Bab 23

1438 Words
Berbagai macam makanan ringan yang Zeline bawa kini telah disajikan di atas meja ruang tamu. Zeline menatap Kinara dan ibunya yang tampak kebingungan dengan berbagai macam makanan tersebut. Untuk sesaat Zeline sendiri juga terkejut ketika mengetahui jika ia membeli terlalu banyak makanan. “Apakah kalian sudah makan siang?” Tanya Zeline dengan kikuk. Kinara dan ibunya saling berpandangan sejenak. “Apakah kamu belum makan siang?” Tanya ibunya Kinara. Zeline tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Zeline juga tidak sempat sarapan karena ia berangkat terlalu pagi. “Apa yang kamu lakukan, Zeline? Kenapa datang tiba-tiba?” Tanya Kinara. Raut wajahnya menunjukkan jika ia merasa tidak nyaman dengan kedatangan Zeline. Zeline paham jika ada sebagian orang yang merasa tidak nyaman jika dikunjungi secara tiba-tiba. Zeline juga menyadari kesalahannya karena tidak mengabari Kinara sebelum ia datang. Masalahnya Zeline tidak memiliki kontak Kinara, kalaupun dia meminta dari Dareen, pria itu pasti akan bertanya macam-macam seperti apa keperluan Zeline sehingga ia meminta kontak Kinara. Untuk saat ini Zeline ingin menghindari Dareen. “Aku sedang tidak bekerja, jadi kuputuskan untuk datang mengunjungimu. Apakah kamu keberatan?” Tanya Zeline. “Ini bukan tentang keberatan atau tidak. Tapi kedatanganmu membuatku terkejut. Apakah kamu ingin mengambil uang tagihan pemeriksaanku tempo hari?” Tanya Kinara. Zeline segera menggelengkan kepalanya. Jujur saja Zeline sama sekali tidak memikirkan tentang uang itu. “Tentu saja tidak. Aku hanya merasa bingung karena tidak memiliki tempat tujuan..” Zeline menjawab sambil menundukkan kepalanya. “Kalian bicara saja berdua, ibu harus pergi untuk mengantarkan baju jahitan.” Ibunya Kinara bangkit berdiri lalu tersenyum dengan ramah ketika tidak sengaja menatap Zeline. “Jika membutuhkan sesuatu, ambil saja sendiri di dapur. Saat ini Kinara tidak bisa menjamu tamunya..” “Jangan khawatir, bibi. Aku sudah cukup senang karena bisa bertemu dengan kalian berdua.” Zeline membalas dengan senyuman. Entah kenapa Zeline selalu merasa iri ketika melihat interaksi antara Kinara dengan ibunya. Sesekali Kinara memang berbicara sambil berteriak marah, tapi ibunya tetap membalas dengan sabar. Selama mereka bertemu beberapa hari belakangan ini, tidak pernah Zeline melihat ada tatapan kemarahan di mata ibunya Kinara. Wanita itu mengurus Kinara dengan sabar, berbicara dengan tenang, dan memberikan perhatian serta waktu yang ia miliki utuk merawat Kinara dengan baik. Zeline menghembuskan napasnya dengan pelan ketika ia menyadari jika hatinya kembali merasa iri. Sebagai manusia, Zeline memang masih sering merasa iri pada orang lain. Namun sebisa mungkin Zeline akan menguasai hatinya agar tidak terlarut dalam rasa iri. Dibandingkan merasa iri, akan jauh lebih baik jika Zeline belajar menerima hidupnya sendiri. “Bagaimana keadaan kakimu? Apakah masih sakit?” Zeline mengalihkan perhatiannya dengan cara menanyakan keadaan Kinara. “Aku sudah bisa berjalan dengan bantuan ibuku.” Zeline menatap Kinara dengan antusias. Merasa senang karena mendengarkan kabar baik dari Kinara. “Sebentar lagi kakimu akan benar-benar sembuh..” Kata Zeline sambil tersenyum. “Sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan, Zeline? Kenapa tiba-tiba datang ke rumahku dengan membawa banyak makanan. Kamu tentu tahu jika makanan ini terlalu banyak untuk anggota keluargaku.” Kinara menatapnya dengan pandangan mengintimidasi. Untuk sesaat Zeline terdiam sambil menundukkan kepalanya. Tentu saja Zeline tidak ingin menceritakan masalah keluarganya kepada Kinara. Rasanya sangat tidak pantas jika Zeline datang berkunjung hanya untuk menceritakan beban hidupnya. “Aku hanya ingin berkunjung.. apakah tidak boleh?” Tanya Zeline. Kini ganti Kinara yang kebingungan. “Kamu tentu tahu jika rumahku sangat tidak layak untuk kamu kunjungi. Lalu kenapa kamu tetap datang?” Zeline menggelengkan kepalanya dengan cepat. Bagi Zeline, tidak ada satupun orang yang boleh memberikan nilai buruk terhadap rumah orang lain. Layak atau tidak, semua itu bukan hal penting untuk dibicarakan. Lagipula, sebenarnya apa definisi dari kata layak tersebut? Apakah bangunan mewah dengan fasilitas menakjubkan seperti rumah Zeline atau bangunan sederhana yang diisi dengan banyak cinta dan kasih sayang seperti rumah Kinara? Lantas, siapa yang pantas menilai sebuah kelayakan? “Aku tidak tahu apa yang menjadi persyaratan tentang kelayakan yang kamu pikirkan. Tapi bagiku, aku menyukai rumahmu yang terasa hangat. Terasa seperti.. keluarga.” Kata Zeline. Kinara berdecih pelan. Terlihat tidak setuju dengan pendapat Zeline. “Aku rasa sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini.” Zeline segera menganggukkan kepalanya. Pembahasan apapun yang membuat mereka kurang nyaman sebaiknya segera dihentikan. “Jadi.. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan hal ini, tapi jika kamu tidak ingin menjawab, maka kamu boleh menolak.” Zeline berbicara sambil menggerakkan tangannya dengan kikuk. Kinara menaikkan sebelah alisnya. Tampak menunggu kelanjutan kalimat Zeline. “Bagaimana kamu bisa menyelamatkan anjing milik Dareen? Aku sangat ingin tahu bagaimana kamu bisa berlari dari satu sisi jalan menuju ke sisi lainnya untuk menyelamatkan seekor anjing yang tidak kamu kenali. Maksudku.. kamu membahayakan dirimu sendiri demi seekor anjing?” Tanya Zeline. Sejak pertama kali mendengar cerita tentang Kinara, Zeline sangat penasaran tentang kronologi yang sebenarnya. Dareen memang menceritakan bagaimana kejadian itu terjadi, namun Zeline juga ingin mendengarkan cerita dari sudut pandang Kinara. Keputusan perempuan itu untuk berlari di jalan raya adalah keputusan gila yang bisa melukai dirinya sendiri. “Kenapa kamu ingin tahu?” Tanya Kinara. “Entahlah, aku hanya ingin tahu saja. Kurasa kamu sangat pemberani karena telah menyelamatkan Choki.” Kinara tersenyum singkat. Tampak bersiap untuk segera memberikan jawaban. “Tidak ada yang kupikirkan. Aku hanya melihat anjing itu dalam bahaya lalu aku segera berlari untuk menyelamatkannya.” Jawab Kinara. Zeline menganggukkan kepalanya dengan pelan. Kembali merasa kagum dengan pemikiran Kinara yang sangat luar biasa. Dibandingkan terus khawatir dan memikirkan hal yang tidak penting, Kinara memilih untuk langsung bertindak sekalipun ia tida tahu apakah tindakannya benar atau salah. Dalam hidup, terkadang kita tidak perlu terlalu banyak berpikir. Yang perlu dilakukan adalah mencoba untuk melakukan. “Kamu sangat hebat!” “Hebat?” “Ya, kamu bisa mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. Jika aku ada di posisimu, aku pasi hanya berdiri sambil berteriak histeris.” Kata Zeline. Sedikit merasa miris dengan sifatnya yang terlalu mudah panik hingga membuat pikirannya kacau. “Jika aku bisa mengulang waktu, mungkin aku akan melakukan apa yang kamu lakukan. Hanya berdiri sambil berteriak histeris” *** Sepanjang perjalanan pulang Zeline terus memikirkan kalimat yang Kinara katakan. Tentang apa yang akan dia lakukan jika waktu dapat diputar kembali. Menurut beberapa buku psikologi yang Zeline baca, ketika seseorang ingin memutar waktu untuk melakukan hal yang sebaliknya, maka kemungkinan besar orang tersebut dengan merasa menyesal. Dalam konteks pertemuan Kinara dengan Dareen dan Zeline, kira-kira apa yang disesali oleh Kinara? Sebagai orang yang pemikir, Zeline tentu semakin merasa penasaran karena ia tidak segera menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang terlintas di kepalanya. Beberapa kali Zeline mengingat kembali semua perkataan yang pernah ia ucapkan kepada Kinara. Zeline sempat takut jika ia pernah mengatakan kalimat kasar yang membuat Kinara merasa tidak nyaman. Namun, menurut Zeline dia masih berbicara dalam batas wajar sehingga seharusnya Kinara tidak tersinggung oleh perkataannya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan jika secara tidak sengaja Zeline pernah melakukan sebuah kesalahan yang akhirnya membuat Kinara merasa tidak nyaman. Atau jika bukan karena Zeline, mungkin saja karena Dareen. Tapi kesalahan apa yang pernah Dareen lakukan? Setahu Zeline, Dareen bukan tipe orang yang suka menyinggung orang lain. Apalagi Dareen tampak sangat menghargai dan menghormati Kinara karena perempuan itu telah menyelamatkan Choki, anjing lucu milik kakaknya Dareen yang sedang ada di Singapura. “Kita akan langsung pulang, nona?” Zeline mengerjapkan matanya beberapa kali, merasa cukup terkejut dengan pertanyaan yang diajukan oleh sopirnya. Beberapa menit dilalui dengan kesunyian, sehingga Zeline sangat terkejut ketika mendengar suara secara tiba-tiba. “Ya.. ya. Aku tidak punya tujuan lain. Jadi kita langsung pulang saja..” Jawab Zeline. “Maaf jika terdengar ikut campur, tapi kalau nona tidak nyaman berada di rumah, apakah sebaiknya saya mengantarkan nona ke rumah salah satu teman nona?” Zeline menggelengkan kepalanya dengan pelan. Jujur saja ia merasa senang karena bukan hanya pelayan saja, namun sopirnya juga ikut menunjukkan rasa prihatin mereka terhadap keadaan Zeline. Namun, Zeline tidak memiliki teman dekat yang bisa ia datangi kapanpun ia mau. Alina memang sempat menawarkan apartemennya, tapi tentu saja Zeline tidak bisa datang begitu saja. Selain karena Zeline tidak ingin merepotkan Alina, Zeline juga tahu jika Alina pasti akan meninggalkan kesibukannya untuk langsung datang menemuinya ketika ia tahu jika Zeline sedang membutuhkan teman. Alina adalah manager yang baik sekalipun ia sering menekan Zeline untuk melakukan hal-hal yang ekstrem. “Tidak. Aku tidak punya teman dekat..” Jawab Zeline dengan sedikit murung. “Bagaimana dengan mengunjungi tuan Dareen?” Zeline kembali menggelengkan kepalanya. “Aku masih belum memberitahukan perceraian Mommy dan Daddy.” “Maaf..” “Tentu saja bukan salah bapak. Aku memang sengaja tidak memberitahukan kepada Dareen. Mungkin sebaiknya kita langsung pulang saja. Kuharap mereka sedang tidak ada di rumah..” Zeline menjawab sambil menyandarkan punggung. “Baik, nona..” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD