Bab 20

1848 Words
Setelah turun dari mobil Dareen, Zeline segera menatap pantulan dirinya di kaca mobil tersebut. Rasa kurang percaya diri kembali mengganggu pikirannya. Setelah lebih dari satu bulan menghabiskan waktu di luar negeri, ibunya pasti pulang dengan banyak pengalaman menarik yang pastinya akan ia bagi dengan Zeline. Wanita itu baru saja menghadiri peragaan busana yang Paris, Perancis, ibunya pasti pulang dengan segudang ilmu baru yang ia dapatkan dari para model yang mengikuti peragaan busana tersebut. Rasanya Zeline masih belum siap jika harus mendapatkan kritik dari ibunya. “Nyonya sudah menunggu di ruang tengah, Nona. Anda diminta segera ke sana setelah sampai di rumah.” Seorang pelayan datang dan menghampiri Zeline yang sedang menunggu Dareen turun dari mobil. “Aku tahu, aku akan segera ke sana bersama dengan Dareen.” Pelayan tersebut terlihat ragu ketika akan berbicara, jadi Zeline menunggunya dengan sabar. “Nona, mungkin sebaiknya Anda segera masuk tanpa mengajak Tuan Dareen.” Zeline mengernyitkan dahinya. “Kenapa?” “Sepertinya ada masalah yang ingin dibahas oleh Nyonya. Saya tidak bisa berbicara terlalu banyak, tapi sebaiknya Nona segera menemui mereka.” Zeline menganggukkan kepalanya dengan cepat. Perasaannya mulai buruk ketika ia mendengarkan penjelasan dari pelayan tersebut. “Ada sedikit masalah yang ingin disampaikan oleh Mommy dan Daddy. Apakah tidak masalah jika kamu menemui mereka lain kali?” Tanya Zeline begitu Dareen turun dari mobil. Sama seperti Zeline, Dareen juga tampak kebingungan. Namun beberapa detik kemudian Dareen berhasil mengendalikan ekspresinya. “Tidak masalah. Aku akan datang besok sore setelah pulang bekerja.” Dareen tersenyum dan mengusap kepala Zeline dengan pelan. “Terima kasih, Dareen.” “Apa yang membuatmu harus berterima kasih?” Tanya Dareen sambil mengecup puncak kepala Zeline. “Aku harus pulang, jadi hubungi aku jika kamu membutuhkan sesuatu.” Sambungnya dengan pelan. *** “Kami akan bercerai.” Zeline menahan napasnya selama beberapa detik ketika mendengarkan ultimatum mengejutkan tersebut. Berulang kali Zeline memandangi ayah dan ibunya yang tampak duduk bersisihan tepat di hadapannya. Layaknya tidak terjadi masalah apapun, mereka memberikan senyuman lembut ke arah Zeline. Mungkin mereka berusaha untuk meyakinkan Zeline jika tidak ada masalah yang perlu ia khawatirkan, namun.. haruskah mereka terlihat tenang setelah memberikan pengumuman tentang perpisahan? “Kami akan bercerai, Zeline.” Ulang ayahnya setelah hampir beberapa menit mereka saling terdiam. “Kenapa?” Tanya Zeline. Orangtuanya saling berpandangan sejenak, terlihat berusaha membagi penjelasan untuk menyampaikan alasan di balik keputusan mereka. “Kami tidak cocok untuk menjadi pasangan. Ada banyak hal yang ternyata tidak bisa kami tangani bersama. Mungkin akan lebih baik jika kami berpisah—” “Dan meninggalkan aku?” Tanya Zeline dengan suara lirik. Usianya memang sudah cukup dewasa, namun kabar yang diberikan oleh orang tuanya masih membuat Zeline merasa terguncang. Zeline tidak pernah mengira jika keluarganya akan hancur karena perceraian kedua orang tuanya. “Tidak, tentu saja tidak. Kami tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Ibunya tampak menatap Zeline dengan prihatin. Zeline tersenyum sekilas. Memangnya kapan kedua orang tuanya ada di sisinya? Selama ini mereka juga selalu meninggalkan Zeline sendirian. Baik bercerai maupun tidak, Zeline tetap akan menjadi anak yang kekurangan perhatian orang tuanya. “Zeline, kamu sudah dewasa. Kamu tentu tahu bagaimana sulitnya hubungan dua orang dewasa yang selalu terpisah dalam waktu yang sangat lama. Kami berdua terbiasa menjalani kehidupan masing-masing layaknya dua orang lajang yang sedang mengejar mimpi. Pernikahan kami terlalu hancur untuk disatukan kembali.” Ayahnya berbicara sambil menundukkan kepalanya. Usianya memang sudah hampir 22 tahun, tapi Zeline tidak pernah benar-benar mengerti bagaimana hubungan antara dua orang dewasa yang sebenarnya. Apakah menjadi dewasa berarti memiliki kehidupan bebas layaknya manusia lajang? Apakah menjadi dewasa berarti bisa mengambil keputusan untuk menikah dan bercerai sesuka hati? “Kalau kami tidak bercerai, akan semakin banyak noda dalam pernikahan kami. Hubungan ini tidak bisa dilanjutkan lagi, Zeline.” Ibunya ikut mendukung pernyataan ayahnya. Pada dasarnya, mereka berdua memang seakan enggan memperbaiki keretakan rumah tangga yang mulai terbentuk karena kesibukan mereka masing-masing. Ibunya pergi keliling dunia untuk mengikuti mode fashion, ayahnya pergi ke negara-negara industri maju untuk memperluas bisnisnya. Mereka berdua akan saling berlawanan tanpa pernah memiliki waktu untuk bertemu. Sebuah hubungan yang dijalani tanpa komunikasi akan mulai hancur dengan perlahan. Demikianlah hubungan yang dijalani oleh kedua orang tuanya. “Kalian sudah mengurus surat di pengadilan?” Tanya Zeline. Hembusan napasnya terdengar sangat berat, namun Zeline berusaha untuk tetap menguasai emosinya. Berusaha untuk menangis dan menunjukkan kekecewaannya. Zeline memahami betapa sulitnya keadaan kedua orang tuanya. Mereka mengambil keputusan yang sulit setelah menjalani 25 tahun pernikahan. Mungkin memang tidak pertengkaran besar yang membuat mereka saling bermusuhan, tapi keputusan yang mereka ambil pasti terasa sangat menyakitkan. Cinta mereka tidak hilang, hanya memudar tanpa disadari. Itulah yang membuat mereka merasa semakin tersiksa. “Kami menunggu keputusan darimu. Belum ada berkas di pengadilan, juga belum ada pembicaraan dengan kuasa hukum. Kami merasa jika kamu juga bagian dari pernikahan kami, jadi kamu memiliki hak untuk menyampaikan pendapat.” Zeline menatap ibunya sambil tersenyum singkat. Sekalipun Zeline adalah bagian dari pernikahan mereka, keputusan tentang sebuah perceraian bukanlah hal yang bisa mereka diskusikan dengan Zeline. Rasanya sangat menyakitkan ketika dia harus membahas perpisahan orang tuanya sendiri. “Aku tidak ingin ikut campur.” Kata Zeline dengan pelan. Orang tuanya tampak menganggukkan kepala, mereka juga memahami bagaimana sulitnya keadaan Zeline saat ini. “Maaf karena sudah membuatmu terluka, Zeline. Tapi kami tidak bisa saling memaksa untuk tetap bertahan. Ada satu titik dimana kami menyadari jika sebaiknya kami tidak terikat di dalam pernikahan.” “Jika memang harus bercerai, aku mendukung keputusan kalian.” Suara Zeline mulai bergetar. Masih sangat sulit menerima jika orang tuanya tidak berhasil mempertahankan pernikahan mereka. “Kami akan tetap menyayangimu, Zeline. Kamu akan tetap menjadi satu-satunya anak yang kami miliki..” Ayahnya bangkit berdiri dan memeluk Zeline dengan perlahan. Pertahanan Zeline runtuh seketika. Tangisannya mulai terdengar dan ia membalas pelukan ayahnya dengan sangat erat. Hatinya terasa sangat sesak ketika menyadari jika ia akan segera kehilangan pernikahan orang tuanya. Mereka akan segera menjadi dua orang asing yang pernah memiliki hubungan selama puluhan tahun, dan mereka akan saling melupakan satu sama lain. “Aku baik-baik saja..” Kata Zeline sambil mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa dihentikan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja.” Katanya sekali lagi. Ayahnya kembali menarik Zeline ke dalam pelukannya. Untuk sesaat, Zeline mengingat masa kecilnya dimana ia harus menjatuhkan diri dari sepeda agar terluka dan mendapatkan pelukan ayahnya. Lalu saat ini, ketika hatinya kembali terluka, ayahnya juga datang dan menawarkan sebuah pelukan hangat untuk menenangkan Zeline. Pria itu selalu ada setiap kali Zeline menangis.. Namun, haruskah Zeline selalu menangis agar ia bisa mendapatkan pelukan ayahnya? “Kami akan tetap mengunjungimu di rumah ini satu bulan sekali. Tidak akan ada pembagian harta karena semuanya adalah milikmu.” Ibunya kembali berbicara ketika Zeline mulai bisa mengendalikan tangisannya. “Daddy akan datang di minggu pertama atau kedua, sementara Mommy akan datang di minggu ketiga atau ke empat. Kesepakatan ini membuat kita jadi lebih sering bertemu, bukan?” Ayahnya tersenyum singkat. Bahkan mereka membuat perjanjian yang berisi jadwal kunjungan untuk menemui Zeline. Rasanya cukup tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang anak memiliki jadwal pertemuan dengan orang tuanya sendiri? Mereka bukan rekan kerja, jadi untuk apa membuat jadwal pertemuan? “Kamu bebas menentukan apa yang ingin kamu lakukan. Meneruskan bisnis Daddy atau tetap menjadi model dan mewarisi butik Mommy. Semua itu akan menjadi milikmu, Zeline.” Zeline menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku tidak ingin membicarakan tentang warisan.” Kata Zeline. “Baiklah, kita bisa membicarakan hal itu ketika kamu siap.” “Maaf karena membuat kamu terkejut dengan berita ini, Zeline. Tapi sebenarnya rencana perceraian kami sudah sempat dibicarakan sejak beberapa tahun yang lalu.” Beberapa tahun yang lalu? Jadi orang tuanya sudah berencana bercerai sejak beberapa tahun yang lalu? “Aku tidak akan menghalangi Mommy dan Daddy. Aku tidak tahu betapa sulitnya menjalani pernikahan. Jadi, apapun keputusan kalian.. aku akan menerima.” Zeline bangkit berdiri setelah meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak akan ada yang berubah jika ia tetap duduk di ruang keluarga bersama dengan orang tuanya. Saat ini Zeline mulai sulit menahan tangisannya. Ia ingin mengurung diri di dalam kamar dan menangis untuk mengungkapkan kepedihan hatinya. “Maaf karena kami gagal mempertahankan rumah tangga kami. Satu-satunya korban dalam kegagalan ini adalah kamu. Jadi kami harus meminta maaf kepadamu.” Zeline menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Berusaha keras untuk tidak mengeluarkan isakan agar tidak memperkeruh keadaan. “Tidak ada yang gagal. Aku juga bukan korban.” Jawab Zeline sambil berlalu dari ruang keluarga. *** Sesampainya di dalam kamar, satu-satunya hal yang Zeline lakukan adalah mengunci pintu dan mulai menangis di atas ranjang. Tubuhnya terbungkus dengan selimut dan wajahnya tertunduk ke arah boneka besar miliknya. Zeline tidak menyangka jika ia sanggup menahan tangisannya sekalipun ia sempat mengeluarkan air mata ketika memeluk ayahnya. “Nona? Apakah Anda membutuhkan sesuatu?” Terdengar ketukan pintu dari luar. Untuk sesaat, Zeline kembali menghentikan tangisannya. Ia sadar jika para pelayan pasti merasa khawatir karena melihat Zeline menangis setelah keluar dari ruang keluarga. Sepertinya beberapa dari mereka ada yang sudah tahu bagaimana keadaan rumah tangga orang tua Zeline. “Aku baik-baik saja..” Jawab Zeline dengan susah payah. “Nona, ini Bi Ani. Apakah Nona membutuhkan sesuatu?” BI Ani adalah salah satu pelayan yang sangat dekat dengan Zeline. Bahkan dari pada kedua orang tuanya sendiri, Bi Ani jauh lebih mengenal apa yang Zeline sukai dan apa yang tidak dia sukai. Waktu yang Zeline habiskan bersama dengan Bi Ani juga lebih banyak dari pada waktu yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Ketika mendengar suara Bi Ani, tangisan Zeline jadi semakin keras. Dia merasa tidak sanggup jika harus menahan semuanya sendiri. Sesekali Zeline juga ingin memberikan perlawanan atas keputusan yang dibuat oleh orang tuanya. Namun Zeline sadar jika kebahagiaan orang tuanya adalah yang utama. Jika mereka merasa tidak bahagia dengan pernikahan yang dijalani, maka sebaiknya mereka segera bercerai sebelum saling menyakiti satu sama lain. “Nona.. kalau Nona membutuhkan waktu sendiri, tolong jangan mengunci kamar. Setidaknya biarkan kami mengantarkan makanan dan air minum untuk Nona.” Bi Ani kembali bicara. Mendengar kecemasan yang diungkapkan oleh pelayannya sendiri membuat Zeline merasa terharu. Akhirnya ia memilih untuk bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah pintu untuk membiarkan Bi Ani masuk ke dalam kamarnya. Namun, hanya dengan menatap wajah wanita itu membuat Zeline tidak bisa menahan tangisannya. Zeline dipeluk dengan erat oleh Bi Ani, usapan tangannya terasa lembut ketika membelai rambut Zeline. Seakan mengerti jika Zeline sedang membutuhkan pelukan. wanita itu membiarkan Zeline menangis di dalam rengkuhan tangannya. Kenapa.. kenapa Zeline tidak bisa menangis di hadapan orang tuanya sedangkan ia merasa sangat lega ketika bisa menangis di dalam pelukan pelayannya sendiri? Bahkan sekarang Zeline bisa melihat jika ada banyak pelayan yang menyaksikan dia menangis, beberapa dari mereka juga menundukkan kepala sambil terisak pelan. Perlahan Zeline sadar jika.. jika selama ini ada banyak orang yang memperhatikannya. Ada banyak orang yang peduli padanya. Dia hanya kurang bersyukur karena merasa tidak cukup dengan kepedulian yang diberikan oleh pelayannya. Zeline justru menginginkan satu hal sederhana yang dirasakan oleh sebagian besar anak di dunia ini, yaitu perhatian orang tuanya sendiri. Lantas, apakah.. apakah salah jika selama ini Zeline mengharapkan perhatian orang tuanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD