Seminggu berlalu setelah kejadian di restoran Rivaldi, kedua orang itu memiliki hubungan yang sulit untuk dikatakan. Bertengkar, tidak. Berdamai, tidak. Tapi, jika untuk membuat Kinnan bahagia dan ceria, mereka bekerja sama secara alami untuk tidak membuatnya curiga.
Di hari Senin ini, Malika cemberut pagi-pagi sekali karena kesal dengan kelakuan Rivaldi yang semakin dingin dan tidak menganggapnya ada. Itu sebenarnya bagus juga, tapi Malika pikir dia benar-benar hanya menganggapnya alat untuk memenuhi permintaan almarhumah ibunya.
“Minggir dikit, dong. Saya mau lewat!” gerutu Malika yang sengaja cari masalah dengan suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Rivaldi hanya mengerutkan kening sambil menggosok rambutnya yang basah. Melirik ke arah istrinya yang hanya memakai handuk di tubuhnya.
Ada apa lagi dengannya? Masih marah gara-gara kejadian di restoran itu?
Rivaldi menggelengkan kepala sambil menghindar di depan Malika yang bersiap-siap untuk mandi. Tapi, karena Malika terlalu kasar berjalan sampai dengan sengaja menabrak sebelah bahunya, kejadian tak terduga pun tiba-tiba terjadi.
“Aduh!” teriak Malika yang terkejut karena menginjak lantai yang licin hingga dia terpaksa berpegangan kepada pria di sebelahnya.
Sialnya, karena terlalu panik dan terburu-buru, Rivaldi yang juga kaget segera menariknya hingga tanpa sadar membuat handuk Malika terbuka dan jatuh ke lantai.
Kecanggungan aneh jatuh di antara keduanya dalam posisi saling tatap karena terkejut!
Malika yang tanpa apa pun di tubuhnya masuk ke dalam pelukan Rivaldi yang baru saja keluar dari kamar mandi: basah, berotot kencang, segar, dan menggoda.
Malika tanpa sadar menelan ludah berat menyadari dadanya yang begitu kokoh dan keras tepat berada di depan matanya.
Wow! Ini suaminya, ya? Keren gila! Malika merasa beruntung mendapat duda keren seperti Rivaldi! Sayangnya, belum bisa dicicipi! Ugh!
Malika merutuk di dalam hati ketika pikiran mesumnya beberapa bulan lalu terbayang kembali. Apakah punya Rivaldi besar? Itu adalah pertanyaan bodoh dan konyol di saat yang sama.
“Kenapa melihatku seperti itu? Jangan-jangan kamu sengaja, ya, melakukan ini untuk menggodaku? Sudah tidak sabar untuk malam pertama setelah sekian lama menundanya?” sindir Rivaldi dingin dan tampak acuh tak acuh.
Malika segera sadar dari lamunannya dan kaget mendapati tubuhnya polos luar biasa dalam pelukan suaminya. Bahkan bagian pribadinya atasnya menyentuh kenyal-kenyal lengan Rivaldi yang sedang menahan perutnya.
“ARGH! DASAR SUAMI c***l!!! JANGAN PEGANG-PEGANG! KURANG AJAR BANGET, SIH!” teriak Malika histeris dan panik, segera melepas pelukannya dan mendorong pria itu menjauh agar bisa meraih handuk di lantai.
Rivaldi tidak siap menerima serangan itu, makanya mundur dengan gerakan sembarangan dan membuat kepalanya terbentur kecil di rangka pintu kamar mandi.
“Apa tidak bisa kamu lembut sedikit? Kamu pikir gara-gara siapa ini terjadi?!” gerutu Rivaldi kesal, meraih belakang kepalanya yang sakit berdenyut.
Malika yang sudah memakai handuk menggigit kuku jarinya melihat suaminya kesakitan. Dia serba salah. Maju atau tidak untuk menolongnya?
“Sa-sakit banget, ya?” tanyanya dengan ringisan tak enak hati, seolah-olah dialah yang terbentur.
Rivaldi merasakan dadanya naik turun oleh amarah. Dia langsung menyemburnya. “Kamu masih tanya setelah lihat suami sendiri kesakitan begini?”
Malika murung dan memasang wajah sedih yang bersalah. Kepala ditundukkan mirip anak kecil yang sedang dibentak.
Melihatnya cukup bersalah, Rivaldi mendecakkan lidah dan berkata pelan kepadanya. “Sudah. Lupakan saja. Kalau kamu bisa menjaga sikap di masa depan agar lebih dewasa lagi, maka hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Sana cepat mandi!”
“Ma-mau kubantu olesin obat, nggak?” tanya Malika gugup, mencoba mendekat tapi Rivaldi segera menolaknya kasar dengan menyentak tangan Malika.
“Tidak perlu. Nanti kamu malah membuatku mandi obat gosok dan membuatku terlihat konyol.”
Malika meradang dan sedih mendengar sindirannya, seolah-olah dia adalah wanita tidak becus di matanya.
Sepeninggal suaminya menuju walk in closet, Malika berjalan lesu ke kamar mandi. Dia tidak ada niat seperti itu pada mulanya. Hanya ingin mengusiknya sebentar agar dia sadar kalau dia ada sebagai istrinya di sini. Sungguh mengherankan dia sama sekali tidak pernah menyentuhnya setelah menikah.
“Huh! Otak gue pasti bermasalah. Ngapain juga kita berharap kek gitu? Lo tau nggak sih, kalau dia tuh nggak cinta ama kita, Malika! Sadar dikitlah! Emang pantas kepalanya terbentur, tuh! Amnesia aja sekalian, trus cerai, deh! Kan bagus itu! Emak kagak perlu lagi pusing-pusing mikirin kita udah nikah apa belum. Kan udah jadi janda ntar, yak?” gumam Malika kepada diri sendiri dengan ekspersi bodoh yang lugu. Bersandar di pintu dengan wajah kusut dan cemberut.
Bukannya Malika ingin begituan dengan Rivaldi, tapi aneh saja, bukan? Apakah selamanya dia akan menjadi perawan selama menikah dengannya? Memikirkan hal itu, membuat Malika merasa ngeri-ngeri sedap.
Nanti Nandita mikir apaan pas tahu dia masih perawan ting-ting? Meskipun tadi Rivaldi sudah melihat tubuh telanjangnya, dan tidak sengaja menyentuh balon kenyalnya, tetap saja dia masihlah murni sebagai wanita, bukan?
Malika menggelengkan kepalanya kesal. “Ah! Sudahlah! Masih pagi juga mikirin ginian! Sialan!”
Buru-buru dia segera mandi untuk segera berangkat kerja. Semoga saja di tempat kerjanya nanti Nandita datang membawa gosip seru untuknya.
Sementara Malika mandi sambil bernyanyi riang untuk menghibur diri, di walk in closet kamar luas itu, Rivaldi menghela napas berat ketika memakai pakaiannya. Dia terbayang-bayang tubuh semok dan aduhai istrinya.
Pada mulanya, Rivaldi sama sekali tidak memikirkan soal seks sama sekali, melainkan hanya pernikahan dengannya untuk memenuhi permintaan almarhumah ibunya, dan juga di saat yang sama bisa memberikan Kinnan sosok ibu yang selalu dirindukannya.
Melihat kelakuan Malika yang tidak dewasa, Rivaldi mulai ragu dengan keputusannya.
“Haaah... Rivaldi... singkirkan pikiran kotormu. Setidaknya jangan sentuh dia dulu sebelum kamu saling menyukai dengannya,” tegurnya kepada sosoknya di cermin.
Sekalipun pada mulanya tidak kepikiran soal seks, tapi Rivaldi sadar kalau tidak mungkin menghindari hal itu terus-terusan jika ingin rumah tangganya awet. Entah bagaimana dia akan melakukannya sementara di hatinya masih ada sosok lain.
Rivaldi menghela napas berat, mengancing kemejanya sambil menggelengkan kepala keras-keras untuk menghilangkan perasaan aneh yang muncul di hatinya saat dia menyentuh kulit polos istrinya.
Dia bukanlah orang c***l seperti tuduhan Malika barusan, tapi kenapa pikirannya mulai aneh-aneh? Apakah efek karena sudah lama terlalu menjadi duda dan hanya fokus kepada putri semata wayangnya?
“Rivaldi, kamu pasti sudah gila,” makinya kepada diri sendiri di cermin. Menghela napas berat menyadari dia mungkin sudah butuh sentuhan wanita dalam hidupnya. Namun, kalau wanita itu adalah Malika?
Entah kenapa dia tiba-tiba bergidik sendirian. Dia sangat berbanding terbalik dengan Anggun, ibu kandung Kinnan. Dia lembut dan dewasa, juga sangat pengertian. Tidak seperti Malika yang kasar dan galak.
“Heh... tapi, dia menang di sisi lain, karena telah berhasil membuatku penasaran,” lanjutnya sambil tersenyum puas di cermin usai berpakaian dan merapikan lengan kemejanya.