mas,” rengek Cersey manja sekali, tanpa sungkan bahwa Dyandra ada di sampingnya.
“Badannya panas,” jelas Dyandra teramat jengah melihat kelakuan dua manusia di hadapannya. Menghela napas kasar dan menahan ledakan itu.
‘Apa mereka pikir aku ini penonton atau bagaimana? Dengan santainya mereka berdekatan seolah aku tidak ada! Sialan!’ Dyandra terus mengumpat dalam hati. Wajahnya langsung berubah murung dan cemberut. Arka melihat perubahan itu.
“Dya? Dokter bilang apa?” Akhirnya Arka menoleh dan mengajak berbicara istrinya.
Sejak kejadian kemarin mengenai paksaan dalam bercinta, Arka menjadi pendiam. Lelaki itu tidak sehangat biasanya. Dyandra menyadari perubahan ini, tetap ia tidak peduli. Mau Arka membeku sekali pun seperti es di dalam mesin pendingin, sungguh ia tidak peduli.
“Masih tunggu hasil laboratorium,” jawab Dyandra tanpa melihat suaminya. Ia lebih memilih untuk membuka ponsel dan berpura-pura sibuk.
“Aku beli air mineral dulu untukmu,ya. Kamu istirahat dulu di sini,” pamit Arka pada Cersey. Ia tiba-tiba menarik tangan istrinya lalu berjalan keluar.
Dyandra menurut saja digandeng keluar. Baginya, lebih baik berada di luar daripada harus melihat suaminya dan Cersey berdekatan.
“Apakah bayi kita baik-baik saja?” Arka segera bertanya setelah sampai di luar pintu UGD.
“Sejauh ini tidak ada berita bahwa anak kita dalam kondisi yang berbahaya,” jawab Dyandra tenang, cuek.
“Kenapa wajahmu di UGD tadi terlihat kesal?” Arka masih menggandeng tangan Dyandra, bahkan mulai mempererat genggamannya.
“Aku tidak suka melihatnya merengek kepadamu!” aku Dyandra terus terang. “Dia pikir dia siapa?”
“Kamu cemburu?” Mata Arka membesar, dengan seutas senyum di ujung bibirnya. “Iya, kamu cemburu, ‘kan?”
“Tidak, aku hanya kesal saja. Meski sakit, untuk apa dia cari perhatian seperti itu?” kelit Dyandra menutupi perasaan aslinya.
“Oh, begitu. Aku kira kamu cemburu,” keluh Arka mencoba membuka hati pasangannya. Sebenarnya ia senang kalau Dyandra cemburu.
“Buat apa? Aku yakin, kamu tidak akan bermain gila dengan Cersey. Benar bukan?” balas Dyandra menyindir. “Atau memang harus ada yang aku cemburui di antara kalian?”
Arka langsung terkejut mendengar jawaban Dyandra. Ia mengerutkan keningnya sampai membentuk beberapa garis. “Apa maksudmu?” suaranya terdengar gugup.
“Maksudku, aku percaya suamiku tidak akan berbuat aneh-aneh dengan wanita yang sedang mengandung anaknya sendiri. Jadi aku tidak perlu cemburu!” tukas Dyandra kemudian mengalihkan pandangan keluar UGD.
Kembali Arka terdiam. Ucapan Dyandra mulai dirasa sebuah sindiran halus. Hatinya menjadi kuatir.
‘Apakah Dyandra benar mengetahui perbuatanku dengan Cersey? Kalau iya, mengapa dia diam saja?’
***
Hasil laboratorium menunjukkan tidak ada yang salah dengan tubuh Cersey. Dugaan dokter sementara hanya ia kelelahan dan dehidrasi, kurang banyak meminum cairan. Meski tidak ada kondisi yang serius, Arka tetap meminta Cersey diopname satu malam untuk observasi.
Seorang perawat disewa Arka secara khusus untuk melayani kebutuhan Cersey selama di rumah sakit. Ia benar-benar tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada ibu biologis dari anaknya.
Berbagai perhatian khusus yang diberikan kepada Cersey, membuat hati sang wanita berbunga. “Terima kasih, Mas Arka, atas semua perhatiannya,” ucap Cersey bermanja.
“Ini semua idenya Dyandra kok. Aku hanya melaksanakannya,” kilah Arka melirik istrinya yang duduk di pojok ruangan sedang memainkan ponselnya.
“Apa? Oh iya, Arka benar! Memang ini semua ideku!” seru Dyandra saat mengetahui mata Arka melirik padanya. Ia juga tidak tahu mengapa suaminya menggunakan namanya dalam masalah ini. Tapi selama itu membuat Cersey kesal, ia menurut saja.
“Kami pulang dulu kalau begitu. Kamu istirahat yang maksimal disini,” pesan Arka tersenyum sambil menatap Cersey lekat.
Dyandra mengamati tatapan keduanya. Ia bisa melihat di mata Arka, ada percikan rasa kasih sayang kepada Cersey. Hatinya merintih, menjerit. Ingin melempar ponsel kepada suaminya jika itu memungkinkan.
Namun, ia hanya bisa mematung dan menatap nanar. Melihat suaminya sedang bertatap mesra dengan wanita simpanan di hadapannya.
“Ayo, kita pulang, Mas! Cersey butuh istirahat!” sentak Dyandra spontan dan ia berdiri dari sofa.
Suara ketus itu mengagetkan Arka dan ia kembali melihat raut wajah Dyandra tidak ramah. Hati sang lelaki terkesiap. Ketakutan serta kekhawatiran mulai menjalar. Benarkah sang istri telah mengetahui hubungannya dengan Cersey?