Lilian masih terus meneteskan air mata, seraya menimang putrinya yang sudah pucat dan belum juga berhenti menangis sejak tadi. Mereka menangis berdua diiringi suara derasnya air hujan dari luar rumah.
Sesekali Lilian, ibu muda yang sama sekali belum punya pengalaman dalam mengurus anak, meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung putrinya, yang baru berusia dua bulan. Setiap kali telunjuknya masih merasakan hawa hangat dari hidung sang putri, maka Lilian akan bernapas lega.
Namun tiap kali dia memegang kening putrinya dengan punggung tangan dan merasakan demamnya belum juga hilang bahkan berkurang, maka hatinya kembali risau bukan kepalang.
“Yara, Sayang, kenapa demam mu belum juga turun, Nak? Mama bingung ini, Papa masih nggak dijawab teleponnya. Nenek dan tante mu juga dari tadi nggak angkat telepon Mama. Bagaimana ini, Yara?” Bergetar suara Lilian di sela kepanikannya. Dilihatnya jam di dinding, sudah hampir jam sepuluh malam. Tadi siang Lilian sudah membawa Yara ke bidan terdekat dan diberi obat demam, setelah selama dua hari panasnya naik turun saja. Setelah diberi obat sirup, tadi demamnya sempat turun, tapi sore menjelang magrib, suhu tubuh Yara kembali naik dan tidak turun sampai sekarang.
Suara tangis Yara tiba-tiba melemah. Lilian semakin panik! Dia menggoyang-goyangkan pipi anaknya yang terlihat tidak montok seperti bayi pada umumnya. Sebab air s**u Lilian memang keluar, tapi tidak terlalu banyak karena asupan gizi yang dikonsumsinya juga kurang. Ditambah lagi stres yang mendera ibu muda berusia 19 tahun itu mewarnai setiap harinya.
“Yara! Bangun, Sayang! Yara kenapa kamu diam?!” Lilian segera meletakkan Yara di atas tempat tidur di dalam kamarnya. Kemudian diambilnya handphone dari atas meja nakas.
Untuk ke sekian kali di hari ini, Lilian menelepon Edwyn, suaminya, tapi selalu tidak diangkat. Bahkan semua pesan yang dia kirim belum ada yang dibaca satupun.
Akhirnya demi sang putri, Lilian mengalahkan rasa takutnya. Jika tadi dia telah mencoba menelepon sang ibu mertua sebanyak dua kali tapi tidak diangkat. Kini dia mencoba peruntungan dengan menelepon kakak iparnya.
Ketika nada sambung yang kedua kali, lalu panggilan itu diangkat, rasanya Lilian ingin langsung sujud syukur saat itu juga.
“Hallo!”
Nada ketus di seberang telepon tidak menyurutkan perasaan bahagia Lilian sedikitpun.
“Hallo, Mbak Elsa? Mbak, tolong Yara, Mbak! Yara demamnya nggak turun-turun dari tadi sore, dan sekarang mukanya pucat banget, Mbak!”
Suara panik Lilian yang bergetar justru mengundang desis mencibir dari Elsa.
“Cih! Kamu telepon aku cuma gara-gara Yara? Yang benar saja! aku sudah tidur tahu! Urus anakmu sendiri! Dan juga jangan telepon mama lagi! Mengganggu saja.”
Sambungan telepon ditutup oleh Elsa. Tangis Lilian meledak. Belum lagi sempat dia bilang minta tolong diantar ke rumah sakit terdekat. Elsa punya mobil, dan Lilian tahu DP dari mobil itu asalnya dari gaji suaminya. Jadi Lilian pikir ada hak dia meminta diantarkan ke rumah sakit dengan menggunakan mobil itu.
Sesak di dadanya berusaha dia obati sendiri. Lilian sadar dia harus kuat sekarang dan mencoba berpikir jernih. Jika tidak Yara bisa tidak selamat! Tangis anaknya sudah tidak terdengar sama sekali dari atas tempat tidur. Dan Lilian hanya mampu berharap jika Yara hanya sedang tertidur sekarang karena lelah menangis seharian.
Dengan berlari Lilian menuju ruang belakang. Menyambar payung lalu berlari lagi ke kamar. Lilian kembali menggendong Yara yang rasanya semakin panas saja suhu tubuhnya. Setelah menyambar tas selempang lalu memasukkan handphone ke dalam tas, Lilian segera berjalan cepat keluar rumah. Dengan hanya memakai sandal jepit, Lilian berjalan melebarkan payung lalu berjalan menembus derasnya hujan yang disertai angin kencang.
Sempat diliriknya rumah sebelah dengan mobil sedan putih di garasi depan. Itu adalah rumah sang mertua yang tinggal berdua dengan putri sulungnya, kakak dari Edwyn.
Lilian tidak bisa memesan taksi online sebab handphone yang dia gunakan adalah jenis handphone jadul, sedangkan smartphonenya sudah dirampas oleh Elsa beberapa bulan lalu, dijual untuk menambah DP mobil dia bilang.
Mau minta tolong pada tetangga pun sulit, sebab dia tinggal di perumahan baru, sudah banyak rumah yang berdiri di sini, tapi yang ditempati hanya baru beberapa saja. Itupun jaraknya agak berjauhan.
Lilian kaget ketika merasakan getaran aneh dalam pelukannya. Lilian menunduk, dalam gelapnya malam masih bisa samar-samar dia lihat kedua bola mata Yara seperti melotot. Putrinya kejang!
“Yaraaa!” teriaknya pilu di tengah deru hujan. Semakin Lilian mempercepat langkah, bahkan sampai sandal jepitnya putus dan lepas di jalan. Dari dalam perumahan mencapai gerbang depan saja cukup jauh. Begitu sampai di pinggir jalan raya, Lilian memutuskan terus berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, barangkali ada angkot yang lewat. Namun karena sudah hampir jam 11 malam dan hujan belum juga reda, sepertinya orang-oranng memilih tidur dengan nyaman di dalam kamarnya yang hangat.
Berbeda dengan Lilian yang terus berjalan terseok hingga senyumnya mengembang ketika melihat plang rumah sakit di depan mata, hanya tinggal berjarak beberapa meter saja.
Sanking senangnya Lilian berlari dan tidak sadar sebelah kakinya masuk ke selokan. Dia terjatuh dengan lutut kiri sebagai tumpuan di aspal. Tidak mengapa, terpenting anaknya masih selamat dalam gendongan. Lilian muda dengan tubuh kurusnya kembali berlari hingga mencapai lobi rumah sakit dengan tampang kacau.
“Tolong! Tolong anak saya!” teriaknya parau dengan sisa-sisa tenaga.
Seorang perawat wanita yang sedang melintas di lobi melihat Lilian dan segera berlari ke arahnya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya dengan raut wajah tegang.
“A—anak saya ….”
Perawat itu melihat bayi mungil dalam gendongan Lilian yang pucat pasi. Lalu menatap cemas pada sang ibu yang tak kalah pucatnya dalam keadaan basah kuyup. Payung itu memang hanya mampu melindungi Yara saja sepanjang jalan.
“Saya gendong ya, Mbak.” Perawat itu segera mengambil alih Yara dengan hati-hati. “Ikuti saya ke ruang UGD, Mbak!” perintahnya tanpa menoleh lagi pada Lilian. Sedangkan dia sendiri segera berlari menuju ruang UGD yang bersebelahan dengan lobi utama.
Lilian ikut berlari di belakang perawat. Dia menghentikan langkah ketika Yara telah dibaringkan di sebuah bed lalu diperiksa oleh beberapa orang perawat juga dokter. Mereka semua terlihat sangat sibuk. Seorang dokter menoleh sebentar pada Lilian dengan pandangan pilu. Entah apa artinya itu. Lilian terus berdoa dengan tubuh gemetar.
Tidak lama kemudian, seorang dokter pria yang tadi ikut menangani Yara, terlihat menurunkan masker, lalu melepas sarung tangan. Dia berjalan ke arah Lilian.
Dengan posisi lurus berhadapan seperti itu, dokter muda dapat melihat bagaimana penampilan Lilian. Seluruh bajunya basah kuyup, tidak memakai sandal dan betapa terkejutnya sang dokter ketika melihat bekas jejak kaki Lilian yang agak kotor tapi ada bercak darah di sana.
“Bagaimana anak saya, Dok? Demamnya bisa turun, kan? Tadi siang sudah diberi obat sirup dari bidan, tapi hanya bertahan sebentar. Sorenya demam lagi, tapi saya baru bisa bawa Yara kesini malam ini. Yara-nya nggak nangis, Dok? Lagi tidur, ya?” cerocos Lilian sambil menangkupkan kedua telapak tangan yang dingin dan nyaris mati rasa.
Sang dokter menghela napas dalam. Sorot matanya begitu terenyuh melihat kondisi Lilian apalagi mendengar ucapannya. Dokter itu memegang pundak kanan Lilian dengan lembut. “Mbak, saya minta maaf, putri Mbak tidak terselamatkan. Dia sudah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.”