Ranjang Dyandra dan Arka malam ini bergoyang akibat letupan birahi dari sang suami. Sikap mesra mereka malam ini membuatnya menginginkan lebih banyak lagi.
Sesungguhnya Arka merindukan masa-masa dimana mereka berdua begitu panas bercinta. Dyandra termasuk tipe wanita yang bisa begitu liar di atas ranjang. Tiap lekuk gemulai sang istri selalu membuatnya terpesona.
Maka, lelaki itu semakin ganas melumat bibir wanita di bawahnya. Napasnya memburu dan kian panas. Bersama dengan kecupan tanpa jeda, ia mulai menyentuh celana tidur Dyandra dan hendak menurunkannya hingga ke bawah
Sadar kalau celana tidurnya hendak dipelorot ke bawah, Dyandra bereaksi. Ia genggam tangan kokoh Arka dan menahannya. “Say, aku lelah. Ayolah, jangan malam ini.”
“Tidak bisa, aku sudah sangat terangsang dengan kecantikanmu, Dya,” erang Arka menggelengkan kepalanya.
Bibir lelaki yang telah mencium wanita lain tersebut meringsek di leher istrinya. Menjilati sambil sesekali menggigit manja.
Hati Dyandra kelabakan. Mengakui kalau di dalam sana, cinta kepada Arka masih sangat besar. Tidak memungkiri bahwa sejak divonis tidak bisa memiliki keturunan, ia merasa sebagai wanita yang tidak sempurna. Lalu, perasaan itu membuatnya berjarak dengan sang suami.
“Ssshhh … mmmhhh, Dyandra Sayang,” desah Arka menuntun tangan istrinya agar meremas kejantanan yang sudah sempurna menegang di balik pakaian.
Ragu-ragu sang wanita memegang dan meremasnya. Jika menuruti nafsu saja, mungkin Dyandra akan segera melucuti bajunya sendiri. Akan tetapi, hatinya masih teramat sakit.
Ia meremas tengah tubuh suaminya dengan lemah, penuh kecanggungan. Berpikir bahwa ada tangan wanita lain yang sudah meremasnya juga. Bahkan, pasti sudah menggenggam sampai kulit bertemu kulit.
Milik Arka bukan lagi miliknya seorang. Dan ini membuat Dyandra menjerit di dalam hati. Tak ingin meneruskan semuanya. Membiarkan sang suami memasuki diri sama saja seperti menerima barang bekas dari seorang Cersey Avriani.
“Aku merindukan momen seperti ini, Dya. Aku mencintaimu. Happy wedding anniversary.” Arka membuka kancing baju wanita jelita tersebut dan menaikkan ke atas bra tipis berwarna hitam.
Ia kecup perlahan dan menjilati benda bundar seperti buah cherry di atasnya. Kulit Dyandra putih mulus hingga puncak dadanya berwarna merah muda.
Tak ingin berhenti menyesap dan menikmati kenyalnya dua benda bundar besar di d**a sang istri, Arka terus meremas halus dua buah d**a Dyandra.
“Mmppphhh ….” Mendesah tertahan. Batin berperang antara perasaan cinta dan benci.
Seharusnya ini menjadi malam yang menyenangkan. Apalagi ini adalah hari jadi pernikahan mereka yang kesepuluh.
Namun, dalam kepala Dyandra saat ini ada desahan Cersey yang terdengar kemarin malam. Juga ada desahan suaminya yang mengatakan kalau dia hampir sampai. Seketika itu juga, hati kembali merasa sesak dan risih. Bahkan, tubuh menjadi jijik karena bersentuhan dengan Arka.
Tidak, Dyandra tidak bisa menahan semua letupan emosi kepedihan di dalam hatinya. Tubuh semakin menderita karena sentuhan sang suami. Tak mau menerima bekas Cersey!
“Arka! Hentikan!” sentak Dyandra pada akhirnya. Ia mendelik, menegaskan agar suaminya itu berhenti melakukan apa pun yang sedang ia lakukan.
Nada suara Dyandra sudah benar-benar serius menolak sentuhan serta aneka jamahan dari lelaki tampan nan kaya raya yang ia panggil suami. Bahkan, napasnya pun sudah mulai berat dan terengah-engah akibat emosi tertahan.
Arka tertegun. Birahi yang sudah sampai di ubun-ubun harus tertahan kembali di dalam badan. Ia menatap istrinya bingung.
“Ada apa denganmu, Dya?” gusarnya membalas dengan tatap mata tajam.
“Aku hanya lelah! Sudah kubilang kalau aku tidak mau bercinta malam ini!” jawab Dyandra ketus.
“Kamu mesra sekali denganku sedari tadi. Tapi sekarang kamu menolakku?” lirih Arka tak paham akan kelakuan wanita di hadapannya.
“Iya aku tadi memang ingin saja memeluk dan mencium dirimu. Kalau sekarang aku lelah, dan hanya ingin istirahat.”
Dyandra tak berani menatap Arka. Tajam tatapan suaminya seolah masuk menelisik, mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Arka berusaha sabar dan hanya menghela napas panjang. “Kita besok liburan berdua, ya?” ajaknya masih berada di atas tubuh Dyandra.
“Eh, liburan? Kemana?” Dyandra terkejut. Dikira Arka akan marah dan mereka bertengkar lagi perkara urusan ranjang.
“Hotel milik kita di gunung. Kamu ‘kan selalu suka udara segar pegunungan.”
“Hmm … entahlah,” Dyandra merasa enggan. Berduaan dengan suaminya lebih terlihat sebagai penyiksaan daripada liburan.
“Kita berangkat jam sembilan pagi. Deal!” Arka telah memutuskan, tanpa ingin mendengar pendapat lagi dari Dyandra.
“Ayo tidur dalam pelukanku,” ajaknya menarik tubuh Dyandra dengan mesra.
“Selamat tidur, Yank.” Ia berbisik, mengecup bibir istrinya dengan manja.
Dyandra terdiam. Mendapati diri terjebak dalam malam yang melelahkan. Malam dimana ia tidak bisa tertidur tanpa kuatir Arka akan turun dan bercinta dengan Cersey di bawah.
“Tidurlah, Yank. Kenapa kamu masih terus membuka mata? Apa yang kamu pikirkan?” Suara Arka mendadak berbisik di telinga Dyandra.
“Tidak ada apa-apa. Kenapa kamu memperhatikan sekali apakah aku sudah tidur atau belum?” sindirnya ringan.
“Maksudmu?” Kening sang suami mengernyit.
“Tidak ada maksud apa-apa. Sudah lupakan saja.”
Arka termangu. Dalam hatinya mulai bertanya-tanya, apakah ini sebuah sindiran? Kenapa Dyandra menangis saat di bioskop? Mungkinkah sang istri telah mengetahui perbuatannya dengan Cersey?
‘Kalau Dyandra mengetahui perbuatanku dengan Cersey, mengapa ia diam saja? Apa ada istri yang diam saja meski mengetahui suaminya tidur dengan perempuan lain? Tidak mungkin bukan? Lalu kenapa Dyandra sangat aneh sikapnya dua hari terakhir ini?’
***
“Mau kemana kamu, Mas?” tanya Cersey saat bertemu Arka pagi hari di depan dapur.
Matanya melihat Arka sudah siap dengan pakaian pergi. Lelaki itu terlihat begitu tegap dan gagah dengan kaos press body yang melekat di badannya.
Cersey teringat bagaimana seksinya badan Arka tanpa memakai apapun saat sedang menghabiskan malam bersamanya. Seketika hati perempuan itu berdesir kencang.
“Aku mau ke luar kota selama satu hari,” jawab Arka sembari celingukan, kuatir ada yang melihat ia sedang berduaan dengan Cersey.
“Dengan Mbak Dyandra?”
“Iya, merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh.”
Seketika wajah Cersey langsung cemberut. Ia kemudian mengusap-usap perutnya.
“Sabar ya, Nak. Papamu sedang ingin bersenang-senang sendiri tanpa kita,” ucapnya kesal dan menyindir.
“Bahkan tadi malam dia tidak mendatangi kita padahal mama menunggu kedatangannya sampai subuh. Yah, mungkin mama sudah dilupakan oleh papamu,” lanjut Cersey terus menunduk. Ia berbicara pada perut buncitnya.
“Hey, kamu kenapa begini lagi? Aku sudah bilang sejak awal bukan? Antara aku dan kamu tidak bisa dipaksakan untuk selalu bersama,” tegas Arka.
“Iya, terserah kamu saja, Mas.” Cersey masih tetap cemberut.
“Cersey, hentikan! Aku sayang kamu! Tapi bukan berarti kamu dan aku harus terus bersama. Itu namanya konyol.”
Arka sekali lagi celingukan ke kanan dan ke kiri. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa. Ia melingkarkan tangannya ke pundak Cersey. Segera ia peluk wanita yang sedang cemberut dan merajuk di hadapan.
“Aku kuatir Dyandra tahu kalau kita berhubungan. Tolonglah kamu pahami bahwa aku harus bersama Dyandra saat ini.”
Arka mendekatkan wajahnya pada bibir Cersey. Ia berusaha menekan rasa emosi sang wanita dengan berbagai ciuman memabukkan.
Cersey memalingkan wajah dan menolak ciuman itu karena jengkel. Ia tidak rela ditinggal sendiri di rumah sementara Arka dan Dyandra menikmati liburan keluar kota.
“Aku sedang hamil. Ini anakmu, seharusnya aku lebih penting dari istrimu!” protesnya semakin cemberut.
Arka menghela nafas panjang. Entah apa lagi yang harus ia katakan saat ini.
“Sepulang dari luar kota, kamu harus ke kamarku, Mas!” pinta Cersey setengah memaksa.
“Iya, iya. Aku janji aku akan ke kamarmu.”
Arka menaruh tangannya di perut Cersey yang sudah mulai membuncit. Ia bahkan kemudian mengecupnya.
“Papa pergi dulu ya, Nak. Kamu baik-baik di sini dengan ….”
Kata terakhir tidak bisa diselesaikan oleh Arka. Apa yang harus ia ucapkan? Dengan Mamamu? Sementara asal muasal bayi itu adalah dirinya dengan Dyandra?
Bila tidak menyebut Cersey dengan “Mamamu” juga dirasa tidak tepat. Secara Cersey adalah orang yang mengandung bayi tersebut sampai nanti lahir.
Jadi, siapa yang pantas disebut Mama?
“Dengan siapa?” kejar Cersey mengetahui Arka sedang bingung.
“Di sini dengan mama keduamu. He he he,” kelit Arka sudah kehabisan akal.
“Jahat!” dengus Cersey mencubit lengan ayah dari bayi yang ada di dalam perutnya. “Aku mamanya, Mas! Bukan mama kedua! Aku yang membawa dia selama sembilan bulan!”
“Sudah! Aku kembali ke kamar dulu. Nanti Dyandra curiga,” pamit Arka enggan membahas masalah itu lebih lanjut.
“Cium dulu, Mas!” cegah Cersey menarik lengan Arka. “Aku kangen!” bisiknya manja.
Sebuah ciuman yang sangat hangat dan basah diberikan oleh Arka pada kekasihnya. Ia meremas buah d**a kenyal di depannya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menyelinap masuk ke dalam gaun tidur yang tipis.
Arka kaget karena jemarinya langsung menyentuh kewanitaan Cersey yang mulai terasa lembab. Jari tengahnya segera masuk ke dalam celah di antara kedua kaki dan membuat si pemilik mendesah manja.
“Tega kamu, Mas. Aku harus tahan rasa ini sampai kamu pulang!” Cersey mencubit lengan Arka gemas.
“Bagus bukan? Jadi nanti saat aku kembali, kamu akan on fire!” sahut Arka melumat bibir seksi di depan wajahnya.
***
Dyandra melangkahkan kaki di vila pribadi nan mewah milik Arka. Suasana hawa pegunungan yang dingin seharusnya membuat pikiran menjadi jernih dan hati menjadi lebih tenang. Namun tidak demikian halnya dengan apa yang ia rasakan.
Menatap sang suami, yang ketampanannya di atas rata-rata dengan harta yang sangat melimpah, tidak membuatnya merasa bahagia lagi. Hanya sebuah kata sabar, dan sebuah bayang akan sesosok bayi belum lahir. Itulah yang menguatkan dirinya menjalani semua ini.
“Yank, ini kamar honeymoon kita dulu, lho. Masih ingat?” rajuk Arka memeluk Dyandra dari belakang.
Tangan kokoh erat melingkar di pinggang istrinya. Deretan kecupan rindu dilandaskan pada leher dan pipi Dyandra.
“Kenapa kamu menolakku terus, Dyandra? Apa kamu benci padaku?” gumamnya lirih.
Dyandra tergagu dengan pertanyaan ini. Hati bak ditampar oleh tongkat besi.
Apabila sebuah jawaban “Iya” adalah mudah untuk terucap, pastilah kata itu langsung muncul dari mulut Dyandra.
“Atau kamu sudah berhenti mencintaiku?” lanjut Arka terus memeluk istrinya dari belakang.
Sedikit lagi, hanya sedikit lagi, air mata Dyandra akan tumpah berserakan di wajah sendunya. Hati yang sudah tersisa kepingan itu sudah tak mampu mencerna pertanyaan Arka.
Ah, bukankah sang suami yang telah bermain gila dengan wanita lain? Di saat wanita itu tengah mengandung anak mereka. Bukankah sang suami yang telah berhenti mencintainya, disaat ia memutuskan untuk menyatu dengan wanita lain?
Seandainya saja Arka tahu hancurnya hati Dyandra setelah dokter memvonis dirinya tidak bisa memiliki keturunan. Dan betapa kehancuran itu membuatnya tak sanggup lagi menatap lekat mata sang suami.
Bagi dirinya sendiri, ia adalah ketidaksempurnaan yang sungguh tak berguna dalam dunia ini. Wanita tak bisa memiliki keturunan yang hampir tiap hari harus menghadapi tatap kecewa sanh mertua.
“Yank? Kamu, kok, diam terus? Jawablah,” tegur Arka membuyarkan pikiran sunyi Dyandra.
“Eh, iya, maaf. Aku sedang mengingat honeymoon kita dulu di sini. Kita tidak pernah keluar kamar selama tiga hari,” kenangnya menutupi irisan perih dalam batin.
Bukankah memori indah pada lapisan hati yang terluka hanya menghantarkan sebuah rasa sakit dan perih? Layaknya sebuah luka yang disiram oleh garam.
“Yuk, kita ulang lagi honeymoon kita. Aku ingin kita bisa kembali menggelora seperti dulu,” bisik Arka mulai melancarkan gerilya tangannya.
Blouse Dyandra yang tipis dan longgar, membuat jemari sang suami bebas untuk masuk dan meraba pusarnya. Tentu saja, rabaan itu tidak berhenti sampai di sana. Naik dan terus naik. Sampai Arka bisa merasakan dua buah pegunungan Indah nan kenyal milik istrinya.
“Mmmhh ….” Dyandra mendesah tanpa sadar ketika merasakan telunjuk Arka bermain, memilin ujung kenikmatan di dadanya. Ia berusaha menolak, tapi rayuan serta desiran nafsu mulai membutakan logikanya.
“Aku ingat kamu selalu suka jika aku memelukmu dari belakang seperti ini,” sambut Arka mendengar Dyandra mulai mendesah, sambil terus bermain di d**a wanita kesayangannya.
“Aku mencintaimu, Dyandra. Kamu, dan hanya kamu,” lanjut Arka berbisik pelan, mendesis dalam indahnya birahi.
Kalimat kamu dan hanya kamu yang diucapkan Arka, membuat Dyandra membuka matanya lebar-lebar. Kalimat itu sungguh terdengar penuh kepalsuan.
Segera Dyandra melepaskan diri, dari pelukan Arka. Dengan cepat posisi bra yang miring di balik blousenya, ia benarkan.
“Aku lapar. Ayo makan siang. Lalu kita jalan-jalan naik perahu di danau. Sudah lama kita tidak kesana bukan?” hindarnya mengambil tas lalu menuju pintu keluar.
“Ayo!” serunya memanggil Arka yang berwajah muram dan bersungut-sungut, karena lagi-lagi gagal bercinta dengan istrinya.
Namun, seorang Arka, semarah dan sejengkel apa pun dengan Dyandra, ia selalu menuruti keinginan wanita mungil yang ia panggil istri tersebut.
***
Setelah menuruti Dyandra berekreasi kesana kemari, menaiki perahu berkali-kali, berjalan menyusuri liku pegunungan, mereka kembali ke vila dengan lelah.
Sebenarnya, harapan Dyandra adalah saat mereka pulang malam seperti ini, Arka akan lelah sehingga tidak lagi mengajaknya bercinta. Esok pagi mereka akan bangun dan langsung pulang.
Akan tetapi, pikiran Dyandra salah karena suaminya tidak pernah berhenti merengek untuk bercinta dengannya. Penolakan demi penolakan terus dilakukan oleh Dyandra, membuat kesabaran Arka akhirnya habis.
“Aku ini suamimu! Kenapa kamu terus menolak? Ada apa denganmu?” bentak Arka sudah tidak bisa lagi menahan rasa jengkelnya.
“Aku sedang tidak ingin! Itu saja! Apakah aku salah?” balas Dyandra membela diri.
“Ya jelas salah! Lalu aku harus diam saja karena kamu tolak terus menerus? Apa kamu tidak pernah memikirkan keinginanku?” bentak Arka. “Ada apa denganmu, Dyandra? Kamu berubah! Kamu dingin! Kamu tidak lagi mencintaiku, bukan? Ada siapa di luar sana?”
Arka terus mengamuk dan bertanya macam-macam. Termasuk mengira Dyandra telah berselingkuh.
“Apa maksudmu di luar ada siapa?” geram Dyandra semakin sakit hati karena dituduh berselingkuh. Padahal jelas-jelas suaminya yang main gila dengan Cersey.
“Dulu meski tidak mood, kamu tidak pernah menolakku sampai separah ini. Kamu akan menerima diriku. Tapi sekarang? Kamu benar-benar menolak!”
“Lalu? Kamu kira aku menolak karena aku berselingkuh?” hardik Dyandra melotot.
“Kalau bukan karena berselingkuh lalu kenapa? Ayo jawab aku!”