1. PRIA GILA

2209 Words
Di belakang sebuah bangunan pusat perbelanjaan, seorang wanita berseragam karyawan supermarket terlihat sedang menikmati nikotin di tangannya. Ini sering dilakukan olehnya di saat sedang kosong pembeli. Merokok dengan tenang tanpa ada yang mengganggunya. Panggil saja wanita yang sedang menghisap rokoknya itu dengan sebutan Malika. Nama yang terdengar imut dan manis, tapi tidak dengan kelakuannya. Dia merokok dan juga sering berkelahi dengan adiknya. Tingkah dan ucapannya yang terbilang asal nyeplos ini tidak sesuai dengan background keluarganya yang memiliki sopan santun. Berusia tepat dua puluh lima tahun hari ini. "Angin kampret!" ujar wanita itu kesal pada angin yang sudah mematikan api di rokoknya. Padahal tinggal sedikit lagi habis. Dia lalu membuang puntung rokok yang sudah mati itu ke sembarang tempat karena sudah tidak mood untuk merokok. "Nih kancutt lo! Bisa-bisanya nyuruh gue ambil barang pusaka lo!” ujar Nandita, sahabat Malika yang baru datang. Dia menggerutu karena sahabatnya menyuruhnya untuk mengambil kain segitiga milik Malika. "Salahin aja ini! Kenapa ingusan pas gue lagi kerja!” jawab Malika enteng. Karena ini hari pertamanya datang bulan, makanya tidak mempersiapkan diri. "Eh, tapi Malik, di rumah lo ada cowok ganteng lagi ngobrol sama emak lo." Nandita memberitahu apa yang sudah dia lihat di rumah sahabatnya. "Berondong Mak gue kali,” jawabnya acuh dan ngaco, mencoba untuk tidak peduli. "Tuh mulut kek nggak pernah makan bangku sekolah! Sembarang aja kalo ngomong!” ujar Nandita. Kesal mendengar jawaban sahabatnya yang sangat kurang ajar. "Emang gue rayap, makan bangku?!” "Tapi, keknya, Mak Lo emang beneran mau jodohin Lo, deh, Malih." Nandita mengingat jika ibu Malika selalu mengatakan ingin menjodohkan anaknya dengan beberapa pria. Nandita juga ingat kalau ibu Malika pernah membawa pria entah dari mana untuk dinikahkan dengan anaknya. Untung saja, Malika saat itu sedang mabuk. Jadinya, dia tidak pulang ke rumah. "Lo ngapa manggil gue Malih sama Malik sih? Nggak bisa gitu manggil nama gue lengkap?!" ujar Malika. Kesal karena sahabatnya selalu memplesetkan namanya. "Gue juga bingung, Mak gue terobsesi punya mantu, padahal umur gue aja baru dua lima,” lanjut Malika gemas. Teringat kalau ibunya terus mengatakan ingin menjodohkannya, bahkan tidak peduli pria entah dari belahan dunia mana. Yang terpenting anaknya menikah! "Ya, udah, sih! Lo sana nikah aja! Mak lo ngebet pengen punya cucu." Nandita malah mendukung ibu Malika agar sahabatnya menikah. "Lagian hidup lo juga nggak jelas gini, kan? Makan, tidur, ngerokok, kerja. Kaya abu-abu gitu. Paling nggak, lo punya suami yang bisa lo ajak tidur tiap malem,” ujarnya lagi. "Jangan gila! Nikah bukan tentang tidur aja, Nan! Gue ngurusin hidup sendiri aja udah susah! Mau soksoan ngurusin orang lain!" Alasan utama Malika tidak mau menikah di usia sekarang, karena dia memang belum siap dengan apa yang akan terjadi nantinya. Belum lagi tentang kesiapan ketika mengandung dan juga punya anak. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang sebelum waktu itu tiba. Malika tidak mau hanya karena nafsu, dan berpikir jika menikah enak karena ada yang menemani tidur setiap malam saja. Tapi, dia juga harus berpikir tentang kemungkinan terburuk dari pernikahannya itu jika belum ada kesiapan dari segi apa pun. "Kan, si Drian udah nawarin lo mau buat nikah ama dia. Kenapa nggak lo iyain aja?" ucap Nandita. "Yakin gue nikah sama Drian?" Malika mencolek-colek dagu temannya untuk menggodanya, karena dia tahu kalau Nandita itu menyukai Drian sejak mereka kecil. "Apa, sih?!" seru Nandita kesal karena sudah digoda. "Lagian Drian juga sukanya sama lo, bukan gue,” gerutu Nandita setengah cemberut. "Ke mana cunguk itu?" tanya Malika untuk mengalihkan pembicaraan. Ya, memang Drian menyukai Malika sejak mereka kecil juga. Aneh bukan? Nandita menyukai Drian. Drian menyukai Malika, dan Malika tidak menyukai Drian. Sungguh luar biasa pertemanan mereka. Malika juga tidak mau hanya karena cinta hubungan persahabatan yang dibangun sejak mereka masih kecil hancur karena itu. "Lo kaya nggak tau dia aja! Biasa. Lagi macul di hotel koyo,” Nandita menjawab sebisa mungkin. Padahal Malika tahu kalau Nandita cemburu kalau Drian bersama wanita lain. "Buset! Itu o***g nggak takut kutilan apa? Sana sini celup!” seru Malika heboh. Dia tidak habis pikir dengan sahabat prianya yang sering sekali bergonta-ganti pasangan untuk bercocok tanam. Pria itu memang sudah playboy sejak dini. "Ya, mau gimana lagi? Tuh o***g pengennya geter aja,” jawab Nandita asal. "Kok, Lo tau otongnya si Drian suka geter-geter?" Malika kembali menggoda Nandita. "Taulah, kita sering mandi bareng dulu." "Hahaha! Iya! iya! Otongnya emang luar biasa." Malika malah membayangkan 'milik' Drian yang memang dikatakan hmmm besar.... "Dih!" Nandita memandang aneh sahabatnya. "Dahlah, gue mau kerja lagi. Satu jam sebelum gue cabut, mau bersih-bersih dulu." Malika meninggalkan Nandita sendirian. *** Pukul dua belas malam, Malika baru hendak mau pulang bekerja. Lumayan agak telat memang karena harus beberes yang ternyata lebih memakan waktu daripada biasanya. Memang seperti itu supermarket tempatnya bekerja, buka dua puluh empat jam, dan kadang-kadang harus pulang terlambat jika masalah stock barang dan pelaporan belum selesai dikerjakan. Sialnya, bulan ini, Malika yang harus shift malam, harus sering pulang sangat telat gara-gara masalah pergudangan. “Sialan! Masa gue yang harus beresin semuanya? Ngapaian juga ganti shift kalau mereka nggak ada gunanya sama sekali? Mana gudangnya di sebelah lagi!” Malika uring-uringan di salah satu lantai gedung parkiran, kesal dengan karyawan lainnya yang diam-diam dicapnya sebagai manusia pemakan gaji buta. Dia terpaksa mendorong keranjang belanjaan berisi barang-barang yang sudah lewat masa kedaluwarsa. Sialnya, gudang tempat tujuannya berada jauh dari tempatnya bekerja. Namanya juga gudang pembuangan. Harus terpisah dari gudang persediaan. Entah kenapa seperti itu. Malika juga heran dibuatnya. Bukankah bisa diberi peringatan aja? Ini, kok, pakai pisah segala? Buang-buang waktu dan boros tempat! ‘Sekalian saja kamu bawa ini, ya, saat pulang nanti,’ ujar kepala manager saat itu kepada Malika. “Huh! Nasib! Nasib!” gerutunya kesal ketika teringat ucapan manager pria yang sangat baik hati dan tidak bisa dibantah. Suasana tengah malam di lantai parkiran cukup sunyi dan tenang. Tapi, itu tidak berlangsung lama karena ketika Malika mendorong troli belanjaannya, dari arah tikungan lantai bawah, sebuah mobil tiba-tiba muncul dan nyaris saja menabrak Malika dan troli di tangannya. Suara decitan ban memekakkan telinga, membuat mobil hitam mahal itu berhenti tepat beberapa inci lagi mengenai sosok Malika yang tinggi dan langsing. Kaget! Malika membeku dengan wajah horor dan mata membola sempurna! “Sialan!” umpat pria tampan di dalam mobil. Wajahnya mengeras gelap menyadari kesalahannya gara-gara harus memungut ponselnya yang sempat terjatuh. Dia berpikir, kalau di lantai parkiran tengah malam begini sudah pasti tidak akan ada orang yang lewat. Maka dari itu dia berkendara cukup semberono dan tidak berpikir akan ada bahaya yang mengintainya. Tapi, ternyata dugaannya salah! Malika yang terbangun dari keterkejutan dan ketakutan instannya, seketika memasang wajah sangat marah! “Kancutt sialan! Beraninya hampir nabrak gue!” umpatnya dengan amarah mendidih di dadanya. Dengan gerakan terburu-buru, dan sudah menahan semua nama penghuni kebun binatang di mulutnya, Malika bergegas mendekat dan memukul berkali-kali kaca jendela sang pengemudi. “Keluar lo, berengsek! Dasar pengecut! Udah mau nabrak gue, masih diem aja di situ! Lo nggak tau di sini ada CCTV, hah?! Lo mau gue tuntut ke pengadilan!” Malika terus memukul kaca jendela, karena pemilik mobil tidak juga memberikan reaksi kepadanya. Ketika Malika berniat untuk menendang pintu mobil, tiba-tiba saja kaca jendela diturunkan, dan wajah seorang pria dengan mata tajam seperti elang menatapnya asing. ‘Kamprettt!!! Ganteng amat ni orang!’ batinnya tanpa sadar dengan perasaan terpesona. Detik berikutnya dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Heh, Cecurut! Lo bisa nyetir nggak, sih? Emang bangunan ini punya bapak lo! Turun lo kalau berani!” maki Malika sambil menunjuknya galak. Kening pria itu hanya ditautkan tak suka, menimpalinya datar. “Bukankah dalam hal ini kamu juga salah, Nona? Kenapa menyebrang tidak melihat jalan dulu? Kamu sedang memikirkan apa? Kalau benar ada CTTV di sini, mari kita lihat, siapa yang paling salah di antara kita berdua.” Rivaldi Geovani merasa bersalah di dalam hatinya ketika memikirkan kesalahannya dalam menyetir. Tapi, dia tidak punya waktu meladeni wanita kasar itu. Secepatnya harus ditangani sebelum masalah menjadi lebih besar! Dia tidak punya waktu untuk dibuang-buang percuma! Sejujurnya, dia sedang terburu-buru untuk membeli hadiah yang tidak sempat dipesannya hari ini. Jadwal rapat dan pertemuan dengan beberapa klien penting membuatnya lupa untuk menyiapkannya lebih awal. Tidak ada waktu untuk membelinya besok pagi, maka dari itu dia datang sendirian ke supermarket 24 jam. Namun, apa yang didapatkannya sekarang? Bencana dan kesialan! Dia hampir membunuh orang! Malika yang tersudutkan dengan perkataan Rivaldi yang memang benar, seketika saja terbata dalam diam. Dia tidak tahu harus berkata apa! Sialan! Udah ganteng, pintar bicara pula! Bagaimana dia tahu kalau dia sedang melamun waktu mendorong troli tadi? Jangan-jangan, dia itu dukun, ya? Rivaldi mendengus geli, menatapnya remeh. Seketika saja melihat bahasa tubuh Malika yang sangat jelas. “Nona, sebaiknya jangan asal menuduh orang. Sepertinya, bukan hanya saya yang salah di sini, bukan? Saya sedang terburu-buru, dan kamu juga tidak terluka sedikit pun. Kalau begitu, saya pamit dulu. Maaf karena sudah membuatmu kaget. Ini sedikit kompensasi dari saya. Tolong diterima.” Rivaldi menjelaskan hal itu dengan sangat tenang, dan segera mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya. Malika yang tiba-tiba disodori uang sebanyak itu, tentu saja kaget dan bingung! Belum sempat dia membuka mulut, pria itu dengan sombong dan arogan segera berlalu dari hadapannya. “Nah! Selamat tinggal, Nona! Lain kali, jangan melamun sambil berjalan lagi.” “Eh? Loh? Eh? Loh? Hah?!” Malika sangat linglung seperti orang bodoh dengan adegan yang menimpanya sekarang. Dia memandang bergantian antara uang dan mobil yang sudah berjalan menjauh darinya. “Anjirrr! Sialan! Dasar orang kaya sombong!” umpatnya kesal ketika sadar merasa dirinya sudah dihina dan direndah. Dia meremas uang di tangannya sambil menghentakkan satu kakinya di lantai. “Kamprettt! Awas lo kalau ketemu lagi dengan gue!” *** Dengan lelah dan lesu, Malika menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamar pribadinya berada. Gara-gara memindahkan barang-barang sebelumnya ke gudang lain, dan mengalami insiden tak terduga, dia pulang ke rumah sangat-sangat lambat dari perkiraannya. Dengan sangat pelan Malika melangkah agar ibunya tidak bangun dari tidurnya dan mengatakan 'sudah dapat calon mantu buat ibu?' berulang kali sampai Malika muak. Tidak bisakah penderitaannya berkurang sehari saja? Beban mentalnya sudah cukup banyak hari ini! "Kenapa jalannya begitu? Kaya mau mencuri.” Ibu Malika dari belakang mengejutkannya. "Ma... bikin kaget aja." Malika mengusap-usap dadanya karena terkejut. "Malika, Mama—" belum sempat Ibunya melanjutkan ucapannya, Malika lebih dulu memotongnya. "Nggak ada, Ma! Malika belum mau nikah!!" Malika merengek kesal. Itu karena dia sudah tahu ibunya akan mengatakan apa kepadanya. "Apa? Mama nggak mau ngomong itu." Dugaan Malika salah, ternyata Ibunya tidak ingin bertanya soal calon suami. "Besok Mama mau nginep di rumah tante Ayu. Jadi, kamu sendirian dulu, ya, di rumah. Minta tolong Nandita buat nemenin kamu, tapi nggak sama Drian. Dia cowok, dan kamu harus jaga diri meskipun status kalian sahabat." Ternyata dugaan Malika salah, ibunya ingin mengatakan kalau dia ingin pergi menginap ke rumah temannya. Syukurlah tidak perlu mendengar ceramah mental kali ini! "Terus si kunyuk?" tanya Malika tentang adiknya yang masih remaja. "Kamu ini bertengkar terus sama Ciko." Ibu Malika memukul punggung anaknya pelan karena tingkah keduanya yang membuat kepalanya pusing. "Ciko ikut sama Mama. Pokoknya jangan aneh-aneh di rumah!” lanjut Ibu Malika memperingati. "Iya, iya!! Malika tau." Setelah mengatakan itu, Malika pergi ke kamarnya dengan damai. Di kamar, Malika langsung berbaring di kasur miliknya yang hanya cukup untuk satu orang saja. Tubuhnya terasa sakit karena harus memindahkan barang dan mengambil barang yang masa expired-nya sudah habis. "Enak kali, ya, kalau ada yang mijitin,” cicitnya manja. Entah kenapa Malika membayangkan ada yang memijitnya saat ini. "Dipijit-pijit, dielus-elus, trus di—" Malika menghentikan ucapannya karena otaknya sudah melampaui batas kenormalan. "Sialan! Gara-gara perbincangan tadi soal nikah, gue jadi mau dipijitin luar dalem." Malika mencicit cemberut. Karena bagaimanapun, Malika adalah wanita dewasa yang mengerti akan hal 'itu'. Terkadang, dia juga berpikir ke arah sana. Rasa penasaran akan hal yang namanya 'naik dan klimakss' sering terlintas di kepalanya. Tapi, karena rasa takut akan kemungkinan terburuk, makanya dia tidak bisa berkhayal terlalu lama. "Semoga nanti laki gue otongnya lebih gede dari Drian,” ucapnya ngaco seraya tersenyum-senyum bodoh sebelum dia benar-benar akhirnya terlelap tidur. *** Pada mulanya, Malika tertidur nyenyak dengan mimpi indah. Tapi, di tengah mimpi, tiba-tiba saja pria tampan yang ditemuinya di gedung parkiran muncul tiba-tiba di depannya dengan latar mengerikan penuh suasana suram layaknya latar film horor. “Malika, kamu ingin dipijit? Bagaimana kalau aku yang akan memijitmu sekarang?” Pria tampan berwajah dingin itu tersenyum mengerikan dari kursi pengemudi, sementara Malika entah bagaimana tiba-tiba terbaring terikat di lantai, persis seperti polisi tidur, dan mobil pria itu berjalan cepat ke arahnya! “Tidak! Tidak! Jangan tabrak! Jangan tabrak gue! Tolong jangan tabrak!” racau Malika yang masih tertidur. Kening bertaut dalam dengan keringat dingin menghiasi wajahnya. “Malika! Cepat bangun! Kamu mau tidur sampai kapan?!” teriak ibunya dari depan pintu. Malika spontan terbangun duduk dari tidurnya dalam keadaan linglung. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin. Mata dikerjap-kerjapkan cepat. Saliva ditelan susah payah. “Kampret. Gue mimpi apaan tadi, hah?” gumamnya kepada diri sendiri, bibirnya gemetar dan sorot matanya tidak fokus. Ketika teringat wajah tidak jelas pria di dalam mimpinya, Malika merinding ngeri dan buru-buru berlari ke kamar mandi. Pria kaya sialan! Gara-gara bertemu dengannya, dia malah dapat mimpi buruk! Awas kalau bener-bener ketemu lagi dengannya! Dasar kancutt got sialan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD