Semua wanita selalu memimpikan hal yang sama. Menikah, memiliki anak-anak yang lucu, dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Mungkin karena wanita lebih perasa atau selalu diracuni dengan cerita dongeng yang selalu berakhir indah, hingga wanita selalu memiliki harapan yang begitu besar dari sebuah pernikahan. Mereka pikir, menikah adalah akhir bahagia bagi kisah cinta mereka. Namun sayang, terkadang pernikahan adalah awal dari semuanya. Awal penderitaan dan juga jalan awal untuk menuju kebahagiaan abadi bak cerita dongeng. Sebenarnya, tak sepenuhnya salah bila manusia berharap tinggi. Hanya saja, terkadang harapan bisa menjadi bom yang bila meledak, maka akan menghancurkanmu hingga berkeping-keping.
Cantika adalah bukti nyata dari pernikahan yang terasa seperti bom waktu. Menunggu saat yang tepat untuk meledak dan menghancurkan dirinya sendiri. Ah … dirinya terlalu banyak membaca cerita fiksi tentang perjodohan yang berakhir saling jatuh cinta. Pikirannya teracuni, hingga ia pun terlalu menganggap enteng perjodohannya dengan Tian. Berharap bila mereka pun akan memiliki kebahagiaan seperti kisah n****+ roman yang dibacanya. Terlalu terlarut dalam kisah indah itu, hingga ia lupa makna fiksi sebenarnya yang artinya hanyalah karangan belaka. Tidak nyata. Ia lupa bila kisahnya pun tak dijamin bisa berakhir dengan bahagia.
Cantika seakan ditampar keras oleh pria yang dicintainya dengan menunjukkan kenyataan yang selama ini ia abaikan. Ia terlalu mempercayai cintanya sendiri. Egois dan juga bodoh memang. Namun apa daya, kau tak mungkin bisa mengendalikan hatimu ketika jatuh cinta. Andai saja ada manusia yang mampu mencegah dirinya untuk jatuh cinta. Mungkin saja, tak ‘kan ada seorang pun yang akan mengalami patah hati sepertinya. Mungkin saja, dunia tanpa cinta bisa terasa jauh lebih baik bila semua cinta sesakit seperti apa yang Cantika rasakan.
“Aku memintamu untuk merapikan kamar tamu agar bisa ditempati oleh kekasihku,” Tian mengulang permintaan yang terdengar seperti perintah itu pada Cantika yang tak merespon apa pun. Sedari tadi, yang perempuan itu lakukan hanyalah menatapnya nanar dan membeku bak patuh, membuat Tian semakin kesal melihat sikap perempuan, “Kenapa kamu malah bengong seperti orang bodo0h!” Tian memang tak pernah memikirkan perasaan Cantika. Sejak awal, pria itu gemar menyakiti Cantika dengan kata-kata maupun perbuatan kasarnya. Miris sekali.
“Kamu bisa meminta Mbak Sri yang membersihkan kamar kekasih tercintamu itu,” Ujar Cantika dengan nada mengejek. Walau bagaimanapun, dirinya hanyalah manusia biasa yang memiliki batas kesabarannya sendiri. Ia sudah berusaha semampunya menerima dan juga membuat Tian menatapnya, akan tetapi semuanya sia-sia belaka. Kini, dirinya tak lagi bisa mencegah amarahnya. Tian benar-benar sudah begitu kelewatan dengan meminta kekasihnya menginap di rumah mereka. Apakah Tian mau memamerkan kemesraan mereka pada Cantika? Apakah Tian belum cukup puas membuat Cantika merasa rendah dan juga terluka?
Tian mengeraskan rahangnya dan mencengkram pergelangan tangan Cantika kuat-kuat. Matanya menatap tajam perempuan yang kini sudah mulai membangkang padanya. “Apa kamu bilang?” Pria itu menggeram kesal, “Bukankah kamu bilang kalau kamu mau menjadi istri yang baik? Bukankah istri yang baik itu harus menuruti semua perkataan suaminya?” Lanjut Tian yang tak mampu menyembunyikan amarahnya pada Cantika. Ia ingin membuat wanita itu sadar bila pilihannya untuk melanjutkan perjodohan konyol itu membuat Tian sangat menderita. Ia harus berada di posisi serba salah dan membuat wanita yang dicintainya terluka. Jika saja Cantika tak menerima perjodohan ini, maka dirinya bisa bahagia dengan kekasih hatinya.
Cantika melepaskan cengkraman tangan Tian dan menatap pria itu tajam. “Ya, aku memang mau menjadi istri yang baik untukmu. Selama ini, aku berusaha keras untuk melayani, mengikuti semua kemauanmu, dan bersabar dengan kebencianmu. Namun kamu salah mengartikan semua kebaikanku,” Cantika tak tahu keberanian dari mana yang didapatkannya hingga ia bisa mengatakan kata-kata yang begitu berani. Padahal, sebelumnya ia selalu bersabar dan menuruti semua keinginan Tian. Ia ingin pria itu mengerti cintanya. Namun sayang, tampaknya semua cara yang dilakukannya tak berhasil. Mungkin Cantika mulai lelah atau hatinya telah hancur berkeping-keping, hingga ia memberanikan diri untuk menutupi lukanya.
“Kamu boleh mengatakan hal buruk padaku. Boleh juga bersikap kasar dan menganggapku seperti orang asing, tapi aku nggak bisa menerima permintaan bodo0hmu itu,” Cantika menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Jika memang kamu mau bebas, maka lebih baik kita bercerai. Bila kamu merasa, aku adalah beban untuk kebahagiaanmu, maka kamu mau menceraikanku. Aku sudah lelah diperlakukan seperti barang yang kamu sayang-sayang bila ingin memanfaatkanku. Baiklah, anggap saja aku yang menyerah sekarang!”
Tian membeku di tempatnya mendengarkan perkataan Cantika itu. Selama pernikahan mereka, baru kali ini Cantika menentangnya dan berani menjawab permintaannya. Selama ini Cantika selalu menurut dan melayaninya dengan baik, meski Tian memperlakukannya buruk. Hingga Tian menebak-nebak, kapan wanita itu akan menunjukkan wujud aslinya. Siapa sangka, dengan sedikit penyiksaan, wanita itu sudah menunjukkan wujud aslinya. Padahal, Tian sempat berpikir bila Cantika itu bukan manusia, melainkan malaikat karena selalu tampak baik-baik saja meski disakiti olehnya. Sungguh, pemikiran yang konyol. Bagaimana mungkin Cantika adalah seorang malaikat bila wanita itu telah melakukan hal kejam padanya? Semua kebaikan Cantika membuat Tian jadi tidak bisa berpikir dengan benar. Beruntung dirinya bisa segera sadar.
“Lihatlah. Seharusnya, sejak setahun yang lalu kamu melakukan hal yang benar ini,” Tian tersenyum mengejek, “Aku tahu kalau kamu hanyalah seorang munafik yang pura-pura baik. Padahal, kamu pun nggak tahan dengan pernikahan kita. Kamu selalu terlihat palsu dan semua kebaikanmu nggak tulus,” Lanjut pria itu dengan tatapan tajam, sedang Cantika menatap pria itu dengan tatapan tak percaya. Bagaimana semua cintanya dianggap sebagai kepura-puraan semata?
“Sebenarnya, apa yang kamu inginkan? Saat aku ingin memberikan apa yang kamu inginkan, kamu malah terus-terusan saja menjelek-jelekkanku. Pada akhirnya, aku memang nggak pernah benar di mataku. Aku yang salah dan juga jahat,” Suara Cantika mulai bergetar. Hatinya terasa begitu hancur lebur. Perih pun telah menguasai setiap relung hatinya. Menyesakkan dadanya dan ia merasa begitu kesulitan bernapas karena rasa sakit itu.
“Aku hanya ingin kamu merapikan kamar untuk Dahlia karena dia sudah sangat kecapekan. Dia baru saja pulang dari China, jadi seharusnya kamu nggak mengajakku berdebat dan lakukan saja tugasmu seperti biasa,” Pria itu menatap Cantika dengan tatapan merendahkan, “Cepat bereskan kamarnya dan ganti sprei di kamar itu,” Perintah pria itu tanpa memikirkan perasaan Cantika yang bertambah kacau. Istri mana yang sanggup menyiapkan tempat yang nyaman untuk pria yang dicintai suaminya? Istri mana yang sanggup melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain di hadapannya? Sungguh, apakah Tian tak tahu atau memang pura-pura tak bisa melihat luka yang kini telah menguasai sanubari Cantika?
“Atau kamu lebih suka kalau aku memintanya menginap di kamarku? Aku mau aja.”
Cantika mengigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Bibirnya itu bergetar karena hendak menahan tangis. Ia tak bisa tampak kuat di hadapan Tian. Meski perbuatan pria itu membuatnya marah, kecewa, dan juga benci. Namun sayang, cintanya terlalu besar, hingga semua rasa itu bisa dikalahkan dengan rasa sakit yang menyelimuti hatinya. Mengapa Tian setega ini padanya? Apakah begitu salah karena dirinya menginginkan pria itu untuk menatapnya? Apakah salah bila ia bermimpi, jika suatu saat nanti pria itu akan melihat cintanya yang begitu besar?
“Aku akan menyiapkan kamarnya. Tunggu lima menit,” Pada akhirnya hanya kata itu yang keluar dari bibir Cantika. Dirinya kalah. Mungkin akan selalu kalah bila menghadapi Tian yang begitu dicintainya. Ah … Cantika memang begitu bodoh. Ia memang pantas dimaki karena kebodohannya yang luar biasa. Namun hatinya mengatakannya untuk bersabar lebih lama lagi. Entah sampai kapan. Mungkin ia harus membunuh hatinya sendiri atau mengeluarkan jantungnya dan menunjukkannya pada Tian agar pria itu tahu betapa besar cintanya.
Tian tertawa penuh kemenangan saat Cantika berjalan melewatinya dan berjalan ke arah kamar tamu yang dimaksudkan Tian. Sedang Cantika tak mampu menahan air matanya yang jatuh begitu saja ketika ia sudah berjalan agak jauh dari Tian. Tangisnya semakin deras begitu ia sudah tiba di kamar tamu dan menutup pintu di balik punggungnya. Cantika menutup mulut dengan kedua tangannya, mencegah agar isak tangisnya itu tak terdengar oleh Tian yang pastinya akan sangat senang melihat kehancurannya. Mendadak, kaki Cantika terasa seperti jeli yang tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Ia pun terkulai lemas di lantai dan menangis tersedu-sedu.
“Sesakit inikah cinta? Mengapa cinta bisa terasa bagai pisau yang mampu membuat hatiku mati? Apa yang harus ku lakukan untuk menyelamatkan hatiku ini? Kamu harus menyiksaku separah apa lagi agar merasa puas?” Suara hati Cantika meraung kesakitan. Sungguh, dirinya tak lebih dari istri yang terluka. Istri yang tak dianggap dan bisa dilukai sebanyak apa pun yang Tian inginkan. Namun Cantika tak bisa pergi meninggalkan cintanya. Mengapa mencintai bisa semengerikan ini? Membuat kita kehilangan akal sehat kita sendiri dan membiarkan hati kita untuk terluka karenanya. Cinta yang kata orang adalah sesuatu yang indah dan selalu disanjung-sanjung oleh para Pujangga, ternyata tak selamanya bisa terasa indah. Dulu, jantung Cantika selalu berdebar tak menentu setiap kali bertemu dengan Tian. Namun kini, ada rasa perih yang menyelimuti hatinya karena cintanya pada pria itu. Cinta ini mulai terasa melelahkan untuknya.
Cantika tak tahu berapa lama ia menangis dan meratapi nasibnya sebagai istri yang terluka. Hingga ia menemukan kekuatannya kembali dan segera membersihkan kamar tamu yang akan ditempati oleh satu-satunya wanita yang dipedulikan oleh pria yang disebutnya suami. Miris. Ia dengan sadar memberikan izin, bahkan menyiapkan tempat wanita yang seharusnya diusirnya dengan amarah itu. Tampaknya, Cantika akan selalu menjadi pihak yang tersakiti karena cintanya. Andai saja, Tian berada di posisinya, Cantika yakin bila pria itu tak ‘kan bisa bertahan. Jangankan sehari, satu jam saja berada di posisinya, maka Tian akan menyerah.
Cantika menatap ke sekeliling, memastikan kamar itu sudah lebih layak untuk ditempati. Wanita itu tersenyum miris. Berulang kali ia memaki dirinya sendiri. Mengatai dirinya bodoh. Namun tak bisa melakukan apa pun. Apa lagi pergi dari pria itu. Cantika membawa sprei kotor keluar dari kamar dan langkahnya terhenti begitu keluar dan menemukan Tian bersama dengan kekasihnya. Keduanya saling bergenggaman tangan dang tertawa bahagia. Lagi-lagi rasa perih menyerang bathin Cantika. Hatinya terbakar oleh api cemburu. Namun dirinya merasa tak punya hak untuk merasakan api cemburu itu. Pada akhirnya, dirinya bukan siapa-siapa bagi Tian.
“Sudah rapi kamarnya?” Tanya Tian ketika mereka saling berpapasan. Pertanyaan pria itu membuat Cantika menghentikan langkahnya, akan tetapi urung untuk mengarahkan pandangannya pada Tian yang terlihat mesra pada kekasih hatinya. Untuk melirik mereka saja, Cantika tak sanggup. Hatinya tercabik-cabik. Hancur. Hanya Tuhan yang tahu betapa sakit hatinya kini. Hanya Tuhan yang tahu sebesar apa cintanya pada pria itu. Cinta yang dibalas dengan tuba. Yang seharusnya membuat Cantika marah ataupun pergi. Namun ia tak sanggup.
“Sudah, selamat beristirahat,” Pada akhirnya, hanya kata-kata mengenaskan yang mampu keluar dari bibirnya. Bagaimana bisa ia mengatakan ucapan itu dan berpura-pura bila dirinya akan baik-baik saja dengan fakta bila perempuan yang dicintai suaminya akan tinggal bersama mereka? Ingin rasanya ia berteriak atau menjambak perempuan itu seperti adegan film yang sering ditontonnya bersama Mbak Sri, asisten rumah tangga mereka. Namun ia sadar diri bila yang bisa melakukan hal mengerikan itu hanyalah istri. Sayangnya, ia bukan istri sungguhan bagi Tian. Hubungan mereka hanya tertulis di kertas saja. Tak memiliki arti apa pun.
“Terima kasih, Tika,” Ujar Si pria sembari melanjutkan langkahnya meninggalkan Cantika.